Hidup bahagia bukannya memiliki segalanya, namun ketika ruangnya hati telah terpenuhi secukupnya
***
"Dibayar berapa sampai berani meluk gue?"
Suaranya adalah yang paling datar dan dingin dari semua orang yang pernah Surti temui. Betapa tercengangnya Surti sampai tak tahu harus menjawab apa sampai lima belas detik lamanya. Surti mengerjap beberapa kali, kemudian berdeham untuk menyadarkan diri.
"Ah, ya, em... maaf," cicit Surti bagai hewan pengerat yang hina. Entah apa yang membuatnya seperti ini, tapi aura Sultan benar-benar menyihirnya menjadi tak berdaya.
"Ah, ya, em... maaf?" Sultan mengulang perkataan Surti seolah mengejek. Pemuda itu melangkah lagi, membuat Surti yang seharusnya ikut mundur menjadi membatu karena terkunci tatapan beku yang perlahan tajam itu. "Lo tau seberapa kotornya tangan lo itu? Lo tau seberapa mahalnya jaket gue? Mata lo di mana sampai berani meluk gue?"
Suasana yang hening sesaat membuat semua orang terkejut ketika selanjutnya Sultan berteriak luar biasa keras. "LO NGGAK TAU GUE SIAPA? LO NGGAK TAU ATURAN DI SINI APA? LO SIAPA DAN MAU LO APA TIBA-TIBA BEGITU KE GUE?!"
"Mulai lagi, ànjir," keluh Alfin yang sudah berbalik untuk melihat apa yang terjadi sejak Sultan membalikkan tubuhnya untuk menghadap perempuan yang tiba-tiba memeluknya.
"Emang absurd sih ceweknya. Tiba-tiba meluk gitu. Kan creepy," sambung Arka sambil tertawa kecil. "Pantes Sultan marah."
"Nonton aja deh. Gue yakin itu cewek bakal kena sial selama kuliah di sini," tambah Gerald tak mau kalah berkomentar.
Alfin menyeringai. "Seru kayaknya."
"Permainan Sultan dimulai!" seru Arka memanas-manasi keadaan.
Kaki Surti agak gemetar, mendengar teriakan Sultan yang marah sebesar itu hanya karena kesalahannya yang menurutnya sepele. Oleh karenanya, Surti memasang wajah berani yang menentang. "Aku kira kamu temanku. Aku nggak sengaja dan udah minta maaf. Kenapa kamu marah seolah aku akan menusuk jantungmu?"
Sultan menyeringai kecil. "Masih berani menjawab lo, ya?"
"Ya, aku udah minta maaf dan nggak bermaksud apa-apa. Aku hanya salah menebak orang." Surti menjawab lagi.
"Begitu?" Sultan bertanya dengan nada meremehkan.
"Iya! Memangnya apa lagi?" tanya Surti tak mengerti.
"Lo bener-bener cewek dungu. Gue Sultan," jelas Sultan singkat, kini agak kesal karena rupanya ia berhadapan dengan seseorang tanpa pikiran. "Lo harusnya berpikir. Harus bagaimana jika berhadapan dengan gue."
"Aku tau, aku tau. Kamu Sultan dan kamu akan jadi raja suatu hari nanti. Tapi, nih, ya, untuk kasus barusan, menurutku itu sepele dan tak berdampak besar bagi siapapun." Surti tetap menjelaskan bahwa dirinya tak sebersalah itu.
"Wah, berani banget," komentar Gerald merasa tergelitik.
"Jarang-jarang ada cewek yang punya nyali selangit kayak dia." Arka ikut berkomentar.
Sultan tertawa kecil atas ocehan Surti yang menurutnya sangat tak masuk akal. "Lebih baik lo baca buku yang sering deh. Jangan bersikap seolah lo benar kalau pada kenyataannya lo sama aja kayak hewan, nggak punya pikiran dan akal sehat."
Sudah terkenal dengan mulutnya yang tajam dan tak punya filter, Sultan tak memberi jeda untuk Surti dapat membalas karena tak terima.
"Jangan berurusan lagi dengan gue, atau lo akan tersiksa di sini," ancam Sultan dingin.
Tanpa menunggu lagi tanggapan Surti, Sultan membuka jaket kulit mahalnya dan membuangnya tepat di hadapan Surti. Kemudian, tatapannya kembali mengunci Surti. "Boleh lo jual. Udah terkontaminasi dan nggak pantes buat gue pakai lagi. Makasih."
Di hadapan semua orang, Surti diperlakukan seperti itu, kemudian ditinggal begitu saja. Jika Surti punya sepuluh hati, mungkin kini semua hati itu telah retak, berdarah dan sakit.
Namun, anehnya, di perut Surti, seolah ada ratusan kupu-kupu yang menggelitik dan membuat pipinya merona setelah melihat wajah Sultan dari dekat.
Tak ada yang bisa menolak pesona Sultan, Surti kini mengakui gagasan yang telah ada sejak ia masuk ke UTN ini.
"Hei, Surti."
Bahu Surti agak tersentak ketika mendadak mendapat teguran dari Bayu. Surti langsung menoleh dan tersenyum lebar.
"Bayuuuuuuu," rengeknya, seperti balita yang ingin dibelikan permen. Matanya berbinar senang dan tangannya mengepal karena merasa amat bahagia. "Aku ketemu Sultan!"
Kening Bayu mengerut. "Hah?"
"Kok 'hah?' sih?" Surti mendelik tak suka. "Kamu harusnya bahagia karena aku seneng banget udah ketemu Sultan. Dia itu gantengnya, uuuuuuhhhhh, gakuna bangeeeeet. Gemes, deh, aku."
"Sultan yang 'itu' maksud kamu? Yang tadi marahin kamu?" tanya Bayu memastikan.
Surti mengangguk cepat, berkali-kali hingga anak rambutnya keluar dari ikatan ekor kuda khasnya. "Iya, Sultan yang 'itu'!"
"Kamu dimarahin dan direndahin kayak tadi, tapi kamu masih bahagia?" tanya Bayu tak habis pikir. "Kamu harusnya sedih, benci dan mulai menyadarkan diri supaya tak terlibat lagi dengan dia. Aneh banget, sih."
Wajah Surti berganti kecewa, ia memukul kecil dada Bayu dengan rengekan manja. "Jahat kamu, Bay. Harusnya, nih, ya, kamu itu ikut seneng karena sebagai wanita, hal utama dan pertama yang jadi favoritnya itu adalah melihat cogan! Cowok ganteng!"
Bayu mendelik, masih tak percaya Surti itu adalah sahabatnya dan sahabatnya itu memiliki pemikiran segila itu. Dengan berani, Bayu menatap serius pada Surti.
"Emang aku nggak ganteng apa?" tanyanya tegas.
"Nggak!" jawab Surti cepat. "Kamu itu cotem!"
Bayu langsung gegalapan tak percaya. "A-apa? Co-cotem?"
"Iya! Cowok item!" seru Surti, jelas-jelas berniat meledek dan langsung pergi meninggalkan Bayu setelah mengambil jaket kelut yang telah dibuang Sultan tadi.
Bayu menghela napas melihat kelakuan sahabatnya dari SMA itu, kemudian segera mengejar langkah perempuan itu.
"Katanya nyariin aku, Surti! Hey!"
***
Sultan melempar handuk yang telah ia pakai sebelumnya ke atas ranjang besar miliknya yang super lembut itu. Ia berjalan ke arah jendela besar dalam balutan piyama satin berwarna hitam yang rapi. Rambutnya yang setengah basah segera mendapat angin lembut dari jendela yang telah ia buka dengan remote.
Pemandangan kota yang agak padat dengan pohon-pohon yang estetis membuat pikiran Sultan yang letih menjadi rileks dan damai.
Pada pejaman mata pertama yang ia lakukan, sosok perempuan aneh yang menentangnya tadi di kantin muncul dalam benaknya. Membuat Sultan langsung membuka matanya kembali dan segera menggeleng-gelengkan kepalanya supaya pikiran kotor itu pudar.
"Cewek sialan," umpat Sultan pelan. "Kenapa dia muncul?"
"Tuan." Suara lembut khas pembantu itu terdengar bersamaan dengan ketukan di pintu kamarnya.
Sultan membalikkan badan, langsung berjalan dan menghadap pembantu itu setelah ia membukakan pintu kamarnya.
"Makanan sudah siap, Tuan. Mari ke bawah," ajak pembantu itu dengan sopan dan posisi tubuh membungkuk hormat.
Sultan tak menjawab, langsung menutup pintu kamarnya dan berjalan melewati tangga untuk sampai di meja makan besar keluarga. Di panjangnya meja itu telah terjejer makanan-makanan mewah serta minuman dengan gelas cantik bermotif super indah. Di kursi-kursi yang telah tersedia, yang telah terisi hanya dua, oleh ayah dan ibunya. Kursi untuk Sultan di seberang ibunya, saling berhadapan dengan ayah sebagai pemimpin di sampingnya.
Sementara itu, di sekeliling mereka bertiga, berjejer para pelayan dan pembantu kerjaan dengan pakaian seragam yang rapi dan bersikap sopan.
Tak banyak kata yang keluar dari mulut Sultan, ia hanya membaca doa dalam hati yang dipimpin ayahnya. Kemudian, dentingan sendok, garfu dan pisau dengan piring menjadi satu-satunya suara yang mendominasi setiap makan malam yang diadakan keluarga kerajaannya.
Pada sepuluh menit berlalunya waktu, ayah mengangkat tangannya untuk membuat seorang membantu mengambil piring kotor yang selesai dipakai untuk diganti dengan segelas air zam-zam yang menyehatkan itu. Tak lama kemudian, ibu dan Sultan melakukan hal yang sama.
"Kuliah kamu lancar?" tanya ayah, memulai interogasi tegas seperti biasanya.
"Lancar," jawab Sultan, tak kalah biasa seperti biasanya.
"Kamu jangan macam-macam. Jaga calon istrimu. Kalau ada yang menganggu, bilang pada ayah. Jangan sembunyi-sembunyi dalam berpikir dan bertindak. Sebentar lagi kamu akan menjadi raja, menggantikan ayah," pesan ayahnya tegas. "Jaga sikap kamu, jaga kehormatan dan kegagahanmu. Jangan memalukan keluarga kerajaan."
Sultan menipiskan bibirnya, kemudian mengambil apel untuk ia gigit dan kunyah pelan-pelan.
"Sultan, ayah bicara padamu. Setidaknya jawab!" seru ibu agak kesal. Ia merapikan anak rambutnya yang kurang rapi. "Apakah ibu mengajarkan seperti itu?"
"Tidak, bu." Sultan berdeham, kemudian menatap ayah sambil mengangguk sedikit. "Sultan akan menuruti kata ayah. Terimakasih telah memberi masukan."
Sebenarnya Sultan tak pernah menginginkan kehidupan penuh kehormatan dan tata krama seperti keluarganya kini. Belum sifat keras ayah ibunya yang mengharuskan segala hidup Sultan turut pada aturannya.
"Bagus." Ayah tersenyum tipis. Tangan kanannya menepuk-nepuk pundak Sultan dengan ketukan bangga. "Sore ini kegiatanmu apa?"
"Sultan akan belajar sampai tengah malam, yah," jawab Sultan dengan nada rendah.
"Baiklah, nanti para pelayan akan mendengarkan semua permintaanmu. Jangan sungkan untuk meminta," pesan ayah sambil memberikan tatapan penuh arti pada seluruh pelayan keluarga kerajaan ini.
"Baik, yah," balas Sultan secukupnya.
Kemudian, makan yang selalu dilaksanakan sore hari itu berakhir dengan doa penutup yang dipimpin oleh ayah. Kedua orang tua Sultan segera beranjak untuk setelahnya dikawal menuju rumah utama yang berada sepuluh meter dari rumah ini, yang bisa dibilang khusus dan milik Sultan.
Kerajaan Prasetyo mempunyai sebuah villa yang terdiri atas tiga rumah. Rumah Sultan, rumah kedua orang tuanya dan rumah untuk keperluan kerajaan dan urusan formal lainnya. Ketiganya luar biasa luas dan masing-masing memiliki tiga tingkatan bangunan.
Sultan menyenderkan punggungnya pada kursi sambil menghela napas panjang. Sangat pegal baginya untuk duduk tegak di hadapan orang tuanya yang amat datar itu. Sultan merasa lelah, ia menutup matanya sejenak.
Memikirkan bagaimana rasanya menjadi orang biasa saja, yang tak memiliki aturan etis, yang tak memiliki perilaku dan sikap yang luar biasa formal, yang tak harus mendiami rumah besar super sepi yang tak bisa dimasuki sembarangan orang, yang harus menjaga sikap untuk terlihat gagah, terhormat dan agung.
Sultan ingin kehidupan biasa saja. Ingin keluar dari lingkaran takdir menyiksa yang mencekik ini.
"Tuan, apa butuh sesuatu?" tanya seorang pelayan yang tiba-tiba mendekat dengan sopannya.
Mata Sultan terbuka perlahan, tatapan dingin dan tajamnya membuat pelayan yang sebelumnya bertanya menjadi tersentak dan agak takut untuk bertindak lanjut.
"Tinggalkan saya."
"Tapi--"
"TINGGALKAN SAYA." Sultan memotong dengan teriakan nyaring yang menggema di rumah luas itu. Mendengarnya, dua puluh pelayan yang selalu siap sedia melayani itu langsung membatu, membeku dan bisu. Apalagi seorang pelayan yang saat ini paling dekat dengan posisi Sultan. "Jangan pernah ada yang menggangu sampai matahari terbit. Atau akan saya pecat semua dari kalian."
Dengan ancaman yang tak tanggung-tanggung itu, Sultan beranjak dari duduknya dan menatap seluruh pelayannya dengan datar secara berkala.
"Paham maksud saya?"
"Paham, Sultan." Serentak, seluruh pelayan menjawab dengan posisi tubuh membungkuk hormat. Benar-benar kompak seperti telah latihan selama berabad-abad.
Sultan menyeringai kecil. "Bagus."
Tanpa adanya halangan lagi, Sultan berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Butuh tiga puluh detik untuknya sampai di kamar maha luas dengan dinding bercat abu-abu yang polos tanpa hiasan dinding apapun.
Sultan menyukai kesederhanaan. Apalagi pada jendela super besar yang dapat membuatnya melihat betapa luasnya, betapa indahnya dunia ini.
Namun, masih ada yang mengganjal di hatinya saat ini. Meski Sultan menyukai sepi yang tercipta, luasnya ruangan dan indahnya pemandangan yang tersedia, hatinya masih terasa kosong.
Sultan ingin mengisi hatinya, mengisi angannya, mengisi inginnya, mengisi waktunya dengan wajar. Namun, ia tak memiliki cara untuk mencapainya.
Ah, tidak.
Sebenarnya, Sultan tak bisa mencapainya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Para Verzia
buset sisultan ngegas 😱
2022-12-11
0
Caramelatte
semangat thor!
Salam –Belong to Esme–
2020-11-23
0
Rani Apriyani
yuk kk mampir kecerita aku...
aku ninggalin like and rate y kk
2020-06-05
0