D-DAY

Beberapa hari sebelum resepsi, aku di sibukkan dengan beberapa tugas kuliah. Begitu juga dengan bisnis kecil-kecilan ya aku jalani.

Banyaknya tugas cukup membuatku jenuh dan membuat suasana hatiku mudah berubah. Belum lagi momen kedatangan tamu bulanan seperti ini.

Max dan aku berjanji untuk bertemu hari ini. Hanya memastikan bahwa semua persiapan pernikahan sudah tersusun dengan apik.

Kami memilih bertemu di taman. Aku sengaja memilih tempat ini karena bagiku, duduk selama beberapa menit di luar ruangan dan berbaur dengan alam dapat memberikan sensasi tenang untuk otakku.

Dari kejauhan, aku mendapati Max berjalan mendekat ke arahku dengan lengkung di bibirnya. Tangannya sibuk membawa sebuah bungkusan.

"Lihat apa yang aku bawa." Ia mengangkat bungkusan itu. Kemudian mengambil posisi duduk di sampingku.

Aku cukup girang saat Max membukanya. Dua bungkus rujak buah yang selalu menjadi makanan favoritku saat menstruasi seperti ini.

Menyantapnya di bawah pohon rindang sementara cuaca terik seperti ini benar-benar cocok.

Bagiku ini adalah obat yang mujarab untuk menghilangkan pening, jenuh dan dahaga. Rasa buah yang segar, asam dicampur pedas, gurih dan manisnya bumbu rujak benar-benar membuat suasana hatiku menjadi lebih baik.

"Aku pikir kita belum pernah membahas ini, bagaimana kau bis tahu aku suka ini?" Kataku sembari menyendokkan buah nanas pada bumbu.

"Menurutmu?" Max balik bertanya. Tangan kanannya sibuk menyuap bengkuang. Ia lebih memilih menyantap tanpa bumbu.

"Tidak mungkin kau cenayang." Kataku.

"Kalau mau menikah, kita juga harus akrab sama keluarga pasangan. Jadi tadi aku bertemu kakak-mu."

Aku mengangguk.

'Jadi dia yang beritahu Max kalau aku suka ini? Aku kira dia tidak perhatikan apa yang aku suka dan tidak suka.'

Ironinya dia tidak pernah sadar bahwa aku tidak menyukainya. Batinku tentang Teo.

"Omong-omong aku kan selama ini belum perna ketemu keluargamu." Aku mengambil alih topik. Memang selama pertunanganpun Max hanya ditemani kerabat dekatnya.

"Aku sendirian." Max kini menggigit nanas. Aku tidak dapat membaca air mukanya.

"Ayah ibumu?" Tanyaku sedikit ragu.

"Ibuku sudah lama meninggal." Kali ini aku justru menangkap raut meringis darinya.

"Uh asam." Imbuhnya setelah menjajal buah mangga muda.

"Maaf." Kataku menyesal. "Bagaimana dengan Ayahmu?"

"Dia di penjara."

Aku semakin merasa tidak enak. Namun bagaimanapun, dia adalah calon suamiku. Aku harus tahu keadaannya. "Kenapa?" Tanyaku agak ragu.

Max mengalihkan perhatian padaku. "Kenapa kamu suka rasa pedas?" Tanyanya mengganti topik.

"Maaf jika aku membuatmu tidak nyaman."

Max mengusap pucuk kepalaku. "Kau begitu tertarik dengan keluarga calon suamimu ya. Wajar."

"Aku suka makanan pedas. Karena ini bisa membuatku lebih bersemangat." Aku kembali pada pertanyaannya.

"Melihatmu suka makan pedas dan kau bilang ini membuatmu bersemangat, aku yakin sekali kau pasti selalu ingin menang ya?"

"Tentu saja." Aku mengangguk menyetujui pernyataan Max sembari memberikan jempol.

 

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Waktu beralu begitu cepat. Tidak terasa aku benar-benar berada pada momen yang begitu mendebarkan dalam hidupku.

Hari pernikahan. Hari yang ditunggu-tunggu oleh kebanyakan orang, namun tidak bagiku.

"Ish ribet sekali." Aku menendang gaun panjang yang menutupi kakiku hingga menyentuh lantai.

Aku menghela nafas sebelum pintu terbuka. Ayah menggandengku melewati altar. Semua mata tertuju padaku. Mereka begitu antusias mengabadikan momen langka ini. Tentu saja, seorang Emma hari ini memakai gaun dan berjalan anggun. Ini patut dijadikan sebagai hari bersejarah.

Gugup. Tentu saja.

Dari jarak ini, aku melihat Max tersenyum dengan gagah padaku. Boleh aku akui, dia begitu tampan hari ini. Mungkin karena aku tidak bertemu dengannya selama beberapa waktu sebelum hari pernikahan kami.

Tubuh atletisnya dibalut sempurna tuksedo dan jas putih. Sementara rambutnya di sisir dengan rapi kebelakang.

Tibalah kami mengucapkan deretan kalimat sakral. Mengucap janji pada sang pemilik semesta di saksikan segala macam penghuninya.

Aku cukup merinding. Tidak menyangka bahwa semua ini benar-benar terjadi. Aku benar-benar milik seseorang.

Janji suci telah terucap. Aku memasang wajah masam saat hal yang begitu aku hindari benar-benar diminta para undangan.

"Cium! Cium! Cium!" Seru mereka begitu bersemangat. Aku sempat melirik ke arah Teo. Dia adalah satu-satunya orang yang tidak membuka mulutnya.

Tatapan kami sempat beradu sepersekian detik, sebelum akhirnya ia membuang muka. Jika kebanyakan orang beropini Teo memiliki tatapan tajam yang membius lawannya, bagiku Teo selalu memberikan tatapan ngantuk.

Sisi kiriku menabrak tubuh Max saat ia menarik pingganggu mendekatkan tubuh kami.

"Jangan macam-macam!" Bisikku padanya.

Max tersenyum jahil. "Sedikit saja."

"Tidak!" Aku melotot.

"Sebentar saja." Godanya lagi.

"Ti-". Separuh nyawaku nyaris meninggalkan raganya. Belum sempat aku menuntaskan kalimatku. Max mendekatkan wajah kami tanpa aba-aba. Memberikan jarak sekian senti. Membuat ujung hidung kami nyaris bersentuhan.

"Tetap seperti ini selama tiga detik." Godanya diikuti sorakan tamu undangan. Kemudian menyunggingkan sudut bibirnya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Aku meregangkan otot-otot tubuhku di atas sofa. Tubuhku terasa begitu lelah setelah hampir seharian disibukkan acara pernikahan. Bertemu banyak orang cukup membuat kepalaku pening.

"Setelah ini kalian mau honeymoon di mana?" Ibu membuka obrolan yang membuatku tersulut emosi.

"Tidak! Tidak ada honeymoon. Fokus kuliah dulu. Ingat tujuan utama kita menikah kita apa." Kataku tegas.

Ibu menyenggol lenganku. Menegurku yang telah berbicara tanpa berpikir panjang, lalu melirik ke arah Max.

Max tersenyum kecut. "Tidak apa-apa. Ema masih ingin menikmati masa mudanya."

"Omong-omong kalian mau panggil kesayangan apa nih?. Masa terus pakai nama masing-masing?" Lagi-lagi aku begitu membenci topik obrolan Ibuku.

"Mama dan papa?" Max menyauti.

Aku yang baru saja meneguk air nyaris tersedak. "Tidak ada salahnya kok memanggil dengan nama masing-masing itu bagus." Tolakku secara halus.

"Ma,"

Suara berat Teo seketika menyedot perhatian seisi ruang tamu. Suasana mendadak canggung untuk beberapa saat.

"Ujung lengan bajumu terkena saos." Teo menunjuk lengan bajuku. Entah bagaimana ada bercak saos di sana.

Dengan sigap, Max meraih lenganku dan membersihkan dengan tisu.

"Apa-apaan sih panggil aku Ma." Protesku setelah sadar dia baru saja memanggilku Ma.

Teo mengernyit.

"Bukankah kau yang minta dipanggil nama. Namamu kan Emma. Memangnya salah aku panggil Ma?"

Aku merasa tersudut dengan penjelasannya. Sepertinya aku terlalu ke GR-an atau aku terlalu sensi.

Jika dipikir-pikir penjelasannya masuk akal. Tapi entah kenapa aku merasa aneh ketika dia memanggil dengan namaku. Apa karena aku baru menyadarinya selama ini aku dan dia tidak pernah saling memanggil nama.

Sejauh yang aku tahu, kami terbiasa memanggil dengan kata 'Heh'.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!