Black Poison
Bukan pertemuan yang memulai segalanya, namun takdir yang merencanakan pertemuan yang mengawali segalanya
________________________
From: kerajaan.pasultan.@hahahihihuhu.com
To: blackpoison@hahahihihuhu.com
Tolong hilangkan anak dari Teuku Abdiwijaya Prasetyo, tepat di hari ulang tahunnya. Pukul 10:00 pm. Bayaran 2M.
Di depan layar monitor yang menyala dan menampilkan pesan elektronik yang ia gemari, seseorang duduk bersila. Orang itu menyeringai lebar. Ia tertawa singkat, kemudian mengetik balasan.
Misi diterima. Akan diproses.
Detik berikutnya, ia mematikan layar dan meminum sisa kopi hitam super pahit kegemarannya untuk setelahnya terlelap di dinginnya lantai kamar berukuran 2x2 meter.
\*\*\*
Kedatangan empat pemuda ke kantin Universitas Tinggi Negeri atau yang biasa disebut UTN itu membuat suasana semakin berisik. Langkah empat pemuda itu gagah, seolah diberi efek slow motion dengan tatapan-tatapan memuja di sekelilingnya.
Tiga dari empat pemuda itu jelas menarik perhatian, namun yang paling tengah, ialah yang menjadi sorotan utama dan pertama.
"Eh, ada Sultan, ada Sultan!"
"Woi, liat si ganteng!"
"Sini ngumpul deket gue!"
"Ayo berjajar, biar kebagian semua!"
Tak ada yang tak mengenal pemuda dengan rambut hitam legam, mata tajam dan wajah dingin andalannya itu. Pemuda dengan jaket kulit mahal dan outfit lainnya yang bermerek itu, selalu menjadi pusat segala perhatian. Selalu dijunjung, dipuja dan disanjung.
Dia Sultan Teuku Prasetyo. Anak tunggal dari Raja Teuku Abdiwijaya Prasetyo yang kini memerintah di kerajaan Prasetyo dengan wewenang daerah seluruh Yogyakarta. Kehidupannya selalu mewah dan dari kemewahan yang ia punya, ia bisa memengaruhi siapapun.
Banyak yang ingin dekat dengannya, banyak yang ingin memanfaatkannya, banyak juga yang ingin membunuhnya, namun Sultan punya banyak tameng untuk melindungi dirinya.
Dengan wajah arogan super dingin dan tatapan tajam bak belati, ia dapat mengusir siapapun yang menggangu hidupnya. Belum lagi Sultan memiliki sabuk hitam taekwondo yang dapat ia gunakan untuk membela diri.
Sempurna adalah kata yang tepat untuk menggambarkan Sultan.
"Masih aja gue heran sama anak-anak yang ngeliatin kita segitunya," kata Arka, salah satu dari empat pemuda itu, tiba-tiba ketika keempatnya telah duduk di meja paling tengah yang sangat menarik perhatian. Meja tersebut telah resmi menjadi milik mereka sejak pertama kali masuk. Tak ada yang berani mendudukinya sampai kini. "Padahal gue nyapa aja nggak. Yang lainnya juga."
Arka memiliki kulit yang agak gelap dan ramah pada wajahnya. Mudah bagi orang-orang mengenalinya karena pribadinya yang supel.
Teman Arka banyak, namun yang satu dan utama, tentu Sultan Teuku Prasetyo. Bukan maksud Arka memanfaatkan Sultan untuk membuatnya terkenal, tapi memang sejak dulu Sultan dan dirinya kenal. Sejak Sekolah Dasar sampai kini. Mereka telah akrab dan tak ada yang namanya saling memanfaatkan untuk kepuasan pribadi.
"Bukan kita, tapi Sultan, ege," tukas Gerald, laki-laki keturunan Eropa yang memiliki logat British yang kuat. Kulitnya sangat kontras dengan Arka dan dikenal memiliki banyak kenalan perempuan. "Lo tau seberapa besarnya pesona yang dia pancarkan, tapi masih aja bego. Dasar."
Dengan kepandaiannya bermain kata-kata, ia dapat bergaul dengan Sultan dan menjadi kawanannya sejak SMA. Mungkin pertama kali melihat Sultan, laki-laki itu tampak angkuh dan dingin. Namun setelah Gerald menggunakan beberapa taktik, pada akhirnya Sultan tak terlihat seperti itu.
Sultan seperti orang normal lainnya, meski masih sangat tertutup padanya kini.
"Sultan mah bebas," sahut Alfin tak mau kalah bersuara. Jika Sultan adalah anak Raja, maka Alfin adalah anak perdana menteri. Keduanya sama-sama keturunan darah biru yang tak bisa disepelekan keberadaannya. "Nggak nyapa juga tetep dipuja-puja."
"Sayangnya, Arka nggak bisa bebas," keluh Arka sedih, pura-pura mengelap matanya yang bahkan tak berair sama sekali. "Gue jutek dikit aja langsung diblacklist sama ciwi-ciwi."
"Gue juga," sambung Gerald ikut-ikutan. "Sedih gue, yang perhatiin Sultan lebih banyak. Ibarat nih ya, gue ikut gula, Sultan ikut garem, tapi semut malah banyak ngerubungin garem."
"Aneh," kata Gerald dan Alfin bersamaan tanpa perlu diaba-abakan.
Melihatnya, Arka geleng-geleng kepala dengan wajah prihatin. "Emang ya, yang namanya ketololan itu nggak perlu dikompak-kompakin. Udah kompak dari lahir."
"Setan," umpat Alfin merasa tersentuh oleh kata-kata Arka. "Heh, sawo matang, kalau IPK lo 3,8 gue akuin deh dibilang tolol sama lo, tapi kalau Bahasa Indonesia lo masih 75, gue sama sekali nggak terima, ya."
"Heh, cicak Amerika, Bahasa Indonesia gue sekarang 76, ya!" seru Arka membela diri karena tak terima fakta tentang nilainya yang keliru.
"Cih, beda 0,1 kok tubir, dasar biawak Papua."
Gerald langsung memukul meja, membuat perhatian teralih padanya. Arka dan Alfin menoleh padanya dengan tatapan tanya. Mata Gerald menyorot serius dan wajahnya berubah angkuh. "Kalau Bahasa Inggris lo masih 60, gue nggak terima dibilang tolol, Ka."
"Yeeeeeeee," sebal Arka. "Gue kan cuma bercanda, jangan dimasukin ke ati, dong. Baper amat lo buaya bule."
"Berisik lo pada," kata Sultan dingin, jelas tak suka dengan ocehan teman-temannya yang tak bermutu itu. "Kantin itu buat makan, bukan buat adu bacot."
Arka, Alfin dan Gerald langsung hormat tanpa harus diberi aba-aba untuk kompak. "Siap, Sultan."
Sultan memejamkan matanya sesaat, kemudian menyalakan ponselnya untuk menghubungi nomor seseorang. Tanpa menempelkan ponselnya pada telinga, Sultan mendengar sapa dari ponselnya yang berada dalam mode panggilan loudspeaker.
"Iya, Tuan?"
"Empat porsi. Di meja biasanya."
Sultan langsung menyentuh ponselnya lagi, membuat panggilan tersebut putus bahkan sebelum durasinya menyentuh 3 detik. Tiga temannya hanya memperhatikan dalam diam, sudah takdirnya Sultan menjadi pribadi yang begitu dingin dan agak kejam.
Begitu besar pengaruhnya di sini, sehingga kepala koki pun langsung datang ke mejanya untuk mengantarkan empat paket makan siang. Jika mahasiswa biasa harus mengantri untuk mendapatkan paket makanan berat, Sultan dan tiga teman dekatnya memiliki kartu emas yang membuat mereka tak perlu menyatu dengan yang biasanya.
"Hari ini menunya daging kukus, ikan bakar, salad buah, tumis kangkung, selada dan mentimun, Tuan," jelas Pak Harsa, kepala koki UTN, kepada Sultan yang hanya mengangguk sebagai balasannya. "Selamat menikmati, Tuan."
"Makasih, Pak!" seru Alfin bahagia. "Ini kesukaan Alfin, nih."
Arka langsung melahap tumis kangkung dan mengunyahnya sambil mengangkat jempol untuk Pak Harsa. Matanya membulat senang. "Enak, Pak! Mantep!"
"Thanks, Mister," sambung Gerald tak mau kalah bicara. "Selada is my favorite food. I want to be a sheep. Mbeeeee."
"Gobs," tukas Alfin sambil menjitak kening Gerald yang langsung melotot dan seolah menuntutnya. Alfin tertawa melihatnya. "Biar otak lo bener lagi."
"Bapak boleh kembali bekerja. Jangan hiraukan alien-alien ini." Sultan akhirnya angkat bicara dengan nada dingin dan datar khasnya.
Pak Harsa mengangguk. "Kalau begitu saya pergi, ya."
"Dadah, Pak koki!" seru Arka masih sempatnya sebelum mendapat pukulan pelan di belakang kepalanya dari Sultan yang menandakan agar Arka tak bersuara lagi.
Alfin, Gerald dan Arka paham, betapa sukanya Sultan pada kesunyian. Karenanya, tak ada suara apapun ketika mereka makan. Itu merupakan peraturan tak tertulis sejak pertama kali masuknya Sultan.
Yang mencari masalah, artinya hidupnya di sini tak akan lagi panjang. Dengan pemikiran seperti itu, tak ada yang berani menentang keinginan Sultan.
"Hai, Sultan."
Ya, kecuali satu orang. Dia adalah anak dari ulama besar yang terkenal di Yogyakarta. Perempuan berhijab itu bernama Siti Mariatul Qibtiah. Mata yang selalu jernih itu menatap mata hitam dingin milik Sultan dengan ceria.
"Makannya hati-hati. Nanti keselek."
Berkat sapaan dan pesan yang tiba-tiba itu, Alfin, Arka dan Gerald hampir menggunakan mulutnya untuk menyuruh Siti supaya segera menghilang dari hadapan Sultan sebelum pangeran itu mengeluarkan amarahnya. Namun, Siti rupanya segera berlalu setelah mengatakan beberapa patah kata itu.
Langkahnya yang anggun dan lembut itu dapat membuat seorang lelaki terpesona dan membuat iri seorang perempuan. Dengan balutan yang menutup aurat dengan sempurna itu, Siti menjadi masa depan menjanjikan bagi Sultan.
Mereka berdua dijodohkan. Klise.
Ditinggal Siti, Sultan kembali makan dalam keheningan yang ia pimpin. Tidak, Sultan tidak terganggu dengan kehadiran Siti barusan.
Itu wajar.
***
Dari 300 orang yang dipilih menerima beasiswa untuk dapat kuliah di UTN, Surti termasuk di dalamnya. Perjuangannya satu tahun kemarin membuahkan hasil yang memuaskan tahun ini. Ia telah berkuliah satu tahun setengah dengan dua beasiswa digenggamnya sebagai senjata untuk dapat terus menimba ilmu.
Bagi Surti, tak ada satupun usaha yang gagal. Segala usaha yang telah dikerahkan, pasti menghasilkan sesuatu berupa baik ataupun buruk, positif ataupun negatif. Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah bersyukur atas apapun yang terjadi.
Surti selalu berpikir seperti itu. Oleh karenanya, tak ada satu penyesalan pun di hidupnya. Surti merasa hidupnya ringan dengan bersyukur, senyum di wajahnya selalu ada dan seolah tak bisa pudar.
Meski kini keluarganya telah tiada dan mengharuskan Surti untuk tinggal sendiri serta mandiri, tak pernah satu kali pun Surti mengeluh pada Tuhan atas keadaannya kini. Segalanya telah ditakdirkan.
Takdir ada bukan untuk dikeluhkan, tapi untuk dijalankan untuk mencari jalan benar yang penuh kebahagiaan.
Kini jam istirahat telah tiba, perutnya telah terisi dengan paket makan siang di kantin tadi. Namun, ia ingin membeli es krim untuk mencuci mulutnya.
Masalahnya, ia tak punya uang.
Jelas, ini akhir bulan dan semua orang mengerti masalah apa yang Surti alami. Meski begitu, Surti memiliki jalan keluar. Yang ia butuhkan sekarang adalah kehadiran temannya untuk dipinjami uang. Temannya satu fakultas dengannya, namun hari ini temannya itu entah kemana sejak pagi.
Surti mengambil ponsel jaman dulu yang hanya bisa berkirim SMS, telepon dan memainkan sudoku. Ia menelepon temannya itu dan menempelkan ponsel jadulnya di telinga.
Pada tiga detik nada tunggu, teleponnya diterima.
"Kamu di mana, Bayu?" Surti langsung bertanya.
"Di kantin nih. Kamu sendiri di mana?"
Surti berdecak kecil. Agak mengerutkan kening karena tak kunjung menemukan Bayu di sekeliling kantin. "Kamu pake baju apa? Kok aku nggak juga ngeliat kamu?"
"Aku paket jaket kulit item."
Jawaban Bayu yang sesingkat itu sudah membuat lengkung di bibir Surti tercipta. Tentu, tiga tahun kenal dengan laki-laki Jawa bernama lengkap Bayu Wicjaksono itu membuat Surti hafal bagaimana perawakannya. Tingginya, proporsi tubuh dan gaya rambut simpel yang dibiarkan berwarna hitam.
Surti menutup teleponnya setelah mengatakan 'oke' dan memasukkannya pada saku Levi's belel yang ia kenakan. Surti menemukan Bayu yang sedang berjalan ke arah penjual jus.
Senyum Surti kian mengembangkan ketika menemukan sebuah ide. Ia langsung berlari dan memeluk Bayu dengan erat ketika waktunya telah tepat. Bahkan Surti langsung berteriak, "WAAAA!" dengan tujuan agar Bayu terkejut dan membuatnya tertawa.
Keheningan menyambut seusai Surti mengangetkan Bayu. Dirasakannya tubuh Bayu yang ia peluk itu tak bergerak atau membalas perlakuannya.
Surti mengernyitkan keningnya. "Bay? Kamu kok diem aja?"
Masih keheningan yang membalasnya. Entah perasaan Surti saja atau yang lainnya, tapi suasana kantin pun berubah sunyi. Seluruh mata tertuju padanya, kemudian mereka saling berbisik, saling berkata.
"Itu siapa, anjir, kok meluk-meluk Sultan sembarangan?"
"Heh, itu cewek cari mati kayaknya."
Mata Surti membuat tercengang. Ia segera melepaskan pelukannya dan mundur tiga langkah, bersamaan dengan berbaliknya seseorang yang ia duga Bayu. Betapa kagetnya Surti ketika matanya ditatap dan menatap pada iris mata paling hitam, paling tajam dan paling dingin yang pernah ia temui.
Jelas, Surti tahu siapa yang sekarang sedang ia hadapi. Laki-laki di depannya ini bukan Bayu Wicjaksono, sahabatnya, melainkan Sultan Teuku Prasetyo, pangeran di kerajaan Prasetyo yang sangat disegani itu.
Dan ia telah memeluknya secara memalukan di depan umum beberapa saat yang lalu.
Sultan mendekat satu langkah. Masih mengunci tatapan Surti dengan penuh amarah terpendam. Rahangnya bahkan mengeras dan urat-urat lehernya terlihat, menggambarkan betapa terganggunya dia oleh Surti.
"Mau lo apa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Para Verzia
critanya bagus bgt loh kak😍
2022-12-11
0
Para Verzia
kaku kak baca alamat imelnya😭😭
2022-12-11
0
Yanti Turus
Bahasanya aku suka 👍
Tdk kaku dn enak dibaca. Lanjut Thor nyimak ceritamu 👍
2022-02-19
0