Contract With Devil

Contract With Devil

Episode 1

Cedric membuka kedua matanya, menyadari bahwa Gabriella lagi-lagi menyelinap masuk ke dalam selimutnya, masih tertidur lelap. Ia tersenyum, membelai lembut rambut panjang bergelombang Gabriella yang kecokelatan itu. Padahal sudah dua tahun berlalu sejak mereka memutuskan tinggal di apartemen ini. Ia sengaja mencari apartemen yang kamar tidurnya bersebelahan agar Gabriella tidak takut tidur sendiri, tapi wanita ini masih saja mencari cara untuk bisa tidur bersamanya. Alasannya selalu sama: Wanita ini takut gelap dan hantu. Ah, andai saja wanita itu tahu kalau dalam tubuhnya mengalir setengah darah iblis.

Ia tertawa pelan memikirkan gagasan itu, lalu beranjak dari tempat tidurnya. Hari ini Gabriella ada kelas pagi, jadi setidaknya ia harus menyiapkan sarapan untuk wanita yang tingginya tidak pernah tumbuh lebih dari 160 sentimeter sejak lulus SMA itu agar wanita itu bisa sarapan. Berusaha sebisa mungkin agar tidak membangunkan Gabriella, ia keluar dari kamarnya menuju ruang dapur yang menyatu dengan ruang makan, berada tepat di depan kamarnya. Ia harus bergegas, karena kalau ia terlambat sedikit saja, Gabriella pasti bisa menemukan berbagai alasan untuk melewatkan sarapannya, dan ia tidak suka itu. Tangannya membuka lemari atas, mengambil bahan-bahan makanan untuk membuat panekuk seraya bersenandung dengan gumaman pelan, lalu menyalakan kompor listrik dan memanaskan teflonnya setelah selesai membuat adonan panekuknya.

Ya, hari ini pun ia harus bisa membuat berat badan Gabriella naik satu kilogram lagi. Wanita itu

terlalu kurus, dan terlalu sering melewatkan waktu makannya, membuatnya khawatir. Panekuk tinggi kalori buatannya pasti akan membantunya mencapai keinginannya. Ia tersenyum puas, membayangkan wanita itu akan memakan dengan mulut yang penuh panekuk buatannya sambil terus mengeluh karena porsi yang terlalu banyak—alasan yang selalu dikatakan oleh Gabriella yang tidak pernah ia gubris. Sambil mengamati adonan panekuknya yang meletup-letup di atas teflonnya, ia menghela napas lega.

Bagus. Kehidupan Gabriella hari ini juga akan normal. Tidak ada gangguan, tidak ada serangan dari musuh. Semua aman terkendali. Ramalan Theo—kakek Gabriella yang menitipkan penjagaan Gabriella padanya untuk sementara waktu belum terjadi, dan ia sama sekali tidak mengharapkan ramalan itu akan menjadi kenyataan walaupun tahu ramalan kakek Gabriella itu selalu akurat. Setiap harinya ia lalui dengan terus berusaha meyakinkan diri bahwa ramalan itu tidak akan pernah terjadi.

Ia tidak ingin wanita itu mati, sesuai yang dideskripsikan Theo padanya sepuluh tahun yang lalu. Tidak—ia sama sekali tidak menginginkannya, begitu juga dengan Theo. Gabriella memang bukan siapa-siapa untuknya, hanya seorang wanita yang kemarin baru saja melewati ulang tahunnya yang ke-20, wanita yang kekanakan, bawel, dan polos, cucu dari orang yang sudah menyelamatkannya dari kematian beberapa ratus tahun yang lalu. Tidak ada yang spesial dari Gabriella, tapi ia tetap memutuskan untuk berada di samping wanita itu sampai kapan pun.

Panekuk pertamanya sudah matang. Ia mengambil piring berdiameter 18 sentimeter, meletakkan panekuknya di atas piring itu, lalu menambahkan whipped cream di atasnya. Ia kembali menuangkan adonan keduanya di atas teflon, terus mengulanginya hingga adonan terakhir habis.

***

Panekuk buatannya sudah jadi.

Ia menyeka keringat di dahinya, terlihat puas dengan hasilnya. Tangannya meraih ponsel yang ada di sampingnya, memotret hasil kreasinya itu beberapa kali, mengeditnya, dan setelah puas dengan hasilnya, ia mempostingnya ke Instagram. Ia memukul pancinya, membuat suara sekeras mungkin agar Gabriella terbangun. Biasanya, ini selalu berhasil. Tidak butuh lama untuk melihat Gabriella yang keluar dari kamarnya dengan langkah terseok-seok karena mengantuk. Matanya setengah terpejam saat berjalan, sehingga berkali-kali nyaris tersandung. Sambil menguap lebar, Gabriella berjalan menuju ruang makan.

“Sarapannya udah jadi. Dihabiskan, jangan sampai nggak habis.”

“Kamu udah makan?”

“Udah.” Lagi-lagi ia berbohong. Ia tidak mungkin mengatakan pada Gabriella kalau tubuhnya tidak bisa mencerna makanan manusia.

Gabriella mengangguk malas, menarik kursinya dan duduk, lalu matanya membelalak lebar begitu melihat panekuk yang ia buat. Wanita itu menelan ludah, melotot beberapa kali, menunjuk 10 piring berdiameter 18 cm.

“Aku makan dua piring aja, ya?”

Ia memasang senyum penuh arti untuk Gabriella. Sepertinya rasa kantuk wanita ini sudah lenyap.

“Kamu kira aku b**i apa, makan sebanyak ini? Ogah, ah! Pokoknya dua piring aja, titik!” Wanita itu

menyilangkan kedua tangannya di depan dada, memalingkan wajahnya ke arah lain, protes dengan jumlah porsi makanan yang menurut Gabriella terlalu banyak. Ia sama sekali tidak terpancing dengan rengekan Gabriella. Wanita itu menghentakkan kedua kakinya, terus menggeleng.

“Gabriella Sayang. Gak ada tawar-menawar. Udah capek-capek buatin spesial loh, buat kamu.”

Seperti biasanya, wanita yang ada di depannya saat ini menutup telinganya dengan kedua tangannya, berpura-pura tidak mendengar sama sekali. Sikap wanita ini malah membuatnya semakin sebal. Ia tidak tahan lagi. Tangannya langsung menarik tangan wanita itu agar wanita itu mau mendengarnya.

“Dengerin orang ngomong, ****!”

“Bawel! Kan udah kubilang juga aku itu sibuk banget, jadi gak mungkin sempet makan semua ini! Kamu mau bikin aku muntah di kelas nanti gara-gara makanan yang kamu buat ini? Ini sih porsi buat sepuluh orang! Gila ya!”

“Oh, bagus! Berani kamu ngelawan aku sekarang? Kamu yang minta, ya. Kalau gitu, nanti malam tidur aja di lantai. Kalo laper, jilat aja lantainya. Aku gak bakal bikinin tiramisu lagi hari ini!”

Sikap Gabriella berubah begitu mendengar kata ‘tiramisu’. Segera wanita ini merubah posisi duduknya. Kini terlihat Gabriella yang memandangnya dengan pose imutnya, andalannya saat berusaha merajuk.

“Cedric baik banget!”

Ia memutar bola matanya, mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha tidak memandangi Gabriella. Wanita ini selalu menggunakan jurus andalannya setiap kali ia kesal, sama sepertinya yang menggunakan kelemahan wanita ini akan makanan manis agar wanita ini mau mengikuti keinginannya. Hari ini ia tidak akan tertipu. Hmph!

“Ya udah, makan sampai habis. Masih ada waktu setengah jam lagi buat sarapan.”

“Tapi—”

“Tiramisu, Gabbie Sayang. Ingat tiramisunya.”

Gabriella akhirnya menyerah, menggembungkan kedua pipinya, lalu memakan panekuknya. Ia berbalik,

menuju dapur untuk memasukkan semua peralatan masaknya tadi ke dalam mesin pencuci piring, lalu melepas apron putih. Saat ia kembali ke ruang makan untuk melihat Gabriella, ternyata wanita itu sudah memakan hampir setengah dari porsi yang ia buat. Ia lega, lalu berjalan melewati Gabriella, menuju kamarnya.

Bagus, Gabbie sudah jatuh dalam jebakannya, gumamnya dalam hati. Ia tersenyum licik. Tentu saja, ia sengaja membuat panekuk dengan porsi sebanyak itu, ditambah dengan sedikit ramuan sihirnya yang ia masukkan ke dalam makanan itu. Ia melirik sekilas ke arah Gabriella, yang kini tengah menikmatinya, puas karena berhasil membuat Gabriella ketagihan.

***

Laki-laki ini gila.

Gabriella menelan ludah, melihat sepuluh piring berisi panekuk lengkap dengan whipped cream di setiap lapisnya dan sirup maple yang menyelimuti panekuk yang terlihat sangat lembut, tertata apik di atas meja makan. Rasa kantuknya langsung hilang, berganti dengan perasaan ingin muntah. Ia yakin kalau ia tidak mungkin sanggup memakan semua ini. Namun dengan santainya laki-laki ini memberi isyarat dengan mata cokelatnya yang seperti magnet itu, memintanya agar menghabiskan panekuk yang dibuat laki-laki ini seolah semua piring yang ada di hadapannya itu hanya cemilan kecil seukuran telapak tangan yang bisa ia habiskan dalam sekejap. Lain ceritanya kalau Cedric juga ikut makan bersamanya, tapi laki-laki in mengatakan kalau ia sudah sarapan—kebohongan yang selalu dikatakan Cedric setiap kali bertanya apakah laki-laki ini sudah makan atau belum.

Ia tahu kalau laki-laki ini pasti tidak akan memberikannya kesempatan untuk menawar, tapi ia harus melakukannya. Ini demi keselamatan perutnya.

“Aku makan dua piring aja, ya?”

Cedric memberikannya senyuman penuh arti—tanda kalau dia tidak boleh menolak untuk menyisakan panekuknya.

“Kamu kira aku b**i apa, makan sebanyak ini? Ogah, ah! Pokoknya dua piring aja, titik!” Ia bersedekap, memalingkan wajahnya ke arah lain, sekali lagi mencari kesempatan untuk menawar agar laki-laki ini memperbolehkannya untuk memakan hanya dua piring. Karena serius, mengingat tugas yang belum dikumpul minggu ini saja sudah menghilangkan selera makannya. Tidak ada waktu untuk makan sebanyak ini. Ia melirik Cedric yang masih kukuh dengan pendiriannya. Kesal karena tidak bisa membuat Cedric luluh, ia menghentakkan kedua kakinya, terus menggeleng, menolak.

“Gabbie sayang. Gak ada tawar-menawar. Udah capek-capek buatin spesial loh, buat kamu.”

Menakutkan!

Ia segera memejamkan kedua matanya seraya menutup kedua telinganya, berpura-pura tidak mendengar

kata-kata Cedric tadi. Laki-laki ini langsung menarik tangannya menjauh dari telinganya.

“Dengerin orang ngomong, ****!”

Kamu tuh yang harusnya dengerin, umpatnya dalam hati. Cedric bukan tipe orang yang mudah luluh. Sangat keras kepala, sadis—apalagi kalau menyangkut soal makanan, dan bawelnya mengalahkan ibu-ibu. Memang sih, dilihat dari luar, penampilan Cedric ini sangat keren. Bayangkan saja, mana ada orang yang memiliki mata cokelat yang melihatnya saja seperti magnet yang seakan-akan mampu menghisapnya. Rambut pendeknya yang berwarna hitam di sisi kanan dan putih di sisi kirinya. Bibirnya yang tipis dan terlihat begitu menggoda, dan kulitnya yang pucat itu membuat laki-laki ini terlihat seperti Edward Cullen dalam serial film Twilight yang dulu pernah ia tonton sewaktu SD. Karena itu ia berusaha mati-matian mencari cara agar bisa mendekati laki-laki ini. Bukan mendekati dalam arti harfiah karena secara teknis ia sudah tinggal berdua dengan Cedric sejak dua tahun lalu di apartemen ini, meninggalkan rumah kakeknya yang terlalu jauh dari kampusnya. Bukan itu. Ia ingin laki-laki ini menyadari perasaan yang sudah ia pendam sejak awal pertemuan mereka di rumah sakit sepuluh tahun yang lalu, saat ia masih sering jatuh sakit karena penyakit jantungnya yang kini sudah sembuh.

Sesederhana itu keinginannya. Tapi semua upaya yang ia lakukan tidak pernah berhasil. Di mata laki-laki ini, apa pun yang ia lakukan tidak pernah menarik. Mungkin karena, di mata Cedric, ia terlihat seperti anak-anak, berbeda dari laki-laki ini yang sudah pasti memiliki banyak pengalaman berhubungan dengan banyak orang. Kakek selalu mengatakan padanya setiap kali ia mengeluhkan sikap keras kepala Cedric, kalau laki-laki ini adalah tipe yang kaku. Bahkan kakek pun tidak bisa berkutik dengan sikap keras kepala Cedric.

Kata orang, umur 20 adalah umur seseorang sudah beranjak dewasa. Apa berarti ia bisa menggunakan haknya untuk menentang permintaan Cedric hari ini? Kenapa tidak? Lagipula, ia hidup di negara yang menjunjung tinggi demokrasi, bukan negara komunis yang menghendaki rakyatnya untuk menurut pada apa pun keinginan pemimpin negara. Harusnya tidak masalah, bukan? Ia memasang wajah masam, siap untuk meledakkan amarahnya.

“Bawel! Kan udah kubilang juga aku itu sibuk banget, jadi gak mungkin sempet makan semua ini! Kamu mau bikin aku muntah di kelas nanti gara-gara makanan yang kamu buat ini? Ini sih porsi buat sepuluh orang! Gila ya!”

Ya, seperti ini. Ia yakin Cedric pasti akan mengalah, dan dia menang. Harus begitu.

“Oh, bagus! Berani kamu ngelawan aku sekarang? Kamu yang minta, ya. Kalau gitu, nanti malam tidur aja di lantai. Kalo laper, jilat aja lantainya. Aku gak bakal bikinin tiramisu lagi hari ini!”

Tadi Cedric bilang apa? Tiramisu? Menggiurkan sih, tapi kalau dia menerima tiramisu itu, berarti dia kalah dong? Nggak, ia harus tegas. Semuanya demi keadilan. Keadilan yang harus ia dapatkan. Kebebasan untuk berpendapat dan menolak. Ia harus bisa. Harus. Ia tidak boleh kalah dari tiramisu Cedric yang menggiurkan itu. Yang terasa lembut begitu menyentuh lidahnya. Ia menggeleng cepat, berusaha menahan diri agar tidak jatuh dalam perangkap Cedric. Iya, ini pasti perangkap Cedric, supaya ia tidak protes lagi, jadi laki-laki itu akan terus membuatkan makanan sebanyak ini sampai kapan pun. Membayangkan gagasan itu saja sudah mengerikan.

Tapi, tiramisu Cedric itu memang enak sih. Apa sebaiknya ia menyerah saja?

Bayangan tiramisu buatan Cedric berputar di kepalanya. Tiramisu yang ada di dalam pikirannya itu seakan memanggilnya dengan lembut dengan sosoknya yang begitu menggoda. Ah, sial. Tiramisu sialan. Terkutuklah semua makanan enak buatan Cedric.

Ini demi tiramisu. Ya, demi tiramisu. Bukan karena Cedric. Terpaksa, ia membuang harga dirinya, berdehem, dan memasang pose super imut andalannya—menopang wajahnya dengan kedua tangannya yang menyandar di atas meja seraya memasang puppy eyes—agar laki-laki itu tidak marah lagi padanya. Ah, bukan. Demi tiramisunya.

“Cedric baik banget!”

“Ya udah, makan sampai habis. Masih ada waktu setengah jam lagi buat sarapan.”

“Tapi—”

“Tiramisu, Gabbie Sayang. Ingat tiramisunya.”

Ia menyerah, menggembungkan kedua pipinya. Sudah tidak ada pilihan lain selain menghabiskan semua makanan ini rupanya. Agak enggan, ia menyuapkan sesendok panekuk itu ke dalam mulutnya.

Astaga, ini enak banget!

Seakan seperti ada sihir yang diberikan laki-laki ini ke dalam makanannya, ia memakan piring pertamanya dengan lahap hingga habis tidak bersisa, lalu mengambil piring selanjutnya. Rasanya aneh. Jelas-jelas tadi ia yakin kalau selera makannya hilang, dan ia tidak ingin makan banyak. Kenapa memakan masakan buatan Cedric selalu membuatnya ingin memakan lagi dan lagi?

Ia baru teringat kalau belum mengunggah foto sarapannya hari ini ke Instagram—ritual harian yang selalu ia lakukan setiap kali Cedric memasak untuknya. Ia berlari ke kamarnya, mengambil ponselnya, dan kembali ke meja makan. Ia memotret panekuk yang belum ia habiskan berkali-kali hingga ia puas dengan hasilnya, dan melanjutkan kembali sarapannya.

***

Terpopuler

Comments

nananaaa🌞

nananaaa🌞

aku mampir Thor🙂

2020-12-02

2

sembiring meilala

sembiring meilala

keren kk

mampir lagi ya ke Reborn little army

2020-06-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!