Ayah menyapu wajahnya, lantas mengatur posisi duduk bersila di atas karpet, aku masih menunggu kalimat apa yang akan ia utarakan.
Banyak persepsi menggelantung di kepala ini, dari mimik ayah sepertinya ada hal serius. Apa mungkin ayah akan bercerita masalah antara ia dan Ibu? Atau ... membahas ulahku di jalan tadi pagi?
"Bicara saja, Ayah!" seruku yang kian penasaran.
"Alika … terima kasih, Nak. Kamu sudah jadi anak berprestasi, ayah bangga sama kamu," tutur lelaki yang garis mata dan hidungnya serupa denganku.
Jadi, hanya ucapan itu yang sejak tadi ingin disampaikan? Tapi kenapa seperti kesusahan sekali untuk bicara?
Walau demikian, mendengar ucapan Ayah hatiku terasa lega. Syukur sekali ia tidak marah, seperti yang kukira.
"Tapi-" lanjut Ayah, ucapannya menggantung, dahinya menampakkan garis-garis kerutan. Apa lagi yang sedang menggangu pikirannya?
Senyumku hendak mengembang kembali terkatup, ku urungkan niat hati ingin bersorak gembira.
Rupanya pujian tadi baru permulaan, bukan inti dari apa yang ingin Ayah sampaikan? kalau seperti ini romannya sih bukan kabar baik.
"Ayah minta maaf, Alika. Untuk sementara … kamu menganggur dulu. Tahun depan baru daftar kuliahnya," ucap Ayah begitu pelan, nyaris tidak bisa kudengar.
Kalimat tanpa teriakan itu seakan menusuk jantung, ada setitik kecewa merambat hingga ke hulu hati. Aku tergugu dengan mata mendelik padanya, seakan tak percaya dengan ucapan Ayah, lantas ku buang tatap pada gulungan ombak kecil di kejauhan sana. Deburnya serupa dengan gemuruh di dada ini.
Ingin marah? Sudah pasti!
Kenapa bisa seperti itu, bukankah sekarang pekerjaan Ayah sudah lebih baik? Gajinya bahkan bisa menyekolahkan 2 orang anak sekaligus. Apalagi sekarang, kalau malam ayah narik ojek online. Pasti uangnya lebih dari cukup.
"Tapi, Ayah … aku sudah menyiapkan berkasnya, malah sudah daftar online dan aku lulus sesuai jurusan yang aku pilih," kilahku, berharap ada keajaiban merubah keputusan tak adil ini.
Lagi-lagi Ayah menarik nafas panjang, membuangnya kasar lewat mulut. Aku masih menatapnya murung, agar ia tahu anaknya ini sangat kecewa.
"Alika … ayah tahu, Nak … kalau kamu akan keberatan. Tapi, sungguh saat ini ayah tidak punya uang cukup untuk biaya kamu masuk universitas," tandas Ayah. Kali ini nada bicaranya terdengar seakan sedang memohon.
"Ayah kan sudah punya kerjaan tetap, gajinya juga gede," ujarku ketus.
Jelas-jelas ucapan Ayah tadi tidak bisa dicerna kepalaku. Bagaimana bisa uangnya tidak cukup?
"Iya, Nak. Tapi-"
"Tapi apa, Ayah?" selaku. Tersulut emosi membuat nada suaraku naik beberapa oktaf. Bisa kulihat reaksi Ayah yang terkejut.
"Maaf, Nak. Untuk tahun ini ayah belum bisa, apa tidak ada jalur beasiswa, kamu kan berprestasi," tutur Ayah dengan negosiasinya.
"Lambat daftar," jawabku sebal.
Ayah tak lagi bicara, ia menarik tubuhnya bersandar di pagar gazebo, lalu merogoh saku celana, mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api. What?
Baru sekali ini aku melihatnya menyulut sebatang rokok, sebenarnya hal apa yang membuat Ayah jadi seperti ini?
Tak bisa dielak lagi, ada banyak pikiran negatif tentang Ayah mulai bermunculan di benakku.
Ayah pasti sudah menghambur-hamburkan uangnya untuk kepentingan sendiri, makanya Ibu selalu marah-marah di rumah, atau malah lebih parah, mungkinkah Ayah punya wanita lain?
Astaga! Kalau begini jadinya, aku lebih suka hidup serba cukup kayak dulu, asal bergelimang perhatian dan cinta Ayah, daripada karirnya sukses malah membentang jarak dan merubah kehangatan menjadi panas.
Tak tahu kenapa melihat tingkah Ayah yang sesekali mengepulkan asap itu membuatku dongkol. Selain aroma asapnya bikin sesak, aku teramat jengkel.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan, seorang pelayan datang membawa baki berisi pesanan aku dan Ayah. Wanita itu menata piring dan gelas dengan hati-hati ke atas meja, lalu lekas meninggalkan kami yang masih membisu.
Makanan favorit tersaji menarik, tetapi tidak lagi membuatku berselera, tadinya kupikir makan siang kali ini jadi awal dari momen manis, nyatanya malah kian menambah sesak di dada.
"Ayo makan!" seru Ayah yang buka suara lebih dulu.
Untuk mengambil garpu saja tangan ini rasanya berat sekali, harus mengumpulkan kekuatan dan merayu diri sendiri dulu. Kalau saja tidak lapar, mana mau aku makan sementara suasana hati sedang berantakan.
Ayah yang hanya memesan secangkir kopi, duduk tertunduk seperti tadi pagi di marahi ibu, sesekali ia menyesap rokok yang hampir pupus.
Dengan malasnya aku menyuap sendok demi sendok mie, kali ini terasa hambar di lidah, perutku begitu cepat merasa kenyang.
Kucoba menyeruput es coffe Avocado. Lumayan, rasa dingin es, dan aroma lembut alpukat bercampur kopi sedikit merilekskan ketegangan di kepala.
"Kenapa makannya tidak habis?" tanya Ayah, ketika melihatku mendorong piring yang menyisakan setengah porsi mie.
"Kenyang," jawabku sekenanya, aku masih marah, tidak ingin banyak basa-basi.
"Kalau begitu ayah makan, yah? Daripada mubazir, kan?" tanya Ayah, sekilas kulirik ia tersenyum.
"Terserah saja." Aku sengaja bersikap ketus.
Lebih baik menatap deretan gedung di bawah sana, meski matahari sedang panas-panasnya, pusat kota terpantau sangat ramai, hilir-mudik kendaraan tak henti-hentinya bagaikan barisan para semut.
Terlintas di benak jika tidak kuliah tahun ini, lantas mau bagaimana, mendekam di rumah mendengarkan racauan Ibu? Ah … yang benar saja.
Kemana larinya uang-uang Ayah yang begitu banyak? Habis untuk membeli kepentingan Naca, sangat tidak mungkin. Berapa sih harga sufor, diaper dan kawan-kawannya itu?
Pandanganku berganti menyusuri sisi kanan resto, dimana pengunjung lain begitu menikmati makan siangnya sembari sesekali tersenyum hangat.
Sepertinya aku saja yang kurang beruntung di sini. Kebahagiaan hanya sekedar menyapa, lalu enyah, meninggalkan banyak kepingan luka baru.
"Enak loh, mie-nya," kata Ayah, wajahnya semringah, lantas kembali mengunyah mie yang masih tersisa di mulut.
Bak kerasuka jin lapar, Ayah begitu cepat menghabiskan sisa makananku, tandas tak tersisa meski hanya secuil bawang goreng. Tapi mie goreng seafood di sini memang seenak itu sih.
"Emmmmh," gumamku dengan senyuman tertahan.
"Lain kali kita makan lagi di sini, ajak ibu sama Naca juga," tutur Ayah.
Aku tak menolak ataupun setuju dengan ide Ayah itu. Saat ini aku hanya memikirkan bagaimana caranya agar tetap bisa kuliah.
"Ayah … memangnya uang ayah ke mana semua?" tanyaku memberanikan diri, mencari tahu urusan orang tuaku.
Sebelumnya aku tak mau tahu, asal uang jajan dan keperluan sekolah terpenuhi. Namun, kali ini harusnya ayah memberi penjelasan yang bisa ku terima dengan lapang dada.
Air muka Ayah seketika berubah, tadinya ceria, detik ini malah sekelam kabut. Sebenarnya apa susahnya jujur sama anak sendiri? Aku tidak bisa bertelepati apalagi mengartikan gurat wajahnya itu.
"Apa Ayah punya wanita simpanan?"
Mendengar pertanyaan itu seketika kedua mata Ayah terjegil.
"Kenapa bertanya seperti itu, Alika? Apa ayahmu ini terlihat seperti seorang pecundang? Apa kamu merasa ayahmu laki-laki seperti itu? Apa kamu pernah melihat ayah dengan wanita lain?" tutur Ayah yang menghujaniku dengan pertanyaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments