TAWARAN PERNIKAHAN

Aku menaiki bus usai seharian berkutat dengan tugas kampus. Tidak ada alasan khusus, aku hanya senang menggunakan transportasi umum.

Seperti biasa, aku mengikat sembarang setengah bagian rambut pendekku. Hari ini aku menggunakan kaos over size, celana cargo dengan sepatu kets dan tas ransel yang aku selempangkan di bahu kiriku.

Kondisi bus sedang tidak terlalu ramai. Aku mengambil posisi paling belakang. Mengedarkan pandangan keluar jendela hanya untuk sekedar mencuci mata.

Brug!

Dentuman keras tiba-tiba terdengar memecahkan telingaku. Tubuhku terguncang begitu keras. Seperti sebuah batu raksasa baru saja menghantam kepalaku. Terasa berat.

Aku masih belum dapat mencerna situasi saat ini. Semua terjadi begitu cepat. Samar-samar aku melihat sekilingku. Bus ini sudah terbalik, semua kacau. Percikan api mulai terlihat di beberapa bagian.

"Apa aku sudah akan mati? Aku belum 21 tahun." Begitulah gumamku. Aku berusaha bangkit namun tubuhku begitu lemas. Saat ini, aku benar-benar membenci tubuhku yang tergeletak lemas.

Mataku hampir terpejam sebelum akhirnya aku menyadari, aku berada dalam pelukan seseorang yang sama-sama tergeletak bersamaku.

Orang itu, tampak kacau. Ada beberapa darah di bagian wajahnya. Kini ia berusaha bangkit dan menggendongku keluar sebelum kobaran api membesar.

Ia meletakkan tubuhku di tepi trotoar sedikit menjauh dari bus. Tepat setelah itu, ia terpejam. Tampak ia kehabisan tenaga dan tidak sadar diri. Tubuhnya tergeletak di sebelahku.

Aku sempat memandangi parasnya.

Berusaha merekam tiap detik kejadian ini sebelum akhirnya beberapa orang membawa kami ke rumah sakit terdekat.

Dari yang aku ingat, rahangnya tegas, hidungnya tajam. Bulu matanya lentik, begitu juga alisnya yang tebal dan rapi. Kulitnya tidak terlalu putih. Ia memakai setelan kemeja. Jelas dia bukan lagi mahasiswa. Sementara rambutnya yang sebelumnya ia tata rapi tampak sedikit berantakan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Usai mendapatkan perawatan, aku sengaja menghampiri sosok pria yang sempat menyelamatkanku.

Hanya ingin berterimakasih dan memastikan bahwa dia tidak lebih parah dari pada aku. Beruntung aku menemukannya terduduk di koridor. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Kami tidak mengalami cedera berat.

Aku hanya mengalami sedikit cedera di hidung sementara pria itu terluka di beberapa bagian wajah dan kaki.

Pria itu memandangku dari kejauhan saat ia menyadari aku mendekat. Wajahnya tampak ramah. Ia tersenyum padaku.

Aku mengambil posisi duduk di sebelahnya. "Kau ingat aku?"

Pria itu mengangguk. "Kau tidak apa-apa?"

Aku mengangguk. "Aku baik-baik saja. Tapi kau sepertinya lebih parah dibandingkan aku. Tapi aku sangat berterimakasih."

Pria itu menggeleng. Sembari merogoh saku kemejanya.

"Ini." Pria itu menyodorkan kartu namanya. "Aku agak buru-buru. Jika ada yang ingin kau bicarakan hubungi saja."

"Apa kau perlu tumpangan? Aku bisa menelpon keluargaku untuk mengantarmu pulang ketimbang menggunakan angkutan umum." Tawarku setelah melihatnya kesusahan berjalan.

Dia hanya menoleh sembari mengibaskan tangannya. Mengisyaratkan "Tidak perlu repot-repot." Ia lantas pergi meninggalkan aku.

Sepanjang perjalanan ke rumah, aku memperhatikan kartu namanya. Tertulis nama pria itu adalaj Max. Seorang psikolog.

"Dia memberiku kartu namanya. Kalimat terakhirnya tadi seolah-olah dia bisa melihat aku adalah sosok gadis menyedihkan yang perlu berobat padanya. Menyebalkan." Gumamku seorang diri.

Tanpa aku sadari, aku sudah tiba di rumah. Seperti biasa kondisi rumah sepi. Bahkan saat aku seperti ini tidak ada yang peduli juga. Bukankah itu bagus? Aku bisa melakukan semua sendiri.

Luka dibagian kakiku sedikit membuatku kesusahan menaiki tangga menuju kamar. Sialnya aku berpapasan dengan Teo.

Terlihat robek dibagian sudut bibirnya setelah kemarin aku memukulnya.

Ia memandangku untuk beberapa saat. Ekspresinya datar. Kemudian melenggang pergi tanpa mengatakan apa-apa setelah melihat beberapa memar dan plaster di bagian tulang hidungku.

Aku cukup terkejut, sebab tidak biasanya ia seperti ini. 'Apa karena kejadian kemarin? Baguslah jika begitu.' Batinku.

Beberapa detik kemudian aku menoleh. Menatap tajam ke arah punggung Teo yang berjalan menjauh menuruni tangga.

"Jangan bilang dia merasa senang aku begini kan? Dia pasti berpikir kalau aku kena karma setelah kemarin menghajarnya. Aishh menyebalkan!" Gumamku seorang diri.

Beginilah kira-kira jika sudah terlanjur benci. Dia tidak melakukan apapun aku tetap berpikiran buruk padanya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Esok paginya, aku memutuskan pergi ke Klinik sebelum berangkat ke kampus. Tentu saja menemui Max.

Aku membawa sedikit buah tangan sebagai ucapan terima kasihku. Meskipun terkadang aku berpikir ada baiknya aku mati, namun akalku masih berusaha berpikir positif. Lebih baik lagi jika aku masih bisa hidup dan menyingkirkan Teo.

Aku mengetuk pintu sebelum akhirnya seseorang dari dalam mempersilahkan aku masuk.

Aku mendapati Max duduk mengenakan setelan kemeja. Dia tampak gagah jika berseragam dokter seperti ini.

Ia tersenyum padaku. "Masih ingat aku?" Tanyaku sembari membalas senyumnya. Aku meletakkan bingkisan di atas mejanya.

"Tentu saja. Tapi, aku memberimu kartu namaku bukan untuk meminta imbalan." Ia menunjuk bingkisan yang ada di atas meja.

"Aku pikir ini hanya sebuah tata krama. Jika bukan karena ini, lalu apa kau sengaja memberikan aku kartu nama karena aku terlihat menyedihkan?" Gurauku. Tidak, sejujurnya aku agak serius.

Max terkekeh. "Tidak juga. Tapi jika kau ingin bercerita, aku akan mendengarkan." Max kini memposisikan dirinya senyaman mungkin. Ia melipat kedua tangannya di atas meja lalu menatapku dengan antusias.

Gelagatnya seperti seorang kakak yang ingin mendengar cerita anak kecil. Aku sedikit merasa aneh. Baru kali ini aku bertemu orang yang begitu ramah. Tapi entah kenapa aku merasa nyaman.

Banyaknya tugas dan masalah yang menumpuk dipikirkanku, cukup membuatku stress. Itulah mengapa aku tidak ragu untuk mampir ke sini. Aku rasa aku perlu.

Belum lagi ambisiku yang besar memaksa diriku untuk bisa membuat bisnis sendiri. Susah senang aku tampung seorang diri.

Saat tak ada seorangpun disisiku, Max mendengarkan keluh kesahku beserta hal-hal tidak masuk akal itu dengan penuh pengertian. Ia bahkan sama sekali tidak menyudutkanku.

Tibalah saat aku bercerita pada bagian yang tidak masuk akal.

"Mereka bilang, aku akan mati di umur 21 jika aku tidak segera menikah. Ini membuatku gila."

"Lalu apa kau berpikir kejadian kemarin adalah salah satu kesialan itu?" Max meraih tanganku. Mencoba menghentikan pergerakan jariku yang tanpa aku sadari sedari tadi aku mengupas kuku jariku.

Aku mengalihkan atensi padanya. Aku terdiam. Tidak ingin percaya pada prediksi dukun abal-abal itu, namun disisi lain kesialan memang terus menimpaku.

"Bagaimana jika kita menikah?"

Ia menambah deretan hal tidak masuk akal dalam hidupku.

Bagaikan petir. Aku begitu terkejut mendengar tawarannya. Hidupku benar-benar sedang tidak baik-baik saja. Saat aku pikir benar-benar memerlukan pertolongan, saat begitu banyak hal di kepalaku, tiba-tiba saja orang asing yang baru aku temui 24 jam lalu menawarkan pernikahan padaku?

Ini semakin membuatku gila! Tidak. Atau jangan-jangan ini adalah pertolongan dari Tuhan untukku?

"Enteng sekali mulutmu berbicara."

Aku menarik tanganku. Masih belum dapat mencerna situasi.

Max tersenyum. "Aku tahu ini sangat mengejutkan. Tapi, jika kita sudah cocok apa boleh buat?"

"Aku sudah mendengar hampir 70% dari hidupmu pagi ini. Kau suka pedas, kau wanita yang berambisi dan berpendirian kuat. Kau punya kakak laki-laki, ibu, ayah, rumah. Kau suka horor."

"Kau ingin tahu aku? Aku dokter, aku sudah memiliki rumah, aku suka film horor juga. Aku bukan orang yang pilih-pilih dalam hal makan. Jadi aku bisa makan apapun. Aku tinggal seorang diri. Kau memerlukan seseorang untuk mendukung cita-citamu. Memerlukan seseorang untuk menikahi dan melindungi mu. Aku ada di sini. Bukankah kita cocok?"

"Ini gila. Tapi cukup masuk akal." Gumamku. Aku menyadari Max mengangguk-angguk dan tersenyum setuju dengan pernyataanku.

"Aku tampan, dan kau cantik."

"Benar." Deretan kalimat menggiurkan itu seolah membiusku.

"Biaya pernikahan? Aku sudah memiliki semua itu. Kau pasien dan aku dokter. Kau perlu bantuan aku ada. Bagaimana?" Sekali lagi Max semakin menggiringku.

"Kau benar." Hanya sebuah hubungan pasien dan dokter, begitulah pikirku.

Terpopuler

Comments

Sri Astuti

Sri Astuti

wah...🤔🤔🤔

2023-09-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!