Kenyang rasanya.
Gabriella memegang perutnya, nyaris tidak bisa bergerak setelah menghabiskan semua panekuk itu. Butuh waktu lama baginya untuk mencerna semua makanan itu. Ia berjalan menyusuri koridor gedung kampusnya menuju kelasnya. Begitu tiba di kelas, ia menghampiri bangku favoritnya yang seperti biasa, bersebelahan dengan Ari yang selalu datang lebih awal darinya sambil mendengarkan musik dari ponselnya, menjauhkan earphone yang dikenakannya dari telinganya, memandangnya kebingungan. Ia meletakkan tasnya di atas meja, menyandarkan kepalanya pada tas itu sambil menghela napas panjang.
Ekspresi Ari yang selalu terlihat dingin di mata orang-orang yang belum mengenal temannya ini dengan baik itu seakan bertanya padanya.
“Cedric. Lagi-lagi ia menyuruhku menghabiskan sarapanku hari ini.”
Ari mengibaskan rambut pendeknya yang berwarna ungu muda dan riasan wajahnya yang bernuansa gotik—sesuai dengan pakaian yang bergaya rock yang dipadu dengan jas kampus, memandang layar ponselnya, terlihat tidak tertarik dengan apa yang ia katakan tadi. “Bagus dong, nyuruh kamu buat sarapan.”
“Apanya!? Coba aja kalau kamu tahu sebanyak apa porsi sarapan yang dia buat hari ini, pasti kamu ngerti deh penderitaan yang harus kulalui setiap hari seperti apa!” Ia membenamkan wajahnya ke tasnya, menggerutu. Pikirannya terus mengumpati Cedric. Ari, yang sudah memasukkan ponselnya ke dalam saku jasnya, menepuk pelan pundaknya, memberitahunya kalau dosen yang mereka tunggu sudah datang. Ia langsung membenarkan posisi duduknya.
***
Gabriella merenggangkan otot tubuhnya yang kaku karena terus duduk hampir seharian. Baru saja ia
kembali dari perpustakaan dan mengumpulkan tugas dari dosennya melalui surel yang akhirnya selesai juga, ia mendapat pesan dari Frida mengenai festival di kampusnya yang akan diadakan beberapa bulan lagi. Sebagai bagian dari anggota BEM, ia menjadi salah satu orang yang bertanggung jawab untuk mengurus festival itu. Padahal baru saja ia berencana untuk menelepon Cedric, memintanya untuk menjemputnya sekarang. Jam di ponselnya menunjukkan pukul 3 sore, di mana biasanya ia akan mengirim pesan pada laki-laki itu untuk segera menjemputnya. Ia mendesah, kesal karena jam pulangnya direnggut, membuka aplikasi LINE, mengirim pesan pada laki-laki itu untuk menjemputnya pukul 9 malam, dan menjejalkan ponselnya ke dalam tas setelah selesai mengirim pesan dan mengaktifkan mode hening di ponselnya. Ia tidak berniat membaca pesan balasan Cedric. Pasti laki-laki itu akan merecokinya dengan banyak pertanyaan yang malas ia jawab. Hitung-hitung, balas dendam atas kejahatan yang dilakukan Cedric pagi tadi.
“Ayo, Gabbie! Udah telat, nih!”
Suara Frida yang keras mengagetkannya. Ia mengangguk, berlari menghampiri Frida yang sudah menunggunya di depan pintu masuk ruang rapat.
Bulu kuduknya bergidik saat ia hendak masuk ke dalam ruang rapat. Rasanya seperti ada yang mengawasinya. Ia berbalik, melihat ke koridor. Hanya ada beberapa mahasiswa yang mengenakan jas kampus berlalu-lalang di sana. Tidak ada sosok mencurigakan. Perasaannya tidak enak.
“Gabbie? Anak-anak udah pada nungguin, nih!”
“Ah, iya.”
Ia masuk ke dalam ruang rapat, berusaha meyakinkan diri kalau apa yang ia rasakan tadi hanya perasaannya saja.
***
Jam di layar ponselnya sudah menunjukkan pukul 3 sore. Ia baru saja selesai membuatkan tiramisu yang ia
janjikan pada Gabriella saat ponselnya berbunyi, tanda pesan masuk dari Gabriella, memintanya untuk menjemputnya pukul 9 malam. Ada rapat di kampusnya, yang ia tidak tahu acara apa karena Gabriella sama sekali tidak memberitahu saat ia menanyakannya. Karena itu ia sekarang berada di atas tempat tidurnya, berusaha untuk beristirahat, tapi tidak bisa. Tubuhnya seakan tidak mau diajak bekerja sama untuk tidur. Kata-kata Markus tadi masih terngiang di telinganya.
“Aku takutnya hari ini mereka akan bergerak. Pokoknya hati-hati. Tingkatkan pengawasanmu, terutama di malam hari. Mereka lebih kuat saat malam tiba.”
Ia belum pernah mendengar makhluk yang seperti itu. Apakah itu seperti cerita-cerita vampir yang sering ditonton Gabriella setiap akhir pekan itu? Vampir dan serigala juga lebih kuat saat malam tiba. Ah, tapi makhluk seperti itu kan hanya ada dalam cerita legenda. Kenyataannya, vampir yang pernah ia temui sama sekali tidak mengonsumsi darah. Mereka sama seperti iblis yang bertahan hidup dengan mengisap energi manusia dan biasanya tidak sampai se-dramatis yang ada di dalam cerita-cerita vampir.
Ia mendecak, mengumpat dirinya sendiri karena sempat memikirkan hal selugu itu.
Seperti apa makhluk hybrid itu? Apa wujudnya seperti manusia? Markus juga masih belum tahu apa kekuatan mereka, tapi benar kata kakaknya. Tidak ada salahnya jika ia bersiap-siap.
Ia mengenyahkan pikirannya. Sekali lagi, ia mengambil ponselnya, memandangi isi pesannya yang belum dibaca oleh Gabriella. Ia terus memandangi foto profil Gabriella yang baru diperbarui minggu lalu, memperlihatkan wanita itu yang tengah memakan puding buatannya yang tidak pernah ditolak oleh wanita itu, di ruang tamu. Ia memeluk bantal tidurnya sambil tengkurap, memainkan ponselnya. Tangannya bergerak membuka aplikasi Instagram, melihat status Gabriella. Waktu awal ia memiliki ponsel, Gabriella memaksanya untuk membuat akun Instagram, yang pada awalnya jelas ia tolak. Ia tidak mau terlihat secara publik. Tapi melihat wajah memelas Gabriella yang selalu menjadi andalan wanita itu setiap kali merajuk, ia menyerah, meminta wanita itu untuk membuatkannya dengan catatan semua identitasnya dipalsukan, dan tidak boleh ada keberadaannya di akunnya maupun akun wanita itu. Ia ingat, saat wanita itu melompat senang, bolak-balik memeluknya begitu ia setuju, dan merebut ponselnya. Begitu selesai, Gabriella memperlihatkan ponsel mereka berdua. Di keterangan profil wanita itu tertulis hal yang sama dengan profilnya.
Always together.
Wanita itu sama sekali belum merubahnya. Ia menelusuri foto-foto di sana, yang semuanya hanya berisi foto wanita itu yang tengah menikmati makanan yang ia masak. Ia baru melihat kalau wanita itu baru saja mengunggah foto yang tengah menikmati panekuk buatannya tadi pagi.
Dasar, saingan sama apa sih dia itu? Selalu saja memperbarui status bersamaan dengannya.
"Yakin kamu gak naruh perasaan sama Gabriella?"
Kata-kata Markus tadi tiba-tiba terlintas di pikirannya. Ia menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran itu, tapi kata-kata Markus itu seakan terus membayangi pikirannya. Jujur saja, pertanyaan itu sebenarnya juga tidak bisa ia jawab. Ia terlanjur nyaman dengan statusnya sebagai paman dan keponakan, tapi di sisi lain, melihat wanita itu perlahan tumbuh menjadi wanita dewasa, ia mulai tidak yakin sampai berapa lama hubungan seperti akan terus berlangsung. Ia ingin agar bahaya yang mengintai wanita itu segera berakhir, lalu bisa melihatnya menikah dengan orang yang disukainya. Setelah itu…
Ia baru sadar satu hal. Setelah itu, apa rencananya? Tidak mungkin ia terus-menerus berada di sisi wanita
itu selamanya. Manusia yang memiliki setengah darah iblis memiliki umur yang sama dengan manusia pada umumnya. Pendek, tidak sepertinya yang bisa berumur panjang dan tetap terlihat muda. Minatnya untuk bermain ponsel sudah lenyap. Diletakkannya ponselnya itu di sampingnya, lalu ia memejamkan kedua matanya, mencoba untuk tertidur. Berharap ia bisa menenangkan pikirannya yang kalut.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments