25 Tahun Tentang Ayah

25 Tahun Tentang Ayah

Didikan Ayah

Namaku Anggia Nis, dimana usiaku saat ini menginjak angka tiga belas tahun. kehidupanku memang sedikit terbatas, bisa di katakan sangat terbatas. Bukan dari segi ekeonomi. Melainkan dari segi pergaulan. Yang di tahu teman-temanku aku menjadi anak yang sangat di kurung oleh ayahku. Entah apa yang membuat ayahku seposesif itu? terkadang aku sering bertanya sampai kapan aku seperti ini? Kapan aku bisa duduk santai seperti kebanyakan temanku untuk sekedar tertawa melepas penat dari waktu belajarku. Jika di bilang aku pemalas tidak ingin belajar, tentu salah besar. Waktuku sejak aku masih belum sekolah sudah habis untuk belajar, belajar dan belajar.

Jika aku sangat muak dengan kehidupanku yang seperti itu, di luar sana banyak sekali orang yang menginginkan posisi seperti aku. Bisa menjadi juara kelas terus menerus bahkan aku sering kali di tunjuk oleh guru untuk mengajarkan kakak kelasku dalam menghitung. Yah, aku sangat ahli dalam bidang matematika dan lainnya yang berhubungan dengan menghitung.

Tapi, ketika mereka tahu bagaimana prosesnya satu pun tidak ada yang mau menjadi aku. Tidak ada waktu selain untuk belajar. Aku hanya bisa istirahat dari belajar ketika waktu tidur siang dan malam. Sungguh membosankan tentunya.

Bahkan ayahku begitu sangat mendidikku dengan sangat keras. Mungkin aku cukup kaget dengan didikannya.

"Mamah, apa abang di sana juga sama yah kayak aku?" tanyaku ketika sedang menyelesaikan tugas yang di berikan ayahku sebelum ia pergi bekerja. Dan tugas itu sangat banyak harus selesai ketika ayahku pulang nanti.

Jika kalian pikir akan selesai begitu saja. Itu salah besar. Satu saja salah aku akan kembali mendapatkan tugas, dan bukan itu saja hukumannya. Ada bonus lain-lain yang akan ku dapatkan dimana akan menjadi hal menakutkan sekali bagiku. Seperti yang aku katakan ayahku sangat keras. Didikannya sangat menggambarkan dirinya seperti seorang angkatan militer. Meski sebenarnya ayahku seorang direktur dari sebuah CV yang ia dirikan sendiri dari kerja kerasnya yang kami tahu tanpa modal sedikit pun.

"Mamah juga nggak tahu. Sudah cepat selesaikan tugasmu. Nanti ayahmu marah lagi. Jangan bikin ribut lagi yah?" ujar mamaku yang sangat hapal dengan kejadian sehari-hari di rumah kami.

Wajahku terlihat mendung membayangkan apa kali ini aku ada salah lagi dalam mengerjakan tugas. Sering kali aku merasa yakin dengan hasil kerjaku, namun ayah yang sangat teliti selalu menemukan kesalahan yang entah aku sendiri bingung.

Sementara di luar sana sore sudah tiba, dimana waktu teman-temanku sudah mulai banyak menghabiskan waktu bermain menyambut senja yang akan tiba. Ingin sekali rasanya aku bisa bergabung dengan mereka, sayang tugas di depanku begitu banyak.

Hingga tak terasa waktu malam membuatku bisa mendengar suara mobil di depan rumah, aku tak perlu melihat. Sudah jelas itu adalah mobil ayahku. Respon yang sudah biasadi tubuhku terasa begitu saja. Secara alamiah semua bulu di tangaku terasa merinding. Takut, satu hal yang membuatku selalu gelisah menanti kepulangan ayah.

"Anggia!" teriakan itu seketika membuatku langsung berlari. Di depan rumah aku melihat ayahku menciumi wajah adikku yang baru lahir.

Yah, saat aku menginjak bangku SMP aku mendapatkan adik di mana yang menjadi hiburan di keluarga kami ketika rumah terasa begitu sunyi.

"Iya Ayah." sahutku mendekat.

Ketakutan yang ku rasakan mendadak sirna ketika sebuah usapan lembut ku dapatkan di kepalaku. Yah, Ayahku mengusap rambut panjangku yang selalu di katakan adalah mahkota yang indah. Ayahku tak pernah memujiku cantik, dimana memang aku sadar dengan wajahku yang biasa saja. Berbeda dari kencantikan yang mamah ku punya.

Bisa di bilang selera ayahku cukup bagus memilih istri. Kembali pada usapan lembut itu. Ayah memintaku duduk di sampingnya ketika ia menggendong sang adik.

"Gimana tugasnya? Sudah selesai?" dan pertanyaan yang membuat aku gugup setengah mati meski sudah aku selesaikan dengan baik menurut versiku kembali di tanya oleh ayah.

"Sudah, bentar Ayah." aku masuk mengambil tugas dan ayahku memeriksa satu presatu.

Jujur detakan jantungku begitu terasa sangat kuat saat ini. Ku tatap raut wajah ayah yang berubah-ubah dari anggukan ke kening mengerut dalam hingga anggukan dan akhirnya apa yang ku takutkan benar terjadi lagi.

Air mataku jatuh saat itu. Hal yang sudah biasa ku dapatkan dari kemarahan ayah. Aku masuk ke kamar dengan membawa tambahan tugas dimana jumlahnya justru semakin banyak.

"Tuhan...kenapa begini?" rasanya kepalaku begitu lelah berpikir. Hingga akhirnya mamah datang ke kamar.

"Jangan di ambil hati. Kerjakan betul-betul. Ayahmu itu lagi capek. Sudah jangan nangis, Anggia.

Nyatanya aku masih sesenggukan, dan itulah yang sering ku lakukan di rumah tanpa bisa bermain. Mungkin hanya sesekali aku bisa merasakannya.

Hingga pada akhirnya hari telah berganti. Jika di bilang marah, mungkin sebagai anak kecil aku marah dengan ayah perihal kemarin. Tapi, aku teringat lagi dengan ucapan ayah. Semua demi masa depanku.

Ayah ingin aku memiliki prestasi yang baik ke depannya. Katanya cukup kesulitan mereka saja sebagai orang tua yang merasakan. Sebab itu selagi muda belajarlah terus tanpa lelah. Bahkan yang aku lihat sampai di usia tua ayah pun terus belajar dari banyak teman-temannya yang memiliki kedudukan dan kuasa tinggi di beberapa perusahaan. Hingga saat ini ayah bisa mendirikan sebuah CV yang bergerak di bidang kontraktor pembangunan.

Pagi ini hujan turun begitu derasnya. Aku menghentikan motor ketika hujan dari langit sudah turun tanpa memberi kesempatan aku dan teman-teman lainnya untuk sampai di sekolah lebih dulu. Kami berjajar kedinginan dengan pakaian sebagian basah saat ini.

Jujur aku takut jika bergabung dengan teman laki-laki meski ada beberapa juga perempuan. Sebab ayahku yang sangat posesif bisa begitu keras dengan anak orang lain jika tahu aku main-main dengan mereka.

"Anggia, itu mobil ayahmu." ujar temanku segera menjauh dari ku. Rasanya aku seperti sebuah penyakit yang di jauhi mereka. Tentu saja mereka sangat tahu watak ayahku yang begitu kejam dan tegas.

Mereka sama sekali tak berani mencari masalah denganku.

"Aduh, mati aku." gumamku menduduk takut. Bayangan tangan kuat ayah mengenai wajahku membuat tubuhku reflek gemetar.

"Ayo masuk." panggilan dari sang ayah ketika menurunkan kaca mobil.

Aku ragu berkata, "Ayah, motorku bagaimana?" tanyaku takut-takut.

"Sudah tinggal di situ aja." ujar Ayah.

Ketika aku duduk di samping, ku lihat bahkan ayah tidak memakai baju ganti ketika menyetir mobil. Ini adalah baju tidur yang ia pakai tadi ketika tidur. Ku tatap dalam ayah tak lama kemudian suaranya kembali terdengar.

"Panggil temanmu semua, kenapa di biarkan aja kehujanan di situ?" ragu aku pun menawarkan tumpangan. Bahkan untuk menolak saja teman-temanku tak berani. Berakhirlah kami semua semua ke sekolah dengan naik mobil.

"Ini Anggia, ganti bajumu. Lihat wajahmu pucat. Ayah sudah bilang jangan hujan-hunanan. Kau mudah sakit," sungguh rasanya hatiku yang ketakutan mendadak menghangat melihat bagaimana perdulinya ayah padaku.

Rasanya ingin sekali aku mengatakan ayah, aku menyayangimu...

Tapi ada jarak yang membuat ku merasa tak berani mengatakan kata sederhana bermakna besar itu. Ayah begitu irit sekali bicara, hingga aku tak bisa sedekat teman-teman lain pada ayahnya.

Terpopuler

Comments

♡SangPecinta♡

♡SangPecinta♡

Membaca diskripsinya,seperti berbau bawang nih Thor,mudah²an endingnya sesuai ekspektasi,dan jangan pelit² untuk UPnya ya....
mengingat menulis cerpen emang susah....🙏😊😁
Trimakasih

2023-04-19

1

Maulidia Okta

Maulidia Okta

ayah jangan kejam2 donk ma anak nya juga.... 😊

2023-04-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!