Kepalaku terasa berat. Sepertinya tadi malam aku terlalu banyak minum.
Pagi ini aku bersiap untuk melakukan fitting. Ya, semuanya terkesan buru-buru.
Meski aku cukup malas untuk melihat deretan gaun-gaun yang harus aku coba. Namun semua berjalan dengan normal.
Meski begitu, ada satu hal yang cukup membuatku merasa janggal.
Max.
Dia terlihat dingin hari ini. Tidak ada seutas senyum di wajahnya. Bahkan dia nyaris tidak berbicara denganku.
'Apa aku berbuat salah tadi malam?' Bisikku dalam hati.
'Tunggu. Apa karena tadi malam aku sempat berbicara ngelantur dan menyakitinya?' Aku cukup bimbang.
"Apa kau tidak sehat?" Aku memberanikan diri membuka pembicaraan.
"Aku baik-baik saja." Jawabnya singkat. Sial, aku masih belum tahu bagaimana harus mencairkan suasana canggung ini.
Aku menggeleng. 'Tidak. Tidak masalah, bukankah lebih baik jika tidak menikah?' Sedetik kemudian aku kembali menggeleng. Terlalu banyak perdebatan di dalam otakku.
'Tidak. Jika tidak menikah, aku bisa mati sia-sia. Teo tidak boleh hidup bahagia.'
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Lelah dengan fitting hari ini, aku memutuskan menghabiskan waktu di rumah. Aku meraih apel yang di letakkan di atas meja makan.
Ibu yang kebetulan sedang luang pun turut bergabung di meja makan bersamaku. Aku menaikkan kaki di atas kursi kemudian menggigit apel yang ada di genggaman.
"Bagaimana hari ini kegiatannya?"
"Baik-baik aja. Tapi, Max sepertinya sedang tidak sehat."
"Benarkah? Kakakmu juga sedang tidak enak badan. Dia bilang ingin muntah."
"Mungkin mereka kelelahan di acara kemarin." Kataku santai lalu menggigit apel untuk kedua kalinya.
"Muntah?" Gumamku.
Sambil mengunyah, kata 'Muntah' itu memberikan sekelebat kejadian tadi malam dalam memoriku.
Perlahan mataku melebar.
Samar-samar dalam ingatanku, aku melihat sosok Max. Aku ingat pasti berbicara dengannya di roof top.
Saat aku mendekatinya, tiba-tiba semua gelap. Aku berjalan sempoyongan dan menabraknya. Bodohnya aku merasakan bibir kami bertemu.
Plak! Aku menepuk jidatku dengan keras hingga membuat Ibu menoleh.
"BODOH! Emma Bodoh!" Aku histeris menyadari kejadian memalukan kemarin.
"Ada apa Emma?" Ibu menatapku bingung bercampur cemas.
"Apa yang harus aku lakukan?" Keluhku meratapi nasib.
"Apa? Ada apa? Katakan dengan jelas."
Aku balas menatap ibuku dengan resah. Tidak, aku tidak mungkin menceritakan ini padanya.
Lesu, aku memilih menyimpan semua cerita ini dan beranjak meninggalkan Ibu.
"Emma! Emma ada apa nak?" Ibu memanggilku, masih penasaran dengan isi kepalaku. Namun aku tak menggubris.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari ini aku membuat janji temu dengan Max. Meski awalnya aku ragu, namun tidak ada pilihan lain. Aku harus membicarakan dengan baik dan menyelesaikan semuanya.
Aku memilih bangku di sudut cafe. Sengaja agar tidak ada terlalu banyak orang di sekitar kami. Tak berselang lama, aku melihat seorang pria berpakaian rapi memasuki Kafe.
Aku berupaya tersenyum serileks mungkin. Ada sedikit perasaan lega saat Max balas tersenyum padaku.
"Sudah menunggu lama?" Tanyanya memposisikan tubuh di atas kursi. Aku menggeleng.
"Kau rindu aku ya sampai tiba-tiba memaksaku bertemu. Untung saja aku bisa mengatur waktu." Godanya.
Aku menyebikkan bibir. "Sebenarnya bukan itu." Max mengangkat satu alisnya.
"Aku ingin meminta maaf karena kejadian di malam pertunangan kita. Aku agak mabuk jadi hilang kendali. Kata-kata dan tingkahku itu semua ketidak sengajaan jadi maafkan aku." Aku menundukkan kepala menyesal. Belum menjadi istri saja aku sudah begitu lancang. Pantas saja dia kesal.
"Karena itu? Lupakan, semua sudah terjadi."
"Angkat kepalamu." Imbuhnya.
Agak ragu, aku mengangkat kepalaku. Max menatapku dengan senyuman tipis. Entah mengapa aku merasa dia masih menyimpan kesal. Namun begitu, setidaknya aku cukup lega dia memaafkanku.
Tepat setelah itu, hidangan yang aku sebelumnya sudah kupesan datang. Aku mempersilahkan Max untuk menikmati hidangan.
"Tolong jangan perhatikan aku makan." Kataku sebelum menyendok.
"Kenapa?"
"Aku hanya tidak suka jika kau bersikap romantis seperti dalam drama. Itu menggelikan."
"Tapi bukankah itu wajar? Kita sudah akan menikah."
"Tapi kita menikah bukan karena kita jatuh cinta. Lagi pula, kenapa kau tiba-tiba mau menikahi ku?"
"Oh, jadi kau tidak jatuh cinta." Max menatapku bergeming. Nada bicaranya terdengar tidak percaya.
"Aku cukup kecewa." Max buang muka.
"Sejujurnya aku jatuh cinta padamu sejak awal kita bertemu." Ia melirikku. Kalimatnya cukup membuatku nafsu makan ku hilang. Ini adalah pertama kalinya seseorang mengatakan menyukaiku.
Aku berdeham, situasi sangat canggung.
"Tapi, tidak apa-apa. Lama-lama kau akan menyukaiku." Lanjutnya, lengkung bibir itu seolah mengatakan 'Aku tidak memerlukan jawabanmu'.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tanpa aku sadari aku telah membuat gunungan baju kotor di kamar akibat jadwal padat belakangan ini.
Aku membawa tumpukan baju kotor ke mesin cuci.
"Ewh, pasti dia mabuk jorok sekali tidak langsung di cuci." Aku menendang keranjang baju milik Teo. Terdapat bekas muntahan di atas jasnya.
Aku yakin itu adalah jas yang ia kenakan saat pertunanganku. Ya, hiasan baju tergambar jelas dalam ingatanku.
Mataku perlahan melebar. Sekelebat ingatan tentang malam itu kembali muncul. Tunggu. Hiasan dan jas itu.
Aku menggeleng. "Tidak. Tidak mungkin itu dia!" Aku bergumam seorang diri. Berusaha menepis kenyataan.
"Tenang Emma. Coba kita ingat kembali baik-baik." Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri.
Dalam ingatan itu, aku ingat jelas semua aku bertemu Max. Namun Max tidak menjawab pertanyaanku.
Saat itu seseorang menarik tanganku. Menyudutkan tubuhku ke dinding. Karena kepalaku begitu berat aku bahkan tidak tahu siapa itu. Aku mendengar dua orang sedang berdebat.
"Jangan pernah menyentuhnya sebelum dia menjadi milikmu sepenuhnya."
Kemudian semuanya gelap. Aku berusaha mencari jalan keluar. Nahas, kakiku terhalang sesuatu dan membuat tubuhku terhuyung.
Aku merasakan sesuatu yang hangat. Bibir kami bertemu. Tubuhku terjatuh di atas pelukan seseorang.
Huwekk
Aku tidak dapat menahan gejolak di dalam perutku dan memuntahkan semua. Ya, tepat di atas mulut orang itu.
Tak berselang lama, lampu menyala. Samar-samar aku melihat pin yang sama persis pada jas milik Teo. Tidak, bahkan motif dari kemejanya juga saat ini aku dapat melihatnya dengan jelas.
Aku membongkar isi keranjang cucian Teo, mencoba memastikan tidak ada kemeja motif bunga itu di dalam keranjang.
"TIDAK!" Aku menendang keranjang itu saat aku benar-benar melihat kemeja itu di sana.
Kakiku terasa lemas. Aku terduduk loyo di samping mesin cuci. Tanganku menjambak kepalaku, frustrasi. Aku menggeleng.
'Harga diriku. Tidak, bagaimana aku akan bertemu dengannya. Ini sangat memalukan.'
Kemeja itu membuatku trauma. Aku tak tahan dan berlari menjauh keluar dari sana.
Bruk!
Kali ini wajahku menghantam sesuatu. Sedikit berbulu namun beraroma wangi sabun mandi.
Sialan. Ketiak Teo!
"AAA! Apa-apaan kau ini!" Pekikku kaget.
"Airnya mati ya? Perih nih" Tanyanya santai. Lagi-lagi ia bersikap 'Bodo Amat' dan seperti tidak terjadi sesuatu.
Matanya sedikit terpejam, sibuk menahan tetesan shampo agar tidak masuk.
Sementara kedua tangannya di angkat ke atas kepala memijat rambut. Memamerkan otot tangan dan ketiaknya.
Ia hanya membalut tubuh dari bagian pusar ke bawah.
"Tidak Tahu!" Kataku kesal sambil mendorongnya menyingkir dari jalanku. Ia menatapku aneh.
Aku balas meliriknya dengan kesal lalu pergi. Mengapa semesta begitu senang memposisikan kami pada situasi canggung seperti ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Gila! Terus bagaimana reaksinya?" Lauren begitu antusias mendengarkan ceritaku tentang Teo.
"Itu dia. Kok dia biasa saja ya? Seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi, dia bilang dia beberapa hari ini tidak mau makan. Apa karena ingat muntahanku ya?"
"Parah! Kau sih ada-ada saja! Ciuman itu pakai cara yang bagus sedikit dong."
"Brengsek! Nih ya, kalau waktu bisa diulang, lebih baik aku melempar muntahan ku ke wajahnya langsung ketimbang menyuapinya pakai mulutku." Protesku pada Lauren.
Ia terkekeh geli melihat reaksiku.
"Beruntung kau dapat calon suami yang sabar. Meski dia tahu tapi dia tidak menelanmu saat itu juga kan." Lauren kini berbalik menceramahiku.
"Hai Audrey." aku mengalihkan perhatianku pada Audrey yang baru saja memasuki kelas. Ada yang mengusik batinku saat Audrey tidak membalas sapaanku.
Tidak seperti biasanya. Aku menatap penuh tanya pada Lauren.
Lauren mengedikkan bahu. "Tidak dengar mungkin." Bisiknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Sri Astuti
waduh..ciumannya sm Teo
2023-09-16
0