Kehormatan Ratu

Arnita ketika itu menemani Amanda ke perumahan restorasi barang-barang antik. Mereka mengunjungi pembikinan senjata. Seorang perempuan menunjukan bermacam-macam bentuk pisau. Tidak disangka-sangka. Sebuah menarik perhatian keduanya untuk mencobanya. Arnita mendekati pedang baru panas terbakar tungku. Perempuan itu kenakan sarung senjata untuk mengangkatnya. Mendekatkan ke tengah wajahnya. “Mieux se souvenier. Democlase ramping ini begitu mudah dan ringan. Tidak memberatkan.”

“Tentu saja. Kami tidak hanya merawat tetapi produksi juga. Mungkin yang sekarang hanya sebagian saja.”

“Bagaimana semisal kami bawa satu?”

“Bukan masalah. Kami hendak mengemas satu. Silakan Yang Mulia tunggu.”

“Kau ingin potong sapi dengan itu?” Arnita menggoda Amanda.

“Tidak ada kelirunya kita punya sebuah, kan?”

“Tentu tidak. Hanya pasti orang-orang semakin banyak mengunjungi rumahmu, Manda.”

“Maksudmu seperti mousoleum?”

“Jangan menduga-duga buruk dulu.”

“Lagipula semua gunakan tabungan sendiri.”

“Tetapi baiknya sebaik-baiknya perlu saja.”

“Terserah!” Amanda bersungut-sungut.

“Kau mudah sangsi sekali. Baiklah. Silakan saja. Aku mengikutimu. Selama kau gembira kenapa tidak padaku juga?”

“Kau bohong!” Amanda membuang muka.

“Tidak sayang, aku sudah mengatakan begitu, berarti tidak. Nah, sehabis belakang ini, kita masih punya banyak kepentingan.”

“Kapan kiranya aku punya waktu?”

“Mungkin setahun belum bisa, Manda. Kau hendak berpesiar bukan?”

“Bisa begitu, Arnita.”

“Menggantikan juga tidak mungkin. Jadi sekarang saja kita lompat lagi.”

Dan kebetulan perempuan barusan datang. Kedua tangannya menyangking bungkusan blacu merah anggur. “Kami berikan tidak perlu angsur. Terimalah kehormatan ini atas kunjunganmu, Ratuku.”

Amanda terharu menundukan kepala. Mereka berlompatan menuju denah-denah lain. Selepas itu Amanda menceritakan, bahwa Cecil pernah menemuinya, ia tidak mengatakan sesuatu besar hendak dilakukan perempuan le juif erratnt itu. Arnita sebenar-benarnya menaruh curiga. Adakah tujuan perempuan itu sering mintakan pertemuan dengan Sri Ratu?

Sedangkan diluar sana Melissa berusaha menenangkan Suszie yang merengek. Sarah belum kembali sedari malam. Cecil sedang mengurus kepergian Puspita sementara. Tidak lama Sarah datang, membopong Suszie dan menampar bokong bayinya, anehnya pekik cengeng anaknya berhenti.

Melissa yang kepayahan berusaha mintakan pengembalian karena kerjanya terhambat akibat kebawelan puterinya. Sarah setengah geram. Akhirnya ia memberikan separoh uang miliknya.

Sampai ke komplek siswa-siswi putri muncul mobil Amanda. Kelima ajudan perempuan siap mengantarkannya. Mereka menata-nata akuarium kaca untuk meletakan democlase antik Amanda. Selesai demikian Amanda kedapatan penamu-penamu kembali.

Kali ini hanya rombongan majalah ibukota, mereka berniat menelurusi seluruh arsitektur persis Waddesdon Mannor itu.

Amanda menyilakan dengan senang hati. Arnita mula-mulanya melarang. Tetapi atas saran-saran Amanda akhirnya dibolehkan.

Mereka-mereka dilihatkan perabotan bikinan Prancis semasa kepemimpinan Rosseau. Menunjukan guci-guci beretiket Tionghoa sampai lukisan-lukisan Renaisan, Edwardian dan Viktoria. Mereka masih belum puas. Ditunjuklah lemari-lemari penyimpan prastika-prastika dari berlian dan emas murni. Juga gambar-gambar dibingkai berat Amanda. Termasuk deretan tokoh-tokoh keluarga besar dunia. Tidak ketinggalan ponten atau air mancur sederhana. Sekitar sana membentang taman indah-indah. Kereta-kereta kuda jaman tengah banyak diparkir samping lapangan bangunan. Sebanyak sepuluh buah dengan patung Shiva Nataraja.

Amanda memberikan kesempatan untuk melihat kamar-kamar sebesar kantor miliknya. Di dalamnya banyak dekorasi dengan dinding merah padam, lampu-lampu kristal pada jagang meja sampai langit-langit semarak dihias kandil-kandil gas minyak. Konon juga dulunya Ratu Viktoria pernah tidur sejenak di sini, itu kata Arnita.

Amanda yang merasa wartawan belum puas, ia menunjukan deretan barang-barang antik, yang tersimpan rapih di dalam kaca-kaca bersih. Sebuahnya kipas-kipas dari perca sampai bulu merak, asbak bekas merokok Sir John Hawkins sampai tanduk-tanduk dipahat atau diukir, yang terakhir tidak lain cermin dengan pahatan turangga, kukila sampai burung besar Erlangga di barisan ruangan rekreasi.

Para pengunjung disambut makanan hangat, tidak biasanya orang asing diberlakukan begini, komentar mereka sela-sela obrolan dengan Amanda dan ajudan. Arnita mengikuti acara sampai ia putuskan hindar ke kantor. Seseorang melapurkan beberapa berkas tidak lengkap. Arnita kepanikan. Ia berlari setelah volkswagen beetle itu muncul.

Amanda mengangguk-angguk sewaktu semua wartawan majalah kaum muda pada pergi. Melissa tahu-tahu berdiri di samping Amanda. “Apa Sri Ratu yakin? Mereka bisa membahayakan.”

“Bisa tidak atau sama sekali tidak. Seperti biasa kita buka kunjungan hiburan untuk masyarakat umum. Sedangkan urusan pusat serahkan saja seperti di kamar bola belakang.”

Melissa mengangkat saluir lalu pergi. Setelah Amanda menyuruh ia membuka turne untuk masuknya masyarakat ke bangunan mannor miliknya.

Marry sudah kembali ke rumah sudarinya. Amanda menyambut gembira adiknya itu. “Bagaimana usahamu?”

“Semuanya berjalan sangat baik. Hanya aku susah sekali mengatur pembukuan. Bisakah kau mengajariku?”

“Kau pasti habiskan dulu bukan?”

“Memang seperti dulu-dulu juga.” mereka tertawa memasuki ruangan tengah. Marry mendudukan Amanda. Ia kembali setelah membawa majalah-majalah berisi gambar busana. “Lihat kak. Sebuahnya tidak jauh beda dengan sepuluh tahun lamanya.”

“Memang begitu. Siklus manusia hanya mengulang-ulang semua yang sudah ada. Hanya sedikit-sedikit saja perubahannya. Seperti juga ukuran sepatu atau baju biasa kau pakai.”

“Aku suka sekali bersepatu. Apalagi cabaret yang punya moncong seperti kasut India Tengah.”

“Perkembanganmu boleh-boleh saja.”

“Aku teringat sesuatu Manda. Apa pernah kau berpikir hendak bebas dari rumah besar ini?”

“Tidak. Lagipula kenapa begitu?”

“Rumah ini terlalu luas. Hanya kita yang biasa tinggal di sini. Mengapa tidak membuka kursus saja?”

“Aku sudah membukanya di perumahan. Memang pernah juga. Tetapi Arnita melarangku.”

“Perempuan itu kaku sekali Manda. Adakah kau tidak lihat ia pernah bercanda?”

“Nita memang begitu, manis. Aku tidak keberatan dengan sikapnya. Aku justru merasa aman.”

“Pasti tidak denganku.” Marry menunduk memainkan jari-jarinya.

“Ah, tidak benar, kau belum sarapan kan?”

“Kau tahu saja. Tidak usah kalau kau punya urusan. Aku lebih suka membelinya saja.”

“Jangan habiskan uangmu. Ayo makan denganku.”

“Sebentar!” Marry menarik Amanda ke bawah lukisan. “Jangan ada Maria atau Arnita.” katanya hampir-hampir punah kena angin.

“Tentu suka-sukamulah. Ayo!”

Marry girang mengikuti Amanda memasuki ruangan berikutnya.

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!