Nilai Raport

Satu semester ku lewati dengan sangat membosankan. Semenjak aku duduk di bangku SMP ayah sudah benar-benar sangat sibuk. Yah bisa di bilang ini adalah awal karirnya setelah kami benar-benar hidup dengan sangat kekurangan. Waktu belajarku yang sejak kecil terus di awasi kini sudah menjadi bebas. Aku hanya mendapatkan peringatan untuk terus belajar sendiri. Tanpa sadar aku justru lalai dengan peringatan ayah. Aku sibuk main di kamar dengan laptop. Mungkin banyak yang tidak percaya jika di saat aku duduk di bangku SMP bahkan ayah masih melarang aku memakai ponsel. Begitulah ayahku, posesifnya padaku benar-benar sangat berlebihan.

Dan hari ini adalah hari pembagian rapor dimana aku begitu lemas dan takut ketika pulang ke rumah. Selama duduk di bangku SD aku selalu mendapat peringkat dan ini adalah pertama kalinya aku sama sekali tidak dapat apa-apa. Jika biasa aku pulang ke rumah, Ayah akan menunggu hasil ku dari sekolah. Nyatanya tidak untuk kali ini.

"Mamah, ayah dimana?" tanya menelisik sekitar rumah dimana mobil ayahku sama sekali tidak ada.

"Masuk ke pabrik ngawasin pembangunan. Bagaimana hasilnya, Anggia?" tanya Mamah dengan penasaran.

Meski jika bersama Mamah aku lebih santai tidak takut, sebab mamah tidak pernah kasar padaku. Dia hanya kuat seperti ibu-ibu temanku juga dalam mengomel. Terkadang aku pun sering berselisih paham padanya karena sulit memahami anaknya. Usia mamah memang sangat muda dan mungkin itu salah satu penyebab kami sering bertengkar dalam hal-hal kecil. Jika di luar sana temanku banyak yang ingin mamahnya muda, tidak denganku. Hal yang paling menjengkelkan adalah ketika rebutan baju di toko baju. Aku yang seleranya terlalu cepat dewasa dan mamah yang seleranya begitu muda.

Dengan tangan lemas aku pun menyodorkan raporku dengan mamah. Seperti yang aku duga mamah pasti akan syok.

"Anggia, nilaimu kenapa rendah begini? urutan ke dua puluh lima? Dari peringkat satu." wajah mamah begitu syok dan aku hanya bisa menunduk.

Aku sadar selama ini aku tidak pernah belajar dengan benar selama ayah tidak pernah mengawasiku lagi. Entah mengapa rasanya sangat bingung ketika belajar sendiri. Mungkin ini karena kebiasaanku selalu di arahkan ayah sampai aku tidak bisa bangkit sendiri.

Mataku berkaca-kaca sedih membayangkan apa yang ayah lakukan padaku. Hingga satu hari itu sejak pulang sekolah aku benar-benar tidak pernah keluar kamar. Belajar berusaha menunjukkan penyesalanku yang tidak belajar dengan baik selama ini. Jujur rasanya aku seperti terbuai dengan bebasnya waktu di kamar tanpa belajar di depan ayah seperti lebih dari enam tahun aku alami dengan ayah.

Tepat ketika sore menjelang, suara mobil pun terdengar. Dadaku sangat sesak tidak bisa tenang lagi saat ini. Takut bayangan kemarahan ayah membuatku menjatuhkan air mata. Tubuhku bahkan terasa begitu panas sekali.

"Anggia! Anggia!" suara panggilan dari mamah membuatku langsung bergegas keluar kamar.

Rasanya kedua kaki ku begitu sulit ku gerakkan untuk melangkah. Takut tentu saja aku sangat takut saat ini. Mamah pasti sudah melaporkan semua nilaiku dengan ayah. Jangan salah, terkadang mamah memang suka seperti itu. Bukan menutupi justru membuat ayah semakin marah padaku. Aku maklum sadar mamahku jiwa keibuannya mungkin belum terbentuk karena menikah di usia muda.

Hingga mataku membulat melihat keadaan ayah sudah terbaring di sofa ruang tengah. Di sana ada beberapa teman ayah yang membantunya untuk berbaring. Takut dan sedih bersamaan aku rasakan.

"Mah, Ayah kenapa?" tanyaku ketakutan.

Di gendongan mamah ada adikku yang masih sangat kecil tengah menangis juga. Dengan inisiatif aku menggendongnya membiarkan mamah membantu ayah. Sudah lama aku tidak melihat ayahku jatuh sakit seperti ini. Wajahnya begitu merah sekali. Mungkin aku adalah anak yang paling jahat ketika lega tak mendapat hukuman dari ayah. Tapi, jujur aku sangat cemas dengan keadaan ayah seperti ini. Tubuhnya yang tua membuat aku sangat takut tiap kali ayah jatuh sakit. Aku belum siap jika salah satu dari orangtua ku sakit keras.

Di sana mamah sibuk memberikan kompres pada ayah dan memberikan obat penurun demam. Tubuh ayah memang sangat mudah sakit sama sepertiku. Namun, dalam bekerja ayah selalu begitu terlihat kuat ketika mengerjakannya.

Sampai malam harinya pun demam ayah belum juga turun. Mamah sudah memanggil dokter dan mendapatkan suntikan. Di sini aku duduk di samping ayah memijat kaki dan tangannya. Kamar itu sangat hening. Aku sama sekali tak berani bicara apa pun. Yang ku dengar hanya suara gumaman dari ayah karena demam.

Ada air mata yang keluar dari ujung mata ayah saat ini. Mamah menangis melihatnya. Di peluk ayah dan aku memalingkan wajah tak bisa melihat mamah menangis. Mereka memang orang tua yang sangat jauh dari kata sempurna. Di luar sana pun banyak sekali orang yang mengatakan hal buruk tentang mereka. Tetapi yang aku tahu mereka begitu tulus padaku. Mereka tak pernah mau aku hidup susah dari mereka. Itulah sebabnya ayah selalu mendidikku dengan keras.

Meski ekonomi kami saat ini sudah lumayan baik, tetapi ayah tetap memberlakukan sistem seperti kami masih susah dulu. Apa pun yang aku ingin beli selalu di tolak selain kebutuhan sekolah. Ayah bilang anak kecil tidak ada yang di butuhkan selain kebutuhan sekolah. Bahkan mainan pun aku sangat jarang membelinya.

Ayah yang begitu senang memiliki anak perempuan, terkadang membelikan aku bonek barbie kesukaanku setiap pulang dari kota. Dan itu masih tetap dalam jumlah yang wajar. Ayah tidak suka dengan hal yang berlebihan.

Jujur aku bangga dengan didikan ayah meski terkadang membuatku sedih. Kenapa aku tidak bisa memiliki segala yang aku inginkan?

"Sini," panggil ayah ketika menoleh padaku.

Aku mendekatkan kepalaku ketika tangan itu melambai. Pelan ayah membawa kepalaku ke dadanya yang berbaring di kasur saat ini. Di usapnya rambut halus milikku yang panjang. Itu adalah hal yang selalu ayahku lakukan. Dia sangat menyukai rambutku.

"Belajar yang baik, Anggia. Ayah sudah kerja keras untuk kalian. Jangan malas mencari ilmu. Belajar terus tanpa kenal usia. Kelak hidupmu tidak akan susah tidak akan panas-panasan seperti ayah dan mamahmu. Ayah tidak mau lihat anak-anak ayah susah. Maka dari itu ilmu yang bisa ayah tinggalkan untuk kalian dengan terus meminta kalian belajar. Tuntutlah ilmu tanpa henti. Jadilah anak yang sukses dan bisa membantu banyak orang. Ayah tidak mau kelak kau memakan uang orang susah. Makanlah uang dari hasil jerih payahmu sendiri." Aku menangis mendengar ucapan ayah.

Aku sangat tahu, sisi terbaik ayah ia tidak pernah ingin memakan uang orang. Di tempat kami ayah termasuk orang yang berpengaruh. Dan itu sangat banyak datang godaan agar ayah mau bekerja sama dengan orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk meraup keuntungan dari orang-orang susah.

Terpopuler

Comments

Alessandra

Alessandra

itulah kasih sayang orang tua pada anaknya, dengan mendidiknya untuk menjadi orang yang kuat. tak ada orang tua yang tidak mencintai anaknya, sekalipun sikapnya keras dan disiplin tapi itu bagus untuk melatih anaknya agar bermental kuat dan tangguh, tidak akan mudah terpengaruh dan akan selalu bermanfaat untuk orang lain. 🥰😇

2023-04-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!