Episode 2

Cedric memarkirkan mobilnya di depan gedung kampus Gabriella, dan wanita itu segera membuka pintu mobilnya, meraih tasnya, dan kepala wanita itu nyaris membentur langit-langit mobil karenanya. Ia mendecakkan lidah seraya menggeleng pelan. Wanita itu masih saja ceroboh.

“Aku berangkat dulu.”

“Hati-hati. Nanti kalau udah selesai bilang, ya?”

Wanita itu mendengus kesal, lalu menutup pintu mobilnya seraya memeletkan lidah. “Iya, Ma.”

“Mama dengkulmu!”

Gabriella tertawa puas begitu melihat reaksinya, lalu berjalan memasuki gedung kampusnya dengan senang. Setelah yakin kalau wanita itu sudah masuk ke dalam, ia memutar balik mobilnya, meninggalkan gedung kampus yang mulai dipenuhi oleh mahasiswa.

Baru saja mobilnya keluar dari areal kampus Gabriella, ia mendengar suara dering ponselnya yang ia tempelkan di dekat kemudi mobilnya. Diliriknya sekilas layar ponselnya untuk mengetahui siapa orang yang meneleponnya pagi-pagi begini, dan segera tangannya menekan tombol hijau begitu melihat nama Markus—kakak laki-lakinya, di layar ponselnya.

“Halo, ada apa? Aku masih di jalan.”

“Cedric, bisa nggak kamu ke sini secepatnya? Ada hal yang harus kubicarakan. Penting.”

Suara Markus terdengar aneh, membuatnya khawatir. Tapi di sisi lain, pekerjaannya hari ini tidak bisa menunggu. Ada seorang pria tua kaya bernama Derrick yang harus membayar kontraknya hari ini. Jika lewat sedetik saja, nyawa pria yang saat ini berada di rumah sakit dan menunggu kematiannya itu akan diambil oleh makhluk bawahan Tuhan—atau apa yang disebut dengan malaikat kematian, yang itu berarti ia tidak akan menerima pembayarannya.

“Bisa gak ditunda dulu? Aku masih harus menagih pembayaran hari ini.”

Terdengar suara Markus yang menggumam keberatan, mempertimbangkan permintaan Cedric, lalu menghela napas panjang. “Oke, kukasih waktu dua jam. Setelah itu cepat ke sini. Paham?”

“Ya. Aku ngerti.”

Dan sambungan telepon terputus.

Layar ponselnya mati. Ia memusatkan perhatiannya ke jalan raya. Suara Markus yang terdengar khawatir itu sedikit mengalihkan perhatiannya dari pekerjaannya hari ini. Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan Gabriella? Apakah ada hal buruk yang akan terjadi pada wanita itu?

Nggak, nggak boleh. Memikirkan gagasan itu saja sudah membuatnya bergidik ngeri. Gabriella pasti akan baik-baik saja.

Tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi pada wanita itu, Cedric. Tidak akan, selama ada dia di sisi wanita itu, semua akan baik-baik saja.

Ia terus menggumamkan kata-kata yang sebenarnya lebih ditujukan pada dirinya sendiri, berusaha mengenyahkan gagasan buruk tentang Gabriella. Tangannya menggeser tuas transmisi mobilnya, menaikkan laju kecepatan mobilnya. Pikirannya hanya terfokus pada dua hal.

Secepatnya menyelesaikan pekerjaannya, dan mengunjungi kantor kakaknya.

...****************...

Menyusuri lorong koridor rumah sakit, ia menggenggam botol kecil yang berisi pembayaran kontrak Derric—nyawa pria tua itu sendiri, lalu memasukkannya ke dalam saku jasnya seraya bersiul pelan untuk merayakan kemenangannya. Ia nyaris telat, karena saat ia selesai menerima pembayaran dari pria yang jeritan kesakitan diikuti

dengan permohonan pria itu agar diberi kesempatan kedua untuk hidup (yang tentunya tidak ia gubris) sangat menyakitkan telinganya, ia melihat malaikat kematian yang bertugas mengumpulkan nyawa manusia, berjalan mendekati ruangannya. Untungnya, ia bisa menghindar sebelum malaikat kematian itu menyadari keberadaannya.

Saat ia menyusuri lorong koridor ini, ia teringat akan pertemuan pertamanya dengan Gabriella, di rumah sakit ini. Di sini, di lorong  yang sama gelapnya dengan sewaktu pertama kali ia mengunjungi tempat ini, dengan Gabriella kecil yang terlihat jauh lebih pucat dan sendu dibandingkan Gabriella yang sekarang ia kenal.

“Paman, temani aku tidur.”

Ia tertawa pelan, teringat akan Gabriella yang sampai sekarang pun masih tidak berani tidur sendiri. Waktu itu Gabriella kecil tidak percaya kalau dia adalah teman kakeknya, tapi setiap malam selalu memintanya untuk menemaninya tidur, atau kalau Gabriella ingin, membacakan dongeng sebelum tidur untuk menghilangkan rasa takutnya.

Oh, ia sampai lupa. Setelah ini ia harus mengunjungi Theo. Kakek wanita itu mungkin tahu sesuatu. Ada baiknya jika ia berjaga-jaga. Ia melirik arloji yang terpasang di tangan kanannya, menarik napas lega. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum mengunjungi Markus.

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!