EGO

EGO

AKU BENCI KAU!

Aku menarik diri dari kerumunan orang-orang berpakaian mewah yang hadir di pesta ulang tahun Teo.

Dia adalah kakak laki-laki yang selalu diagung-agungkan oleh kedua orang tuaku.

Mereka bilang, dia memiliki kepribadian baik, dan cakap dalam segala hal.

Wajah tampan yang didukung rambut hitam sepanjang bahu dan postur tubuh tingginya semakin membuat Teo digandrungi. Layaknya tokoh komik yang terlahir di dunia 3D.

Semua kelebihannya hanya membuatku semakin membencinya. Rasa iri dalam hatiku semakin hari semakin besar. Yang lebih menyebalkan lagi adalah kenyataan bahwa ia bukan kakak kandungku.

Muak melihat senyum palsu dari wajah para penjilat itu, aku memilih angkat kaki dari sana.

Langkahku terhenti pada ruangan yang aku desain agak gelap. Hanya ada beberapa alat olah raga di dalam sana.

Aku melepas kancing kemeja di pergelangan tanganku, kemudian melipat hingga ke siku. Aku mengambil posisi, mengepalkan kedua tanganku untuk kemudian menghantam samsak di hadapan.

Memoriku memutar ulang kejadian di mana ulang tahun kami benar-benar berbanding terbalik. Ulang tahun Teo dipenuhi tawa, kebahagiaan, sementara tak ada seorang mengingat ulang tahunku.

Sepele memang. Namun entah kenapa aku masih merasa sakit hati bila mengingat itu.

Ayah dan Ibu? Mereka tentu saja sibuk dengan pekerjaan mereka.

Tentu saja. Siapa yang akan mahu merayakan ulang tahun gadis yang konon lahir di tanggal pembawa sial.

Semua ini berawal dari dukun yang mengatakan bahwa aku lahir di tanggal yang salah.

Aku hanya akan membawa sial pada keluargaku. Dengan begitu, orang tuaku diharuskan mengadopsi seorang anak laki-laki.

Tidak, aku lebih suka menggunakan kata 'memungutnya'.

Persetan dengan alasan ia diadopsi untuk menyelamatkan kehidupan keluarga kami yang sial karena aku, aku tetap membencinya.

Ibuku bilang, mengadopsi Teo adalah sebuah berkah bagi keluarga kami. Saat aku lahir, keluargaku nyaris bangkrut, namun berbanding terbalik setelah Teo hadir dalam keluarga kami. Bisnis kedua orang tuaku meroket dengan cepat.

Omong kosong macam apa itu? Siapa yang akan percaya hal-hal tidak berdasar seperti itu? Semua cerita ibuku bukannya membuatku semakin menyayangi Teo, namun justru membuatku terlempar dan tersudut dalam ruangan yang begitu gelap tanpa ada seorangpun memandangku.

Krekk

Terdengar seseorang membuka pintu. Bisa aku tangkap melalui ekor mataku seseorang berdiri di ambang pintu.

Aku tak acuh. Sibuk dengan samsak yang telah aku pukul puluhan kali. Sembari sesekali menyeka keringat di keningku.

"Kenapa kau di sini?" Ia mendekat. Seperti biasa aku enggan menanggapi sosok ini.

Aktivitas ku terhenti saat rasa nyeri menyergap di bagian perutku. Ya, salah satu alasanku benci menjadi wanita.

"Kau tidak apa-apa?"

Aku tahu dia hanya pura-pura iba padaku. Namun, aku bukan sosok yang senang untuk dikasihani.

Aku menatap tajam padanya. Memberikan isyarat untuk tidak pernah mendekat atau bahkan berani menyentuh.

Selang beberapa detik, sosok itu membuka jasnya kemudian mengikatnya di pinggangku.

Aku mengernyit heran bercampur kesal.

"Lepaskan!" Aku berusaha berontak.

"Aku tahu kau sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Gantilah pakaianmu dan celanamu. Sebelum orang lain melihatnya." Ia memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana setelah berhasil mengikat jasnya di pinggangku.

Sial! Aku mengerti apa maksudnya. Dia pasti melihat bercak merah pada celanaku.

"Berhenti berpura-pura baik padaku. Aku tetap membencimu." Kataku tegas sembari membuka ikatan itu. Teo menahan tanganku.

"Lepaskan. Aku benci kau. Aku benci kalian semua!"

Bug!

Aku melesatkan satu pukulan di dadanya. Ia tampak terkejut, namun enggan membalas.

"Kenapa kau harus ada di hidupku?! Aku benci! Kau mendapatkan semua. Warisan, perhatian! Tapi aku? Aku sendirian! Kenapa semua anggap aku lemah?! Kau selalu dianggap penyelamat, sementara aku? Pembawa sial! Aku bisa kok sekuat dirimu! Aku benci jadi permpuan!" Tampaknya pada kesempatan kali ini aku berhasil meluapkan segala kekesalan yang selama ini aku pendam.

Aku terus memukul dada, lengan dan sesekali menendangnya dengan brutal.

"Tenangkan dirimu Emma. Kau harus bisa mengontrol dirimu." Ia mencoba menahan kedua tanganku. Nada bicaranya masih tetap terkontrol. Lembut dan menenangkan. Namun rasa benciku padanya terlanjur melebihi segalanya.

Aku menghempaskan kedua genggamannya.

"Kau bilang begini karena kau tidak merasakan seperti apa menjadi perempuan! Aku selalu merasakan sakit tiap bulan! Kau tidak tahu seperti apa menstruasi! Belum lagi mereka memaksaku menikah! Karena mereka tidak ingin aku di sini kan?! Mereka ingin membuangku?! Aku akan sibuk menjaga suami yang akan menginjak-injakku! Melahirkan anak bertaruh nyawa! Sementara kau? Kau di sini menikmati semua ini!"

Nafasku terengah-engah setelah mengeluh tanpa jeda sembari sesekali menunjuk ke wajahnya.

"Pukul aku sesukamu." Kali ini ia menatapku dengan serius. Tangannya memberi isyarat agar aku mengontrol nafasku. Memintaku agar aku lebih tenang.

Aku menghela nafas dalam-dalam. Untuk beberapa detik situasi hening. Dia sangat sabar. Meski aku sudah memukulinya, tapi dia sama sekali tidak membalas. Aku cukup salut dengan dirinya. Begitulah pikirku.

BUG!

Tidak! Kita tidak akan pernah damai. Kali ini aku melayangkan pukulan terakhir ku tepat di pipi kirinya. Ia sedikit terhuyung.

Aku menyunggingkan bibirku, puas. Kali ini aku berhasil memberikan pukulan keras. Sudut bibirnya mulai mengalirkan darah.

"Lawan aku! Tunjukkan siapa yang lebih kuat! Kau pasti berpikir pukulanku sangat lemah kan sampai-sampai kau sama sekali tidak membalas."

Aku menatapnya penuh kebencian. Mencoba menantangnya karena sekali lagi aku tidak ingin dianggap lemah.

Sepersekian detik kami beradu pandang. Tidak ada sepatah kata darinya. Ia bahkan tidak melihat ke arahku.

"Tidak usah menemuiku lagi!" Kata ku lalu meraih jas yang semula kuletakkan di atas sofa untuk kemudian pergi meninggalkannya.

"Cih." Terdengar Teo berdesis. Aku melirik. Jempol tangannya menyeka darah dari robekan bibirnya. Kemudian ia menyunggingkan sudut bibir itu. Meski ia tak memandangku, namun senyumnya cukup meledekku.

Aku cukup terkejut saat ia tiba-tiba saja menyudutkanku ke dinding.

"Kau tidak tahu kan bagaimana jadi lelaki? Mereka dipaksa harus menahan air matanya. Di paksa untuk selalu lebih kuat dari yang lainnya."

Kami beradu pandang. Jarak wajah kami hanya beberapa senti. Kali ini tatapannya begitu sayu. Nada bicaranya masih sama, tidak tinggi namun terasa begitu dalam.

Namun, aku tetap tidak peduli. Aku tidak ingin mendengar semua omong kosongnya. Karena tak ada respon dariku, ia lantas melepaskan tubuhku. Kemudian meninggalkan aku tanpa sepatah kata.

Aku menghela nafas. Masih cukup terkejut atas tindakannya. Bagiku, tidak ada yang sulit menjadi laki-laki sejauh ini.

Selama ini aku selalu berpenampilan layaknya laki-laki. Tubuhku memang tidak seberapa tinggi, namun dengan kulit putih, hidung tajam, mata lebar, bibir mungil rambut lurus yang aku poting pendek persis bergaya wolf cut ini cukup membuatku terlihat tampan dan manis.

Bukan tanpa alasan, aku ingin seperti Teo. Meski begitu, selera berpakaian kami berbeda. Teo cenderung lebih bergaya formal. Sementara aku lebih casual.

Aku ingin menepis semua mitos yang mengatakan bahwa aku adalah anak pembawa sial dan lemah.

Teo memang tidak pernah terlihat membenciku. Dia selalu memperlakukanku layaknya seorang adik perempuan.

Aku ingat betul saat pertama kali kedatangan tamu bulananku. Teo, dia adalah satu-satunya orang yang ada menjagaku saat ibu terlalu sibuk. Dia memberanikan diri membelikan aku pembalut. Ia bahkan begitu serius mengajariku bagaimana cara menggunakannya setelah ia mencari tahu diinternet.

Padahal, pada saat itu aku sendiri tidak peduli. Jika banyak gadis seusiaku bahagia mendapatkan hari pertamanya, Aku justru begitu terpukul mengetahui kenyataan aku benar-benar seorang perempuan.

Berbekal alasan itu, aku membulatkan tekad untuk tetap menjadi sosok gadis yang tangguh. Baik penampilan maupun jiwaku. Karena itu juga, aku mulai merintis bisnisku seorang diri. Membuktikan pada mereka bahwa aku bisa!

Tapi, semua tidak berhenti disitu. Konon aku akan sial dan mati jika di usia 21 tahun aku belum juga menikah.

Ini gila!

Terpopuler

Comments

Sri Astuti

Sri Astuti

kayaknya seruu ini

2023-09-16

0

canyouseeme^^

canyouseeme^^

semangat thor

2023-09-15

1

SUKARDI HULU

SUKARDI HULU

Nih sudah mampir kk, jangan lupa like, follow dan beri hadiah y❣️❣️🙏

2023-09-15

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!