05. From Him

Semua derajat manusia itu sama.

Karenanya, mereka harus langsung menghargai.

---

"Ah, lapar banget," kata Surti. Ia mengambil napas panjang sebelum akhirnya menyantap seporsi makanan kantin yang bisa ia beli atas hasil kerja kerasnya setiap Sabtu dan Minggu.

Bayu tadi ijin ke kamar mandi dulu, jadi Surti makan duluan karena laparnya sudah tak bisa ditahan lagi. Baru setengah porsi Surti habiskan, seseorang lebih dulu merebut nampan makannya secara tak sopan.

Surti mendongak menatap sang pelaku, yang rupanya adalah wanita yang kemarin bersama Sultan, Siti Mariatul Qibtiah. Surti telah hafal namanya, juga posisinya untuk hidup Sultan. Mereka dijodohkan dan sederajat jika akan menikah.

Senyum Surti tercipta dengan pahit. "Kenapa kamu mengambil makananku?"

Siti yang berdiri sendirian itu melipat tangannya di depan dada, menatap Surti dengan pandangan meremehkan. Tanpa antek-antek pun Siti sudah sangat mengintimidasi.

"Pake nanya lagi. Berani banget." Siti menyeringai miring. "What a silly bitch."

Kening Surti mengerut, dengan gerakan kesal, ia mengambil kembali nampan makannya dan hendak memakannya lagi sebelum tiba-tiba cairan oren mengguyur rambutnya. Jus jeruk itu menelusuri rambut, wajah, leher, kemudian pada tubuhnya yang seketika terasa lengket, basah dan tak nyaman.

Surti mengepalkan tangannya dengan geram. "Masalahmu apa sih?"

"Gue liat kemarin lo sama Sultan di sini. Lo nyentuh-nyentuh dia, peluk-peluk dia. Maksudnya apa?" tanya Siti dingin. "Kalau lo berani macam-macam lagi, hukumannya bakal lebih dari ini."

Rahang Surti mengeras. Orang-orang sekitar memandangnya, memotretnya dan menggunjingnya. Ia ingin melawan, namun tubuhnya tak bisa diajak bekerja sama.

"Ah, ya," kata Siti seraya mendekat dan mengangkat rahang dan dagu Surti dengan tangannya yang berkuku palsu yang tajam. Kuku itu menusuk pipi Surti dengan kuat karena Siti sengaja menekannya.

Surti meringis, meronta-ronta pada tangan Siti yang terus menyiksa rahang dan pipinya. "Usahakan kita jarang bertemu setelah ini."

"Sakit," rintih Surti.

"Heh, lepasin, udah!" seru Bayu yang tiba-tiba datang. Laki-laki jawab itu menepis tangan Siti dan langsung memegang bahu Surti untuk menenangkannya.

Ketika melihat luka gores pada pipa Surti, Bayu segera menggenggam tangannya dan menggigitnya untuk keluar dari lingkungan kantin. Surti mengikuti tanpa protes, ia terlalu terkejut dan terluka untuk sekedar mengatakan bahwa cara jalan Bayu itu terlalu cepat baginya.

Sungguh sebuah kebetulan yang menyenangkan, ketika Surti mendongakkan kepalanya, ia melihat Sultan berjalan di arah berlawanan. Laki-laki itu bersama tiga temannya. Betapa senangnya hati Surti ketika melihatnya.

Mereka berpapasan, kemudian saling menatap dan Surti memberikan senyuman terbaiknya pada satu detik tepat sebelum keduanya saling berjalan berlawanan, memunggungi dan mencipta jarak.

Saat itu, Sultan tak membalas senyuman Surti. Dirinya melihat bagaimana interaksi yang terjadi antara Surti dan Siti tadi. Perasaannya mendadak kacau dan gelisah.

Entah apa yang aneh pada dirinya hari ini.

Sementara itu, Bayu membawa Surti ke taman air mancur dan mengajak Surti untuk duduk di salah satu kursi, berdampingan dengannya. Begitu mereka duduk, Bayu mengeluarkan kotak P3K kecil buatannya dari tasnya.

Surti tertegun melihatnya. "Wish, keren juga kamu punya kotak obat. Aku bikinin, dong."

"Sssttt dulu," kata Bayu seraya mengoleskan Betadine pada luka gores pada kedua pipi Surti yang membuat perempuan itu meringis perih. "Aduh, maaf, ya. Kamu harus tahan dulu. Biar cepet kering dan nggak infeksi."

Surti mengepalkan tangannya untuk menahan rasa sakit yang menyerang. Ia bahkan memejamkan matanya dan menggertakkan giginya. Rasanya terlalu perih.

Ketika akhirnya Bayu telah menempelkan plester mini pada kedua luka di pipi Surti, laki-laki itu merapikan kembali kotak P3K kecilnya dan memasukkannya pada tas. Selesai itu, ia menatap Surti dengan tatapan khawatir luar biasa.

"Kamu kenapa tadi? Kok bisa sampai diperlakukan kayak gitu?" tanyanya meminta penjelasan.

Surti cemberut, mengalihkan pandangannya dari Bayu pada air mancur yang menyejukkan. Ia mengayun-ayunkan kakinya dengan harapan sedihnya bisa terkaburkan.

"Surti," pinta Bayu memelas. "Cerita, ayo. Mungkin aku bisa bantu."

"Tapi aku nggak apa-apa, Bay!" Surti berseru tiba-tiba, memalingkan wajahnya pada Bayu dan langsung memecah keheningan dengan tangisan keras khas bayi yang ingin mainan. "Hua! Bayu aku sedih, tadi makananku belum habis dan kayaknya sekarang udah dibuang! Bayu, aku masih lapar!"

Bayu mengerjapkan matanya tak percaya. "Hah...?"

"Bayu, aku mau martabak!" Surti meminta tiba-tiba. "Yang kejunya buanyak!"

"Hah? Kok tiba-tiba?"

"Huaaaaaa, Bayuuuuuuu," rengek Surti lebih dramatis. Bahkan sampai memeluk Bayu dengan sangat erat. "Beliin napa."

Bayu meringis, menepuk-nepuk punggung Surti untuk menenangkannya. "Kalau aku punya duit, pasti aku beliin deh. Sekarang lagi bokek, udah dipake bayar sewa sama kebutuhan keluarga aku di sana."

Pelukan Surti langsung terurai. Wajah perempuan itu sudah memerah, matanya berair dan bibirnya cemberut lucu.

"Yah."

Bayu tertawa geli. "Nanti deh, pasti aku beliin. Yang kejunya buanyak!"

"Woah, janji, ya?" tanya Surti dengan mata yang berbinar dan mengandung harap tinggi. Bahkan menyodorkan jari kelingkingnya untuk menyimbolkan sebuah perjanjian.

Senyum Bayu terukir lebar, dengan ceria ia mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingkingnya milik Surti. "Janji!"

"Yeay!"

Dibalik pohon yang tak jauh dari duduknya Bayu dan Surti, seseorang mengamati keduanya dari awal. Kemudian pergi setelah melihat Bayu dan Surti saling mengaitkan jari kelingking mereka.

Orang itu telah memiliki keputusan untuk mengatasi kekacauan dan kegelisahan hatinya.

***

"Beneran buat aku?"

Surti masih juga meragu. Ia bahkan celingak-celinguk untuk mencari apakah ada seseorang selain dirinya yang lebih pantas untuk menerima sebuah kotak berisi martabak extra keju dari Sultan. Laki-laki yang wajahnya selalu datar itu tiba-tiba memberikannya sewaktu Surti sedang menunggu Bayu di sudut parkiran.

Tempat mereka yang terhalang pohon mangga membuat keduanya tak jadi pusat perhatian dan Sultan suka ini.

"Gue mewakili Siti untuk minta maaf." Sultan memalingkan mukanya karena gengsi Tinggi.

"Minta maaf buat apa?" Sudah menjadi keahlian Surti untuk terlihat menyebalkan di depan seseorang.

Sultan mengambil napas panjang, kemudian memejamkan matanya untuk menahan amarah yang mungkin bisa meledak-ledak akibat meladeni satu jenis manusia yang langka seperti Surti.

"Lo tadi digangguin sampai luka. Gue minta maaf atas itu karena Siti itu tanggung jawab gue." Sultan menjelaskan dengan datar.

"Oh, yang itu," tukas Surti mengangguk-angguk paham. "Padahal nggak apa-apa, sih. Aku udah biasa digituin. Jalani aja dengan senyuman. Kayak gini nih, iiiiiiiiii," jelasnya sambil nyengir tak jelas.

Kepala Sultan menggeleng-geleng, tak habis pikir atas kelakuan Surti yang absurd ini. "Lo udah gila kayaknya."

"Idih, nggak," tolak Surti cepat. "Aku masih waras, kok. Tapi kadang kalau di depan cogan bisa salah tingkah sampai salah orang paham dibuatnya."

Sultan mengerutkan keningnya. "Membuat orang salah paham, maksud lo?"

Surti cengengesan layaknya orang gila. "Iya, hehe, itu maksudnya. Pinter juga."

Bulu kuduk Sultan berdiri, merinding sendiri melihat Surti yang seperti ini. Ia segera menyodorkan kotak martabak extra kejunya pada Surti. "Nih, cepet ambil, gue mau pulang."

Surti menipiskan bibir, seraya mengambil kotak itu dengan tangan terbuka. "Kayaknya aku harus sering-sering digangguin Siti, deh, ya."

"Hah?"

"Biar dikasih martabak lagi, hehe."

Wajah Sultan zonk luar biasa. Laki-laki itu segera pergi setelah mengumpat tanpa suara melihat keanehan Surti yang tak ia duga-duga.

Ditinggal begitu saja oleh Sultan, Sultan justru tersenyum senang, jantungnya berdebar dan ia merapatkan mulutnya untuk mencegah lengkingan bahagia dari tenggorokannya.

***

"Dari mana aja, sih? Kok lama? Setengah jam lagi filmnya dimulai, lho," keluh Siti begitu Sultan masuk dalam mobil yang telah disediakan untuk mengantarkan mereka menuju bioskop untuk menonton salah satu film favorit Siti.

Siti telah menunggu dua puluh menit, ia rasa wajar baginya untuk mengeluh pada ketidakbaiknya kelakuan Sultan hari ini. Ah, sebenarnya Siti juga lelah karena harus selalu protes atas sikap Sultan, namun rasa cintanya lebih besar daripada rasanya untuk menyerah.

"Kalau nggak mau, kita batal aja."

"Woah, Sultan," decak Siti tak percaya. "Kok kamu begini sih? Aku udah nungguin kamu dari tadi. Apakah kata maaf itu sudah banget untuk kamu ucapkan? Aku hanya butuh satu kata itu."

Sultan memalingkan wajahnya pada Siti dengan tatapan tajam menyorot pada mata bening Siti. "Buat apa gue minta maaf pada seseorang yang bahkan nggak minta maaf pada seseorang yang seharusnya ia beri kata itu."

Mata Siti membulat, kemudian mengerjap dengan wajah terkesima luar bisa. Yang tadi itu merupakan kalimat terpanjang yang pernah Sultan katakan padanya. Namun, sayang, isinya sangat-sangat membuatnya marah.

Demi apapun.

"Kamu membela cewek yang tadi, ya?" Siti tahu maksud Sultan apa dan ia tak mengira jika Sultan akan sangat peduli pada perempuan yang tadi ia sirami jus jeruk. "Atas dasar apa? Kamu suka dia?"

Sultan bergeming. Tak menjawab apapun. Entah karena menutup hatinya, atau memang karena benar-benar malas menjawab hanya untuk berdebat lebih panjang.

Setahu Siti, kedua asumsinya sama-sama kuat. Jika lebih condong ke opsi pertama, maka ini benar-benar bencana.

"Sultan. Jawab," tekan Siti mulai jengkel. "Cewek itu mengganggu hubungan kita. Aku tak suka itu, karenanya tadi aku meluruskannya. Salah, ya, aku?"

"Iya, lo salah."

Tubuh Siti seperti dialiri ribuan volt listrik saking terkejutnya mendengar balasan Sultan. Matanya mulai berair, kemudian air itu mulai menetes, saling berkejaran kemudian melewati pipi halusnya.

"Sultan...," lirih Siti ditengah tangis tanpa suaranya, suaranya kian mengecil dan terdengar seperti bisikan, "kamu jahat."

Melihatnya, Sultan menghela napas kecil. Ia menelan ludah, kemudian menatap mata berair Siti tanpa rasa kasihan, bersalah ataupun menyesal. Hanya datar seperti biasanya.

"Tenangkan diri lo. Gue keluar," pamitnya kemudian.

"Sultan..."

Rengekan itu tak menghentikan aksi Sultan untuk membuka pintu mobil. Dengan cepat dan tanpa pun, Sultan keluar dari mobil itu dan menutup pintunya dengan keras. Kemudian, berjalan menjauh tanpa sebuah gerakan tangan untuk perpisahan yang berarti.

Sementara itu, dalam mobilnya, Siti menghentak-hentakan kakinya dengan emosi. Ia berteriak tertahan seraya mengepalkan tangannya dengan gemas.

"Jalan aja, Pak!" serunya kesal, pada sopir yang sedari tadi tak bekerja karena kedua majikannya saling berdebat untuk setelahnya meninggalkan salah seorang di mobil.

Untuk ukuran Siti yang terlalu emosional, tabiat Sultan sepertinya terlalu kejam. Siti baru menyadarinya dan ia semakin tertantang untuk bermain hati.

Ya, permainan sesungguhnya akan dimulai sejak saat ini. Entah hati siapa yang akan menang, yang jelas Siti paham bahwa tak ada perjuangan yang sia-sia.

Siti akan berjuang, ia akan terus berjuang. Tuk cintanya yang bahkan belum membuatnya yakin lima puluh persen bisa ia dapatkan.

***

Terpopuler

Comments

Adriana Ana

Adriana Ana

ank ulama ko bgitu kelakuanx

2020-08-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!