ENTENG SEKALI MULUTMU BERBICARA

"Jadi, apa kau setuju? Apa kau bersedia?"

Max mengulurkan tangannya.

Berharap aku akan membalas dan mengatakan. "Deal!".

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Astaga kenapa anak-anakku babak belur semua? Kalian tidak bertengkar kan?" Ibu memulai percakapan makan malam.

Ya, responnya memang agak terlambat karena terlalu sibuk hingga baru tahu anak-anaknya terkena musibah.

Aku enggan menanggapi.

"Tidak. Aku hanya tidak sengaja menghantam meja kantor." Teo berdusta tanpa melirikku, lalu menyuap makanan ke dalam mulut.

Aku meliriknya. 'Alasan yang sangat konyol' pikirku. Bahkan jika dia mengatakan aku adalah pelakunya, aku tidak akan peduli.

"Lalu bagaimana dengan putriku?" Ibu melihat wajahku dengan cemas. Aku membuang muka.

"Aku baik-baik saja. Hanya kecelakaan sedikit." Sembari memasukkan sepotong daging dalam mulut.

"Tidak-tidak. Lihat ini, ini kecelakaan kemarin ini kan? Teman ibu mengirim ini, kau di sini Emma." Ibu menunjukkan sebuah berita kecelakaanku. Aku cukup kaget. Kecelakaan bus kemarin memang cukup parah. Namun aku tidak habis pikir wajahku diperjelas dan dimuat dalam berita. Sangat menyebalkan.

"Ini berarti kau harus segera menikah. Ibu tidak mahu kau kenapa-kenapa seperti ini Emma. ini berbahaya."

Aku tersedak mendengar pernyataan ibu. "Bu, kematian itu sudah ditentukan kenapa repot - repot?" Protesku pada Ibu.

"Ibu, ingin menjodohkanmu . Karena saat ini sudah 20 tahun dan sebentar lagi kau 21 tahun. Jadi harus segera menikah."

"T-tapi Bu, aku sudah memiliki seseorang. Ibu tidak perlu repot-repot." Sedikit ragu, aku terpaksa mengatakan hal yang sebenarnya sangat berisiko. Sial.

"Kau sudah memiliki kekasih? Benarkah?" Ibu terlihat begitu bersemangat.

"Benar. Aku akan segera memperkenalkan pada ibu." Aku meilirik penuh selidik ke arah Teo.

Aku yakin dia pasti sangat senang mendengar semua ini. Setelah aku benar-benar menikah, dia akan mendapatkan semuanya.

Dia tidak memberikan reaksi apapun sejauh ini. Ekspresinya juga terlihat tidak peduli. Aku menyadari, sejaku aku berusia 17 tahun Teo benar-benar menjaga jarak.

Meski aku benci, tapi aku sadar dia selalu berusaha baik padaku. Jadi, aku benar-benar bisa merasakan saat perhatiannya berkurang padaku.

Dan karena kejadian beberapa hari lalu, tampaknya dia benar-benar kesal hingga semakin tidak mahu tahu apa yang terjadi padaku. Baguslah. Aku semakin siap melakukan gencatan senjata sewaktu-waktu.

"Apa pernikahan kakak beradik tidak sedarah boleh dilakukan?"

"Uhuk-uhuk." Aku menepuk-nepuk dadaku. Sepertinya makananku tersangkut di leher sebelum aku benar-benar mengunyahnya dengan sempurna.

Tidak, bukan hanya aku. Ibu dan Ayah juga. Kami bertiga meneguk air secara bersamaan.

Bagaimana tidak? Teo tiba-tiba saja menanyakan di luar ekspektasi kami. Suasana mendadak canggung untuk beberapa saat. Kami bertiga memusatkan perhatian pada Teo.

Sementara Teo dengan santai melanjutkan makannya tanpa menaruh perhatiannya kepada kami.

'Bukannya dia punya kekasih? Dia gila ya?' - Aku bergumam dalam hati.

"Kenapa bertanya seperti itu Nak?" Ayah menimpali.

"Hanya bertanya. Temanku ada yang seperti itu." Teo melirik sekilas kepada Ayah dan Ibu. Jawabannya yang begitu santai membuatku ingin mencabik-cabik wajahnya dengan garpu. Kesal karena pertanyaan tidak berbobot itu hanya memperkeruh situasiku.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Aku duduk melingkar di bangku bersama 2 sahabatku, Lauren dan Audrey sebelum kelas di mulai.

"Terus bagaimana jawabanmu?" Lauren berbisik.

Mimik wajah mereka begitu penasaran. Tentu saja semua ini tentang pertemuan anehku dengan Max dan tawaran tidak masuk akal itu.

Aku memberi isyarat pada mereka untuk mendekat. Kemudian berbisik pada mereka.

"Aku bilang 'oke boleh'."

BRAK!

Detik itu juga Lauren bangkit dari tempat duduk sembari menggebrak meja.

"GILA! KAU GILA!" Reaksi kagetnya tak kalah membuat aku dan warga kelas terkejut. Ia berhasil menarik atensi seisi ruang kelas.

Aku berusaha menyembunyikan wajahku, pura-pura tidak ada hal penting terjadi. Malu bercampur khawatir kalau-kalau berita ini akan tersebar sepenjuru kampus. Sementara Audrey menarik baju Lauren, memberi isyarat untuk kembali duduk dan mengecilkan suara.

Audrey dan Lauren memang memiliki kepribadian yang berbeda. Lauren ceplas-ceplos sementara Audrey cenderung lebih tenang dan kalem.

"Apa orang tua dan kakakmu sudah tau ini?" Lanjutnya menginterogasi.

Aku memutar bola mataku, kesal.

"Ingat! Teo bukan kakakku!" Kataku memberi penekanan. Tidak terima dengan kata 'Kakak' yang dimaksud Laura adalah Teo.

"Iya-iya. Jadi bagaimana?" Lauren kembali pada inti pembicaraan. Tidak tertarik pada perdebatan tentang Teo adalah kakakku atau bukan.

"Sudah." Sambungku.

Lauren menghela nafas. "Kau kan takut kehilangan warisan. Teo kan dapat warisan. Kenapa tidak kalian saja menikah?"

Plak!

Aku menjitak kepala Lauren tanpa berpikir panjang. Dia pantas mendapatkan itu.

"Kau gila! Mana mungkin kita kaka beradik menikah. Kau sama saja dengannya!" Aku menggerutu kesal.

"Bukannya kau yang bilang kalau kalian bukan kakak adik. Lalu apa masalahnya?" Sekali lagi Lauren berbicara tanpa berpikir.

"Masalahnya Dia juga mengatakan hal yang sama."

Lauren menjentikkan jarinya. "Lalu kau jawab saja 'boleh' begitu."

Plak!

Aku kembali menjitaknya.

"Bodoh! Mana mungkin. Lagi pula nih, Dia sepertinya punya wanita lain."

"Tikung!" Katanya dengan santai.

"Lauren!!!"

Aku semakin dibuat kesal. Bercerita dengannya benar-benar tidak memberikan solusi.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Aku cukup menyesal atas pengakuanku saat itu. Karena hal itu mebawaku pada jenjang yang lebih serius.

Setelah pembicaraan panjang dan pertemuan antara kedua orang tuaku dengan Max. Kini kami benar-benar bertunangan.

Acara digelar tertutup. Sengaja, aku yang meminta. Aku cukup tidak nyaman jika harus mengenakan gaun dan diperhatikan banyak orang.

Karena alasan itu, aku tidak mengundang banyak orang. Supaya aku bisa memakai kemeja seadanya tanpa harus berdandan feminin. Beruntungnya, Max bukanlah orang yang menuntut agar aku mengenekan ini dan itu sesuai kemauannya.

Semua berjalan dengan baik. Tidak ada rasa berdebar atau senang. Karena aku tidak menginginkan semua ini. Semua hanya aku lakukan untuk memperpanjang umurku dan tentu saja dengan semua itu aku harus bisa mencari celah menyingkirkan Teo. Aku tidak mahu mati sia-sia dan membiarkan Teo bersenang-senang.

Aku berdiri di dekat kolam renang. Menikmati sejuknya angin malam di roof top. Sambil sesekali meneguk Champagne. Terlalu ada banyak hal yang ada dipikiranku.

Entahlah, apakah kehidupanku akan seindah yang akau inginkan. Atau justru berbanding terbalik.

Yang pasti, aku sudah terlalu jauh melangkah.

"Kau senangkan aku sebentar lagi pergi?"

Kataku pada seseorang yang datang. Kepalaku terasa agak pusing. Meski aku tidak melihat, aku yakin itu adalah Teo. Tak ada jawaban dari orang itu.

Aku menoleh ke belakang.

"Max? Maaf aku kira tadi bukan kau." Aku salah mengira.

Baru saja aku melangkah mendekatinya, tiba-tiba saja semua terasa gelap.

Aku pikir sedang terjadi korsleting listrik. Tunggu atau justru aku yang limbung karena terlalu banyak meneguk Champagne?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!