Ternanar

Tanganku serta merta menarik kedua rem, rasa-rasanya roda belakang terangkat ke atas, sepannya rok yang kupakai membuat sulit menyeimbangkan gerakan, hingga sepeda motor limbung dan jatuh, aku terjerembap di tepi aspal.

Terdengar teriakan orang-orang, aku menyeret tubuh menjauh dari sepeda motor. Rupanya nyawa masih menyatu dalam raga, hanya saja seluruh tubuh terasa dingin dan kebas.

Kenapa tidak mati saja?

Ujung mataku menangkap beberapa pasang mata yang menyorot dari kejauhan, entah kasihan atau kesal. Peristiwa ini membuat lalulintas berhenti sejenak, pengendaranya ingin tahu apa yang baru saja terjadi.

"Woi! Kalau mau mati jangan bawa-bawa orang lain! Dasar bocah!" hardik pengemudi truk yang menyembulkan kepala dari jendela, matanya melotot, sedikit membuatku gusar.

Aku bangkit, lantas duduk bergeming. Tak tahu harus berkata apa. Dua orang bapak-bapak datang menghampiri, bukannya menanyakan keadaanku, malah lebih dulu menolong sepeda motor.

"Kalau mengemudi jangan sambil menghayal, memangnya jalan ini milik bapakmu? Seenaknya saja!" ketus salah satu dari bapak-bapak itu, usai menarik sepeda motor pada posisi berdiri.

"Mana enggak pakai helm," timpal Bapak yang satunya.

Ingin rasanya teriak, kenapa sedikitpun mereka tak kasihan padaku? Apa masih ada yang ingin menghujat? Ayo sini, maki saja aku sesuka kalian!

"Dek, orang tuanya mana? Kenapa naik motor sendirian?" tanya seseorang dari arah belakang.

Kumiringkan sedikit kepala, melihat seorang pria berseragam. Tak tahu dari arah mana datangnya, seketika aku sadar, akan ada masalah baru yang menimpa.

Meski wajah sudah dipoles make up dan tidak berseragam, sepertinya Polisi ini tahu aku masih anak sekolah. Dia pasti sudah melihat aku yang hampir ditabrak truk, ehm bukan aku yang hampir menabrak truk? Entah.

"Dek, jawab," serunya lagi.

"Em- sibuk, Pak," jawabku asal.

"Berikan nomor ponsel orang tuamu." Bapak Polisi mengeluarkan ponselnya dari saku baju.

Sudah kuduga, astaga!

"Tolong, Pak! Tidak usah beri tahu orang tuaku, aku janji setelah ini tidak akan naik motor sendiri lagi!" Aku memohon dengan wajah meringis. Toh sebentar lagi tujuh belas tahun, bisa buat SIM dan berkelana sesuka hati.

Bukannya mengundang belas kasih dari Polisi ini, malah dipelototi, alih-alih ia berceramah panjang kali lebar. Jangan harap kalbuku terketuk, yang ada malah semakin mendongkol.

Dengan berat hati, aku memberikan nomor ponsel Ayah. Yah, tidak mungkin nomor Ibu. Bisa-bisa ia murka dan mengirimku ke neraka kalau tahu anaknya membuat kekecauan sementara ia sendiri sedang kacau.

Polisi itu lekas menelepon Ayah, mereka bicara banyak, aku duduk menunggu dan pura-pura tak dengar, lalu menatap sekeliling, rupanya beberapa orang kepo masih memperhatikan gelagatku yang dicekal. Sedangkan truk tadi sudah berlalu.

Tak mau lagi sorot mata bertemu dengan tatapan orang-orang itu, aku memilih menengok kaki yang terasa ngilu, rupanya ada memar dan goresan di sana, selop pun ikut terkelupas.

Ah! Selop baruku.

Sebentar lagi, hanya tinggal beberapa detik menunggu bom kemarahan Ayah akan meledak, aku hanya perlu siap telinga dan kuat hati untuk mendengar segala umpatan.

"Dek, kamu ke tempat tujuan naik kendaraan umum saja, sepeda motor ini ayahmu yang jemput," ujar pak Polisi usai menelepon Ayah. Mendengar ucapannya aku sedikit heran, kupikir Ayah akan lepas tangan atau bahkan menyuruh anaknya di penjara saja. Setidaknya sekarang legah sudah.

"Baik!" pungkasku yang lekas beranjak dengan langkah tertatih, kakiku sakit tiap kali menapak, apa keseleo?

Beberapa langkah menjauh dari pak Polisi, aku menunggu angkot lewat. Tak berselang lama mobil yang di pintunya ada kenek bergelayut berhenti, aku lekas masuk menjadi penumpangnya, lumayan berdesakan dengan penumpang lain.

Syukur sekali tak ada drama tambahan hingga sampai di gerbang sekolah, cepat-cepat kusodorkan uang sewanya dan bergerak turun.

Ada banyak sekali kenderaan roda dua dan roda empat memenuhi parkiran, tetapi halaman sekolah terlihat lenggang, pasti mereka sudah masuk ke aula.

Benar saja, semakin langkah kakiku mendekati gedung bercat serba putih, terdengar suara pemandu acara dari sound system, kulirik lagi jam ponsel sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Yah, aku terlambat.

Dengan langkah terseok-seok dan wajah meringis menahan sakit, aku menaiki tiga anak tangga, lalu masuk ke dalam aula. Mencari-cari keberadaan Rara di antara banyaknya orang.

Beberapa murid dan wali murid yang menyadari kedatanganku menatap penuh tanya. Hanya kubalas dengan cengar-cengir.

"Ra, kamu sebelah mana? Aku udah nyampe," ucapku, ketika panggilan telepon tersambung.

"Ya ampun, Alika … kenapa enggak dua atau tiga jam lagi kamu ke sini? Atau sekalian acaranya dah kelar!" cibir Rara.

"Berisik! Buruan kamu di mana? Coba berdiri," tuturku yang celingak-celinguk.

Di antara deretan kursi siswa, Rara yang memakai kebaya merah muda terlihat berdiri, polesan make up-nya cetar membahana, aku hampir tak mengenali sahabatku itu, tangannya melambai-lambai, bisa kutangkap gerakan bibirnya memanggil namaku berulang kali tanpa suara.

Aku bergegas menghampiri Rara. Benar saja katanya, ia memang sudah menyiapkan bangku kosong, aku langsung terhenyak dan melenguh di atas tempat duduk. Payah sekali rasanya menghadapi pagi ini.

"Lah, itu pipimu kenapa? Kok merah-merah kayak darah? Apa konsep make up-mu?" tanya Rara yang mendelik.

Konsep make-up apaan? Apa pipiku ikut lecet juga? Tapi sama sekali tidak terasa sakit selain kaki yang memar.

Pertanyaan Rara itu membuat tanganku menyentuh kedua pipi, baru terasa ada sensasi perih di kulit pipi sebelah kiri.

"Aku habis jatuh dari motor," bisikku.

"What? Jatuh ... kok bisa?" kedua bola mata Rara yang kini sudah berwarna abu-abu, mirip lensa kucing semakin membulat.

Karena Rara sangat penasaran, aku ceritakan masalah apa saja yang sudah menimpaku hingga telat datang. Spontan ia memasang wajah seiba mungkin, aku akui Rara memang pandai menempatkan diri sebagai lawan bicara.

"Alika Hamira …." Namaku dipanggil, sangat jelas terdengar dari sound.

Aku menatap Rara, pun dengannya menatapku balik dengan gerakan kedua bahu yang diangkat. Kupikir ia dengar kalimat sebelum namaku disebut, nyatanya tidak.

"Alika Hamira, dipersilahkan maju ke depan untuk menerima hadiah dan memberikan pesan-kesan untuk teman-temannya," ujar pemandu acara lagi.

"Aku? Memangnya aku kenapa, Ra?" tanyaku masih dengan kebingungan.

"Mana kutahu, enggak dengar tadi, kamu ngomong juga sih. Maju saja sana! dapat hadiah loh, katanya," tutur Rara.

"Tapi-"

"Igh … sana!" Rara mendorongku.

Melangkah di tengah kerumunan orang membuatku canggung, nyaris lupa dengan kaki yang sakit. Aku yakin saat ini sedang menjadi sorotan dari ratusan pasang mata. Malu? sudah pasti. Apalagi selop dan kebayaku tak lagi karuan.

Agar terlihat wajar, aku mengatur nafas, mencoba tenang dan sedikit tersenyum, kutahan saja seperti itu. Sorak-sorai dan tepukan tangan mengiringi langkah hingga menapaki latar yang posisinya lebih tinggi.

"Selamat untuk Alika Hamira, menjadi lulusan terbaik tahun ini, dengan nilai hampir sempurna. Semoga cendera mata dari sekolah memberi kesan baik untuk perjalanan menuntut ilmu ke jenjang selanjutnya, silahkan di terima," ucap pemandu acara dengan lugas.

Tak lama dari itu, Wali kelas dan Kepala Sekolah menghampiri, aku masih mematung, sebuah selempang hitam dengan tulisan warna keemasan digantungkan Kepala Sekolah di bahuku, bingkisan biru pun diserahkan oleh Wali kelas.

Tepuk tangan kembali menggema. Mungkin saja mereka mengira aku orang paling bahagia saat ini, meski nyatanya tak begitu.

Harusnya ada Ibu dan Ayah di deretan kursi para orang tua, menatap haru anaknya diberi penghargaan. Aku ternanar, nyaris ingin menangis.

Cepat-cepat kuhempas pilu itu, lantas bersiap menuju podium, menyampaikan beberapa kalimat pesan dan kesan, hingga manik mataku tertegun, lidah keluh saat melihat sosok yang berdiri di kejauhan sana.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!