Cedric memarkirkan mobilnya tepat di sebuah rumah berarsitektur khas Bali yang terlihat lebih mencolok dibandingkan rumah tetangga-tetangga yang dominan minimalis, keluar dari mobilnya. Ia menarik napas dalam dalam sebelum masuk ke rumah Theo—tempat ia dan Gabriella dulu tinggal sebelum pindah ke apartemennya sekarang. Jarinya yang lentik dengan kukunya yang berwarna hitam itu menekan bel rumah di depan gerbang rumah itu berkali-kali dengan tempo cepat karena pemilik rumahnya belum juga muncul, hingga terdengar suara orang mengumpat dari dalam sana.
“Kamu rupanya. Masuk.”
Wajah pria tua itu yang awalnya kecut, mendadak cerah begitu melihatnya. Ia mengangguk, memberi salam pada temannya—demi kesopanan—lalu masuk ke dalam.
“Gimana kabar cucuku? Kukira bakal dateng sama Gabbie tadi.”
“Ada yang lebih penting lagi dari itu, kurasa.” Cedric mendongak ke atas, memandangi langit-langit ruang tamu yang terlihat jelas ukiran Bali di atas sana. Setiap kali ia mengunjungi rumah ini, ia selalu merasa seperti melakukan perjalanan waktu ke masa lalu. Ia membalikkan badan, menolak dengan halus tawaran Theo untuk duduk. Waktunya tidak banyak.
“Firasatku nggak enak soal Gabbie.”
“Ada apa memang? Apa jangan-jangan, mereka sudah mulai mengincar cucuku?”
Cedric menggeleng, agak ragu untuk mengatakannya. Apa sebaiknya ia mengatakan saja pembicaraannya dengan Markus di telepon tadi? Mungkin saja Theo tahu sesuatu soal itu, yang bisa membantunya lebih siap menghadapi musuh yang entah kapan akan datang. Ah, kayaknya nanti saja. Ia belum tahu apa yang dimaksud Markus di telepon tadi.
“Aku nggak tahu. Ini hanya untuk berjaga-jaga. Padahal katamu mereka sudah janji tidak akan mengusik cucumu, bukan? Kenapa sekarang malah bergerak lagi?”
Theo menggumam, memejamkan kedua matanya, mencoba mengingat sesuatu, lalu menyerah. “Kupikir setelah waktu itu aku negosiasi, semuanya sudah selesai dengan aku yang mengambil alih hak asuh atas cucuku.”
“Entahlah. Aku takut kalau ramalanmu itu benar-benar akan terjadi, Theo.” Ia melirik arlojinya. Waktunya tinggal seperempat jam lagi, dan ia harus cepat. Markus sangat benci dengan keterlambatan.
“Aku harus pergi. Sebaiknya kutanya detailnya sama Markus.” Ia merapikan kembali jasnya yang terlihat sedikit berantakan. “Kalau nanti terjadi apa-apa denganku, hanya kamu harapan terakhir Gabbie.”
“Harusnya kan aku yang ngomong gitu, Cedric! Jelas-jelas aku yang minta tolong sama kamu sepuluh tahun yang lalu buat ngejagain cucu kecilku, malah kamu yang—”
Cedric menatap tajam pria tua itu, membuat pria tua itu akhirnya berhenti mengomel.
“Kamu serius Cedric?”
“Emang pernah aku bercanda soal begini?”
“Nggak, sih. Kamu itu masih aja galak, Cedric.”
Ia memutar bola matanya, memandang kesal Theo. Astaga, apa ini gara-gara pria tua itu terlalu lama berada di dunia manusia, sehingga otaknya jadi lamban mencerna situasi?
“Sampai nanti.” Kakinya melangkah keluar dari rumah itu, meninggalkan Theo yang terlihat memikirkan informasi yang baru saja ia sampaikan pada pria tua itu. Sekarang, ia harus bergegas menuju kantor Markus.
***
Dengan menggunakan kemampuan teleportasinya, ia berhasil tiba di kantor Markus yang berada di dimensi iblis, dalam hitungan detik. Ia memarkirkan mobilnya di parkiran yang ada di halaman depan gedung ini. Sekali lagi, ia merapikan pakaiannya, lalu memasuki gedung yang ada di hadapannya ini.
Interior di dalam gedung tempat kantor Markus masih tidak berubah—dominasi warna hitam dan merah yang begitu mencekam, sama seperti aura Markus yang suram dan terlihat menakutkan untuk yang baru pertama kali bertemu dengan kakak laki-lakinya itu. Ia bersiul, menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, sambil sesekali membenarkan kerah lehernya. Ia tidak pernah nyaman memakai baju formal, dan tidak akan pernah, tapi Markus selalu menuntutnya untuk mengenakan pakaian formal agar terlihat lebih keren. Konyol memang, tapi itu kakaknya. Kata ‘eksentrik’ adalah kata yang pas untuk menggambarkan kepribadian Markus yang sebenarnya. Langkahnya bergema di koridor, begitu sepi. Hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang di sepanjang koridor— rata-rata adalah karyawan Markus yang dulunya adalah arwah dari orang-orang yang meninggal tidak wajar dan penuh dendam lalu direkrut oleh Markus—menyapanya dengan wajah pucat mereka yang selalu datar, bergerak seperti robot, ‘standar industri’ kebanggaan Markus. Entah bagaimana Markus berhasil mengubah arwah-arwah penasaran yang pastinya sulit untuk dikontrol karena perasaan dendamnya yang kuat menjadi seperti sekarang, lengkap dengan tubuh manusia mereka yang seharusnya sudah tidak ada.
Begitu ia berdiri di depan kantor Markus, ia mengetuk pintu ruangan itu.
“Masuk.”
Markus menyapanya dengan wajahnya yang terlihat jauh lebih capek dibandingkan terakhir kali ia menemui pria itu. Kantung matanya tebal, dan berkali-kali menguap lebar, tapi memaksakan diri untuk tersenyum dan menyapanya dengan ramah, memintanya untuk duduk. Dikeluarkannya pembayaran nyawa Derrick hari ini, menyerahkannya pada Markus yang langsung memanggil sekretarisnya untuk meletakkannya di tempat lain.
“Jadi, ada informasi apa?”
“Seperti biasa, to the point banget.” Markus berjalan menuju kursi tamu, merebahkan tubuhnya di sana. “Aku nggak yakin kamu suka ini. Bukan berita bagus, kurasa.”
“Bagus atau nggaknya, biar aku yang nentuin.”
“Oke.” Markus memejamkan matanya berkali-kali, berusaha keras untuk tidak kehilangan konsentrasi. Ah, sebentar lagi kakaknya itu pasti akan ambruk kalau begini terus, gumamnya dalam hati. Tapi ia sama sekali tidak berniat untuk membantu kakaknya. Bukan urusannya. Lagipula untuk apa? Toh juga kakaknya pasti bisa mengurus dirinya sendiri.
“Ada pergerakan musuh yang mengarah pada Gabriella Paradox. Aku sudah mengirim intelku untuk mencari informasi, dan baru kudapat hari ini.” Mata Markus memandangnya lekat-lekat, terlihat begitu takut dengan informasi yang ia dapatkan. Firasatnya benar, ini memang berhubungan dengan Gabriella.
“Lalu?”
“Mereka mengincar Gabriella. Ada kekuatan terpendam pada wanita itu yang aku sendiri belum tahu. Mungkin kamu tahu sesuatu?”
Ia menggeleng. “Kalau tahu, pasti sudah kukatakan sejak awal.”
“Benar juga.” Markus menggumam. Alisnya berkerut, memikirkan sesuatu. “Mereka kuat, berbeda dengan yang biasa kita hadapi. Kekuatannya itu terlihat sangat tidak normal. Mereka bukan manusia, juga bukan iblis. Hybrid, kalau bisa kukatakan. Dan satu lagi yang mesti kuberitahu padamu, Cedric. Mereka punya tanda seperti tato di belakang lehernya. Dugaanku sekarang, itu kelemahannya. Jadi, kalau kamu bertemu dengannya, usahakan untuk langsung menyerang titik itu.”
“Yakin sekali kamu soal deduksimu itu?”
“Intelku berhasil meringkus satu dari mereka. Begitu aku menggores tato yang ada di belakang lehernya, tahananku langsung menjerit kesakitan, dan mati setelah kubiarkan dia merasakan rasa sakit itu selama empat jam. Puas sekali rasanya. Jeritannya itu, bagaimana mengatakannya, ya? Terdengar sangat indah di telingaku. Andai aja
bisa kubawa pulang, pasti bakal jadi peliharaan favoritku. Kamu setuju kan, Cedric?”
“Aku nggak komen. Nggak minat sama begituan, makasih.”
“Ckck, itu seni Cedric, seni—”
“Dibilang nggak minat tuh nggak minat, ****! Dengerin dong kata orang!” Ia sudah tidak bisa lagi menahan jengkel. Wajah Markus yang pucat tadi terlihat begitu bersemangat saat mengatakan temuannya itu, yang segera ia bekap mulut kakaknya itu agar tidak mengoceh lagi. Kenapa ia harus mendengar hal aneh seperti ini? Kenapa juga Markus itu ditakdirkan sebagai kakaknya? Dengar deskripsi Markus soal tahanannya tadi, ia yakin itu pasti ke arah yang kotor.
“Sekali lagi kamu ngomong hal yang jurus ke sana, aku berhenti dari pekerjaanku. Paham?”
Markus mengangguk. Ia menjauhkan tangannya dari mulut Markus, yang membalasnya sambil merengut.
“Jangan galak-galak, Cedric. Nanti ditinggal sama Gabriella kesayanganmu loh.”
“Gak bakal. Hubunganku sama Gabbie bukan ke arah sana.”
“Tuh, kan. Dengar nama cewek itu disebut aja kamu udah sewot. Yakin kamu gak naruh perasaan sama
Gabriella? Gak masalah kok, kalau ada. Aku nggak pernah ngelarang kamu untuk jalin hubungan sama kontraktor.”
“Aku yang nggak tertarik.”
“Tapi aku nggak pernah lihat kamu punya pacar. Apa mau kucariin? Cewek, cowok, atau yang gender non-conforming? Aku punya banyak kenalan—”
Markus seketika berhenti saat mendapati Cedric sudah mendelik padanya, memberikannya tatapan-ingin-membunuh. Laki-laki itu angkat tangan, mengangguk paham.
“Itu saja informasinya?”
“Untuk sementara hanya itu yang bisa kuberitahu padamu. Aku takutnya, hari ini mereka akan bergerak. Pokoknya hati-hati. Tingkatkan pengawasanmu, terutama di malam hari. Mereka lebih kuat saat malam tiba.”
Ia hanya menggumam sekenanya, beranjak dari kursinya, meninggalkan kantor Markus.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments