Namaku Anggia Nis, dimana usiaku saat ini menginjak angka tiga belas tahun. kehidupanku memang sedikit terbatas, bisa di katakan sangat terbatas. Bukan dari segi ekeonomi. Melainkan dari segi pergaulan. Yang di tahu teman-temanku aku menjadi anak yang sangat di kurung oleh ayahku. Entah apa yang membuat ayahku seposesif itu? terkadang aku sering bertanya sampai kapan aku seperti ini? Kapan aku bisa duduk santai seperti kebanyakan temanku untuk sekedar tertawa melepas penat dari waktu belajarku. Jika di bilang aku pemalas tidak ingin belajar, tentu salah besar. Waktuku sejak aku masih belum sekolah sudah habis untuk belajar, belajar dan belajar.
Jika aku sangat muak dengan kehidupanku yang seperti itu, di luar sana banyak sekali orang yang menginginkan posisi seperti aku. Bisa menjadi juara kelas terus menerus bahkan aku sering kali di tunjuk oleh guru untuk mengajarkan kakak kelasku dalam menghitung. Yah, aku sangat ahli dalam bidang matematika dan lainnya yang berhubungan dengan menghitung.
Tapi, ketika mereka tahu bagaimana prosesnya satu pun tidak ada yang mau menjadi aku. Tidak ada waktu selain untuk belajar. Aku hanya bisa istirahat dari belajar ketika waktu tidur siang dan malam. Sungguh membosankan tentunya.
Bahkan ayahku begitu sangat mendidikku dengan sangat keras. Mungkin aku cukup kaget dengan didikannya.
"Mamah, apa abang di sana juga sama yah kayak aku?" tanyaku ketika sedang menyelesaikan tugas yang di berikan ayahku sebelum ia pergi bekerja. Dan tugas itu sangat banyak harus selesai ketika ayahku pulang nanti.
Jika kalian pikir akan selesai begitu saja. Itu salah besar. Satu saja salah aku akan kembali mendapatkan tugas, dan bukan itu saja hukumannya. Ada bonus lain-lain yang akan ku dapatkan dimana akan menjadi hal menakutkan sekali bagiku. Seperti yang aku katakan ayahku sangat keras. Didikannya sangat menggambarkan dirinya seperti seorang angkatan militer. Meski sebenarnya ayahku seorang direktur dari sebuah CV yang ia dirikan sendiri dari kerja kerasnya yang kami tahu tanpa modal sedikit pun.
"Mamah juga nggak tahu. Sudah cepat selesaikan tugasmu. Nanti ayahmu marah lagi. Jangan bikin ribut lagi yah?" ujar mamaku yang sangat hapal dengan kejadian sehari-hari di rumah kami.
Wajahku terlihat mendung membayangkan apa kali ini aku ada salah lagi dalam mengerjakan tugas. Sering kali aku merasa yakin dengan hasil kerjaku, namun ayah yang sangat teliti selalu menemukan kesalahan yang entah aku sendiri bingung.
Sementara di luar sana sore sudah tiba, dimana waktu teman-temanku sudah mulai banyak menghabiskan waktu bermain menyambut senja yang akan tiba. Ingin sekali rasanya aku bisa bergabung dengan mereka, sayang tugas di depanku begitu banyak.
Hingga tak terasa waktu malam membuatku bisa mendengar suara mobil di depan rumah, aku tak perlu melihat. Sudah jelas itu adalah mobil ayahku. Respon yang sudah biasadi tubuhku terasa begitu saja. Secara alamiah semua bulu di tangaku terasa merinding. Takut, satu hal yang membuatku selalu gelisah menanti kepulangan ayah.
"Anggia!" teriakan itu seketika membuatku langsung berlari. Di depan rumah aku melihat ayahku menciumi wajah adikku yang baru lahir.
Yah, saat aku menginjak bangku SMP aku mendapatkan adik di mana yang menjadi hiburan di keluarga kami ketika rumah terasa begitu sunyi.
"Iya Ayah." sahutku mendekat.
Ketakutan yang ku rasakan mendadak sirna ketika sebuah usapan lembut ku dapatkan di kepalaku. Yah, Ayahku mengusap rambut panjangku yang selalu di katakan adalah mahkota yang indah. Ayahku tak pernah memujiku cantik, dimana memang aku sadar dengan wajahku yang biasa saja. Berbeda dari kencantikan yang mamah ku punya.
Bisa di bilang selera ayahku cukup bagus memilih istri. Kembali pada usapan lembut itu. Ayah memintaku duduk di sampingnya ketika ia menggendong sang adik.
"Gimana tugasnya? Sudah selesai?" dan pertanyaan yang membuat aku gugup setengah mati meski sudah aku selesaikan dengan baik menurut versiku kembali di tanya oleh ayah.
"Sudah, bentar Ayah." aku masuk mengambil tugas dan ayahku memeriksa satu presatu.
Jujur detakan jantungku begitu terasa sangat kuat saat ini. Ku tatap raut wajah ayah yang berubah-ubah dari anggukan ke kening mengerut dalam hingga anggukan dan akhirnya apa yang ku takutkan benar terjadi lagi.
Air mataku jatuh saat itu. Hal yang sudah biasa ku dapatkan dari kemarahan ayah. Aku masuk ke kamar dengan membawa tambahan tugas dimana jumlahnya justru semakin banyak.
"Tuhan...kenapa begini?" rasanya kepalaku begitu lelah berpikir. Hingga akhirnya mamah datang ke kamar.
"Jangan di ambil hati. Kerjakan betul-betul. Ayahmu itu lagi capek. Sudah jangan nangis, Anggia.
Nyatanya aku masih sesenggukan, dan itulah yang sering ku lakukan di rumah tanpa bisa bermain. Mungkin hanya sesekali aku bisa merasakannya.
Hingga pada akhirnya hari telah berganti. Jika di bilang marah, mungkin sebagai anak kecil aku marah dengan ayah perihal kemarin. Tapi, aku teringat lagi dengan ucapan ayah. Semua demi masa depanku.
Ayah ingin aku memiliki prestasi yang baik ke depannya. Katanya cukup kesulitan mereka saja sebagai orang tua yang merasakan. Sebab itu selagi muda belajarlah terus tanpa lelah. Bahkan yang aku lihat sampai di usia tua ayah pun terus belajar dari banyak teman-temannya yang memiliki kedudukan dan kuasa tinggi di beberapa perusahaan. Hingga saat ini ayah bisa mendirikan sebuah CV yang bergerak di bidang kontraktor pembangunan.
Pagi ini hujan turun begitu derasnya. Aku menghentikan motor ketika hujan dari langit sudah turun tanpa memberi kesempatan aku dan teman-teman lainnya untuk sampai di sekolah lebih dulu. Kami berjajar kedinginan dengan pakaian sebagian basah saat ini.
Jujur aku takut jika bergabung dengan teman laki-laki meski ada beberapa juga perempuan. Sebab ayahku yang sangat posesif bisa begitu keras dengan anak orang lain jika tahu aku main-main dengan mereka.
"Anggia, itu mobil ayahmu." ujar temanku segera menjauh dari ku. Rasanya aku seperti sebuah penyakit yang di jauhi mereka. Tentu saja mereka sangat tahu watak ayahku yang begitu kejam dan tegas.
Mereka sama sekali tak berani mencari masalah denganku.
"Aduh, mati aku." gumamku menduduk takut. Bayangan tangan kuat ayah mengenai wajahku membuat tubuhku reflek gemetar.
"Ayo masuk." panggilan dari sang ayah ketika menurunkan kaca mobil.
Aku ragu berkata, "Ayah, motorku bagaimana?" tanyaku takut-takut.
"Sudah tinggal di situ aja." ujar Ayah.
Ketika aku duduk di samping, ku lihat bahkan ayah tidak memakai baju ganti ketika menyetir mobil. Ini adalah baju tidur yang ia pakai tadi ketika tidur. Ku tatap dalam ayah tak lama kemudian suaranya kembali terdengar.
"Panggil temanmu semua, kenapa di biarkan aja kehujanan di situ?" ragu aku pun menawarkan tumpangan. Bahkan untuk menolak saja teman-temanku tak berani. Berakhirlah kami semua semua ke sekolah dengan naik mobil.
"Ini Anggia, ganti bajumu. Lihat wajahmu pucat. Ayah sudah bilang jangan hujan-hunanan. Kau mudah sakit," sungguh rasanya hatiku yang ketakutan mendadak menghangat melihat bagaimana perdulinya ayah padaku.
Rasanya ingin sekali aku mengatakan ayah, aku menyayangimu...
Tapi ada jarak yang membuat ku merasa tak berani mengatakan kata sederhana bermakna besar itu. Ayah begitu irit sekali bicara, hingga aku tak bisa sedekat teman-teman lain pada ayahnya.
Satu semester ku lewati dengan sangat membosankan. Semenjak aku duduk di bangku SMP ayah sudah benar-benar sangat sibuk. Yah bisa di bilang ini adalah awal karirnya setelah kami benar-benar hidup dengan sangat kekurangan. Waktu belajarku yang sejak kecil terus di awasi kini sudah menjadi bebas. Aku hanya mendapatkan peringatan untuk terus belajar sendiri. Tanpa sadar aku justru lalai dengan peringatan ayah. Aku sibuk main di kamar dengan laptop. Mungkin banyak yang tidak percaya jika di saat aku duduk di bangku SMP bahkan ayah masih melarang aku memakai ponsel. Begitulah ayahku, posesifnya padaku benar-benar sangat berlebihan.
Dan hari ini adalah hari pembagian rapor dimana aku begitu lemas dan takut ketika pulang ke rumah. Selama duduk di bangku SD aku selalu mendapat peringkat dan ini adalah pertama kalinya aku sama sekali tidak dapat apa-apa. Jika biasa aku pulang ke rumah, Ayah akan menunggu hasil ku dari sekolah. Nyatanya tidak untuk kali ini.
"Mamah, ayah dimana?" tanya menelisik sekitar rumah dimana mobil ayahku sama sekali tidak ada.
"Masuk ke pabrik ngawasin pembangunan. Bagaimana hasilnya, Anggia?" tanya Mamah dengan penasaran.
Meski jika bersama Mamah aku lebih santai tidak takut, sebab mamah tidak pernah kasar padaku. Dia hanya kuat seperti ibu-ibu temanku juga dalam mengomel. Terkadang aku pun sering berselisih paham padanya karena sulit memahami anaknya. Usia mamah memang sangat muda dan mungkin itu salah satu penyebab kami sering bertengkar dalam hal-hal kecil. Jika di luar sana temanku banyak yang ingin mamahnya muda, tidak denganku. Hal yang paling menjengkelkan adalah ketika rebutan baju di toko baju. Aku yang seleranya terlalu cepat dewasa dan mamah yang seleranya begitu muda.
Dengan tangan lemas aku pun menyodorkan raporku dengan mamah. Seperti yang aku duga mamah pasti akan syok.
"Anggia, nilaimu kenapa rendah begini? urutan ke dua puluh lima? Dari peringkat satu." wajah mamah begitu syok dan aku hanya bisa menunduk.
Aku sadar selama ini aku tidak pernah belajar dengan benar selama ayah tidak pernah mengawasiku lagi. Entah mengapa rasanya sangat bingung ketika belajar sendiri. Mungkin ini karena kebiasaanku selalu di arahkan ayah sampai aku tidak bisa bangkit sendiri.
Mataku berkaca-kaca sedih membayangkan apa yang ayah lakukan padaku. Hingga satu hari itu sejak pulang sekolah aku benar-benar tidak pernah keluar kamar. Belajar berusaha menunjukkan penyesalanku yang tidak belajar dengan baik selama ini. Jujur rasanya aku seperti terbuai dengan bebasnya waktu di kamar tanpa belajar di depan ayah seperti lebih dari enam tahun aku alami dengan ayah.
Tepat ketika sore menjelang, suara mobil pun terdengar. Dadaku sangat sesak tidak bisa tenang lagi saat ini. Takut bayangan kemarahan ayah membuatku menjatuhkan air mata. Tubuhku bahkan terasa begitu panas sekali.
"Anggia! Anggia!" suara panggilan dari mamah membuatku langsung bergegas keluar kamar.
Rasanya kedua kaki ku begitu sulit ku gerakkan untuk melangkah. Takut tentu saja aku sangat takut saat ini. Mamah pasti sudah melaporkan semua nilaiku dengan ayah. Jangan salah, terkadang mamah memang suka seperti itu. Bukan menutupi justru membuat ayah semakin marah padaku. Aku maklum sadar mamahku jiwa keibuannya mungkin belum terbentuk karena menikah di usia muda.
Hingga mataku membulat melihat keadaan ayah sudah terbaring di sofa ruang tengah. Di sana ada beberapa teman ayah yang membantunya untuk berbaring. Takut dan sedih bersamaan aku rasakan.
"Mah, Ayah kenapa?" tanyaku ketakutan.
Di gendongan mamah ada adikku yang masih sangat kecil tengah menangis juga. Dengan inisiatif aku menggendongnya membiarkan mamah membantu ayah. Sudah lama aku tidak melihat ayahku jatuh sakit seperti ini. Wajahnya begitu merah sekali. Mungkin aku adalah anak yang paling jahat ketika lega tak mendapat hukuman dari ayah. Tapi, jujur aku sangat cemas dengan keadaan ayah seperti ini. Tubuhnya yang tua membuat aku sangat takut tiap kali ayah jatuh sakit. Aku belum siap jika salah satu dari orangtua ku sakit keras.
Di sana mamah sibuk memberikan kompres pada ayah dan memberikan obat penurun demam. Tubuh ayah memang sangat mudah sakit sama sepertiku. Namun, dalam bekerja ayah selalu begitu terlihat kuat ketika mengerjakannya.
Sampai malam harinya pun demam ayah belum juga turun. Mamah sudah memanggil dokter dan mendapatkan suntikan. Di sini aku duduk di samping ayah memijat kaki dan tangannya. Kamar itu sangat hening. Aku sama sekali tak berani bicara apa pun. Yang ku dengar hanya suara gumaman dari ayah karena demam.
Ada air mata yang keluar dari ujung mata ayah saat ini. Mamah menangis melihatnya. Di peluk ayah dan aku memalingkan wajah tak bisa melihat mamah menangis. Mereka memang orang tua yang sangat jauh dari kata sempurna. Di luar sana pun banyak sekali orang yang mengatakan hal buruk tentang mereka. Tetapi yang aku tahu mereka begitu tulus padaku. Mereka tak pernah mau aku hidup susah dari mereka. Itulah sebabnya ayah selalu mendidikku dengan keras.
Meski ekonomi kami saat ini sudah lumayan baik, tetapi ayah tetap memberlakukan sistem seperti kami masih susah dulu. Apa pun yang aku ingin beli selalu di tolak selain kebutuhan sekolah. Ayah bilang anak kecil tidak ada yang di butuhkan selain kebutuhan sekolah. Bahkan mainan pun aku sangat jarang membelinya.
Ayah yang begitu senang memiliki anak perempuan, terkadang membelikan aku bonek barbie kesukaanku setiap pulang dari kota. Dan itu masih tetap dalam jumlah yang wajar. Ayah tidak suka dengan hal yang berlebihan.
Jujur aku bangga dengan didikan ayah meski terkadang membuatku sedih. Kenapa aku tidak bisa memiliki segala yang aku inginkan?
"Sini," panggil ayah ketika menoleh padaku.
Aku mendekatkan kepalaku ketika tangan itu melambai. Pelan ayah membawa kepalaku ke dadanya yang berbaring di kasur saat ini. Di usapnya rambut halus milikku yang panjang. Itu adalah hal yang selalu ayahku lakukan. Dia sangat menyukai rambutku.
"Belajar yang baik, Anggia. Ayah sudah kerja keras untuk kalian. Jangan malas mencari ilmu. Belajar terus tanpa kenal usia. Kelak hidupmu tidak akan susah tidak akan panas-panasan seperti ayah dan mamahmu. Ayah tidak mau lihat anak-anak ayah susah. Maka dari itu ilmu yang bisa ayah tinggalkan untuk kalian dengan terus meminta kalian belajar. Tuntutlah ilmu tanpa henti. Jadilah anak yang sukses dan bisa membantu banyak orang. Ayah tidak mau kelak kau memakan uang orang susah. Makanlah uang dari hasil jerih payahmu sendiri." Aku menangis mendengar ucapan ayah.
Aku sangat tahu, sisi terbaik ayah ia tidak pernah ingin memakan uang orang. Di tempat kami ayah termasuk orang yang berpengaruh. Dan itu sangat banyak datang godaan agar ayah mau bekerja sama dengan orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk meraup keuntungan dari orang-orang susah.
Air mataku jatuh saat melihat mobil sudah menjauh dari pelataran rumah. Kali pertama ayah sakit sampai harus di rujuk ke luar kota tentu saja membuat kami semua panik. Perasaanku begitu sangat takut saat ini, jangan sampai terjadi hal serius pada ayah. Bahkan mamah terpaksa meninggalkan aku di rumah dengan orang kepercayaan yang kerja di rumah. Sebab sekolahku juga begitu penting. Sementara adikku terpaksa harus di bawa.
Tepat jam sepuluh tadi ayah tiba-tiba teriak menjerit memegang dadanya. Semula keadaan demamnya sudah mulai menurun entah apa yang membuat ayah seperti itu. Hanya keterangan dari rumah sakit terdekat mengatakan ayah terkena jantung.
Memaksa diri untuk tetap belajar dengan fokus nyatanya pikiranku bertanya-tanya apa yang terjadi pada ayah di sana. Mungkin jika biasanya di rumah sepi membuat aku senang bisa bebas bermain dan melakukan apa pun dengan teman-temanku. Tapi, tidak kali ini. Semua itu tidak bisa aku lakukan ketika ayah berjuang melawan sakit tanpa aku bisa melihatnya.
Sekali pun ayah terlihat kuat, tetapi ketika sakit sedikit pun aku tidak tega melihat wajah tua itu meringis kesakitan.
Satu minggu berjalan nyatanya aku masih terlihat linglung menanti kabar dari ayahku hingga ketika pulang sekolah keningku mengerut dalam melihat mamah sudah ada di rumah dengan mobil ayah.
"Ayah pulang?" gumamku lirih melihat mobil itu. Perasan senang dan takut bersamaan menyerang pikiranku saat ini.
Ingatan tentang raport ku yang belum di periksa ayah rasanya akan ada hukuman yang menyusul. Hingga dengan ragu aku melangkah kan kakiku mendekat. Dimana mamah tengah menggendong adik bayiku.
"Anggia," panggil Mamah dengan lemas.
Wajah mamah terlihat begitu lelah, apa yang terjadi selama di rumah sakit aku tidak tahu. Yang jelas mamah pasti kelelahan menjaga ayah dan juga adikku di sana.
Bedanya saat ini, ketika ayah sakit mamah tidak lagi kepikiran soal biaya. Sebab kami memang sudah mulai hidup dengan berkecupukan. Tidak seperti sebelumnya. Mamah sering kali terduduk menangis di depan pintu kamar saat aku dan ayah sakit berganti-gantian tanpa henti. Biaya yang hanya kami harapkan dari pemberian teman-teman ayah yang baik saja yang bisa menolong mamah.
"Ayah gimana, Mah?" tanya ku saat pulang dari sekolah hari itu. Aku mencium wajah bayi mungil yang semula sangat tidak aku harapkan kehadirannya.
Yah, mungkin bisa di bilang aku adalah kakak yang jahat tidak terima ketika memiliki seorang adik. Itu semua tentu karena aku terbiasa menjadi anak satu-satunya di antara ayah dan mamah, membuat aku takut. Jika kasih sayang mereka benar-benar habis untukku karena kehadiran adikku.
Setidaknya semua sikap keras ayah dan mamah padaku bisa terobati dengan perhatian mereka selama ini. Namun, Tuhan lagi-lagi mengujiku dengan mendapatkan kasih sayang hasil dari berbagi dengan adik.
"Ayahmu belum bisa pulang, Anggia. Di sana sepupunya yang jagain. Mamah juga sakit jadi harus pulang istirahat. Kalau di sana takutnya adikmu juga tertular sakit nanti." miris aku mendengar keluhan mamah.
Kasihan sekali kami yang hidup jauh dari keluarga. Semua harus kami hadapi sendiri. Tapi, mamah adalah wanita yang begitu kuat. Sejak aku kecil aku bahkan tak pernah melihat mamah terbaring sakit. Apa aku egois jika berdoa mama terus sehat seperti ini? Sebab aku dan ayah entah tak terhitung jumlahnya terbaring sakit di tempat tidur.
Segera aku berinisiatif berganti pakaian dan mengganti mamah menjaga adikku. Mamah berbaring dengan aku memangku adikku. Mungkin bisa terlihat ada perasaan senang ketika aku lebih banyak bermain dengan adikku dari pada harus di suruh belajar. Entah mengapa kepalaku terasa seperti ingin memuntahkan semua pelajaran yang aku pelajari setiap kali di suruh belajar sendiri.
Mamah sesekali menghubungi keluarga yang menjaga ayah di sana. Beruntung sekali rasanya kami memiliki keluarga yang begitu baik pada kami. Meski pertemuan mereka baru beberapa waktu sebab sama-sama merantau di kota yang berbeda bahkan tanpa adanya komunikasi.
Dua minggu tepat dari saat kepergian ayah dari rumah ke rumah sakit, akhirnya kini pamanku datang mengantar ayah. Ia bersikeras untuk meminta mamah tetap di rumah demi adikku yang masih bayi. Mereka begitu baik merawat ayah bahkan semua kebutuhan di rumah sakit mereka semua yang mengurus.
Senang tentu saja akhirnya ayah sudah bisa pulang dalam keadaan yang sehat saat ini.
"Jangan bikin ayahmu berpikir keras. Dokter bilang itu bahaya buat jantungnya." ujar mamah memperingati aku sebelum aku membawakan minuman ke kamar. Dimana ayah tengah berbaring dengan tubuh yang sedikit lebih kurus dari biasanya.
"Iya, mamah." sahutku.
Bagaimana jika soal pelajaran tentu aku tidak bisa menghindari hal itu. Mamah memintaku menjadi anak yang baik dan patuh apa yang di perintah oleh ayah, oke aku tentu bisa. Tapi jika tentang pelajaran di sekolah entah mengapa pikiranku sudah benar-benar terasa tak bisa lagi berpikir. Seolah kebebasan yang aku dapatkan saat ini belajar sendiri selama ayah sibuk kerja membuatku benar-benar tak bisa berpikir berat lagi.
Bertahun-tahun aku belajar di bawah didikan ayah yang sangat tegas membuatku ketergantungan selalu di perlakukan keras.
Dari waktu ke waktu keadaan ayahku semakin membaik dan ia mulai aktif untuk bekerja lagi. Pagi ini kami duduk sarapan bersama. Ayah rapi dengan pakaian kerja yang begitu stylish. Meski usianya sudah menginjak kepala lima hampir ke enam ayah begitu terlihat segar. Penampilannya yang selalu menggunakan jeans bermerk dengan kaos yang ia masukkan ke dalam celana menambah kesan gaul dna muda. Terkadang aku dan mamah tertawa melihat penampilan ayahku yang begitu mengalahkan anak-anak muda di luar sana.
Tapi, itulah ciri ayahku. Memang penampilannya begitu ia jaga, mungkin karena usia mamah yang juga masih sanga muda maka ayah berusaha maksimal mengimbangi mamahku.
Jujur sarapan satu meja seperti ini sering kali membuatku menghindar. Sebab entah mengapa kejadian yang sering terjadi kala makan mamah dan ayah sering kali ribut dan berakhir pertengkaran besar.
"Anggia!" panggilan dari suara berat itu membuat aku cepat mengangkat kepala menatap ayah. Takut apa yang akan ayah sampaikan padaku. Dadaku terasa sesak, badanku panas dingin bahkan mataku sudah berkaca-kaca. Apa ini saatnya ayah membahas nilaiku di sekolah yang mulai turun? Atau ayah membahas masalah pembelajaranku lagi? Ketakutan mulai menguasai diriku saat ini.
"Iya, Ayah." sahutku dengan pelan penuh ketakutan.
"Apa yang kamu butuhkan di sekolah? Katakan pada ayah?" napasku ku buang dengan lega mendengar ucapan sang ayah, bukan karena permintaannya. Melainkan karena pikiranku yang menakutkan ternyata tidak terjadi.
"Laptop? Motor? Buku? Atau ada yang lainnya kamu butuhkan untuk sekolah. Ayah akan belikan." wajahku takut-takut tersenyum senang mendengar ucapan ayah.
"Ponsel boleh, Ayah?" ragu aku bertanya. Sebab hanya itu keinginanku selama ini. Di luar sana teman-temanku sudah memiliki ponsel semua. Meski untuk hal belajar memang tak pernah di butuhkan saat ini. Di sekolah pun kami tidak boleh membawa ponsel.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!