Bukan pertemuan yang memulai segalanya, namun takdir yang merencanakan pertemuan yang mengawali segalanya
________________________
From: kerajaan.pasultan.@hahahihihuhu.com
To: blackpoison@hahahihihuhu.com
Tolong hilangkan anak dari Teuku Abdiwijaya Prasetyo, tepat di hari ulang tahunnya. Pukul 10:00 pm. Bayaran 2M.
Di depan layar monitor yang menyala dan menampilkan pesan elektronik yang ia gemari, seseorang duduk bersila. Orang itu menyeringai lebar. Ia tertawa singkat, kemudian mengetik balasan.
Misi diterima. Akan diproses.
Detik berikutnya, ia mematikan layar dan meminum sisa kopi hitam super pahit kegemarannya untuk setelahnya terlelap di dinginnya lantai kamar berukuran 2x2 meter.
\*\*\*
Kedatangan empat pemuda ke kantin Universitas Tinggi Negeri atau yang biasa disebut UTN itu membuat suasana semakin berisik. Langkah empat pemuda itu gagah, seolah diberi efek slow motion dengan tatapan-tatapan memuja di sekelilingnya.
Tiga dari empat pemuda itu jelas menarik perhatian, namun yang paling tengah, ialah yang menjadi sorotan utama dan pertama.
"Eh, ada Sultan, ada Sultan!"
"Woi, liat si ganteng!"
"Sini ngumpul deket gue!"
"Ayo berjajar, biar kebagian semua!"
Tak ada yang tak mengenal pemuda dengan rambut hitam legam, mata tajam dan wajah dingin andalannya itu. Pemuda dengan jaket kulit mahal dan outfit lainnya yang bermerek itu, selalu menjadi pusat segala perhatian. Selalu dijunjung, dipuja dan disanjung.
Dia Sultan Teuku Prasetyo. Anak tunggal dari Raja Teuku Abdiwijaya Prasetyo yang kini memerintah di kerajaan Prasetyo dengan wewenang daerah seluruh Yogyakarta. Kehidupannya selalu mewah dan dari kemewahan yang ia punya, ia bisa memengaruhi siapapun.
Banyak yang ingin dekat dengannya, banyak yang ingin memanfaatkannya, banyak juga yang ingin membunuhnya, namun Sultan punya banyak tameng untuk melindungi dirinya.
Dengan wajah arogan super dingin dan tatapan tajam bak belati, ia dapat mengusir siapapun yang menggangu hidupnya. Belum lagi Sultan memiliki sabuk hitam taekwondo yang dapat ia gunakan untuk membela diri.
Sempurna adalah kata yang tepat untuk menggambarkan Sultan.
"Masih aja gue heran sama anak-anak yang ngeliatin kita segitunya," kata Arka, salah satu dari empat pemuda itu, tiba-tiba ketika keempatnya telah duduk di meja paling tengah yang sangat menarik perhatian. Meja tersebut telah resmi menjadi milik mereka sejak pertama kali masuk. Tak ada yang berani mendudukinya sampai kini. "Padahal gue nyapa aja nggak. Yang lainnya juga."
Arka memiliki kulit yang agak gelap dan ramah pada wajahnya. Mudah bagi orang-orang mengenalinya karena pribadinya yang supel.
Teman Arka banyak, namun yang satu dan utama, tentu Sultan Teuku Prasetyo. Bukan maksud Arka memanfaatkan Sultan untuk membuatnya terkenal, tapi memang sejak dulu Sultan dan dirinya kenal. Sejak Sekolah Dasar sampai kini. Mereka telah akrab dan tak ada yang namanya saling memanfaatkan untuk kepuasan pribadi.
"Bukan kita, tapi Sultan, ege," tukas Gerald, laki-laki keturunan Eropa yang memiliki logat British yang kuat. Kulitnya sangat kontras dengan Arka dan dikenal memiliki banyak kenalan perempuan. "Lo tau seberapa besarnya pesona yang dia pancarkan, tapi masih aja bego. Dasar."
Dengan kepandaiannya bermain kata-kata, ia dapat bergaul dengan Sultan dan menjadi kawanannya sejak SMA. Mungkin pertama kali melihat Sultan, laki-laki itu tampak angkuh dan dingin. Namun setelah Gerald menggunakan beberapa taktik, pada akhirnya Sultan tak terlihat seperti itu.
Sultan seperti orang normal lainnya, meski masih sangat tertutup padanya kini.
"Sultan mah bebas," sahut Alfin tak mau kalah bersuara. Jika Sultan adalah anak Raja, maka Alfin adalah anak perdana menteri. Keduanya sama-sama keturunan darah biru yang tak bisa disepelekan keberadaannya. "Nggak nyapa juga tetep dipuja-puja."
"Sayangnya, Arka nggak bisa bebas," keluh Arka sedih, pura-pura mengelap matanya yang bahkan tak berair sama sekali. "Gue jutek dikit aja langsung diblacklist sama ciwi-ciwi."
"Gue juga," sambung Gerald ikut-ikutan. "Sedih gue, yang perhatiin Sultan lebih banyak. Ibarat nih ya, gue ikut gula, Sultan ikut garem, tapi semut malah banyak ngerubungin garem."
"Aneh," kata Gerald dan Alfin bersamaan tanpa perlu diaba-abakan.
Melihatnya, Arka geleng-geleng kepala dengan wajah prihatin. "Emang ya, yang namanya ketololan itu nggak perlu dikompak-kompakin. Udah kompak dari lahir."
"Setan," umpat Alfin merasa tersentuh oleh kata-kata Arka. "Heh, sawo matang, kalau IPK lo 3,8 gue akuin deh dibilang tolol sama lo, tapi kalau Bahasa Indonesia lo masih 75, gue sama sekali nggak terima, ya."
"Heh, cicak Amerika, Bahasa Indonesia gue sekarang 76, ya!" seru Arka membela diri karena tak terima fakta tentang nilainya yang keliru.
"Cih, beda 0,1 kok tubir, dasar biawak Papua."
Gerald langsung memukul meja, membuat perhatian teralih padanya. Arka dan Alfin menoleh padanya dengan tatapan tanya. Mata Gerald menyorot serius dan wajahnya berubah angkuh. "Kalau Bahasa Inggris lo masih 60, gue nggak terima dibilang tolol, Ka."
"Yeeeeeeee," sebal Arka. "Gue kan cuma bercanda, jangan dimasukin ke ati, dong. Baper amat lo buaya bule."
"Berisik lo pada," kata Sultan dingin, jelas tak suka dengan ocehan teman-temannya yang tak bermutu itu. "Kantin itu buat makan, bukan buat adu bacot."
Arka, Alfin dan Gerald langsung hormat tanpa harus diberi aba-aba untuk kompak. "Siap, Sultan."
Sultan memejamkan matanya sesaat, kemudian menyalakan ponselnya untuk menghubungi nomor seseorang. Tanpa menempelkan ponselnya pada telinga, Sultan mendengar sapa dari ponselnya yang berada dalam mode panggilan loudspeaker.
"Iya, Tuan?"
"Empat porsi. Di meja biasanya."
Sultan langsung menyentuh ponselnya lagi, membuat panggilan tersebut putus bahkan sebelum durasinya menyentuh 3 detik. Tiga temannya hanya memperhatikan dalam diam, sudah takdirnya Sultan menjadi pribadi yang begitu dingin dan agak kejam.
Begitu besar pengaruhnya di sini, sehingga kepala koki pun langsung datang ke mejanya untuk mengantarkan empat paket makan siang. Jika mahasiswa biasa harus mengantri untuk mendapatkan paket makanan berat, Sultan dan tiga teman dekatnya memiliki kartu emas yang membuat mereka tak perlu menyatu dengan yang biasanya.
"Hari ini menunya daging kukus, ikan bakar, salad buah, tumis kangkung, selada dan mentimun, Tuan," jelas Pak Harsa, kepala koki UTN, kepada Sultan yang hanya mengangguk sebagai balasannya. "Selamat menikmati, Tuan."
"Makasih, Pak!" seru Alfin bahagia. "Ini kesukaan Alfin, nih."
Arka langsung melahap tumis kangkung dan mengunyahnya sambil mengangkat jempol untuk Pak Harsa. Matanya membulat senang. "Enak, Pak! Mantep!"
"Thanks, Mister," sambung Gerald tak mau kalah bicara. "Selada is my favorite food. I want to be a sheep. Mbeeeee."
"Gobs," tukas Alfin sambil menjitak kening Gerald yang langsung melotot dan seolah menuntutnya. Alfin tertawa melihatnya. "Biar otak lo bener lagi."
"Bapak boleh kembali bekerja. Jangan hiraukan alien-alien ini." Sultan akhirnya angkat bicara dengan nada dingin dan datar khasnya.
Pak Harsa mengangguk. "Kalau begitu saya pergi, ya."
"Dadah, Pak koki!" seru Arka masih sempatnya sebelum mendapat pukulan pelan di belakang kepalanya dari Sultan yang menandakan agar Arka tak bersuara lagi.
Alfin, Gerald dan Arka paham, betapa sukanya Sultan pada kesunyian. Karenanya, tak ada suara apapun ketika mereka makan. Itu merupakan peraturan tak tertulis sejak pertama kali masuknya Sultan.
Yang mencari masalah, artinya hidupnya di sini tak akan lagi panjang. Dengan pemikiran seperti itu, tak ada yang berani menentang keinginan Sultan.
"Hai, Sultan."
Ya, kecuali satu orang. Dia adalah anak dari ulama besar yang terkenal di Yogyakarta. Perempuan berhijab itu bernama Siti Mariatul Qibtiah. Mata yang selalu jernih itu menatap mata hitam dingin milik Sultan dengan ceria.
"Makannya hati-hati. Nanti keselek."
Berkat sapaan dan pesan yang tiba-tiba itu, Alfin, Arka dan Gerald hampir menggunakan mulutnya untuk menyuruh Siti supaya segera menghilang dari hadapan Sultan sebelum pangeran itu mengeluarkan amarahnya. Namun, Siti rupanya segera berlalu setelah mengatakan beberapa patah kata itu.
Langkahnya yang anggun dan lembut itu dapat membuat seorang lelaki terpesona dan membuat iri seorang perempuan. Dengan balutan yang menutup aurat dengan sempurna itu, Siti menjadi masa depan menjanjikan bagi Sultan.
Mereka berdua dijodohkan. Klise.
Ditinggal Siti, Sultan kembali makan dalam keheningan yang ia pimpin. Tidak, Sultan tidak terganggu dengan kehadiran Siti barusan.
Itu wajar.
***
Dari 300 orang yang dipilih menerima beasiswa untuk dapat kuliah di UTN, Surti termasuk di dalamnya. Perjuangannya satu tahun kemarin membuahkan hasil yang memuaskan tahun ini. Ia telah berkuliah satu tahun setengah dengan dua beasiswa digenggamnya sebagai senjata untuk dapat terus menimba ilmu.
Bagi Surti, tak ada satupun usaha yang gagal. Segala usaha yang telah dikerahkan, pasti menghasilkan sesuatu berupa baik ataupun buruk, positif ataupun negatif. Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah bersyukur atas apapun yang terjadi.
Surti selalu berpikir seperti itu. Oleh karenanya, tak ada satu penyesalan pun di hidupnya. Surti merasa hidupnya ringan dengan bersyukur, senyum di wajahnya selalu ada dan seolah tak bisa pudar.
Meski kini keluarganya telah tiada dan mengharuskan Surti untuk tinggal sendiri serta mandiri, tak pernah satu kali pun Surti mengeluh pada Tuhan atas keadaannya kini. Segalanya telah ditakdirkan.
Takdir ada bukan untuk dikeluhkan, tapi untuk dijalankan untuk mencari jalan benar yang penuh kebahagiaan.
Kini jam istirahat telah tiba, perutnya telah terisi dengan paket makan siang di kantin tadi. Namun, ia ingin membeli es krim untuk mencuci mulutnya.
Masalahnya, ia tak punya uang.
Jelas, ini akhir bulan dan semua orang mengerti masalah apa yang Surti alami. Meski begitu, Surti memiliki jalan keluar. Yang ia butuhkan sekarang adalah kehadiran temannya untuk dipinjami uang. Temannya satu fakultas dengannya, namun hari ini temannya itu entah kemana sejak pagi.
Surti mengambil ponsel jaman dulu yang hanya bisa berkirim SMS, telepon dan memainkan sudoku. Ia menelepon temannya itu dan menempelkan ponsel jadulnya di telinga.
Pada tiga detik nada tunggu, teleponnya diterima.
"Kamu di mana, Bayu?" Surti langsung bertanya.
"Di kantin nih. Kamu sendiri di mana?"
Surti berdecak kecil. Agak mengerutkan kening karena tak kunjung menemukan Bayu di sekeliling kantin. "Kamu pake baju apa? Kok aku nggak juga ngeliat kamu?"
"Aku paket jaket kulit item."
Jawaban Bayu yang sesingkat itu sudah membuat lengkung di bibir Surti tercipta. Tentu, tiga tahun kenal dengan laki-laki Jawa bernama lengkap Bayu Wicjaksono itu membuat Surti hafal bagaimana perawakannya. Tingginya, proporsi tubuh dan gaya rambut simpel yang dibiarkan berwarna hitam.
Surti menutup teleponnya setelah mengatakan 'oke' dan memasukkannya pada saku Levi's belel yang ia kenakan. Surti menemukan Bayu yang sedang berjalan ke arah penjual jus.
Senyum Surti kian mengembangkan ketika menemukan sebuah ide. Ia langsung berlari dan memeluk Bayu dengan erat ketika waktunya telah tepat. Bahkan Surti langsung berteriak, "WAAAA!" dengan tujuan agar Bayu terkejut dan membuatnya tertawa.
Keheningan menyambut seusai Surti mengangetkan Bayu. Dirasakannya tubuh Bayu yang ia peluk itu tak bergerak atau membalas perlakuannya.
Surti mengernyitkan keningnya. "Bay? Kamu kok diem aja?"
Masih keheningan yang membalasnya. Entah perasaan Surti saja atau yang lainnya, tapi suasana kantin pun berubah sunyi. Seluruh mata tertuju padanya, kemudian mereka saling berbisik, saling berkata.
"Itu siapa, anjir, kok meluk-meluk Sultan sembarangan?"
"Heh, itu cewek cari mati kayaknya."
Mata Surti membuat tercengang. Ia segera melepaskan pelukannya dan mundur tiga langkah, bersamaan dengan berbaliknya seseorang yang ia duga Bayu. Betapa kagetnya Surti ketika matanya ditatap dan menatap pada iris mata paling hitam, paling tajam dan paling dingin yang pernah ia temui.
Jelas, Surti tahu siapa yang sekarang sedang ia hadapi. Laki-laki di depannya ini bukan Bayu Wicjaksono, sahabatnya, melainkan Sultan Teuku Prasetyo, pangeran di kerajaan Prasetyo yang sangat disegani itu.
Dan ia telah memeluknya secara memalukan di depan umum beberapa saat yang lalu.
Sultan mendekat satu langkah. Masih mengunci tatapan Surti dengan penuh amarah terpendam. Rahangnya bahkan mengeras dan urat-urat lehernya terlihat, menggambarkan betapa terganggunya dia oleh Surti.
"Mau lo apa?"
Hidup bahagia bukannya memiliki segalanya, namun ketika ruangnya hati telah terpenuhi secukupnya
***
"Dibayar berapa sampai berani meluk gue?"
Suaranya adalah yang paling datar dan dingin dari semua orang yang pernah Surti temui. Betapa tercengangnya Surti sampai tak tahu harus menjawab apa sampai lima belas detik lamanya. Surti mengerjap beberapa kali, kemudian berdeham untuk menyadarkan diri.
"Ah, ya, em... maaf," cicit Surti bagai hewan pengerat yang hina. Entah apa yang membuatnya seperti ini, tapi aura Sultan benar-benar menyihirnya menjadi tak berdaya.
"Ah, ya, em... maaf?" Sultan mengulang perkataan Surti seolah mengejek. Pemuda itu melangkah lagi, membuat Surti yang seharusnya ikut mundur menjadi membatu karena terkunci tatapan beku yang perlahan tajam itu. "Lo tau seberapa kotornya tangan lo itu? Lo tau seberapa mahalnya jaket gue? Mata lo di mana sampai berani meluk gue?"
Suasana yang hening sesaat membuat semua orang terkejut ketika selanjutnya Sultan berteriak luar biasa keras. "LO NGGAK TAU GUE SIAPA? LO NGGAK TAU ATURAN DI SINI APA? LO SIAPA DAN MAU LO APA TIBA-TIBA BEGITU KE GUE?!"
"Mulai lagi, ànjir," keluh Alfin yang sudah berbalik untuk melihat apa yang terjadi sejak Sultan membalikkan tubuhnya untuk menghadap perempuan yang tiba-tiba memeluknya.
"Emang absurd sih ceweknya. Tiba-tiba meluk gitu. Kan creepy," sambung Arka sambil tertawa kecil. "Pantes Sultan marah."
"Nonton aja deh. Gue yakin itu cewek bakal kena sial selama kuliah di sini," tambah Gerald tak mau kalah berkomentar.
Alfin menyeringai. "Seru kayaknya."
"Permainan Sultan dimulai!" seru Arka memanas-manasi keadaan.
Kaki Surti agak gemetar, mendengar teriakan Sultan yang marah sebesar itu hanya karena kesalahannya yang menurutnya sepele. Oleh karenanya, Surti memasang wajah berani yang menentang. "Aku kira kamu temanku. Aku nggak sengaja dan udah minta maaf. Kenapa kamu marah seolah aku akan menusuk jantungmu?"
Sultan menyeringai kecil. "Masih berani menjawab lo, ya?"
"Ya, aku udah minta maaf dan nggak bermaksud apa-apa. Aku hanya salah menebak orang." Surti menjawab lagi.
"Begitu?" Sultan bertanya dengan nada meremehkan.
"Iya! Memangnya apa lagi?" tanya Surti tak mengerti.
"Lo bener-bener cewek dungu. Gue Sultan," jelas Sultan singkat, kini agak kesal karena rupanya ia berhadapan dengan seseorang tanpa pikiran. "Lo harusnya berpikir. Harus bagaimana jika berhadapan dengan gue."
"Aku tau, aku tau. Kamu Sultan dan kamu akan jadi raja suatu hari nanti. Tapi, nih, ya, untuk kasus barusan, menurutku itu sepele dan tak berdampak besar bagi siapapun." Surti tetap menjelaskan bahwa dirinya tak sebersalah itu.
"Wah, berani banget," komentar Gerald merasa tergelitik.
"Jarang-jarang ada cewek yang punya nyali selangit kayak dia." Arka ikut berkomentar.
Sultan tertawa kecil atas ocehan Surti yang menurutnya sangat tak masuk akal. "Lebih baik lo baca buku yang sering deh. Jangan bersikap seolah lo benar kalau pada kenyataannya lo sama aja kayak hewan, nggak punya pikiran dan akal sehat."
Sudah terkenal dengan mulutnya yang tajam dan tak punya filter, Sultan tak memberi jeda untuk Surti dapat membalas karena tak terima.
"Jangan berurusan lagi dengan gue, atau lo akan tersiksa di sini," ancam Sultan dingin.
Tanpa menunggu lagi tanggapan Surti, Sultan membuka jaket kulit mahalnya dan membuangnya tepat di hadapan Surti. Kemudian, tatapannya kembali mengunci Surti. "Boleh lo jual. Udah terkontaminasi dan nggak pantes buat gue pakai lagi. Makasih."
Di hadapan semua orang, Surti diperlakukan seperti itu, kemudian ditinggal begitu saja. Jika Surti punya sepuluh hati, mungkin kini semua hati itu telah retak, berdarah dan sakit.
Namun, anehnya, di perut Surti, seolah ada ratusan kupu-kupu yang menggelitik dan membuat pipinya merona setelah melihat wajah Sultan dari dekat.
Tak ada yang bisa menolak pesona Sultan, Surti kini mengakui gagasan yang telah ada sejak ia masuk ke UTN ini.
"Hei, Surti."
Bahu Surti agak tersentak ketika mendadak mendapat teguran dari Bayu. Surti langsung menoleh dan tersenyum lebar.
"Bayuuuuuuu," rengeknya, seperti balita yang ingin dibelikan permen. Matanya berbinar senang dan tangannya mengepal karena merasa amat bahagia. "Aku ketemu Sultan!"
Kening Bayu mengerut. "Hah?"
"Kok 'hah?' sih?" Surti mendelik tak suka. "Kamu harusnya bahagia karena aku seneng banget udah ketemu Sultan. Dia itu gantengnya, uuuuuuhhhhh, gakuna bangeeeeet. Gemes, deh, aku."
"Sultan yang 'itu' maksud kamu? Yang tadi marahin kamu?" tanya Bayu memastikan.
Surti mengangguk cepat, berkali-kali hingga anak rambutnya keluar dari ikatan ekor kuda khasnya. "Iya, Sultan yang 'itu'!"
"Kamu dimarahin dan direndahin kayak tadi, tapi kamu masih bahagia?" tanya Bayu tak habis pikir. "Kamu harusnya sedih, benci dan mulai menyadarkan diri supaya tak terlibat lagi dengan dia. Aneh banget, sih."
Wajah Surti berganti kecewa, ia memukul kecil dada Bayu dengan rengekan manja. "Jahat kamu, Bay. Harusnya, nih, ya, kamu itu ikut seneng karena sebagai wanita, hal utama dan pertama yang jadi favoritnya itu adalah melihat cogan! Cowok ganteng!"
Bayu mendelik, masih tak percaya Surti itu adalah sahabatnya dan sahabatnya itu memiliki pemikiran segila itu. Dengan berani, Bayu menatap serius pada Surti.
"Emang aku nggak ganteng apa?" tanyanya tegas.
"Nggak!" jawab Surti cepat. "Kamu itu cotem!"
Bayu langsung gegalapan tak percaya. "A-apa? Co-cotem?"
"Iya! Cowok item!" seru Surti, jelas-jelas berniat meledek dan langsung pergi meninggalkan Bayu setelah mengambil jaket kelut yang telah dibuang Sultan tadi.
Bayu menghela napas melihat kelakuan sahabatnya dari SMA itu, kemudian segera mengejar langkah perempuan itu.
"Katanya nyariin aku, Surti! Hey!"
***
Sultan melempar handuk yang telah ia pakai sebelumnya ke atas ranjang besar miliknya yang super lembut itu. Ia berjalan ke arah jendela besar dalam balutan piyama satin berwarna hitam yang rapi. Rambutnya yang setengah basah segera mendapat angin lembut dari jendela yang telah ia buka dengan remote.
Pemandangan kota yang agak padat dengan pohon-pohon yang estetis membuat pikiran Sultan yang letih menjadi rileks dan damai.
Pada pejaman mata pertama yang ia lakukan, sosok perempuan aneh yang menentangnya tadi di kantin muncul dalam benaknya. Membuat Sultan langsung membuka matanya kembali dan segera menggeleng-gelengkan kepalanya supaya pikiran kotor itu pudar.
"Cewek sialan," umpat Sultan pelan. "Kenapa dia muncul?"
"Tuan." Suara lembut khas pembantu itu terdengar bersamaan dengan ketukan di pintu kamarnya.
Sultan membalikkan badan, langsung berjalan dan menghadap pembantu itu setelah ia membukakan pintu kamarnya.
"Makanan sudah siap, Tuan. Mari ke bawah," ajak pembantu itu dengan sopan dan posisi tubuh membungkuk hormat.
Sultan tak menjawab, langsung menutup pintu kamarnya dan berjalan melewati tangga untuk sampai di meja makan besar keluarga. Di panjangnya meja itu telah terjejer makanan-makanan mewah serta minuman dengan gelas cantik bermotif super indah. Di kursi-kursi yang telah tersedia, yang telah terisi hanya dua, oleh ayah dan ibunya. Kursi untuk Sultan di seberang ibunya, saling berhadapan dengan ayah sebagai pemimpin di sampingnya.
Sementara itu, di sekeliling mereka bertiga, berjejer para pelayan dan pembantu kerjaan dengan pakaian seragam yang rapi dan bersikap sopan.
Tak banyak kata yang keluar dari mulut Sultan, ia hanya membaca doa dalam hati yang dipimpin ayahnya. Kemudian, dentingan sendok, garfu dan pisau dengan piring menjadi satu-satunya suara yang mendominasi setiap makan malam yang diadakan keluarga kerajaannya.
Pada sepuluh menit berlalunya waktu, ayah mengangkat tangannya untuk membuat seorang membantu mengambil piring kotor yang selesai dipakai untuk diganti dengan segelas air zam-zam yang menyehatkan itu. Tak lama kemudian, ibu dan Sultan melakukan hal yang sama.
"Kuliah kamu lancar?" tanya ayah, memulai interogasi tegas seperti biasanya.
"Lancar," jawab Sultan, tak kalah biasa seperti biasanya.
"Kamu jangan macam-macam. Jaga calon istrimu. Kalau ada yang menganggu, bilang pada ayah. Jangan sembunyi-sembunyi dalam berpikir dan bertindak. Sebentar lagi kamu akan menjadi raja, menggantikan ayah," pesan ayahnya tegas. "Jaga sikap kamu, jaga kehormatan dan kegagahanmu. Jangan memalukan keluarga kerajaan."
Sultan menipiskan bibirnya, kemudian mengambil apel untuk ia gigit dan kunyah pelan-pelan.
"Sultan, ayah bicara padamu. Setidaknya jawab!" seru ibu agak kesal. Ia merapikan anak rambutnya yang kurang rapi. "Apakah ibu mengajarkan seperti itu?"
"Tidak, bu." Sultan berdeham, kemudian menatap ayah sambil mengangguk sedikit. "Sultan akan menuruti kata ayah. Terimakasih telah memberi masukan."
Sebenarnya Sultan tak pernah menginginkan kehidupan penuh kehormatan dan tata krama seperti keluarganya kini. Belum sifat keras ayah ibunya yang mengharuskan segala hidup Sultan turut pada aturannya.
"Bagus." Ayah tersenyum tipis. Tangan kanannya menepuk-nepuk pundak Sultan dengan ketukan bangga. "Sore ini kegiatanmu apa?"
"Sultan akan belajar sampai tengah malam, yah," jawab Sultan dengan nada rendah.
"Baiklah, nanti para pelayan akan mendengarkan semua permintaanmu. Jangan sungkan untuk meminta," pesan ayah sambil memberikan tatapan penuh arti pada seluruh pelayan keluarga kerajaan ini.
"Baik, yah," balas Sultan secukupnya.
Kemudian, makan yang selalu dilaksanakan sore hari itu berakhir dengan doa penutup yang dipimpin oleh ayah. Kedua orang tua Sultan segera beranjak untuk setelahnya dikawal menuju rumah utama yang berada sepuluh meter dari rumah ini, yang bisa dibilang khusus dan milik Sultan.
Kerajaan Prasetyo mempunyai sebuah villa yang terdiri atas tiga rumah. Rumah Sultan, rumah kedua orang tuanya dan rumah untuk keperluan kerajaan dan urusan formal lainnya. Ketiganya luar biasa luas dan masing-masing memiliki tiga tingkatan bangunan.
Sultan menyenderkan punggungnya pada kursi sambil menghela napas panjang. Sangat pegal baginya untuk duduk tegak di hadapan orang tuanya yang amat datar itu. Sultan merasa lelah, ia menutup matanya sejenak.
Memikirkan bagaimana rasanya menjadi orang biasa saja, yang tak memiliki aturan etis, yang tak memiliki perilaku dan sikap yang luar biasa formal, yang tak harus mendiami rumah besar super sepi yang tak bisa dimasuki sembarangan orang, yang harus menjaga sikap untuk terlihat gagah, terhormat dan agung.
Sultan ingin kehidupan biasa saja. Ingin keluar dari lingkaran takdir menyiksa yang mencekik ini.
"Tuan, apa butuh sesuatu?" tanya seorang pelayan yang tiba-tiba mendekat dengan sopannya.
Mata Sultan terbuka perlahan, tatapan dingin dan tajamnya membuat pelayan yang sebelumnya bertanya menjadi tersentak dan agak takut untuk bertindak lanjut.
"Tinggalkan saya."
"Tapi--"
"TINGGALKAN SAYA." Sultan memotong dengan teriakan nyaring yang menggema di rumah luas itu. Mendengarnya, dua puluh pelayan yang selalu siap sedia melayani itu langsung membatu, membeku dan bisu. Apalagi seorang pelayan yang saat ini paling dekat dengan posisi Sultan. "Jangan pernah ada yang menggangu sampai matahari terbit. Atau akan saya pecat semua dari kalian."
Dengan ancaman yang tak tanggung-tanggung itu, Sultan beranjak dari duduknya dan menatap seluruh pelayannya dengan datar secara berkala.
"Paham maksud saya?"
"Paham, Sultan." Serentak, seluruh pelayan menjawab dengan posisi tubuh membungkuk hormat. Benar-benar kompak seperti telah latihan selama berabad-abad.
Sultan menyeringai kecil. "Bagus."
Tanpa adanya halangan lagi, Sultan berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Butuh tiga puluh detik untuknya sampai di kamar maha luas dengan dinding bercat abu-abu yang polos tanpa hiasan dinding apapun.
Sultan menyukai kesederhanaan. Apalagi pada jendela super besar yang dapat membuatnya melihat betapa luasnya, betapa indahnya dunia ini.
Namun, masih ada yang mengganjal di hatinya saat ini. Meski Sultan menyukai sepi yang tercipta, luasnya ruangan dan indahnya pemandangan yang tersedia, hatinya masih terasa kosong.
Sultan ingin mengisi hatinya, mengisi angannya, mengisi inginnya, mengisi waktunya dengan wajar. Namun, ia tak memiliki cara untuk mencapainya.
Ah, tidak.
Sebenarnya, Sultan tak bisa mencapainya.
Tawa bisa memulai segalanya.
---
"Dah, Bayu!"
Surti melambai ceria pada kepergian Bayu yang pagi ini mengambil kelas musik di gedung seberang. Sementara kini Surti akan memasuki kelas praktek yang mana baru pertama kali ia datangi. Langkahnya yang ceria membawanya pada salah satu ruang teori, kemudian langkahnya itu terhenti ketika melihat papan tulis yang berisi tulisan dari dosennya.
Saya mendadak ada urusan. Tolong bentuk kelompok berisi dua orang untuk membedah kodok dan beritahu bagaimana struktur tubuh, penyakit-penyakitnya dan bagaimana cara menyembuhkannya.
Kelompok sesuai absen. Agar kalian semua akrab. Akan saya kirimkan kelompoknya pada Abdul Muhaimin.
Surti menganga melihatnya. Perempuan berambut ekor kuda itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kemudian agak menghentakkan kaki karena kesal sebab yang ia harapkan dosennya datang.
Dengan setengah hati, Surti duduk di bangku kedua di belakang Abdul Muhaimin yang ia kenali karena orang-orang sempat menanyainya tentang kelompok. Surti menepuk pundak Abdul sok akrab dan tersenyum lebar ketika Abdul menoleh padanya.
"Iya, kenapa, ya?" tanya Abdul bingung. Wajar, ia baru pertama kali melihat Surti.
"Bisa kasih tau aku itu satu kelompok sama siapa?" tanya Surti sopan, dengan nada ramah yang membuat Abdul langsung paham.
"Ah, iya. Nama lo siapa?"
"Surti."
Abdul melihat ponselnya dan mencari-cari nama Surti, kemudian mendongak dan menatap Surti setelah yang ia cari telah ketemu. Wajahnya agak ragu, membuat Surti mengernyit bingung.
"Kenapa, Dul?" Surti bertanya refleks.
Arah pandang Abdul bergeser pada sebelah kanan Surti. Melihat itu, otomatis Surti mengikuti. Ia menoleh pada samping kanannya dan langsung melotot tak percaya karena melihat seseorang yang luar biasa diluar perkiraannya. Dengan wajah terkejut, ia menoleh kembali pada Abdul.
"Sama Sultan?" bisik Surti, entah mengapa bertingkah seolah malu sendiri.
Abdul mengangguk, kemudian menepuk pundak Surti dengan tatapan penuh arti. "Semangat, Sis!"
"Surti! Nama gue Surti, bukan Siska," koreksi Surti begitu saja.
"Lah." Abdul tertawa heran. "Maksud gue sister, kakak perempuan, bukan Siska."
"Oh, begitu, ya," tukas Surti sambil cengengesan. "Aku kira Siska."
Mendengar suara deritan kursi di samping kanannya membuat Surti langsung menoleh dan refleks ikut berdiri saat Sultan beranjak secara tiba-tiba. Sebel benar-benar keluar ruangan, Surti telah berlari dan menghadang Sultan tepat di ambang pintu.
Surti merentangkan kedua tangannya. "Mau ke mana? Kita kan satu kelompok! Ayo kita kerjakan tugasnya!"
Sultan agak menunduk, untuk dapat menatap Surti dengan tatapan datar seperti biasanya. "Males banget satu kelompok sama lo."
"Lah? Kok gitu?" Surti mengerjap polos. "Memangnya aku kenapa?
"Lo lupa tentang kemarin?"
"Ya, kemarin kita memang cekcok, tapi bukan berarti selamanya kita bakal jadi musuh, kan?" Surti bertanya sambil menatap Sultan tak mengerti. "Aku orangnya ramah dan pemaaf, kok. Tenang aja. Bahkan jaket kamu kemarin, aku ambil dan simpan baik-baik."
Sultan tertawa tak habis pikir atas kelakuan Surti yang satu itu. Bagaimana bisa seseorang bisa seberani itu untuk mengambil barang buangan seseorang yang telah merendahkan harga dirinya di depan orang banyak?
Pada akhirnya, ia menyerah untuk menjadi egois. "Sana beli kodoknya. Gue tunggu di taman deket parkiran."
Ketika Sultan akan beranjak lagi, Surti menghentakkan kakinya dengan mata melotot. "Uangnya mana?"
Sultan berdecak kecil. "Lo minta nomor rekening penjualnya, bilang bakal dibayar sama Sultan Teuku Prasetyo. Paham?"
"Paham," jawab Surti cepat. Sebenarnya ia sangat kagum dengan Sultan, namun agak tak menyangka bahwa sifat sombongnya setinggi ini. Setiap bicara, matanya selalu meremehkan lawan bicaranya. Surti merasakan itu.
Melihat Surti yang masih diam dan merentangkan tangannya, Sultan segera menepis tangan kiri Surti untuk dapat berlalu dengan langkah tegas khasnya.
Surti mengerjap ditinggal begitu saja, namun pada detik berikutnya ia segera melangkah untuk membeli kodok.
***
Seperti biasa, Sultan bersama Alfin, Arka dan Gerald berada di kantin karena ketiganya tak memiliki kelas yang harus dihadiri hari ini secara kebetulan. Sultan langsung memesan seporsi makanan karena tiba-tiba perutnya terasa kosong.
Sementara itu, Alfin memainkan game di ponselnya, Gerald melakukan Video-call dengan pacar yang entah ke-berapanya, dan Arka sibuk membuat presentasi di MacBook Air 2019 milik Sultan untuk dikumpulkan besok.
"Sultan, nih!"
Sultan hendak menyuapkan sepotong steak ke dalam mulutnya ketika tiba-tiba Surti datang dengan sekantung hitam yang bergerak-gerak. Jelas, melihatnya Sultan langsung bersiaga dan menatap Surti dengan tajam.
"Lo ngapain?"
"Apaan, nih?" tanya Alfin penasaran, langsung membuka kantung hitam yang dibawa Surti dan sesuatu langsung melompat ke arah Sultan.
"WHAT THE ****! SHIT!" Sultan langsung menjauh dengan wajah super takut, bahkan hampir memeluk Gerald yang masih sibuk dengan wanitanya.
"Ada apa ini?" tanya Gerald yang kini telah tertarik pada apa yang membuat Sultan berteriak sedemikian rupa.
Kejadian ini pun menjadi perhatian bagi mahasiswa atau mahasiswi yang kebetulan berada di kantin. Sultan yang ketakutan setengah mati setelah melihat kodok yang meloncat dari kantung hitam itu segera mendekat pada Surti dan menatapnya dengan marah.
"Lo nggak liat gue lagi makan?!" tanyanya murka. Beruntung kodoknya hanya ada satu dan kini telah aman karena kodok itu telah meloncat menjauh entah ke mana.
"Aku liatnya kamu ketakutan sama kodok, hahaha," balas Surti, justru dengan beraninya ia tertawa seolah meledek.
Alfin bertatapan dengan Gerald, memikirkan hal yang sama dengan wajah cengo. Sepertinya perempuan yang duduk sembarangan di kursi milik Sultan kini sangat-sangat gila.
Berani sekali tertawa seperti kuntilanak di depan Sultan yang pada kenyataannya menjadi bahan tawaan perempuan itu.
"Suruh siapa lo bawa kodoknya ke sini?" tanya Sultan, berusaha menahan amarahnya dan bertanya tajam. "Lo nggak punya otak?"
"Aku punya otak," balas Surti langsung. "Tapi aku nggak bisa langsung ke taman parkiran karena bisa aja kamu nggak ke sana dan langsung pulang."
Sultan tertawa hambar, dituduh seperti itu tanpa bukti nyata oleh sembarang orang seperti Surti. "Gue mending kerja sendiri."
Keputusan yang dikatakan secara tiba-tiba itu membuat Surti membulatkan matanya dengan panik. "Hah, kok gitu? Heh, nggak bisa, ya!"
Namun, bukan Sultan jika tak egois hanya untuk berkelompok mendapat nilai. Mata hitamnya menatap Alfin dan mengisyaratkan untuk segera pergi. Alfin menerima sinyal itu, kemudian segera mengirimnya pada Gerald dan Arka.
"Heh!" seru Surti mencoba untuk menghentikan kehendak Sultan.
Sultan tak mendengarkan, ia menatap Surti tanpa minat sebelum akhirnya beranjak lebih dulu, memimpin langkah untuk ketiga temannya. Namun, baru dua langkah ia tempuh, Surti sudah menghadang dengan merentangkan kedua tangannya lagi.
"Nggak boleh!" seru Surti memaksa.
"Lo siapa." Dengan mudahnya, Sultan menepis tangan kiri Surti dan melangkah lagi.
Tak kehabisan cara, Surti kembali muncul saat satu langkah Sultan melanjutkan langkahnya. Kini, Surti menahan dada Sultan dengan kedua tangannya. Ketika Sultan masih pada keterkejutannya, Surti mendongakkan kepalanya untuk menatap Sultan dengan sorot super jengkel.
"Keras kepala banget, sih?!" kesal Surti tak habis pikir. "Aku udah berusaha nangkap kodok di kolam warga. Nggak bisa apa, hargain sedikit?"
"Iyain aja, bro," kata Alfin menyarankan. "Kasian sih, dari tadi keliatan berusaha banget. Orang-orang juga pada liatin."
Gerald mengangguk, ikut setuju pada perkataan Alfin. "Iya, kasian."
Arka menatap pemandangan di depannya dengan tatapan datar, tak minat sama sekali. Dari tadi, ia hanya menyimak, tak mau ikut campur karena sepertinya Sultan dan Surti memiliki masalah pribadi yang harus diselesaikan berdua saja.
Sultan berbalik, menatap Alfin dan Gerald dengan datar, kemudian beralih pada Surti yang masih sama jengkelnya. Pada akhirnya, Sultan melangkah lagi setelah memaksa untuk menyingkirkan tubuh Surti dari hadapannya.
"Ish," gemas Surti sambil mengepalkan tangannya. "Batu banget itu orang! Euh!"
Dengan kekuatan yang tersisa, Surti berlari dan mencubit pinggang Sultan begitu saja. Membuat Sultan sedikit menggeliat dan tertawa. Tawa itu ikut membuat Surti melongo, pasalnya ia tak pernah membayangkan Sultan memiliki tawa selucu itu di wajahnya yang selalu tajam dan bengis khasnya.
Ketika Sultan sadar, wajahnya langsung kembali datar dan tajam.
"Lo ngapain lagi, sih?" tanya Sultan akhirnya merasa risih juga. Langkahnya terhenti dan menghadap Surti dengan instens.
Pemandangan ini menjadi bahan tontonan dan tak ada yang mau melewatkannya untuk diabadikan.
"Kita kan satu kelompok, harusnya sekarang kita kerja!" seru Surti, menyalurkan kekesalannya yang tiba-tiba memuncak. "Kamu kenapa sebegitu nggak maunya, sih?"
Surti mencubit pinggang liat Sultan lagi dan itu refleks membuat Sultan kegelian hingga tertawa kecil yang sangat jarang bisa muncul seperti ini. Bahkan Alfin dan Gerald pun melihatnya dengan takjub, seperti melihat keajaiban dunia.
"Lo berani banget nyentuh gue." Sultan menggertak tak suka.
Surti justru tersenyum miring. "Kayaknya aku tahu kelemahan kamu."
Ketika Surti akan mencubit lagi pinggang Sultan, tangannya yang kecil itu langsung digenggam oleh tangan kekar Sultan. Membuat niat awalnya gagal.
"Stop. It." Tekan Sultan marah.
"Aku bakal berhenti kalau kamu mau kerjasama." Surti mendongakkan kepalanya untuk dapat bertatapan langsung dengan Sultan. Matanya menyombong karena tahu akan menang. "Gimana?"
Sultan menggeram kecil. Rahangnya mengeras karena gigi-giginya dengan kuat saling menekan untuk menahan emosi.
"Fine."
Pada akhirnya, Sultan menyerah.
***
"Tau nggak sih, Bay," mulai Surti sambil tertawa kecil. "Ternyata kelemahan Sultan itu cuma cubit pinggang. Aneh banget, tapi lucu deh. Dia ketawa waktu aku cubit. Jadi gemes."
Waktu sudah sore dan satu jam telah berlalu sejak Surti bekerja sama dengan Sultan untuk membedah kodok dan mencari penyakit serta penyembuhannya. Yang mana pada akhirnya semua tugas diserahkan pada orang lain karena Sultan mendadak dipanggil untuk segera pulang.
Bayu menjemputnya, mereka pulang bersama dan pada akhirnya kini duduk bersebelahan di kursi reot depan kos yang disewa Surti. Kos Bayu, khusus laki-laki, berada sepuluh meter dari kos Surti yang khusus perempuan.
Bayu sudah menceritakan bagaimana pengalamannya bermain saxophone di kelas musik tadi, dan kini giliran Surti menceritakan pengalamannya sewaktu mengikuti kelas praktik pertama yang rupanya hanya diberi tugas kelompok.
"Kamu ... suka ya sama Sultan?" tanya Bayu, menyuarakan hasil spekulasi dalam benaknya.
Surti tertawa canggung. Ia mengusap tengkuknya yang tak gatal. Tak berani melihat Bayu secara mendadak. "Hm... mungkin... ya kan kamu bisa pikir sendiri, mana ada cewek yang nggak suka cogan."
Jawaban itu sudah lebih dari cukup untuk bisa membuat Bayu menghapus seluruh harapannya pada Surti. Namun, tak semudah itu untuk Bayu menyerah.
"Kamu harus hati-hati, lho. Sultan itu bukan orang sembarangan, bisa juga dia membuatmu terluka. Ini kan pertama kalinya kamu tertarik pada seseorang," kata Bayu memberikan saran. "Aku khawatir cinta pertamamu akan sangat menyakitkan."
Surti mengulas senyum tipis. "Aku harap yang baik-baik aja yang terjadi."
"Iya," balas Bayu, mau tak mau bersikap seolah menyetujui perasaan Surti untuk berkembang.
"Eh, aku punya mie cup di kos," kata Surti tiba-tiba. "Kamu mau?"
"Boleh," jawab Bayu."
"Oke, aku ambilkan dulu ya," pamit Surti sebelum masuk ke kamar kos super sempit miliknya yang hanya terdapat kasur gulung, dan dua tumpuk kardus yang isinya makanan serta pakaiannya. Surti mengambil dua mie cup simpanannya di kardus paling atas dan memberikannya satu pada Bayu.
"Air panasnya mana?" tanya Bayu begitu menerima mie cup dari Surti.
Surti duduk sambil menghela nafas panjang, wajahnya murung dan sedih sambil membuka kemasan mie cup di genggamannya. "Akhir bulan gini mana ada uang buat beli gituan. Udah deh, makan mentah aja. Enak, kok."
Bayu menelan ludahnya kasar. "Sial, aku juga kehabisan uang. Tanggal 31, ya, sekarang?"
Surti tertawa. "Iya."
"Yaudah deh, makan mentah juga sama aja. Dimasaknya di lambung aja," cetus Bayu pada akhirnya, ikut membuka kemasan mie cup dan memakannya mentah-mentah.
Miris sekali.
Suara keriuk-keriuk di mulut mereka menjadi satu-satunya suara yang mendominasi pada sore sepi yang akan segera berakhir itu.
"Ah, aku ingin sekali cepat-cepat lulus. Menjadi dokter dan menyembuhkan banyak orang yang tidak bisa membayar biaya perawatan seperti ayah dan ibuku," harap Surti setelah menghabiskan satu mie cup itu. "Kadang, aku agak lelah terus hidup seperti ini. Pahit, tak berasa. Tapi aku harus tetap hidup, harus tak menyerah, harus bersyukur dan bersabar. "
Bayu yang paham bagaimana kehidupan Surti sebelumnya hingga harus berjuang sendiri untuk kuliah dan mencapai cita-citanya, hanya mampu mengaminkan dalam diam. Kondisi ekonomi Surti lebih buruk darinya yang beruntung masih memiliki keluarga.
Berbeda dengan Surti yang kedua orang tuanya telah meninggal sebab ketidakadilan pihak rumah sakit. Bayu paham rasa sedih, kecewa dan marahnya Surti. Empat tahun telah bersama, bagaimana mereka tidak sejiwa?
"Iya, Surti. Aku pun sama sepertimu." Bayu menipiskan bibirnya, bertekad kuat untuk mencapai mimpinya yang sama dengan Surti, menjadi seorang dokter untuk menyembuhkan orang-orang tak mampu dan memberikan keadilan pada mereka.
Surti tersenyum.
"Ayo kita berjuang mati-matian!" seru Bayu semangat.
Surti mengangguk, mengepalkan tangannya ke atas dan berseru lebih keras, "YA, AYO!"
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!