Episode 5

Nada dering ponselnya terus berdering, mengganggu waktu istirahatnya. Ia melempar bantalnya yang tanpa sadar ia peluk saat tidur. Tangannya menggapai ponselnya yang ia letakkan di sampingnya dengan mata setengah terpejam, masih mengantuk.

Sudah berapa lama ia tertidur? Ponselnya kembali berdering setelah 10 detik berhenti. Dari nada deringnya, ia rasa itu pasti Gabriella. Ia sengaja memasang nada dering khusus untuk wanita itu agar ia bisa langsung mengenalinya. Sambil menepuk kedua pipinya agar kantuknya hilang, ia menekan tombol hijau, mendekatkan ponselnya di dekat telinganya.

“Gabbie?”

“Cedric, kamu di mana? Aku udah selesai, nih.”

Suara Gabriella terdengar aneh di telepon. Cedric menjauhkan ponselnya untuk melihat jam, terkejut karena

sudah enam jam ia tertidur. Pasti wanita itu sudah menunggu lama. Biasanya sih wanita itu tidak akan masalah kalau ia telat beberapa menit, tapi kali ini, kelihatannya berbeda. Refleks, ia memfokuskan diri pada suara yang ia bisa tangkap dari ponselnya.

“Masih di rumah. Sebentar lagi aku ke sana. Tunggu.”

“Cepet, Cedric…”

Perasaannya tidak enak saat mendengar suara Gabriella. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya, mengganti pakaiannya dengan sweater baby purple-nya dan celana jins hitamnya, dan berlari secepat kilat menuju pintu masuk apartemen, mengenakan ankle boot berwarna cokelat kesayangannya, dengan tangan kanannya yang masih memegang ponsel sementara tangan kirinya meraih kunci mobil yang ada di nakas dekat pintu masuk apartemen.

“Iya, lima menit aku bakal sampe di sana. Di sana masih ada orang?”

“Cuma tinggal aku aja sekarang.” Ia bisa mendengar Gabriella yang sepertinya sedang menahan diri agar

tidak menangis. Selesai mengunci pintu apartemen, ia berlari menuju tangga darurat, dan segera melompat ke dasar yang menghubungkannya dengan area parkir mobil bawah tanah.

“Gabbie, tenang. Aku bakal cepat sampai di sana. Sementara ini, kamu tunggu di dekat lapangan basket saja, jangan di dalam gedung.”

“Iya, aku udah di luar sekarang. Tapi kayaknya ada yang ngikutin aku. Jangan-jangan hantu kampus yang dibicarain seniorku waktu itu beneran ada lagi? Aku takut.”

Ia tersenyum kecut, lega memikirkan betapa sempitnya pemikiran wanita itu, yang berarti wanita itu belum menyadari kalau saat ini berada dalam bahaya. Ia sudah masuk ke dalam mobil setelah membuat portal dimensi yang bisa menghubungkannya menuju gang depan kampus Gabriella—agar wanita itu tidak kaget saat melihatnya nanti. Begitu menyalakan mesin, ia melajukan mobilnya menuju portal dimensinya.

“Nggak, nggak bakal! Pokoknya tunggu di tempat yang kubilang tadi, jangan melakukan apa pun! Paham?”

Tidak butuh waktu lama baginya untuk tiba di gang depan kampus Gabriella dengan portal dimensinya. Tangannya memutar kemudi mobilnya, menggerakkan mobil itu dengan kecepatan  nyaris penuh di jalan yang cukup untuk dua mobil itu, memasuki pintu gerbang kampus Gabriella. Terasa sedikit janggal di sekitar tempat ini, gumamnya dalam hati. Padahal biasanya, di jam-jam seperti ini masih cukup ramai, dan dari tadi ia tidak menjumpai manusia seorang pun—bahkan petugas jaga juga tidak ada. Firasatnya tidak enak.

“Gabbie, aku udah sampe!” Ia memutuskan panggilan setelah melihat Gabriella yang meringkuk ketakutan di dekat lapangan basket. Kelihatannya wanita itu sudah menangis karena terlalu takut. Ia mendecakkan lidahnya, frustrasi. Harusnya ia tidak ketiduran tadi.

Ia memarkirkan mobilnya di dekat Gabriella, membuka kasar pintu mobil itu, membanting pintunya dengan sekuat tenaga, dan segera menghampiri Gabriella, memeluk wanita itu dengan erat agar berhenti menangis.

“Maaf telat. Aku di sini sekarang. Kamu aman. Kamu baik-baik saja. Jangan khawatir.”

***

Firasat Gabriella benar.

Ada yang mengawasinya. Ia tahu itu, tapi ia tidak bisa mengetahui siapa yang mengawasinya. Berulang kali ia mencoba menelepon Cedric, tapi tidak ada jawaban. Apa laki-laki itu masih tidur?

Sekali lagi, ia mencoba menelepon laki-laki itu. Kalau sampai yang ini tidak diangkat juga, habislah dia.

“Gabbie?”

Syukurlah, laki-laki itu mengangkat teleponnya. Suara laki-laki itu terdengar berat. Sepertinya laki-laki itu baru bangun dari tidurnya.

“Cedric, kamu di mana? Aku udah selesai, nih.”

Sebisa mungkin ia berusaha untuk tetap tenang. Namun, suaranya yang gemetaran itu tidak berhasil menutupi rasa takutnya. Sekarang ia keluar dari gedung kampusnya, berdiri di depan pintu masuk. Ia terus memandang sekeliling. Bagus, setelah Frida pamit pulang lima menit yang lalu, sekarang tinggal dia saja di tempat ini. Aura di tempatnya berdiri semakin mencekam. Sayup-sayup ia mendengar suara seorang wanita yang bernyanyi di belakangnya, bergema di koridor yang lampu penerangannya mulai redup. Udara di sekitarnya terasa dingin, hingga menusuk ke dalam tulangnya, membuatnya menggigil karenanya. Matanya berkeliling, mencari seseorang yang setidaknya bisa mengurangi rasa takutnya saat ini, tapi tidak ada seorang pun di sini. Bahkan, petugas jaga yang biasanya bertugas sampai malam pun juga tidak ada.

Aneh.

“Masih di rumah. Sebentar lagi aku ke sana. Tunggu.”

“Cepet, Cedric…”

“Iya, lima menit aku bakal sampe. Di sana masih ada orang?”

“Cuma tinggal aku aja sekarang.”

Suara itu rasanya semakin mendekat. Kakinya lemas, tidak sanggup berjalan lebih jauh lagi. Ketakutan mulai menguasainya.

“Gabbie, tenang. Aku bakal cepat sampai di sana. Sementara ini, kamu tunggu di dekat lapangan basket saja, jangan di dalam gedung.”

“Iya, aku udah di luar sekarang. Tapi kayaknya ada yang ngikutin aku. Jangan-jangan hantu kampus yang dibicarain seniorku waktu itu beneran ada lagi? Aku takut.”

Apa ini karma karena waktu itu mengatai seniornya yang menceritakan pengalaman horornya?

“Nggak, nggak bakal! Pokoknya tunggu di tempat yang kubilang tadi, jangan melakukan apa pun! Paham?”

Ia memaksakan kedua kakinya, berlari menuju lapangan basket. Aura yang ia rasakan tadi semakin mencekam. Angin malam ini berembus kencang. Suara wanita itu sudah tidak terdengar lagi olehnya. Cepat-cepat ia meringkuk, melafalkan ayat-ayat di Alkitab yang ia ingat, dengan ponselnya yang masih ia tempel di dekat telinganya. Air matanya mulai mengalir deras. Ia sudah tidak tahan lagi.

“Gabbie, aku udah sampe!”

Terdengar suara mobil yang mendekat ke arahnya, disusul dengan bunyi pintu mobil yang terbuka dan dibanting dengan kasar, dan langkah kaki Cedric yang berlari menghampirinya secepat mungkin, langsung memeluknya dengan erat.

Jantung Gabriella berdebar kencang.

Bukan. Ini bukan karena Cedric yang memeluknya dengan erat—sesuatu yang jarang sekali dilakukan oleh

laki-laki ini. Suara debaran jantung laki-laki ini begitu kencang, dan pelukannya yang erat itu membuatnya nyaris tidak bisa bernapas karenanya.

“Maaf telat. Aku di sini sekarang. Kamu aman. Kamu baik-baik saja. Jangan khawatir.” Suara Cedric yang berbisik mengkhawatirkannya itu malah terdengar sangat seksi di telinganya. Seluruh tubuh Cedric gemetar hebat, dan kata-kata laki-laki ini seolah ditujukan untuk laki-laki ini sendiri, bukan untuk menenangkannya.

Bukan. Bukan itu semua. Ini karena hal lain. Darah yang mengalir di dalam tubuhnya terasa begitu panas,

mendidih, hingga membuat matanya berkunang-kunang. Begitu Cedric melepaskan pelukannya, semua yang ia rasakan tadi menghilang. Laki-laki ini memegang pundaknya dengan erat, membuatnya sedikit meringis padanya. Cedric memandangnya. Sorot mata laki-laki ini berubah drastis begitu mengamati matanya.

“Gabbie, matamu… tidak mungkin …” Bibir Cedric bergetar saat mengatakannya, tidak percaya dengan apa

yang dilihat laki-laki ini dari matanya.

“Mataku kenapa—” Ia berhenti bertanya, menyadari ada yang salah dengan matanya. Tadi jelas-jelas ia tidak bisa melihat apa pun, mengandalkan cahaya senter dari ponselnya karena seluruh penerangan yang ada di areal kampusnya tiba-tiba mati begitu ia keluar dari kampus, mengikuti arahan Cedric. Tapi sekarang, ia bisa melihat dengan jelas semuanya, jauh lebih jelas. Matanya memandunya untuk melihat Cedric, dan tubuhnya membeku seketika.

Apa itu?

Ia melihat selaput yang berkobar seperti api yang berwarna hitam, bergerak mengelilingi tubuh Cedric hingga seluruh tubuh laki-laki ini nyaris tidak dapat dilihat, membuatnya merinding. Padahal ia yakin saat Cedric datang menghampirinya, ia tidak melihat semua ini. Ia menyentuh salah satu selaput tadi, dan tidak membakar jarinya.

“Jangan sekarang, Gabbie.” Laki-laki ini menahan tangannya agar tidak lagi memegangnya seraya menggeleng pelan, menuntunnya untuk masuk ke dalam mobil.

“Sebenarnya ada apa, sih!?” Gabriella melepaskan tangan Cedric darinya dengan kasar, menuntut penjelasan dari laki-laki ini yang sibuk menelepon seseorang sambil mengamati sekeliling. Diam-diam, ia mengamati tangan Cedric yang meraih sesuatu dari kantung sweaternya setelah menjejalkan ponselnya kembali ke dalam saku celananya.

Pisau belati?

Tubuhnya gemetar ketakutan. Apa laki-laki ini akan membunuhnya? Sepertinya tidak mungkin. Cedric baru saja memeluknya seerat itu. Tidak. Senjata itu pasti bukan untuk menyerangnya. Cedric sama sekali tidak menyadari kalau ia terus mengamati laki-laki ini. Ia mengikuti arah mata Cedric, baru memahami untuk apa pisau belati tersebut. Dari arah barat daya, 900 meter dari mereka, ada seorang pria berpakaian hitam yang tengah memegang senapan laras panjang, bersembunyi di sela-sela gedung jurusan komunikasi—gedung kampus Irna dan Frida—siap untuk memuntahkan pelurunya ke arah mereka. Bukan. Ia yakin sekali kalau target pria itu adalah Cedric.

Sial! Ia harus cepat!

Ia menarik tangan Cedric, berencana untuk menjauhkan Cedric, saat tangan laki-laki ini justru sudah melemparkan pisau belatinya tepat ke jantung pria itu sebelum sempat menembakkan senapannya, membuat pria itu mati seketika. Ia bergidik ngeri saat Cedric menarik lagi pisau belatinya kembali padanya, dan memandangnya dengan tatapan jengkel.

“Kamu itu ngapain, Gabbie! ***** itu ada batasnya!” Cedric melepaskan tangannya,  menghela napas panjang saat menyadari ketakutannya.

“Cedric, apa orang itu sudah mati?”

Cedric memandang ke arah pria yang ia bunuh tadi dengan tenang. “Ya. Situasinya bahaya, jadi kamu cepat masuk ke dalam.”

Tanpa ragu, laki-laki ini mendorongnya masuk ke dalam mobil sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, memakaikannya sabuk pengaman dan mengunci semua pintu mobilnya, lalu berbalik memunggunginya. Sesaat ia melihat sorot mata Cedric yang dingin—sesuatu yang tidak pernah ia lihat dari laki-laki ini sebelumnya.

Ah, nggak. Ia pernah melihat sorot mata yang sama dari Cedric saat pertemuan pertamanya mereka di rumah sakit. Dari kejauhan, ia melihat sekelompok orang bergerak cepat dari atap gedung kampusnya, lalu mendarat tepat di depan pintu lobi gedung barat kampus hingga memunculkan debu di sekitar mereka. Samar-samar, ia mendengar suara kakeknya di luar sana.

Kakek? Kapan kakeknya ada di sini? Jelas-jelas ia tidak melihat siapa pun di sini selain Cedric di tempat ini. Belum lagi, jarak dari rumah kakeknya ke kampus ini sangat jauh, butuh waktu satu jam perjalanan dengan mobil. Bagaimana bisa kakeknya ada di sini sekarang?

Tubuhnya berbalik, memandang ke kaca belakang mobil. Benar. Ia melihat kakeknya di samping Cedric terlihat serius membicarakan sesuatu. Di belakang kakeknya, ada sebuah lubang berukuran besar, berbentuk seperti tornado. Cedric menyerahkan kunci mobilnya pada kakek, lalu bergerak maju mendekati kelompok orang-orang itu. Suara pintu mobil yang terbuka mengagetkannya. Cepat-cepat ia kembali ke posisi semula. Kakek masuk ke dalam mobil, memandang sekilas ke arah matanya, lalu menghela napas panjang.

“Kita harus pergi dari sini, Malaikat Kecilku.” Kakeknya membelai rambut Gabriella, lalu menyalakan mobilnya, memutar mundur mobil itu menuju lubang tornado tadi.

"Tapi Cedric gimana, Kek?”

Kakeknya tidak menjawab pertanyaannya. Mata kakeknya tertuju pada lubang yang akan mereka masuki. Sontak ia beralih pada Cedric, yang kini bergerak maju menyerang kelompok itu. Kalau melihat kemampuan membunuh Cedric yang akurat tadi, seharusnya laki-laki itu akan menang dengan mudah walaupun musuhnya banyak. Tapi firasatnya tidak enak saat matanya menemukan sosok laki-laki bertopeng harimau yang berada di belakang orang-orang itu. Sosoknya begitu mengerikan. Ia merasakan adanya bahaya dari sosok itu. Tidak. Ia tidak boleh membiarkan laki-laki itu berjuang sendirian. Ia juga harus berada di sana. Tangannya bergerak, berusaha melepaskan sabuk pengamannya agar bisa keluar dari mobil ini.

Sial. Kenapa sabuk pengaman ini sulit sekali untuk dilepas? Harusnya ia tidak membutuhkan waktu lama hanya untuk membuka sabuk pengaman ini.

Tangannya terus bergerak hingga lecet dan kemerahan, tapi ia berusaha mengabaikan rasa sakitnya. Pikirannya terfokus pada Cedric.

KLIK!

Sabuk pengamannya berhasil terbuka. Ia senang, bergegas membuka pintu mobilnya. Sialnya, begitu ia membuka pintu mobilnya, bukan halaman depan areal kampusnya yang ada di hadapannya. Melainkan rumah kakeknya, tepat di halaman garasi kakek yang biasanya kosong. Kakeknya menyuruhnya untuk keluar dari mobil, lalu mengunci mobil Cedric dan berjalan masuk ke dalam rumah, seolah tidak mengkhawatirkan keadaan Cedric sama sekali. Gabriella bergegas menghampiri kakeknya, menahan tangan kakeknya agar berbalik menghadapinya.

“Kek! Cedric gimana!?”

“Besok Kakek ceritakan semua ke kamu. Sekarang kamu masuk ke kamarmu. Cepat!” Kakek membentaknya untuk pertama kalinya, membuatnya ketakutan. Gabriella terpaksa mengikuti perintah kakeknya, masuk ke dalam kamar yang dulu ditempatinya sebelum pindah ke apartemen baru bersama Cedric. Ia duduk di atas lantai, menghadap nakas seraya memejamkan kedua matanya, membentuk tanda salib dengan tangannya. Belum sempat ia mengucapkan doa, tubuhnya terasa seperti terbakar. Ia membuka kembali kedua matanya, mendapati ada luka bakar di bahunya yang menutup begitu ia tidak mengucapkan doa itu lagi. Kesal karena mencoba berkali-kali, dan tetap sama, ia menyandarkan tubuhnya ke kasur, menyerah untuk berdoa. Matanya memandang langit-langit kamar. Pikirannya masih tertuju pada Cedric. Apa laki-laki itu baik-baik saja?

***

Setelah memastikan bahwa Gabriella sudah berada di tangan Theo dan pergi meninggalkan tempat ini, ia berbalik, bergerak maju mendekati musuh yang berpakaian serba hitam dengan wajah mereka yang tertutup sepenuhnya oleh cadar, menyisakan mata mereka yang mengarah padanya. Dari tebakannya, ada sekitar dua puluh orang di sana. Bukan jumlah yang seimbang rupanya. Ia tidak gentar. Kakinya melebar, menyiapkan kuda-kuda, dengan kedua tangannya memegang pisau belati yang ia alirkan sihirnya, membuat pisau belati ini lebih tajam dari senjata apa pun. Orang-orang itu tanpa ragu langsung menyerangnya. Tangannya dengan lincah menebas orang-orang itu seakan sedang menari, diikuti dengan suara teriakan menyakitkan dari musuhnya itu. Salah seorang dari mereka berhasil memegang bahunya, memutar tubuhnya, siap menghujamkan tangannya yang ternyata berbentuk seperti cakar elang. Dengan cepat, Cedric menangkis serangan orang itu, berhasil mencekik leher orang itu hingga patah, dan ia melemparkan jasad orang itu setelah menghisap energi kehidupan orang itu.

Manusia? Tapi kenapa tangannya berbentuk cakar?

Di antara semua orang itu, ia menangkap sosok yang sepertinya adalah pemimpin mereka.

DRAP! DRAP! DRAP!

Ia bergerak cepat, berderap mendekati sosok yang mengenakan topeng harimau. Kakinya mengincar topeng itu, dan sialnya, ia kalah cepat. Sosok itu melompat dengan lincahnya, berhasil menghindari serangannya, dan balik menendangnya, hingga ia terpental jauh. Ia mengusap pipinya yang membentur tanah, mengeluarkan darah.

“Mati kamu!”

Orang itu melompat menghampirinya, dengan kakinya yang mengarah langsung ke dada Cedric. Cedric berguling ke kanan, menghindari serangan orang itu. Di belakangnya, ada beberapa orang menerjangnya dengan tangan mereka yang memegang pistol, memuntahkan isi peluru mereka ke arahnya.

“SIAL!”

Cepat-cepat ia membuat perisai untuk melindunginya dari serangan dua sisi tersebut. Peluru itu berbalik menyerang orang-orang itu tepat di titik vital mereka, membuat mereka mati seketika, kecuali sosok bertopeng harimau itu.

KREK! KREK!

Sosok itu menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, memandang lurus ke arahnya. Tangannya menarik beberapa orang yang tersisa, mengisap energi kehidupan mereka hingga tubuh orang-orang itu hancur menjadi debu, menyisakan sosok itu seorang, yang menjadi jauh lebih kuat setelah menghisap energi mereka. Rupanya ada yang lebih sadis lagi darinya.

“Dengan begini, kita seimbang.”

Gerakan orang itu kini jauh lebih cepat dari sebelumnya. Matanya sempat menangkap tato yang ada di belakang leher orang itu.

Sial. Hari ini ia berhadapan langsung dengan makhluk hybrid yang dikatakan Markus tadi siang. Kalau begitu, ia tidak perlu sungkan menggunakan kekuatannya secara penuh.

GROAAARR!!

DRAP!

DRAP!

Ia berlari mundur, menghindari serangan mendadak dari musuhnya, meletakkan kedua tangannya di depan wajahnya. Secepat kilat, ia berubah wujud menjadi sosok iblisnya, menghantam kepala musuhnya dengan kaki belakangnya hingga terpental sejauh 100 meter. Sosok itu tertawa, bersamaan dengan seluruh tubuhnya yang berubah menjadi makhluk aneh yang baru kali itu ia lihat—berwujud seperti naga berukuran 4 meter dengan kepalanya yang masih mengenakan topeng harimau, lengkap dengan sayapnya. Dari mulut monster itu keluar api yang nyaris mengenainya kalau ia tidak segera menjauh dari monster itu.

“TAMAT RIWAYATMU, CEDRIC!”

Hebat. Monster itu tahu namanya, gumamnya dalam hati. Ia memutar balik, berlari ke belakang monster itu,

melompat hingga tubuhnya mencapai leher monster itu. Tangannya memutar pisau belatinya, menghunuskannya tepat pada tato itu, mengiris tubuh monster itu hingga terbelah menjadi dua bagian begitu ia mendarat ke tanah. Tubuh monster itu ambruk di atas tanah dan meledak, menghujankan debu yang bercampur dengan darah monster itu mengenainya.

CKITT!

Rasa sakit menyerang seluruh tubuhnya. Darah dari monster yang bercampur debu itu meresap masuk ke dalam tubuhnya, bergerak seperti racun. Seluruh tubuhnya mati rasa, membuatnya terpaksa harus membatalkan rencananya untuk langsung pulang, beristirahat di tempat ini sampai tubuhnya berhasil memulihkan diri.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!