Sejak tadi aku mondar-mandir di kamar, menarik nafas berat, lalu berdengkus, begitu saja, meski kebaya sudah tertata rapi melekat di tubuh, dan wajah dipoles make up senatural mungkin, hasil meniru dari tutorial video, aku mana bisa merias wajah dengan piawai.
Sesekali aku dekatkan kuping ke daun pintu, menajamkan pendengaran, agar bisa menangkap suara-suara bising, tetapi terdengar samar dari ruang tengah. Hal yang sudah biasa terjadi beberapa bulan belakangan.
Namun, kali ini malah membuatku kesal dan gereget sendiri. Tak tahu harus berkata apa pada kedua orang tuaku itu.
Tak berapa lama, terdengar bunyi benda yang berantuk ke lantai, suaranya menggelegar cukup keras, bersamaan dengan teriakan Ibu.
Ya ampun!
Pikiranku malah kian kacau, dalam keadaan seperti ini hanya bisa menggenggam erat kedua tangan, mencoba menenangkan debar jantung yang berdetak lebih cepat.
Meski pendingin ruangan sudah dihidupkan, aku mulai merasa palak. Di balik kebaya cokelat perlahan peluh mengucur. Kuhempaskan diri ke atas kasur. Ada rasa yang sulit dijabarkan sedang menguasai sekujur tubuh ini.
Kedua bola mataku menatap sejurus pada langit-langit kamar, walau begitu fokus pikiranku benar-benar kosong, semua itu entah berlangsung dalam berapa waktu. Beruntungnya tak ada makhluk astral datang merasuki.
Aku tersadar saat tak sengaja melirik ke arah jam dinding, sebentar lagi pukul delapan, acaranya akan dimulai, tapi aku masih dalam kebingungan.
Tanganku bergerak ke sana-kemari di atas kasur, mencari keberadaan ponsel yang tadi kuletakkan sembarangan.
Setelah berhasil menemukan ponsel di balik bantal, aku mendelik pada layarnya, ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari Rara, sahabatku. Yah! Ini efek dari kebiasaan memakai mode senyap.
"Ra, apa acaranya sudah mulai?" tanyaku yang menelepon balik, sembari memilin ujung kebaya, berharap belum dimulai.
"Sebentar lagi, MC-nya sudah stay di podium, kamu di mana, sih? Buruan ke sini," recok Rara, lebih tepatnya dia sedang panik, aku tahu ia tidak ingin aku melewatkan acara itu.
"Di kamar," jawabku singkat. Pernyataan yang berhasil membuat Rara menjerit.
"Astaga! Kamu kenapa? Sakit? Plis, Alika ... ini terakhir kalinya kita ngumpul bareng, kapan lagi coba? CEPAT! buruan ke sini, kursimu sudah aku siapkan di sebelahku, tadi si Ucok mau duduk aku suru pergi." Lagi-lagi ocehan Rara memenuhi telingaku.
Yups! Aku merasa hanya Rara yang benar-benar peduli, walaupun nyatanya dia sangat cerewet.
"Oke, Ra." Jawabku, dan lekas memutuskan panggilan.
Kuatur nafas, berharap bisa lebih tenang, meski pekik Ibu juga sahutan Ayah masih sesekali terdengar, ditambah lagi rengekan Naca, adikku. Benar-benar semrawut keadaan di luar sana.
Aku bangkit dengan malas dari tempat tidur, berjalan lemas menuju meja rias, lantas berdiri lemah menatap pantulan bayangan di depan cermin yang retak. Kudapati alisku saling bertaut dengan wajah cemberut.
Kesal? Sudah pasti.
Sejak kemarin, dan semalam aku ingatkan pada Ibu dan Ayah, kalau hari ini mereka diundang pada acara perpisahan murid, malah tak ada yang peduli, keduanya sibuk adu mulut di pagi hari. Pening rasanya.
Sekali lagi aku memastikan kebaya yang dipakai sudah rapi, dandanan sudah pantas, anak rambut yang menggantung di pelipis kuselipkan ke belakang kuping, lalu mencoba untuk mengukir sebuah senyuman.
Tak ayal, jurus mengukir garis simetris itu bagaikan sihir, mampu menetralkan suasana hati, setidaknya aku bisa sedikit lebih legah dan toleran dengan diri sendiri. Sepertinya aku harus lebih sering tersenyum untuk tetap waras.
Ya sudahlah! Jika memang harus berangkat seorang diri ke acara kelulusan berbekal rasa kecewa. Toh tanpa kehadiran Ibu dan Ayah acara itu akan tetap berlangsung, meski aku kehilangan momen bersama keduanya. Apa momen itu penting? Bagiku sangat penting!
Setelah Naca lahir dan Ayah punya pekerjaan tetap, perhatian Ibu dan Ayah semakin berkurang, aku sangat rindu dengan kebersamaan kami yang dulu. Sejak TK hingga SMP selalu ada momen manis meski sederhana.
Sejujurnya tak ada rasa cemburu dengan lahirnya Naca, malah aku sangat senang punya adik kecil lucu dan menggemaskan. Hanya saja, perubahan sikap orang tua menjadikan terasa kosong di ruang hatiku.
"Alika ... mau sarapan apa, Nak?"
"Alika, bekalnya sudah dimasukkan tas, kan?"
"Alika, sini rambutnya ibu rapikan."
"Alika, bagaimana di sekolah tadi?"
Kalimat-kalimat itu kini hanya angan-angan, tak tahu lenyap ke mana. Setiap pagi hanya ada omelan dan ocehan yang menusuk telinga hingga tembus ke jantung, membuat sekujur tubuh terasa kaku.
Perlahan daun pintu yang terbuat dari kayu jati kubuka, mengintip sebentar ke arah ruang tengah. Ada Ayah duduk tertunduk di sofa, tangan kanannya menopang kepala, sementara tangan kirinya memijat pangkal hidung.
Ibu yang berdiri sambil menggendong Naca, tak berhenti mulutnya komat-kamit. Adik kecilku itu romannya sedang ketakutan, wajahnya ditekuk dan tampak gusar.
Sorot mataku berganti mengamati lantai, ada banyak kepingan vas bunga di sana, sepertinya benda itu yang berbunyi keras tadi, sementara di sudut lain mainan Naca berserakan.
Ya ampun! Sungguh pemandangan yang bikin mood terjun bebas.
Aku berjalan mengendap keluar dari kamar, entah mereka menyadari atau tidak, aku tidak peduli. Tanganku menyambar kunci sepeda motor di atas nakas, lalu bergegas menuju garasi kecil di samping rumah.
Sepeda motor matic milik Ibu kupacu ke luar pekarangan menuju jalan raya. Meski belum memiliki SIM, aku lumayan handal berkendara. Agar tidak terlambat, kutarik gas dan melaju di jalanan yang ramai, khas suasana keramaian kota di pagi hari.
Matahari belum panas terik, hanya terasa hangat di kulit. Tiupan angin menerpa wajah, sedikit membuat mata perih, tetapi tak lebih perih dari hatiku yang kesepian. Lalu-lalang kendaraan lain dan suara klakson bersahutan terus kulewati, bersama pikiran yang mulai kembali kosong.
Aku merasa menjadi korek api yang apabila dipercik api bisa berkobar. Ada kemarahan terpendam dalam dada, tak tahu harus ditumpahkan ke mana. Pada Ibu atau Ayah? Itu bukan ide baik. Aku tak ingin dibentak dan disalah-salahkan lagi, hanya karena menuntut sebuah perhatian kecil. Itu sangat menggangu pikiran.
Rara? Yah, dia memang pendengar baik. Tapi, aku butuh lebih dari kata 'sabar' dan 'keep smile' yang kerap ia ucapkan.
Seakan tak takut mati, kutambah kecepatan lari sepeda motor, membelah jalan dan menyalip pengendara lain. Bodo amat jika harus terjatuh dan berdarah-darah, bukankah itu lebih baik daripada hidup tapi terabaikan?
Luapan emosi bagai lelehan lava pijar yang bisa berimbas pada siapa saja. Entah sejak kapan aku jadi seperti ini, terkadang urakan, dan kadang kala sebeku es.
Tiba-tiba saja terdengar suara klakson panjang dan nyaring, membuyarkan lamunan. Mataku terbelalak saat menyadari ada truk besar berjarak hanya beberapa meter, tepat di depan sepeda motorku.
"Aaaarrrrrrrgggggghhhhh!"
Tanganku serta merta menarik kedua rem, rasa-rasanya roda belakang terangkat ke atas, sepannya rok yang kupakai membuat sulit menyeimbangkan gerakan, hingga sepeda motor limbung dan jatuh, aku terjerembap di tepi aspal.
Terdengar teriakan orang-orang, aku menyeret tubuh menjauh dari sepeda motor. Rupanya nyawa masih menyatu dalam raga, hanya saja seluruh tubuh terasa dingin dan kebas.
Kenapa tidak mati saja?
Ujung mataku menangkap beberapa pasang mata yang menyorot dari kejauhan, entah kasihan atau kesal. Peristiwa ini membuat lalulintas berhenti sejenak, pengendaranya ingin tahu apa yang baru saja terjadi.
"Woi! Kalau mau mati jangan bawa-bawa orang lain! Dasar bocah!" hardik pengemudi truk yang menyembulkan kepala dari jendela, matanya melotot, sedikit membuatku gusar.
Aku bangkit, lantas duduk bergeming. Tak tahu harus berkata apa. Dua orang bapak-bapak datang menghampiri, bukannya menanyakan keadaanku, malah lebih dulu menolong sepeda motor.
"Kalau mengemudi jangan sambil menghayal, memangnya jalan ini milik bapakmu? Seenaknya saja!" ketus salah satu dari bapak-bapak itu, usai menarik sepeda motor pada posisi berdiri.
"Mana enggak pakai helm," timpal Bapak yang satunya.
Ingin rasanya teriak, kenapa sedikitpun mereka tak kasihan padaku? Apa masih ada yang ingin menghujat? Ayo sini, maki saja aku sesuka kalian!
"Dek, orang tuanya mana? Kenapa naik motor sendirian?" tanya seseorang dari arah belakang.
Kumiringkan sedikit kepala, melihat seorang pria berseragam. Tak tahu dari arah mana datangnya, seketika aku sadar, akan ada masalah baru yang menimpa.
Meski wajah sudah dipoles make up dan tidak berseragam, sepertinya Polisi ini tahu aku masih anak sekolah. Dia pasti sudah melihat aku yang hampir ditabrak truk, ehm bukan aku yang hampir menabrak truk? Entah.
"Dek, jawab," serunya lagi.
"Em- sibuk, Pak," jawabku asal.
"Berikan nomor ponsel orang tuamu." Bapak Polisi mengeluarkan ponselnya dari saku baju.
Sudah kuduga, astaga!
"Tolong, Pak! Tidak usah beri tahu orang tuaku, aku janji setelah ini tidak akan naik motor sendiri lagi!" Aku memohon dengan wajah meringis. Toh sebentar lagi tujuh belas tahun, bisa buat SIM dan berkelana sesuka hati.
Bukannya mengundang belas kasih dari Polisi ini, malah dipelototi, alih-alih ia berceramah panjang kali lebar. Jangan harap kalbuku terketuk, yang ada malah semakin mendongkol.
Dengan berat hati, aku memberikan nomor ponsel Ayah. Yah, tidak mungkin nomor Ibu. Bisa-bisa ia murka dan mengirimku ke neraka kalau tahu anaknya membuat kekecauan sementara ia sendiri sedang kacau.
Polisi itu lekas menelepon Ayah, mereka bicara banyak, aku duduk menunggu dan pura-pura tak dengar, lalu menatap sekeliling, rupanya beberapa orang kepo masih memperhatikan gelagatku yang dicekal. Sedangkan truk tadi sudah berlalu.
Tak mau lagi sorot mata bertemu dengan tatapan orang-orang itu, aku memilih menengok kaki yang terasa ngilu, rupanya ada memar dan goresan di sana, selop pun ikut terkelupas.
Ah! Selop baruku.
Sebentar lagi, hanya tinggal beberapa detik menunggu bom kemarahan Ayah akan meledak, aku hanya perlu siap telinga dan kuat hati untuk mendengar segala umpatan.
"Dek, kamu ke tempat tujuan naik kendaraan umum saja, sepeda motor ini ayahmu yang jemput," ujar pak Polisi usai menelepon Ayah. Mendengar ucapannya aku sedikit heran, kupikir Ayah akan lepas tangan atau bahkan menyuruh anaknya di penjara saja. Setidaknya sekarang legah sudah.
"Baik!" pungkasku yang lekas beranjak dengan langkah tertatih, kakiku sakit tiap kali menapak, apa keseleo?
Beberapa langkah menjauh dari pak Polisi, aku menunggu angkot lewat. Tak berselang lama mobil yang di pintunya ada kenek bergelayut berhenti, aku lekas masuk menjadi penumpangnya, lumayan berdesakan dengan penumpang lain.
Syukur sekali tak ada drama tambahan hingga sampai di gerbang sekolah, cepat-cepat kusodorkan uang sewanya dan bergerak turun.
Ada banyak sekali kenderaan roda dua dan roda empat memenuhi parkiran, tetapi halaman sekolah terlihat lenggang, pasti mereka sudah masuk ke aula.
Benar saja, semakin langkah kakiku mendekati gedung bercat serba putih, terdengar suara pemandu acara dari sound system, kulirik lagi jam ponsel sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Yah, aku terlambat.
Dengan langkah terseok-seok dan wajah meringis menahan sakit, aku menaiki tiga anak tangga, lalu masuk ke dalam aula. Mencari-cari keberadaan Rara di antara banyaknya orang.
Beberapa murid dan wali murid yang menyadari kedatanganku menatap penuh tanya. Hanya kubalas dengan cengar-cengir.
"Ra, kamu sebelah mana? Aku udah nyampe," ucapku, ketika panggilan telepon tersambung.
"Ya ampun, Alika … kenapa enggak dua atau tiga jam lagi kamu ke sini? Atau sekalian acaranya dah kelar!" cibir Rara.
"Berisik! Buruan kamu di mana? Coba berdiri," tuturku yang celingak-celinguk.
Di antara deretan kursi siswa, Rara yang memakai kebaya merah muda terlihat berdiri, polesan make up-nya cetar membahana, aku hampir tak mengenali sahabatku itu, tangannya melambai-lambai, bisa kutangkap gerakan bibirnya memanggil namaku berulang kali tanpa suara.
Aku bergegas menghampiri Rara. Benar saja katanya, ia memang sudah menyiapkan bangku kosong, aku langsung terhenyak dan melenguh di atas tempat duduk. Payah sekali rasanya menghadapi pagi ini.
"Lah, itu pipimu kenapa? Kok merah-merah kayak darah? Apa konsep make up-mu?" tanya Rara yang mendelik.
Konsep make-up apaan? Apa pipiku ikut lecet juga? Tapi sama sekali tidak terasa sakit selain kaki yang memar.
Pertanyaan Rara itu membuat tanganku menyentuh kedua pipi, baru terasa ada sensasi perih di kulit pipi sebelah kiri.
"Aku habis jatuh dari motor," bisikku.
"What? Jatuh ... kok bisa?" kedua bola mata Rara yang kini sudah berwarna abu-abu, mirip lensa kucing semakin membulat.
Karena Rara sangat penasaran, aku ceritakan masalah apa saja yang sudah menimpaku hingga telat datang. Spontan ia memasang wajah seiba mungkin, aku akui Rara memang pandai menempatkan diri sebagai lawan bicara.
"Alika Hamira …." Namaku dipanggil, sangat jelas terdengar dari sound.
Aku menatap Rara, pun dengannya menatapku balik dengan gerakan kedua bahu yang diangkat. Kupikir ia dengar kalimat sebelum namaku disebut, nyatanya tidak.
"Alika Hamira, dipersilahkan maju ke depan untuk menerima hadiah dan memberikan pesan-kesan untuk teman-temannya," ujar pemandu acara lagi.
"Aku? Memangnya aku kenapa, Ra?" tanyaku masih dengan kebingungan.
"Mana kutahu, enggak dengar tadi, kamu ngomong juga sih. Maju saja sana! dapat hadiah loh, katanya," tutur Rara.
"Tapi-"
"Igh … sana!" Rara mendorongku.
Melangkah di tengah kerumunan orang membuatku canggung, nyaris lupa dengan kaki yang sakit. Aku yakin saat ini sedang menjadi sorotan dari ratusan pasang mata. Malu? sudah pasti. Apalagi selop dan kebayaku tak lagi karuan.
Agar terlihat wajar, aku mengatur nafas, mencoba tenang dan sedikit tersenyum, kutahan saja seperti itu. Sorak-sorai dan tepukan tangan mengiringi langkah hingga menapaki latar yang posisinya lebih tinggi.
"Selamat untuk Alika Hamira, menjadi lulusan terbaik tahun ini, dengan nilai hampir sempurna. Semoga cendera mata dari sekolah memberi kesan baik untuk perjalanan menuntut ilmu ke jenjang selanjutnya, silahkan di terima," ucap pemandu acara dengan lugas.
Tak lama dari itu, Wali kelas dan Kepala Sekolah menghampiri, aku masih mematung, sebuah selempang hitam dengan tulisan warna keemasan digantungkan Kepala Sekolah di bahuku, bingkisan biru pun diserahkan oleh Wali kelas.
Tepuk tangan kembali menggema. Mungkin saja mereka mengira aku orang paling bahagia saat ini, meski nyatanya tak begitu.
Harusnya ada Ibu dan Ayah di deretan kursi para orang tua, menatap haru anaknya diberi penghargaan. Aku ternanar, nyaris ingin menangis.
Cepat-cepat kuhempas pilu itu, lantas bersiap menuju podium, menyampaikan beberapa kalimat pesan dan kesan, hingga manik mataku tertegun, lidah keluh saat melihat sosok yang berdiri di kejauhan sana.
Rupanya Ayah datang. Walau telat beberapa detik, setidaknya ia masih bisa melihat penampilan anaknya ini, berani bicara di depan orang banyak.
Di atas podium aku mengulum bibir yang hendak tersenyum, lantas berdeham kecil sebelum mengucap salam. Namun, mataku masih terus mengikuti pergerakan Ayah, ia tampak kebingungan mencari kursi kosong.
Baru terasa legah setelah Ayah benar-benar duduk dan menatapku sejurus dari jarak yang jauh. Apa dia marah? Entah. Tetapi ia tersenyum padaku.
".... Terima kasih juga untuk Ayah, yang sudah menyempatkan hadir, keberhasilanku ini adalah buah dari kerja keras dan cinta Ayah," ucapku lantang di sela-sela kata sambutan.
Ayah kembali tersenyum, bisa kulihat binar matanya berseri-seri, semoga saja setelah ini tidak akan ada kemarahan besar karena ulahku tadi. Toh nyatanya lelaki paruh baya itu menyanggupi untuk hadir.
Begitu banyak hal berkesan selama tiga tahun di sekolah ini, di penghujung kisah entah kenapa semuanya berlalu begitu cepat.
Rasanya baru kemarin memakai atribut ospek yang lucu, tapi sekarang seragam putih abu-abu hanya tinggal kenangan.
Banyak kisah terukir indah, hampir setiap hari bersua, menjadikan sekolah ini bagaikan rumah kedua, teman-teman dan guru serasa keluarga.
Kecuali, cerita tentang cinta. Haha. Aku terlalu fokus menghafal rumus, tak tahu apa itu jatuh cinta ataupun cinta monkey. Lebih tepatnya tak mau tahu.
Meski sering kali mendapati cokelat dan setangkai kembang di laci meja. Aku tak pernah membuka hati ataupun ingin tahu siapa pengagum rahasia itu.
Dimakan saja cokelatnya dan kembangnya kubawa pulang, ditancapkan ke tanah, tumbuh subur hingga kini, suratnya tak pernah kubaca. Kata Rara aku angkuh. Apa iya?
Usai mengucapkan terima kasih dan kalimat penutup, lagi-lagi tepuk tangan terdengar lebih meriah. Aku meninggalkan podium dan turun dari latar, kembali ke tempat duduk sembari membawa bingkisan.
Baru saja mendaratkan tubuh di atas kursi, Rara sudah mengambil bingkisan lalu mengguncangnya. Tak ada bunyinya.
"Apa yah, isinya?" tanya Rara, mengamati setiap sisi kotak biru motif cupcake.
"Nanti malam kita buka bareng-bareng," tuturku.
"Benar yah? Kita bagi dua, hehe," goda Rara, cengengesan. Aku menanggapinya dengan bergumam, banyak bicara tadi tenggorokan rasanya kering.
****
Acara perpisahan berakhir dengan sesi foto-foto. Meski capeknya pol, aku masih bersemangat menikmati momen penghujung bersama teman-teman.
"Alika …," panggil Rara.
"Kenapa, Ra?" tanyaku, tetapi masih sibuk mengamati hasil jepretan di ponsel. Bagus sekali.
"Kamu yakin enggak mau tahu, siapa pengagum rahasiamu selama tiga tahun ini?" bisik Rara.
Kuhadapkan badan pada sahabatku, menatap lekat kedua bola matanya, lalu berkata, "Tidak!"
"Haiksss!" kesal Rara, ia memutar bola matanya lalu berdengus.
"Masa iya kamu tidak penasaran? Aku saja penasaran loh, Alika! Ada sedih-sedihnya juga sih, kasihan dia enggak bisa ngasih cokelat lagi, seenggaknya kamu bilang makasih gitu," desak Rara, sedikit menggelitik pikiranku.
Apa harus aku cari tahu? Apa itu penting?
Toh aku mau lanjut kuliah, masih banyak hal yang ingin kulakukan tanpa drama-drama percintaan.
Belajar banyak hal dari Rara, yang hampir setiap hari ribut sama si Ucok, pacarnya. Sampai-sampai menangis kejer dan kadang senyum-senyum sendiri, tujuannya ke sekolah bukan lagi untuk belajar, tapi untuk ketemu kekasih hati.
"Alika …!" Suara yang familiar di telinga menyapaku.
Benar saja, ketika menoleh kulihat pria berpakaian rapi berdiri di sana. Lalu tersenyum tipis pada Rara.
"Ra, aku duluan … bye!" pamitku sebelum melangkah tertatih-tatih.
"Oke, jangan lupa malam yah, bagi dua … hehe," pungkasnya. Tanpa menoleh kuangkat bingkisan dan mengacungkan jempol.
Aku mengikuti sosok di hadapanku hingga keluar dari aula, sesampainya di tempat parkir, pintu mobil dibukakan dan aku lekas masuk, berusaha santai duduk di jok depan.
Ia pun bergegas masuk, duduk di depan kemudi. Setelahnya, hanya hening. Berusaha menyusun kata untuk diungkapkan, tetapi otakku tak bisa berpikir, berkali-kali gagal untuk fokus.
"Alika."
"Em- iya, Ayah," jawabku segan. Aku tahu sudah membuat kekacauan pagi tadi. Tak tahu harus meminta maaf bagaimana, membahasnya saja takut sekali.
"Kamu lapar?" tanya Ayah.
Kupikir ia akan teriak-teriak dan memarahiku hingga puas, tapi pertanyaan Ayah seketika terasa teduh di hati, teringat kembali kehangatan keluarga kami yang dulu.
Aku lekas mengangguk, tersenyum pada Ayah. Ia mengelus pucuk kepalaku. Rupanya Ayah belum berubah, apa mungkin di tempat kerja baru banyak sekali kesibukan, hingga Ayah keteteran membagi waktu dan perhatian?
Ah! Harusnya bisa lebih peka, bukannya malah menilai Ayah dari kacamataku sendiri.
"Baiklah, kita ke resto puncak, tapi singga di klinik dulu, lukamu harus diobati," ucap Ayah yang bersiap memutar kemudi.
"Eh- tidak usah, Ayah. Hanya lecet sedikit, di rumah ada obat merah, kok. Kakiku paling-paling keseleo, dikompres air hangat bisa sembuh," elakku.
Tak lain karena tak sabar ingin segera menyantap sepiring mie goreng seafood, plus es coffe Avocado, menu favoritku di resto itu.
"Yakin?" Ayah melirik sebentar.
"Emmmh," gumamku mantap.
Ayah menyetel lagu, memecah keheningan yang sejak tadi membeku, lirik yang kebetulan aku hafal, membuat bibirku tergerak untuk ikut bernyanyi, pun dengan Ayah.
Irama yang membangkitkan semangat itu, menaikkan level perasaan menjadi lebih baik. Aku merasa bahagia dengan hal kecil ini. Bisa menemukan kembali sosok Ayah yang kurindukan.
Sepanjang jalan menuju resto kami bersenandung ria, sesekali tertawa karena Ayah salah lirik.
Haaah! Lepas segala beban yang mendera. Tapi, aku belum punya cukup keberanian untuk bertanya, mengapa Ibu dan Ayah kerap berseteru.
Ingin sekali mengatakan kalau keributan di rumah, nyaris membuat mentalku kacau balau.
Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung dari huru-hara di luar, malah terasa mencekam dengan suara teriakan juga bentakan.
Sudahlah! Aku tak ingin membahasnya dulu. Biar kunikmati kebersamaan ini, sebelum Ayah kembali sibuk.
Ayah menyetir mobil masuk ke area parkir, aku bersiap-siap, melepas selempang dan berkaca di layar ponsel sekedar merapikan rambut, benar saja, ada beberapa goresan dengan sisa darah mengering di pipi. Beruntung sekali, Ayah tidak membahas kecelakaan dan polisi yang menelepon tadi. Semoga saja sudah beres urusannya.
Seperti biasa, kami akan memilih tempat duduk outdoor, di gazebo yang menghadap birunya laut di bawah sana.
Apa ini hadiah dari Ayah karena aku jadi lulusan terbaik?
"Mau makan apa, Alika?" tanya Ayah.
"Mie goreng seafood sama es coffe Avocado, Yah," jawabku sembari mencari posisi duduk yang nyaman.
Ayah sibuk mencatat pesanan di kertas yang sudah tersedia di meja, lalu memanggil mbak berseragam membawa baki, menyerahkan list-nya.
"Alika … sebenarnya ayah mau bicara sesuatu sama kamu, Nak," tutur Ayah, sorot matanya yang tegas menatap laut tenang, tetapi jelas sekali ia sedang menyembunyikan sesuatu.
Aku mendelik, menunggu kalimat selanjutnya. Tetapi Ayah masih saja diam. Membiarkan tiupan angin menerpa wajahnya.
"Bicara apa, Ayah?"
Lelaki paruh baya, yang wajahnya mulai muncul garis-garis keriput, berganti memandangku. Sorot matanya teduh, tersirat kecemasan. Ayah menarik nafas panjang, dan membuangnya kasar.
Ada apa sebenarnya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!