Rupanya Ayah datang. Walau telat beberapa detik, setidaknya ia masih bisa melihat penampilan anaknya ini, berani bicara di depan orang banyak.
Di atas podium aku mengulum bibir yang hendak tersenyum, lantas berdeham kecil sebelum mengucap salam. Namun, mataku masih terus mengikuti pergerakan Ayah, ia tampak kebingungan mencari kursi kosong.
Baru terasa legah setelah Ayah benar-benar duduk dan menatapku sejurus dari jarak yang jauh. Apa dia marah? Entah. Tetapi ia tersenyum padaku.
".... Terima kasih juga untuk Ayah, yang sudah menyempatkan hadir, keberhasilanku ini adalah buah dari kerja keras dan cinta Ayah," ucapku lantang di sela-sela kata sambutan.
Ayah kembali tersenyum, bisa kulihat binar matanya berseri-seri, semoga saja setelah ini tidak akan ada kemarahan besar karena ulahku tadi. Toh nyatanya lelaki paruh baya itu menyanggupi untuk hadir.
Begitu banyak hal berkesan selama tiga tahun di sekolah ini, di penghujung kisah entah kenapa semuanya berlalu begitu cepat.
Rasanya baru kemarin memakai atribut ospek yang lucu, tapi sekarang seragam putih abu-abu hanya tinggal kenangan.
Banyak kisah terukir indah, hampir setiap hari bersua, menjadikan sekolah ini bagaikan rumah kedua, teman-teman dan guru serasa keluarga.
Kecuali, cerita tentang cinta. Haha. Aku terlalu fokus menghafal rumus, tak tahu apa itu jatuh cinta ataupun cinta monkey. Lebih tepatnya tak mau tahu.
Meski sering kali mendapati cokelat dan setangkai kembang di laci meja. Aku tak pernah membuka hati ataupun ingin tahu siapa pengagum rahasia itu.
Dimakan saja cokelatnya dan kembangnya kubawa pulang, ditancapkan ke tanah, tumbuh subur hingga kini, suratnya tak pernah kubaca. Kata Rara aku angkuh. Apa iya?
Usai mengucapkan terima kasih dan kalimat penutup, lagi-lagi tepuk tangan terdengar lebih meriah. Aku meninggalkan podium dan turun dari latar, kembali ke tempat duduk sembari membawa bingkisan.
Baru saja mendaratkan tubuh di atas kursi, Rara sudah mengambil bingkisan lalu mengguncangnya. Tak ada bunyinya.
"Apa yah, isinya?" tanya Rara, mengamati setiap sisi kotak biru motif cupcake.
"Nanti malam kita buka bareng-bareng," tuturku.
"Benar yah? Kita bagi dua, hehe," goda Rara, cengengesan. Aku menanggapinya dengan bergumam, banyak bicara tadi tenggorokan rasanya kering.
****
Acara perpisahan berakhir dengan sesi foto-foto. Meski capeknya pol, aku masih bersemangat menikmati momen penghujung bersama teman-teman.
"Alika …," panggil Rara.
"Kenapa, Ra?" tanyaku, tetapi masih sibuk mengamati hasil jepretan di ponsel. Bagus sekali.
"Kamu yakin enggak mau tahu, siapa pengagum rahasiamu selama tiga tahun ini?" bisik Rara.
Kuhadapkan badan pada sahabatku, menatap lekat kedua bola matanya, lalu berkata, "Tidak!"
"Haiksss!" kesal Rara, ia memutar bola matanya lalu berdengus.
"Masa iya kamu tidak penasaran? Aku saja penasaran loh, Alika! Ada sedih-sedihnya juga sih, kasihan dia enggak bisa ngasih cokelat lagi, seenggaknya kamu bilang makasih gitu," desak Rara, sedikit menggelitik pikiranku.
Apa harus aku cari tahu? Apa itu penting?
Toh aku mau lanjut kuliah, masih banyak hal yang ingin kulakukan tanpa drama-drama percintaan.
Belajar banyak hal dari Rara, yang hampir setiap hari ribut sama si Ucok, pacarnya. Sampai-sampai menangis kejer dan kadang senyum-senyum sendiri, tujuannya ke sekolah bukan lagi untuk belajar, tapi untuk ketemu kekasih hati.
"Alika …!" Suara yang familiar di telinga menyapaku.
Benar saja, ketika menoleh kulihat pria berpakaian rapi berdiri di sana. Lalu tersenyum tipis pada Rara.
"Ra, aku duluan … bye!" pamitku sebelum melangkah tertatih-tatih.
"Oke, jangan lupa malam yah, bagi dua … hehe," pungkasnya. Tanpa menoleh kuangkat bingkisan dan mengacungkan jempol.
Aku mengikuti sosok di hadapanku hingga keluar dari aula, sesampainya di tempat parkir, pintu mobil dibukakan dan aku lekas masuk, berusaha santai duduk di jok depan.
Ia pun bergegas masuk, duduk di depan kemudi. Setelahnya, hanya hening. Berusaha menyusun kata untuk diungkapkan, tetapi otakku tak bisa berpikir, berkali-kali gagal untuk fokus.
"Alika."
"Em- iya, Ayah," jawabku segan. Aku tahu sudah membuat kekacauan pagi tadi. Tak tahu harus meminta maaf bagaimana, membahasnya saja takut sekali.
"Kamu lapar?" tanya Ayah.
Kupikir ia akan teriak-teriak dan memarahiku hingga puas, tapi pertanyaan Ayah seketika terasa teduh di hati, teringat kembali kehangatan keluarga kami yang dulu.
Aku lekas mengangguk, tersenyum pada Ayah. Ia mengelus pucuk kepalaku. Rupanya Ayah belum berubah, apa mungkin di tempat kerja baru banyak sekali kesibukan, hingga Ayah keteteran membagi waktu dan perhatian?
Ah! Harusnya bisa lebih peka, bukannya malah menilai Ayah dari kacamataku sendiri.
"Baiklah, kita ke resto puncak, tapi singga di klinik dulu, lukamu harus diobati," ucap Ayah yang bersiap memutar kemudi.
"Eh- tidak usah, Ayah. Hanya lecet sedikit, di rumah ada obat merah, kok. Kakiku paling-paling keseleo, dikompres air hangat bisa sembuh," elakku.
Tak lain karena tak sabar ingin segera menyantap sepiring mie goreng seafood, plus es coffe Avocado, menu favoritku di resto itu.
"Yakin?" Ayah melirik sebentar.
"Emmmh," gumamku mantap.
Ayah menyetel lagu, memecah keheningan yang sejak tadi membeku, lirik yang kebetulan aku hafal, membuat bibirku tergerak untuk ikut bernyanyi, pun dengan Ayah.
Irama yang membangkitkan semangat itu, menaikkan level perasaan menjadi lebih baik. Aku merasa bahagia dengan hal kecil ini. Bisa menemukan kembali sosok Ayah yang kurindukan.
Sepanjang jalan menuju resto kami bersenandung ria, sesekali tertawa karena Ayah salah lirik.
Haaah! Lepas segala beban yang mendera. Tapi, aku belum punya cukup keberanian untuk bertanya, mengapa Ibu dan Ayah kerap berseteru.
Ingin sekali mengatakan kalau keributan di rumah, nyaris membuat mentalku kacau balau.
Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung dari huru-hara di luar, malah terasa mencekam dengan suara teriakan juga bentakan.
Sudahlah! Aku tak ingin membahasnya dulu. Biar kunikmati kebersamaan ini, sebelum Ayah kembali sibuk.
Ayah menyetir mobil masuk ke area parkir, aku bersiap-siap, melepas selempang dan berkaca di layar ponsel sekedar merapikan rambut, benar saja, ada beberapa goresan dengan sisa darah mengering di pipi. Beruntung sekali, Ayah tidak membahas kecelakaan dan polisi yang menelepon tadi. Semoga saja sudah beres urusannya.
Seperti biasa, kami akan memilih tempat duduk outdoor, di gazebo yang menghadap birunya laut di bawah sana.
Apa ini hadiah dari Ayah karena aku jadi lulusan terbaik?
"Mau makan apa, Alika?" tanya Ayah.
"Mie goreng seafood sama es coffe Avocado, Yah," jawabku sembari mencari posisi duduk yang nyaman.
Ayah sibuk mencatat pesanan di kertas yang sudah tersedia di meja, lalu memanggil mbak berseragam membawa baki, menyerahkan list-nya.
"Alika … sebenarnya ayah mau bicara sesuatu sama kamu, Nak," tutur Ayah, sorot matanya yang tegas menatap laut tenang, tetapi jelas sekali ia sedang menyembunyikan sesuatu.
Aku mendelik, menunggu kalimat selanjutnya. Tetapi Ayah masih saja diam. Membiarkan tiupan angin menerpa wajahnya.
"Bicara apa, Ayah?"
Lelaki paruh baya, yang wajahnya mulai muncul garis-garis keriput, berganti memandangku. Sorot matanya teduh, tersirat kecemasan. Ayah menarik nafas panjang, dan membuangnya kasar.
Ada apa sebenarnya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments