Aku menarik diri dari kerumunan orang-orang berpakaian mewah yang hadir di pesta ulang tahun Teo.
Dia adalah kakak laki-laki yang selalu diagung-agungkan oleh kedua orang tuaku.
Mereka bilang, dia memiliki kepribadian baik, dan cakap dalam segala hal.
Wajah tampan yang didukung rambut hitam sepanjang bahu dan postur tubuh tingginya semakin membuat Teo digandrungi. Layaknya tokoh komik yang terlahir di dunia 3D.
Semua kelebihannya hanya membuatku semakin membencinya. Rasa iri dalam hatiku semakin hari semakin besar. Yang lebih menyebalkan lagi adalah kenyataan bahwa ia bukan kakak kandungku.
Muak melihat senyum palsu dari wajah para penjilat itu, aku memilih angkat kaki dari sana.
Langkahku terhenti pada ruangan yang aku desain agak gelap. Hanya ada beberapa alat olah raga di dalam sana.
Aku melepas kancing kemeja di pergelangan tanganku, kemudian melipat hingga ke siku. Aku mengambil posisi, mengepalkan kedua tanganku untuk kemudian menghantam samsak di hadapan.
Memoriku memutar ulang kejadian di mana ulang tahun kami benar-benar berbanding terbalik. Ulang tahun Teo dipenuhi tawa, kebahagiaan, sementara tak ada seorang mengingat ulang tahunku.
Sepele memang. Namun entah kenapa aku masih merasa sakit hati bila mengingat itu.
Ayah dan Ibu? Mereka tentu saja sibuk dengan pekerjaan mereka.
Tentu saja. Siapa yang akan mahu merayakan ulang tahun gadis yang konon lahir di tanggal pembawa sial.
Semua ini berawal dari dukun yang mengatakan bahwa aku lahir di tanggal yang salah.
Aku hanya akan membawa sial pada keluargaku. Dengan begitu, orang tuaku diharuskan mengadopsi seorang anak laki-laki.
Tidak, aku lebih suka menggunakan kata 'memungutnya'.
Persetan dengan alasan ia diadopsi untuk menyelamatkan kehidupan keluarga kami yang sial karena aku, aku tetap membencinya.
Ibuku bilang, mengadopsi Teo adalah sebuah berkah bagi keluarga kami. Saat aku lahir, keluargaku nyaris bangkrut, namun berbanding terbalik setelah Teo hadir dalam keluarga kami. Bisnis kedua orang tuaku meroket dengan cepat.
Omong kosong macam apa itu? Siapa yang akan percaya hal-hal tidak berdasar seperti itu? Semua cerita ibuku bukannya membuatku semakin menyayangi Teo, namun justru membuatku terlempar dan tersudut dalam ruangan yang begitu gelap tanpa ada seorangpun memandangku.
Krekk
Terdengar seseorang membuka pintu. Bisa aku tangkap melalui ekor mataku seseorang berdiri di ambang pintu.
Aku tak acuh. Sibuk dengan samsak yang telah aku pukul puluhan kali. Sembari sesekali menyeka keringat di keningku.
"Kenapa kau di sini?" Ia mendekat. Seperti biasa aku enggan menanggapi sosok ini.
Aktivitas ku terhenti saat rasa nyeri menyergap di bagian perutku. Ya, salah satu alasanku benci menjadi wanita.
"Kau tidak apa-apa?"
Aku tahu dia hanya pura-pura iba padaku. Namun, aku bukan sosok yang senang untuk dikasihani.
Aku menatap tajam padanya. Memberikan isyarat untuk tidak pernah mendekat atau bahkan berani menyentuh.
Selang beberapa detik, sosok itu membuka jasnya kemudian mengikatnya di pinggangku.
Aku mengernyit heran bercampur kesal.
"Lepaskan!" Aku berusaha berontak.
"Aku tahu kau sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Gantilah pakaianmu dan celanamu. Sebelum orang lain melihatnya." Ia memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana setelah berhasil mengikat jasnya di pinggangku.
Sial! Aku mengerti apa maksudnya. Dia pasti melihat bercak merah pada celanaku.
"Berhenti berpura-pura baik padaku. Aku tetap membencimu." Kataku tegas sembari membuka ikatan itu. Teo menahan tanganku.
"Lepaskan. Aku benci kau. Aku benci kalian semua!"
Bug!
Aku melesatkan satu pukulan di dadanya. Ia tampak terkejut, namun enggan membalas.
"Kenapa kau harus ada di hidupku?! Aku benci! Kau mendapatkan semua. Warisan, perhatian! Tapi aku? Aku sendirian! Kenapa semua anggap aku lemah?! Kau selalu dianggap penyelamat, sementara aku? Pembawa sial! Aku bisa kok sekuat dirimu! Aku benci jadi permpuan!" Tampaknya pada kesempatan kali ini aku berhasil meluapkan segala kekesalan yang selama ini aku pendam.
Aku terus memukul dada, lengan dan sesekali menendangnya dengan brutal.
"Tenangkan dirimu Emma. Kau harus bisa mengontrol dirimu." Ia mencoba menahan kedua tanganku. Nada bicaranya masih tetap terkontrol. Lembut dan menenangkan. Namun rasa benciku padanya terlanjur melebihi segalanya.
Aku menghempaskan kedua genggamannya.
"Kau bilang begini karena kau tidak merasakan seperti apa menjadi perempuan! Aku selalu merasakan sakit tiap bulan! Kau tidak tahu seperti apa menstruasi! Belum lagi mereka memaksaku menikah! Karena mereka tidak ingin aku di sini kan?! Mereka ingin membuangku?! Aku akan sibuk menjaga suami yang akan menginjak-injakku! Melahirkan anak bertaruh nyawa! Sementara kau? Kau di sini menikmati semua ini!"
Nafasku terengah-engah setelah mengeluh tanpa jeda sembari sesekali menunjuk ke wajahnya.
"Pukul aku sesukamu." Kali ini ia menatapku dengan serius. Tangannya memberi isyarat agar aku mengontrol nafasku. Memintaku agar aku lebih tenang.
Aku menghela nafas dalam-dalam. Untuk beberapa detik situasi hening. Dia sangat sabar. Meski aku sudah memukulinya, tapi dia sama sekali tidak membalas. Aku cukup salut dengan dirinya. Begitulah pikirku.
BUG!
Tidak! Kita tidak akan pernah damai. Kali ini aku melayangkan pukulan terakhir ku tepat di pipi kirinya. Ia sedikit terhuyung.
Aku menyunggingkan bibirku, puas. Kali ini aku berhasil memberikan pukulan keras. Sudut bibirnya mulai mengalirkan darah.
"Lawan aku! Tunjukkan siapa yang lebih kuat! Kau pasti berpikir pukulanku sangat lemah kan sampai-sampai kau sama sekali tidak membalas."
Aku menatapnya penuh kebencian. Mencoba menantangnya karena sekali lagi aku tidak ingin dianggap lemah.
Sepersekian detik kami beradu pandang. Tidak ada sepatah kata darinya. Ia bahkan tidak melihat ke arahku.
"Tidak usah menemuiku lagi!" Kata ku lalu meraih jas yang semula kuletakkan di atas sofa untuk kemudian pergi meninggalkannya.
"Cih." Terdengar Teo berdesis. Aku melirik. Jempol tangannya menyeka darah dari robekan bibirnya. Kemudian ia menyunggingkan sudut bibir itu. Meski ia tak memandangku, namun senyumnya cukup meledekku.
Aku cukup terkejut saat ia tiba-tiba saja menyudutkanku ke dinding.
"Kau tidak tahu kan bagaimana jadi lelaki? Mereka dipaksa harus menahan air matanya. Di paksa untuk selalu lebih kuat dari yang lainnya."
Kami beradu pandang. Jarak wajah kami hanya beberapa senti. Kali ini tatapannya begitu sayu. Nada bicaranya masih sama, tidak tinggi namun terasa begitu dalam.
Namun, aku tetap tidak peduli. Aku tidak ingin mendengar semua omong kosongnya. Karena tak ada respon dariku, ia lantas melepaskan tubuhku. Kemudian meninggalkan aku tanpa sepatah kata.
Aku menghela nafas. Masih cukup terkejut atas tindakannya. Bagiku, tidak ada yang sulit menjadi laki-laki sejauh ini.
Selama ini aku selalu berpenampilan layaknya laki-laki. Tubuhku memang tidak seberapa tinggi, namun dengan kulit putih, hidung tajam, mata lebar, bibir mungil rambut lurus yang aku poting pendek persis bergaya wolf cut ini cukup membuatku terlihat tampan dan manis.
Bukan tanpa alasan, aku ingin seperti Teo. Meski begitu, selera berpakaian kami berbeda. Teo cenderung lebih bergaya formal. Sementara aku lebih casual.
Aku ingin menepis semua mitos yang mengatakan bahwa aku adalah anak pembawa sial dan lemah.
Teo memang tidak pernah terlihat membenciku. Dia selalu memperlakukanku layaknya seorang adik perempuan.
Aku ingat betul saat pertama kali kedatangan tamu bulananku. Teo, dia adalah satu-satunya orang yang ada menjagaku saat ibu terlalu sibuk. Dia memberanikan diri membelikan aku pembalut. Ia bahkan begitu serius mengajariku bagaimana cara menggunakannya setelah ia mencari tahu diinternet.
Padahal, pada saat itu aku sendiri tidak peduli. Jika banyak gadis seusiaku bahagia mendapatkan hari pertamanya, Aku justru begitu terpukul mengetahui kenyataan aku benar-benar seorang perempuan.
Berbekal alasan itu, aku membulatkan tekad untuk tetap menjadi sosok gadis yang tangguh. Baik penampilan maupun jiwaku. Karena itu juga, aku mulai merintis bisnisku seorang diri. Membuktikan pada mereka bahwa aku bisa!
Tapi, semua tidak berhenti disitu. Konon aku akan sial dan mati jika di usia 21 tahun aku belum juga menikah.
Ini gila!
Aku menaiki bus usai seharian berkutat dengan tugas kampus. Tidak ada alasan khusus, aku hanya senang menggunakan transportasi umum.
Seperti biasa, aku mengikat sembarang setengah bagian rambut pendekku. Hari ini aku menggunakan kaos over size, celana cargo dengan sepatu kets dan tas ransel yang aku selempangkan di bahu kiriku.
Kondisi bus sedang tidak terlalu ramai. Aku mengambil posisi paling belakang. Mengedarkan pandangan keluar jendela hanya untuk sekedar mencuci mata.
Brug!
Dentuman keras tiba-tiba terdengar memecahkan telingaku. Tubuhku terguncang begitu keras. Seperti sebuah batu raksasa baru saja menghantam kepalaku. Terasa berat.
Aku masih belum dapat mencerna situasi saat ini. Semua terjadi begitu cepat. Samar-samar aku melihat sekilingku. Bus ini sudah terbalik, semua kacau. Percikan api mulai terlihat di beberapa bagian.
"Apa aku sudah akan mati? Aku belum 21 tahun." Begitulah gumamku. Aku berusaha bangkit namun tubuhku begitu lemas. Saat ini, aku benar-benar membenci tubuhku yang tergeletak lemas.
Mataku hampir terpejam sebelum akhirnya aku menyadari, aku berada dalam pelukan seseorang yang sama-sama tergeletak bersamaku.
Orang itu, tampak kacau. Ada beberapa darah di bagian wajahnya. Kini ia berusaha bangkit dan menggendongku keluar sebelum kobaran api membesar.
Ia meletakkan tubuhku di tepi trotoar sedikit menjauh dari bus. Tepat setelah itu, ia terpejam. Tampak ia kehabisan tenaga dan tidak sadar diri. Tubuhnya tergeletak di sebelahku.
Aku sempat memandangi parasnya.
Berusaha merekam tiap detik kejadian ini sebelum akhirnya beberapa orang membawa kami ke rumah sakit terdekat.
Dari yang aku ingat, rahangnya tegas, hidungnya tajam. Bulu matanya lentik, begitu juga alisnya yang tebal dan rapi. Kulitnya tidak terlalu putih. Ia memakai setelan kemeja. Jelas dia bukan lagi mahasiswa. Sementara rambutnya yang sebelumnya ia tata rapi tampak sedikit berantakan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Usai mendapatkan perawatan, aku sengaja menghampiri sosok pria yang sempat menyelamatkanku.
Hanya ingin berterimakasih dan memastikan bahwa dia tidak lebih parah dari pada aku. Beruntung aku menemukannya terduduk di koridor. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Kami tidak mengalami cedera berat.
Aku hanya mengalami sedikit cedera di hidung sementara pria itu terluka di beberapa bagian wajah dan kaki.
Pria itu memandangku dari kejauhan saat ia menyadari aku mendekat. Wajahnya tampak ramah. Ia tersenyum padaku.
Aku mengambil posisi duduk di sebelahnya. "Kau ingat aku?"
Pria itu mengangguk. "Kau tidak apa-apa?"
Aku mengangguk. "Aku baik-baik saja. Tapi kau sepertinya lebih parah dibandingkan aku. Tapi aku sangat berterimakasih."
Pria itu menggeleng. Sembari merogoh saku kemejanya.
"Ini." Pria itu menyodorkan kartu namanya. "Aku agak buru-buru. Jika ada yang ingin kau bicarakan hubungi saja."
"Apa kau perlu tumpangan? Aku bisa menelpon keluargaku untuk mengantarmu pulang ketimbang menggunakan angkutan umum." Tawarku setelah melihatnya kesusahan berjalan.
Dia hanya menoleh sembari mengibaskan tangannya. Mengisyaratkan "Tidak perlu repot-repot." Ia lantas pergi meninggalkan aku.
Sepanjang perjalanan ke rumah, aku memperhatikan kartu namanya. Tertulis nama pria itu adalaj Max. Seorang psikolog.
"Dia memberiku kartu namanya. Kalimat terakhirnya tadi seolah-olah dia bisa melihat aku adalah sosok gadis menyedihkan yang perlu berobat padanya. Menyebalkan." Gumamku seorang diri.
Tanpa aku sadari, aku sudah tiba di rumah. Seperti biasa kondisi rumah sepi. Bahkan saat aku seperti ini tidak ada yang peduli juga. Bukankah itu bagus? Aku bisa melakukan semua sendiri.
Luka dibagian kakiku sedikit membuatku kesusahan menaiki tangga menuju kamar. Sialnya aku berpapasan dengan Teo.
Terlihat robek dibagian sudut bibirnya setelah kemarin aku memukulnya.
Ia memandangku untuk beberapa saat. Ekspresinya datar. Kemudian melenggang pergi tanpa mengatakan apa-apa setelah melihat beberapa memar dan plaster di bagian tulang hidungku.
Aku cukup terkejut, sebab tidak biasanya ia seperti ini. 'Apa karena kejadian kemarin? Baguslah jika begitu.' Batinku.
Beberapa detik kemudian aku menoleh. Menatap tajam ke arah punggung Teo yang berjalan menjauh menuruni tangga.
"Jangan bilang dia merasa senang aku begini kan? Dia pasti berpikir kalau aku kena karma setelah kemarin menghajarnya. Aishh menyebalkan!" Gumamku seorang diri.
Beginilah kira-kira jika sudah terlanjur benci. Dia tidak melakukan apapun aku tetap berpikiran buruk padanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Esok paginya, aku memutuskan pergi ke Klinik sebelum berangkat ke kampus. Tentu saja menemui Max.
Aku membawa sedikit buah tangan sebagai ucapan terima kasihku. Meskipun terkadang aku berpikir ada baiknya aku mati, namun akalku masih berusaha berpikir positif. Lebih baik lagi jika aku masih bisa hidup dan menyingkirkan Teo.
Aku mengetuk pintu sebelum akhirnya seseorang dari dalam mempersilahkan aku masuk.
Aku mendapati Max duduk mengenakan setelan kemeja. Dia tampak gagah jika berseragam dokter seperti ini.
Ia tersenyum padaku. "Masih ingat aku?" Tanyaku sembari membalas senyumnya. Aku meletakkan bingkisan di atas mejanya.
"Tentu saja. Tapi, aku memberimu kartu namaku bukan untuk meminta imbalan." Ia menunjuk bingkisan yang ada di atas meja.
"Aku pikir ini hanya sebuah tata krama. Jika bukan karena ini, lalu apa kau sengaja memberikan aku kartu nama karena aku terlihat menyedihkan?" Gurauku. Tidak, sejujurnya aku agak serius.
Max terkekeh. "Tidak juga. Tapi jika kau ingin bercerita, aku akan mendengarkan." Max kini memposisikan dirinya senyaman mungkin. Ia melipat kedua tangannya di atas meja lalu menatapku dengan antusias.
Gelagatnya seperti seorang kakak yang ingin mendengar cerita anak kecil. Aku sedikit merasa aneh. Baru kali ini aku bertemu orang yang begitu ramah. Tapi entah kenapa aku merasa nyaman.
Banyaknya tugas dan masalah yang menumpuk dipikirkanku, cukup membuatku stress. Itulah mengapa aku tidak ragu untuk mampir ke sini. Aku rasa aku perlu.
Belum lagi ambisiku yang besar memaksa diriku untuk bisa membuat bisnis sendiri. Susah senang aku tampung seorang diri.
Saat tak ada seorangpun disisiku, Max mendengarkan keluh kesahku beserta hal-hal tidak masuk akal itu dengan penuh pengertian. Ia bahkan sama sekali tidak menyudutkanku.
Tibalah saat aku bercerita pada bagian yang tidak masuk akal.
"Mereka bilang, aku akan mati di umur 21 jika aku tidak segera menikah. Ini membuatku gila."
"Lalu apa kau berpikir kejadian kemarin adalah salah satu kesialan itu?" Max meraih tanganku. Mencoba menghentikan pergerakan jariku yang tanpa aku sadari sedari tadi aku mengupas kuku jariku.
Aku mengalihkan atensi padanya. Aku terdiam. Tidak ingin percaya pada prediksi dukun abal-abal itu, namun disisi lain kesialan memang terus menimpaku.
"Bagaimana jika kita menikah?"
Ia menambah deretan hal tidak masuk akal dalam hidupku.
Bagaikan petir. Aku begitu terkejut mendengar tawarannya. Hidupku benar-benar sedang tidak baik-baik saja. Saat aku pikir benar-benar memerlukan pertolongan, saat begitu banyak hal di kepalaku, tiba-tiba saja orang asing yang baru aku temui 24 jam lalu menawarkan pernikahan padaku?
Ini semakin membuatku gila! Tidak. Atau jangan-jangan ini adalah pertolongan dari Tuhan untukku?
"Enteng sekali mulutmu berbicara."
Aku menarik tanganku. Masih belum dapat mencerna situasi.
Max tersenyum. "Aku tahu ini sangat mengejutkan. Tapi, jika kita sudah cocok apa boleh buat?"
"Aku sudah mendengar hampir 70% dari hidupmu pagi ini. Kau suka pedas, kau wanita yang berambisi dan berpendirian kuat. Kau punya kakak laki-laki, ibu, ayah, rumah. Kau suka horor."
"Kau ingin tahu aku? Aku dokter, aku sudah memiliki rumah, aku suka film horor juga. Aku bukan orang yang pilih-pilih dalam hal makan. Jadi aku bisa makan apapun. Aku tinggal seorang diri. Kau memerlukan seseorang untuk mendukung cita-citamu. Memerlukan seseorang untuk menikahi dan melindungi mu. Aku ada di sini. Bukankah kita cocok?"
"Ini gila. Tapi cukup masuk akal." Gumamku. Aku menyadari Max mengangguk-angguk dan tersenyum setuju dengan pernyataanku.
"Aku tampan, dan kau cantik."
"Benar." Deretan kalimat menggiurkan itu seolah membiusku.
"Biaya pernikahan? Aku sudah memiliki semua itu. Kau pasien dan aku dokter. Kau perlu bantuan aku ada. Bagaimana?" Sekali lagi Max semakin menggiringku.
"Kau benar." Hanya sebuah hubungan pasien dan dokter, begitulah pikirku.
"Jadi, apa kau setuju? Apa kau bersedia?"
Max mengulurkan tangannya.
Berharap aku akan membalas dan mengatakan. "Deal!".
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Astaga kenapa anak-anakku babak belur semua? Kalian tidak bertengkar kan?" Ibu memulai percakapan makan malam.
Ya, responnya memang agak terlambat karena terlalu sibuk hingga baru tahu anak-anaknya terkena musibah.
Aku enggan menanggapi.
"Tidak. Aku hanya tidak sengaja menghantam meja kantor." Teo berdusta tanpa melirikku, lalu menyuap makanan ke dalam mulut.
Aku meliriknya. 'Alasan yang sangat konyol' pikirku. Bahkan jika dia mengatakan aku adalah pelakunya, aku tidak akan peduli.
"Lalu bagaimana dengan putriku?" Ibu melihat wajahku dengan cemas. Aku membuang muka.
"Aku baik-baik saja. Hanya kecelakaan sedikit." Sembari memasukkan sepotong daging dalam mulut.
"Tidak-tidak. Lihat ini, ini kecelakaan kemarin ini kan? Teman ibu mengirim ini, kau di sini Emma." Ibu menunjukkan sebuah berita kecelakaanku. Aku cukup kaget. Kecelakaan bus kemarin memang cukup parah. Namun aku tidak habis pikir wajahku diperjelas dan dimuat dalam berita. Sangat menyebalkan.
"Ini berarti kau harus segera menikah. Ibu tidak mahu kau kenapa-kenapa seperti ini Emma. ini berbahaya."
Aku tersedak mendengar pernyataan ibu. "Bu, kematian itu sudah ditentukan kenapa repot - repot?" Protesku pada Ibu.
"Ibu, ingin menjodohkanmu . Karena saat ini sudah 20 tahun dan sebentar lagi kau 21 tahun. Jadi harus segera menikah."
"T-tapi Bu, aku sudah memiliki seseorang. Ibu tidak perlu repot-repot." Sedikit ragu, aku terpaksa mengatakan hal yang sebenarnya sangat berisiko. Sial.
"Kau sudah memiliki kekasih? Benarkah?" Ibu terlihat begitu bersemangat.
"Benar. Aku akan segera memperkenalkan pada ibu." Aku meilirik penuh selidik ke arah Teo.
Aku yakin dia pasti sangat senang mendengar semua ini. Setelah aku benar-benar menikah, dia akan mendapatkan semuanya.
Dia tidak memberikan reaksi apapun sejauh ini. Ekspresinya juga terlihat tidak peduli. Aku menyadari, sejaku aku berusia 17 tahun Teo benar-benar menjaga jarak.
Meski aku benci, tapi aku sadar dia selalu berusaha baik padaku. Jadi, aku benar-benar bisa merasakan saat perhatiannya berkurang padaku.
Dan karena kejadian beberapa hari lalu, tampaknya dia benar-benar kesal hingga semakin tidak mahu tahu apa yang terjadi padaku. Baguslah. Aku semakin siap melakukan gencatan senjata sewaktu-waktu.
"Apa pernikahan kakak beradik tidak sedarah boleh dilakukan?"
"Uhuk-uhuk." Aku menepuk-nepuk dadaku. Sepertinya makananku tersangkut di leher sebelum aku benar-benar mengunyahnya dengan sempurna.
Tidak, bukan hanya aku. Ibu dan Ayah juga. Kami bertiga meneguk air secara bersamaan.
Bagaimana tidak? Teo tiba-tiba saja menanyakan di luar ekspektasi kami. Suasana mendadak canggung untuk beberapa saat. Kami bertiga memusatkan perhatian pada Teo.
Sementara Teo dengan santai melanjutkan makannya tanpa menaruh perhatiannya kepada kami.
'Bukannya dia punya kekasih? Dia gila ya?' - Aku bergumam dalam hati.
"Kenapa bertanya seperti itu Nak?" Ayah menimpali.
"Hanya bertanya. Temanku ada yang seperti itu." Teo melirik sekilas kepada Ayah dan Ibu. Jawabannya yang begitu santai membuatku ingin mencabik-cabik wajahnya dengan garpu. Kesal karena pertanyaan tidak berbobot itu hanya memperkeruh situasiku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aku duduk melingkar di bangku bersama 2 sahabatku, Lauren dan Audrey sebelum kelas di mulai.
"Terus bagaimana jawabanmu?" Lauren berbisik.
Mimik wajah mereka begitu penasaran. Tentu saja semua ini tentang pertemuan anehku dengan Max dan tawaran tidak masuk akal itu.
Aku memberi isyarat pada mereka untuk mendekat. Kemudian berbisik pada mereka.
"Aku bilang 'oke boleh'."
BRAK!
Detik itu juga Lauren bangkit dari tempat duduk sembari menggebrak meja.
"GILA! KAU GILA!" Reaksi kagetnya tak kalah membuat aku dan warga kelas terkejut. Ia berhasil menarik atensi seisi ruang kelas.
Aku berusaha menyembunyikan wajahku, pura-pura tidak ada hal penting terjadi. Malu bercampur khawatir kalau-kalau berita ini akan tersebar sepenjuru kampus. Sementara Audrey menarik baju Lauren, memberi isyarat untuk kembali duduk dan mengecilkan suara.
Audrey dan Lauren memang memiliki kepribadian yang berbeda. Lauren ceplas-ceplos sementara Audrey cenderung lebih tenang dan kalem.
"Apa orang tua dan kakakmu sudah tau ini?" Lanjutnya menginterogasi.
Aku memutar bola mataku, kesal.
"Ingat! Teo bukan kakakku!" Kataku memberi penekanan. Tidak terima dengan kata 'Kakak' yang dimaksud Laura adalah Teo.
"Iya-iya. Jadi bagaimana?" Lauren kembali pada inti pembicaraan. Tidak tertarik pada perdebatan tentang Teo adalah kakakku atau bukan.
"Sudah." Sambungku.
Lauren menghela nafas. "Kau kan takut kehilangan warisan. Teo kan dapat warisan. Kenapa tidak kalian saja menikah?"
Plak!
Aku menjitak kepala Lauren tanpa berpikir panjang. Dia pantas mendapatkan itu.
"Kau gila! Mana mungkin kita kaka beradik menikah. Kau sama saja dengannya!" Aku menggerutu kesal.
"Bukannya kau yang bilang kalau kalian bukan kakak adik. Lalu apa masalahnya?" Sekali lagi Lauren berbicara tanpa berpikir.
"Masalahnya Dia juga mengatakan hal yang sama."
Lauren menjentikkan jarinya. "Lalu kau jawab saja 'boleh' begitu."
Plak!
Aku kembali menjitaknya.
"Bodoh! Mana mungkin. Lagi pula nih, Dia sepertinya punya wanita lain."
"Tikung!" Katanya dengan santai.
"Lauren!!!"
Aku semakin dibuat kesal. Bercerita dengannya benar-benar tidak memberikan solusi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aku cukup menyesal atas pengakuanku saat itu. Karena hal itu mebawaku pada jenjang yang lebih serius.
Setelah pembicaraan panjang dan pertemuan antara kedua orang tuaku dengan Max. Kini kami benar-benar bertunangan.
Acara digelar tertutup. Sengaja, aku yang meminta. Aku cukup tidak nyaman jika harus mengenakan gaun dan diperhatikan banyak orang.
Karena alasan itu, aku tidak mengundang banyak orang. Supaya aku bisa memakai kemeja seadanya tanpa harus berdandan feminin. Beruntungnya, Max bukanlah orang yang menuntut agar aku mengenekan ini dan itu sesuai kemauannya.
Semua berjalan dengan baik. Tidak ada rasa berdebar atau senang. Karena aku tidak menginginkan semua ini. Semua hanya aku lakukan untuk memperpanjang umurku dan tentu saja dengan semua itu aku harus bisa mencari celah menyingkirkan Teo. Aku tidak mahu mati sia-sia dan membiarkan Teo bersenang-senang.
Aku berdiri di dekat kolam renang. Menikmati sejuknya angin malam di roof top. Sambil sesekali meneguk Champagne. Terlalu ada banyak hal yang ada dipikiranku.
Entahlah, apakah kehidupanku akan seindah yang akau inginkan. Atau justru berbanding terbalik.
Yang pasti, aku sudah terlalu jauh melangkah.
"Kau senangkan aku sebentar lagi pergi?"
Kataku pada seseorang yang datang. Kepalaku terasa agak pusing. Meski aku tidak melihat, aku yakin itu adalah Teo. Tak ada jawaban dari orang itu.
Aku menoleh ke belakang.
"Max? Maaf aku kira tadi bukan kau." Aku salah mengira.
Baru saja aku melangkah mendekatinya, tiba-tiba saja semua terasa gelap.
Aku pikir sedang terjadi korsleting listrik. Tunggu atau justru aku yang limbung karena terlalu banyak meneguk Champagne?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!