MAAFKAN AKU

Selama kelas di mulai, aku masih merasa janggal dengan sikap Audrey. Ada kalanya aku sesekali melihat ke arahnya dan melempar senyum. Meski aku sadar ia melihatku, namun Audrey terlihat menghindari kontak mata denganku.

Usai kelas, aku dan Lauren mengejar Audrey.

"Drey! Audrey." Kali ini aku berhasil menghadangnya.

"Kau marah padaku? Apa aku ada salah? Biacara dong, jangan seperti ini. Aku tidak suka nih."

Audrey masih membuang muka. Ia kemudian menghela nafas. "Aku dengar kau akan menikah ya?"

"I-iya."

"Aku kira ceritamu waktu itu hanya lelucon. Tapi ternyata serius. Kau bahkan tidak cerita tentang pertunanganmu padaku. Tapi kau beritahu Lauren."

"Maaf, maaf banget. Aku belum sempat cerita padamu. Kau tahu ini sangat mendadak. Aku sendiri juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi." Kataku menyesal sembari menggenggam tangannya.

"Masalahnya bukan itu. Aku benci kau." Audrey menatapku dengan kekecewaan.

Aku cukup terkejut dengan pengakuan Audrey.

"Ke-Kenapa?"

"Kau membuatku patah hati."

Pengakuan keduanya semakin membuatku terkejut. Aku berharap yang ada di pikiranku ini salah.

Lauren ikut melirik ke arahku dengan tanya. Perasaanku mulai tidak enak.

Apa jangan-jangan aku jadi orang ke tiga di hubungan mereka? Hal yang tidak pernah aku inginkan dalam hidupku. Lebih-lebih dengan sahabatku.

Lauren menyenggol lenganku. Memberi isyarat untuk langsung bertanya tanpa membuang waktu agar semuanya jelas.

"Kau punya pacar? Atau kau kenal orang yang akan menikahiku?" Tanyaku dengan hati-hati, masih menggenggam kedua tangannya. Berharap dia tidak akan meluapkan emosinya di sini.

Audrey menghela nafas.

"Kau membuatku patah hati." Audrey memberi jeda pada kalimatnya. Dia memusatkan atensinya padaku.

"Karena-- Aku cinta kamu"

'Aku cinta kamu.' Kalimat itu seperti bergema dalam otakku.

Woohh. Ada sedikit rasa lega, drama ini hanya gurauannya ternyata.

"Hahah. Iya-iya, aku paham, kita kan memang sahabat. Tentu saja kau mencintaiku. Aku mencintaimu dan Lauren. Hahaha Bisa aja bercandanya." Kataku sambil tertawa kecil. Sesekali menepuk bahu Lauren dengan tangan kiriku. Sementara tangan kananku masih memegangi telapak tangan Audrey. Masih berpikir positif.

"Maaf. Tapi kau salah. Rasa cinta yang aku maksudku bukan rasa seperti yang kau pikirkan. Aku punya rasa lebih padamu. Aku jatuh cinta padamu. Lebih dari sahabat."

Tawaku dan Lauren seketika terhenti mendengar pernyataan Audrey. Aku yakin rahang Lauren pasti serasa seperti akan lepas saking terkejutnya.

Spontan genggamanku terlepas dari tangan Audrey yang mulai terasa dingin. Bisa aku rasakan ia begitu gugup mengatakan ini.

Tentu saja, Audrey yang kami tahu adalah gadis lugu, anggun dan tertutup. Pasti perlu segunung keberanian untuk bisa mengungkapkan perasaan seperti ini.

Lauren seketika itu melirik ke sekililing. Berharap tidak ada yang mendengar percakapan kami.

"Aku tahu kau tidak mungkin menerimaku. Jadi mulai sekarang, aku mau jaga jarak denganmu." Tanpa ingin mendengar jawaban dariku, Audrey beranjak pergi dengan raut getir.

Aku meraih air mineral yang ada di dekapan Lauren. Mencoba sedikit menyadarkan diriku. Terlalu banyak kejutan akhir-akhir ini.

Belum sempat air mineralku menyentuh tenggorokan, aku tanpa sengaja menyemburkannya kembali mengenai wajah Lauren. Rasanya aku tidak bisa meneguknya.

Masih begitu terpukul mengingat pengakuan Audrey.

"Sialan kau! Sudah buat masalah, pakai nyembur lagi. Cepat kejar sana!" Lauren memerintahku sambil mengelap wajahnya.

"Maaf-maaf Ren. Ih tapi aku kan normal." Kataku bimbang, haruskah mengejarnya atau tidak.

"Kau yakin dirimu normal? Memang kau pernah atau sedang suka sama laki-laki gitu?"

"Benar juga ya? Kan aku tidak pernah tahu jatuh cinta itu bagaimana." Aku memasang wajah tolol.

Pertanyaan Lauren ikut membuatku berpikir keras dan meragukan seksualitas-ku sendiri.

"Tuh kan, kau saja ragu. Ya sudah sana kejar, minta maaf. Mungkin saja kau berjodoh dengannya. Nikah deh tu. Umur panjang."

Grep!

Aku menarik bibir Lauren dengan genggaman tanganku sebelum kemudian pergi mengejar Audrey. Aku paham maksud Lauren.

Saat ini bukan masalah normal atau tidak. Namun, ini tentang persahabatan.

"Huh. Hidup sedang banyak masalah kenapa harus ditambahi drama persahabatan begini sih." Gerutuku.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Drey!"

Audrey menghentikan langkahnya. Kami berdiri di koridor.

"Aku minta maaf ya Drey, Tapi jujur aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu."

"Tidak apa-apa kok, aku paham. Memang aku saja yang terbawa perasan dan tidak benar. Kau normal. Aku tidak normal." Katanya getir.

"Tidak, bukan bukan begitu. Itu hakmu untuk suka seseorang. Tp aku benar-benar minta maaf, Aku sendiri tidak pernah tahu bagaimana jatuh cinta."

"Tidak apa-apa kok. Aku cuma perlu waktu sendiri saja. Permisi."

Audrey pergi meninggalkan ku dengan perasaan bersalah. Aku menggosok wajahku dengan kasar. Tidak tahu lagi harus bagaimana.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Aku membuang tasku di atas sofa. Lalu membanting tubuhku di atas sana.

"Duh pusing!" Aku mengacak rambutku.

"Kenapa sih jadi kacau. Kau juga sih, kenapa membuat anak orang jatuh cinta. Repot kan." Gerutuku seorang diri.

"Tapi kan aku tidak melakukan apapun." Jawabku.

"Kau pikir kau tidak melakukan apa-apa. Tapi kau tahu kan dia anak yang kesepian. Kau beri perhatian sedikit saja, hatinya akan lumer." Protesku lagi.

"Tapi, tapi dia kan perempuan. Kalau saja dia laki-laki, mungkin aku akan menikah dengan dia saja. Dia juga baik dan polos."

"Tapi, tunggu-" Aku bangkit dari sofa. "Aku tidak pernah jatuh cinta karena sibuk urusi karir atau karena aku tidak suka laki-laki ya?" Keningku saling terpaut. Bingung dengan diriku sendiri.

"Hidupmu sedang banyak masalah ya. Sampai ngomong sendiri."

Aku terpental di sudut sofa. Terperanjat menyadari Teo berada di belakangku. Entah sejak kapan dia ikut bersantai di sofa.

Masa bodo jika dia dengar.

"Apa sih nguping." Aku mendengus kesal.

"Bukan nguping, tapi ngomongmu terlalu kenceng." Katanya lalu sibuk membolak-balik halaman buku kemudian menyeruput kopi yang ada di atas meja.

Tangannya bergerak mengusap busa latte yang menempel di atas bibir. Sial! Kenapa dia harus melakukan itu. Bikin aku teringat malam itu.

Deg!

Dia menatapku.

"Kenapa? Kau mau? Sudah mau habis sih." Katanya lalu menjilat jempol bekas busa kopi.

Aku bergidik dan tanpa sadar menandangnya dengan risih.

"Tidak." Kataku tegas. Aku buang muka.

Aku melirik Teo. Aku sadar dia masih memandangi-ku.

"Kenapa? Biasa saja dong lihatnya"

Teo mengangkat satu alisnya. "Bisa tidak kau bicara padaku lebih santai?"

"Memang nada bicaraku begini." Aku membantah. Sebetulnya aku sadar betul. Entah kenapa aku selalu ingin berbicara dengan penuh emosi dengannya. Hingga otot-otot leherku terlihat.

Sementara Teo selalu berbicara dengan kalem. Tidak pernah sekalipun meninggikan suaranya.

Teo terkekeh, membuatku semakin kesal. "Justru aku yang emosi melihat wajahmu."

"Wajahku?" Teo menunjuk wajahnya.

"Iya! Tatapan mu itu tidak bisa santai. Bikin emosi." Kesal, aku pergi meninggalkannya seorang diri.

Terpopuler

Comments

Sri Astuti

Sri Astuti

ah Audrey

2023-09-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!