Gabriella memukul meja Markus. Orang ini—bukan, iblis ini pasti sudah gila. Seenaknya saja membawanya ke kantornya (sebagian besar juga karena rasa penasarannya sendiri, tapi tetap saja menyebalkan!), mengatakan kalau ayahnya yang masih hidup itu kini tengah mengincarnya, dan mengatakan padanya kalau ia memiliki kemampuan melacak iblis karena memiliki darah warlock? Cedric bahkan tidak memberitahu apa pun soal kemampuannya itu. Gimana caranya coba?
“Pertanyaan bagus, Gabriella.” Markus menjawab pertanyaan yang ia pikirkan itu dengan santainya, “semuanya sudah cukup membuktikan kalau adikku itu super dodol. Gak banget. Ceroboh dan payah. Pokoknya super dodol pake banget!”
Dan sekarang, iblis ini sibuk mengatai adiknya sendiri. Sebenarnya mereka ini saudara nggak, sih?
“Simpan pertanyaanmu yang nggak penting itu buat nanti, Gabriella Paradox.” Markus menatapnya jengkel. “Waktu kita nggak banyak. Kelihatannya aku yang harus turun tangan untuk mengajarkannya padamu. Merepotkan. Ikut aku sekarang!”
Nada bicara Markus yang arogan itu membuat Gabriella tidak bisa berkutik. Laki-laki itu berbalik, wajahnya masam, mengurungkan niatnya untuk protes. Dengan berat hati, Gabriella mengikuti Markus yang berjalan keluar dari kantornya, menyusuri koridor yang remang-remang, diterangi oleh api dari lilin yang tidak begitu membantu
mengurangi rasa takutnya akan gelap. Ia baru menyadari saat ia memandang ke luar jendela, melihat pemandangan di luar gedung ini. Tidak ada sinar matahari di tempat ini. Selalu malam, sampai ia sempat berpikir kalau ia tiba di tempat ini malam hari kalau ia tadi tidak melihat ponselnya sekilas dan melihat bahwa sekarang masih pukul empat sore. Ada beberapa sosok aneh mengerikan yang berjalan lalu-lalang di jalan setapak yang kanan-kirinya dikelilingi oleh api yang bergerak seperti air yang mengalir di saluran air. Tanah di sekitar tempat ini
tandus, dengan makhluk-makhluk aneh yang berkeliaran di sana layaknya hewan ternak yang berada di peternakan. Ada yang berkepala elang tapi bertubuh sapi. Ada juga yang berwujud seperti patung sphinx, dan juga yang imut seperti kucing hitam yang sedang berdiri di atas pohon yang tidak ada daunnya dengan sayap hitamnya yang melengkapi keimutan kucing itu sampai keimutan itu hilang saat kucing itu menyadari keberadaannya dan mengeluarkan giginya yang runcing dan mengerikan. Gabriella cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sepertinya saat Markus membawanya ke sini ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tidak menyadari kalau sekarang ia berada di tempat yang sudah jelas tidak ada keberadaan manusia di sini.
Tunggu. Kalau apa yang ia lihat tadi di luar sana itu benar-benar nyata, berarti sekarang ia berada di neraka, dong?
Gawat. Kenapa ia baru sadar sekarang, sih?
“Baru nyadar, Gabriella? Lucu sekali kamu.” Markus lagi-lagi membaca pikirannya, tertawa sarkastik, memberi isyarat dengan gerakan kepalanya ke arah pintu yang sama dengan pintu ruang kerja Markus tadi. Begitu tangan Markus yang kokoh itu membuka pintu itu dan mereka masuk, terlihat sebuah ruangan yang berbeda jauh dengan ruangan yang tadi ia kunjungi. Ukurannya dua kali lipat, kosong, dan tidak ada penerangan apa pun sampai laki-laki itu menjentikkan jari, memunculkan cahaya berwarna biru dari lantai tempatnya berpijak, membentuk garis yang terhubung satu sama lain, membentuk persegi, lalu bergerak ke atas, menjadi dinding perisai yang mengunci mereka berdua di dalamnya. Warna mata Markus masih belum berubah, membuatnya menunduk ketakutan karena tidak berani menatap Markus.
“Warlock itu unik. Salah sedikit saja mereka melangkah, mereka akan menjadi bawahan iblis, menjalin kontrak berbahaya yang justru akan merugikan mereka sendiri. Dulu banyak sekali warlock yang haus akan kekuatan dan kekuasaan, tidak segan untuk membunuh manusia dan berakhir menjadi budak iblis. Makanya, yang ingin kutekankan di sini adalah, untuk menjadi seorang warlock yang hebat, bukan hanya kekuatan sihir saja yang diperlukan, tapi juga kebijaksanaan, kemampuan mengontrol emosi, dan respek terhadap alam di sekitarmu. Mau bagaimana pun, sihir itu sebenarnya meminjam kekuatan alam.” Markus merenggangkan otot tubuhnya. “Apa yang diajarkan Cedric padamu itu belum cukup membantumu bertahan hidup. Oh, satu lagi. Kalau kamu kehilangan kontrol diri, tubuhmu akan hancur dan menjadi debu.”
“Masa!?” Gabriella langsung mengangkat wajahnya, sehingga matanya bertemu pandang dengan Markus.
Tawa Markus meledak seketika mendengar responnya tadi. “Nggak. Yang terakhir itu bohong. Reaksimu lucu sekali.”
Sialan. Aku dikerjai.
Gabriella kini mengerti kenapa Cedric jarang membicarakan keluarganya. Punya seorang kakak yang menyebalkan kayak gini sih, siapa yang suka? Untung dia anak tunggal.
“Sudah cukup main-mainnya.” Kata-kata Markus tadi jelas membuatnya melotot ke arah laki-laki yang sama sekali tidak menggubrisnya, karena jelas-jelas perkataan Markus itu lebih cocok ditujukan untuk laki-laki ini. “Aku akan membantumu untuk mengingat kontrakmu dengan Cedric. Itu akan membantumu mengaktifkan kemampuan melacakmu.”
“Kontrak? Kontrak apa?”
Markus menghela napas panjang seraya memegang dahinya, terlihat capek. “Astaga, kok PR-ku banyak sekali, sih? Begini, keberadaan Cedric di sampingmu selama ini bukan karena dia itu teman kakekmu yang diminta untuk menemanimu saja. Semua ingatanmu tentang itu dihapus sama Cedric. Untuk detailnya kamu akan tahu nanti. Tapi sebagai gantinya, bisa kamu memberitahuku nama temanmu yang tadi kuelus kepalanya itu?”
“Frida, maksudmu? Untuk apa? Apa ini berhubungan dengan—”
Oh, ia paham sekarang. Sepertinya Markus tertarik dengan Frida. Laki-laki itu tersenyum puas.
“Bagus kalau sudah paham. Sekarang waktunya pertunjukan. Kamu siap?”
Tidak ada waktu baginya untuk memikirkan tawaran Markus. Ia harus mengetahui semua kebenaran yang disembunyikan dari Cedric dan kakeknya selama ini. Kalau dugaan Markus soal Cedric itu benar, berarti saat ini Cedric dalam masalah dan membutuhkan bantuannya—walaupun ia tahu Cedric itu tipe yang tidak mungkin mau mengatakannya secara terang-terangan. Harga diri Cedric yang berbanding lurus dengan sifat keras kepalanya itu menjadi indikator yang cukup baginya untuk mengambil keputusan ini.
“Aku suka semangatmu, Gabriella. Sekarang, aktifkan kemampuanmu.”
“Seperti ini?” Gabriella mengaktifkan kemampuannya. Iris matanya yang hitam kini berubah menjadi warna mata kucing.
“Bagus. Seperti itu. Sisanya, pegang tanganku.”
Gabriella menuruti perintah Markus, memegang tangan Markus yang terasa dingin seperti es.
ZRUUUTT!
Semua yang ada di sekeliling Gabriella berubah. Ruangan tempat ia berdiri saat ini berputar cepat, membawanya ke suatu tempat yang tidak asing baginya, sebuah ruangan dominasi putih dengan kasur dan jarum infus yang terpasang di tangannya. Ia melihat tangannya yang kecil. Kelihatannya ia kembali ke masa lalu, saat ia
berumur 10 tahun dan belum bertemu dengan Cedric.
“Ingat, Gabriella. Kamu tidak bisa melakukan apa pun sekarang. Ini bagian dari ingatanmu yang hilang.”
Suara Markus bergema di dalam kepalanya. Terdengar suara pintu yang terbuka. Lalu tanpa ia sadari, ia sudah menangis ke, berlari memeluk sosok Cedric yang sudah lama tidak ia lihat itu sambil menarik tabung infusnya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments