Di depanku Ayah memang tidak pernah terlihat dengan wanita lain tapi, bagaimana jika di belakangku?
Entah ... bisa saja iya, bisa juga tidak. Hanya saja setahuku saat ini Ayah memang banyak berubah. Aku memilih tidak menanggapi pertanyaannya.
"Jawab, Alika!" sentak Ayah, kedua matanya menatapku tegas. Melihat raut wajah itu aku malah merasa keder.
"Kalau memang begitu, uang Ayah habis untuk apa?" Aku balik bertanya dengan suara bergetar, nyaris akan menangis.
"Kamu tidak harus tahu, Alika. Ini urusan orang tua," jawab Ayah, kali ini dengan nada suara yang terdengar lebih garang.
What? Aku tidak boleh tahu tetapi, dipaksa untuk mengerti keadaan Ayah? Apa-apan ini? Setidaknya aku diberi kejelasan agar bisa menerima alasannya.
"Sudahlah, ayah pusing! Ayo kita pulang saja, masih banyak pekerjaan di kantor," tutur Ayah, ia lekas bangkit, turun lebih dulu dari gazebo.
Aku semakin bingung dan kesal, terpaksa ikut saja. Ayah berjalan menuju meja pembayaran, sedangkan aku berjalan lurus ke arah parkiran.
"Apa sebenarnya yang Ayah sembunyikan?" lirihku, kini sudah berdiri di sisi mobil.
Dulu, sewaktu ayah masih seorang kuli, selalu ada waktu untuk bercerita banyak hal. Sepulang bekerja aku dan Ibu menunggunya di teras bersama secangkir kopi hangat.
Ketika Ayah tiba, Ibu akan mengecup punggung tangannya, begitupun denganku. Damai sekali bukan?
Sebelum Ayah mandi, ia akan bercerita dan bercengkrama untuk melepas lelah dan mengeringkan peluh. Sekarang? Ah … semua hanya cerita lama yang membeku.
Ayah datang, membukakan pintu mobil untukku, aku lekas masuk tanpa memandangnya.
Sepanjang jalan tak ada suara musik ataupun bernyanyi seperti tadi. Saat ini Ayah hanya diam dengan wajah ditekuk, ia fokus mengemudi hingga sampai ke garasi.
Tanpa menunggu Ayah membukakan pintu, aku turun lebih dulu, lantas melangkah terseok-seok membawa bingkisan juga selempang.
Aku masuk ke dalam rumah kami yang bisa dibilang megah, menurutku berkali-kali lipat bagusnya dari rumah dulu; atap bocor, dinding papan, dan sebagian lantainya tanah, tapi jangan salah, alih-alih rumah sederhana itu penuh dengan cinta dan kehangatan.
Kudapati Naca, bocah yang sebentar lagi dua tahun duduk di antara mainannya. Ia menyambut dengan tatapan sendu, tetapi beberapa detik kemudian malah tersenyum simpul.
"Halo, Naca. Lagi main apa, Dek?" sapaku, sebelum menghampiri dan mengecup pipinya berulang kali.
"Kaka … ni ni tatit … ubit Ibu," celoteh Naca, sembari menyodorkan lengan mungilnya. Ada memar kecil di sana.
Ibu mencubit Naca?
Pandanganku mengitari sekeliling ruang tengah, tidak terlihat Ibu di sana. Jadi adik kecilku bermain sendirian? Terus Ibu di mana, apa sedang masak?
Sekali lagi kuamati dengan seksama lengan Naca, ada bekas tancapan kuku di sana, kutiup berulang kali kulitnya yang kemerahan itu, lalu mengelusnya pelan.
"No no kakak, tatit!" Naca meringis. Kulitnya yang masih tipis itu pasti terasa ngilu. Entah kesalahan apa dibuatnya hingga Ibu begitu marah.
"Maaf, yah … ayo kita main," ajakku, dan lekas duduk di depan Naca meski masih memakai kebaya, nanti saja ganti bajunya.
Naca tadinya murung seketika riang, adik kecilku begitu sigap mengambil beberapa mainan masak-masakan, kemudian ia berikan padaku.
"Naca … tidak boleh nakal, yah! Nanti Ibu marah," pesanku, bagaimanapun terasa pilu melihat adik kesayangan dicubit Ibu.
"Iya, tidak nakal," ulang Naca, sembari memamerkan deretan gigi susunya.
Tak lama dari itu, Ayah masuk ke dalam rumah memanggil-manggil nama Ibu, ia berjalan ke sana ke mari, mencari-cari. Perasaanku mulai tak enak.
"Naca … ibumu di mana, Nak?" tanya Ayah ketika menghampiri kami. Naca menunjuk ke arah belakang, sepertinya Ibu memang sedang masak.
Ayah melangkah cepat menuju dapur, tak tahu kenapa jantungku kembali berdetak lebih cepat, bisa ku baca ada kemarahan di mata Ayah.
Tidak salah lagi. Kurang dari semenit, terdengar suara Ibu merecoki Ayah, disusul suara panci jatuh ke lantai, juga bunyi pecah entah piring atau gelas, aku tak tahu.
Kegaduhan itu membuat Naca spontan memeluk lenganku. Aku yang sudah besar saja masih merasa takut, apalagi Naca yang masih kecil. Lebih tepatnya kami capek dalam situasi tidak harmonis ini.
Meski perasaanku tak karuan, ku rangkul tubuh Naca dan mengelus kepalanya, berharap ia bisa merasa aman. Kami saling berpelukan dalam getir.
Aku menajamkan pendengaran, meski tahu menguping itu tidak baik, kini tak lagi peduli, lagi pula hanya ingin tahu perkara apa yang membuat orang tuaku selalu bertikai. Apa ada hubungannya dengan aku belum bisa kuliah?
"Mulai sekarang, kamu cari uangnya sendiri saja!" hardik Ayah, terdengar jelas di ruang tengah.
"Itu juga tanggung jawabmu, Bayu!" balas Ibu tak kalah bengisnya.
"Semua uangku sudah habis! Aku tidak mau tau lagi! Kamu itu jadi istri tidak becus!"
Mereka meributkan perihal uang? Ah … rumit sekali untuk aku pikirkan. Masih bergelayut di benakku tentang ke mana ludesnya uang-uang Ayah.
Ibu, istri yang tidak becus? Aku rasa Ibu sudah sangat baik, meski belakangan ini amat cuek, ia tetap mau memasak, membereskan rumah, merawat anak-anaknya, lantas apanya yang tidak becus?
Derap langkah Ayah terdengar keluar dari dapur, aku menoleh, ia melewati aku dan Naca dengan wajah menatap lurus ke depan. Seakan tak melihat kami di sini.
Ayah bergegas meninggalkan rumah, tak lama terdengar derum mobil, hingga bunyinya semakin menjauh.
Perlahan kulepas tangan yang mendekap Naca, tubuhnya masih gemetar, kedua netra beningnya menetapku sendu. Bisa kuartikan isyarat itu, adik kecilku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
Maaf adikku sayang, kakakmu ini tak paham juga apa yang sedang terjadi. Kupegang kedua pipi Naca, lagi-lagi mengecup keningnya, yang beraroma minyak telon.
Ingin sekali rasanya menemui Ibu dan bertanya, akan tetapi ku urungkan niat itu. Biar Ibu tenang dulu.
Kuajak Naca ikut ke kamar, kasihan kalau meninggalkannya sendirian di sini, aku takut kalau dia merengek pada Ibu yang sedang pilu. Bisa-bisa dipelintir lagi kulitnya.
"Kakak, lapal," tutur Naca, saat aku baru saja mengganti pakaian.
"Naca belum makan?" telisikku, gadis kecil yang selonjoran di atas kasur itu menggeleng.
"Tunggu sebentar, yah! Kakak ambilkan Naca makanan, di sini saja … tidak usah keluar kamar," pintaku, sebelum meninggalkannya.
Aku memasuki dapur, dan … kacau!
Yah, keadaan dapur sangat berantakan. Ibu masih di sana, sibuk memasukkan perabot ke dalam kardus.
Beling berceceran di lantai, aku jadi takut melewati area meja makan, membayangkan pecahan porselen itu menusuk kaki, ngilu sekali rasanya.
"Bu, Naca lapar, mau makan. Apa ada makanannya?" tanyaku sangat hati-hati. Belakangan ini Ibu memang sangat sensitif, salah bicara saja ia akan mengamuk.
"Masak mie atau telur saja, ibu belum sempat masak," jawab Ibu ketus.
Jadi Ibu belum masak?
Aku tak lagi banyak omong, segera kuambil sebungkus mie dan sebutir telur, lantas lekas mengolahnya, adikku pasti sudah sangat kelaparan.
Tanya … tidak …? tanya … tidak …? tanya … tidak?
Egh!
Dua kata itu terus berputar-putar di kepala, selama aku memunggungi Ibu yang begitu serius mengepak perabot koleksinya. Hendak dibawa ke mana barang-barang ini? Sayang sekali untuk menanyakan itu aku tidak berani.
Sesekali aku menoleh, mengintip wanita berdaster yang membisu. Seandainya kau tahu Ibu, aku rindu senyummu, wajah ceriamu, dan gelak tawamu, lenyap ke mana semua itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments