Ketegangan di dalam rumahku kini sudah tak pernah aku rasakan lagi, sedih rasanya ketika ayah sangat sibuk dengan kerjaannya hingga jarang pulang. Mamah juga sibuk dan aku merasa sendiri, adikku masih terlalu kecil untuk aku ajak berbicara. Hingga aku beranjak SMA di rumah semakin sepi. Aku di bawa ayah untuk sekolah di luar kota. Jujur aku sangat ingin sekali sekolah dengan setiap hari makan masakan mamah dan mendapatkan banyak perhatiannya, namun saat ini semua itu tak bisa aku dapatkan. Tak jarang jika aku sangat terharu ketika memiliki teman yang orangtuanya baik. Entah mengapa rasanya aku haus akan kasih sayang orang terdekatku.
"Ayah akan kerja keras demi kalian agar kita tidak susah lagi seperti dulu. Cukup ayah dan mamah kalian yang merasakan pahitnya hidup tak bisa makan. Jangan dengan anak-anak ayah. Sekarang kalian jangan pikirkan apa pun fokus pada masa depan kalian sekolah yang baik." itulah kata-kata yang selalu ayah ucapkan padaku. Jujur aku merasa seperti rapuh tak mendapat dukungan dari kedua orangtuaku.
Bahkan ketika sekolah ayah hanya terus menuntutku untuk bisa mencapai harapannya tanpa tahu bagaimana kemampuanku.
"Semua pasti bisa selagi ada tekad. Lihat ayah yang hanya seorang lulusan stm mesin bisa sukses seperti ini. Karena apa? Karena ayah tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Ayah terus belajar dari orang-orang hebat. Jangan pernah malu untuk meminta ilmu pengetahuan pada orang." lagi kata-kata yang selalu ayah tekankan padaku.
Setiap kali aku merasa kesulitan menghadapi suatu hal di kehidupan mau pun di sekolah ayah selalu mengatakan seperti itu. Bahkan ayah tak pernah mendengar apa alasanku mengatakan itu sulit. Terkadang aku merasa sangat lelah tanpa bisa beristirahat sejenak untuk berpikir. Tak sadar itu semua justru membuat aku mulai menyerah dan mengacuhkan semua tentang sekolahku. Yah, aku tak lagi perduli dengan nilaiku di sekolah. Pikiranku mulai goyah merasa ingin meraih kesenangan seperti teman-temanku di luar sana. Tinggal sendiri di kota yang jauh dari jangakauan orangtua membuat aku mulai mengenal cinta.
Aku sadar ini semua salah bahkan sejak aku berhubungan dengan beberapa teman sekolan justru aku tak lagi pernah memikirkan nasihat ayah. Semua pelajaran di sekolah benar-benar sulit untuk aku pahami. Pikiranku hanya ingin pulang sekolah dan jalan-jala. Hingga suatu ketika ayah datang ke tempatku tinggal.
"Siapa yang sedang dekat denganmu?" pertanyaan itu sontak membuat aku gelagapan tak mengerti. Apa maksud pertanyaan ayah? Apa ayah tahu atau hanya menebak saja? bibirku gelagapan berkata tak bisa menjawab entah aku harus berkata apa saat ini.
"Ma-maksud ayah?" tanyaku dengan takut.
"Anggia, ayah sudah katakan tidak ada pacar-pacaran selama kau sekolah. Apa kurang jelas kata-kata ayah itu?" aku menunduk diam takut kemarahan ayah semakin besar padaku. Tubuhku bergetar saat ini, jujur aku tidak tahu harus melakukan apa. Bahkan mamah pun tidak ada di sini.
Ketakutan jika sampai ayah marah dan berbuat kasar padaku seperti sebelumnya, namun ternyata ayah bisa menahan amarahnya padaku saat ini. Nada bicaranya memang begitu menakutkan saat berteriak. Namun aku bisa melihat ayah berusaha mengatur emosi hingga napasnya terengah. Ada rasa salut melihat ayah menahan amarahnya padaku. Apa benar apa yang ayah katakan jika ia tidak pernah mau memukul ku lagi sebab aku sudah begitu besar.
"Mana ponselmu?" tiba-tiba saja ayah meminta ponsel yang memang di belikan padaku sejak aku sekolah SMA. Karena jarak tinggal kami memang cukup jauh sebab itulah ayah mau membelikan aku ponsel.
Ketakutanku semakin besar dimana ayah meraih benda pipih itu. Mataku terpejam ketakutan saat tangan ayah aku lihat gemetar memegang ponsel milikku.
"Ini ponsel baru untukmu, dan ini ayah ambil." hanya kata itu yang ayah ucapkan lalu pergi dari kamarmku. Aku tidak tahu apa yang ayah lakukan yang jelas sejak saat itu aku tidak bisa komunikasi dengan teman pria ku lagi. Bahkan mereka terkesan menjauhi aku.
Ayah memang seposesif itu padaku. Aku sadar apa yang ayah lakukan memang tidak salah. Ia begitu ingin melindungi aku sebagai anak perempuannya. Ayah takut jika sampai aku melakukan kesalahan yang fatal. Dimana lingkungan ayah sebagai pembisnis sukses banyak orang yang melemparkan para wanita yang membutuhkan uang karena berasal dari keluarga yang tidak mampu dan ada juga yang ingin memperkaya diri secara instan dengan menjadi simpanan orang tua.
Itu sebabnya ayah paling tidak ingin aku bergaul bebas. Jika soal uang ayah tak pernah membatasi aku. Apalagi untuk makan, hanya saja aku sendiri yang memilih untuk membatasi pengeluaranku. Secara tidak sadar aku melakukan itu semua demi uang yang di berikan ayah dan mamah bisa aku tabung.
Jika biasa ayah akan datang mengunjungiku seminggu sekali, kini ayah tak lagi muncul bahkan hampir satu bulan lamanya.
"Mah, kesini yah? Aku kangen." ujarku menelpon mamah yang sudah lama tak mengunjungi aku juga.
Aku benar-benar di paksa hidup sendiri dengan usiaku yang masih butuh dalam pengawasan orang tua. Jujur aku sangat mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitar dimana para temanku sering nongkrong sampai jam sebelas malam dan aku perlahan mulai ikut. Aku tahu jika ayah mengetahui ini pasti ayah tidak akan segan menyeretku pulang.
"Mamah masih sibuk ngurus toko. Kamu kan bulan depat libur semester bisa pulang kan? Nanti mamah jemput." itulah ucapan yang aku dengar dari mamah.
Aku hanya menghela napas kasar. Mamah fokus dengan kesibukannya. Aku sangat rindu masakan mamah saat ini. Hari itu aku memutuskan ke rumah keluarga untuk mengunjungi mereka. Dimana pamanku memang sangat baik padaku.
"Dari mana saja kamu, Anggia? Berapa hari lalu ayahmu ke sini." aku kaget mendengar ucapan paman. Mengapa ayah tidak datang mengunjungiku, pikirku.
"Ayahmu kecewa sama kamu, Anggia. Kenapa kamu sekolah justru main-main seperti itu? Kamu tahu kan sejak awal ayahmu sudah memberi peringatan tidak ada pacar-pacaran selama sekolah. Kamu tidak paham itu?" Niat hati aku ingin sekali melepas rindu dengan mamah melalui mereka, justru aku mendapat ceramah dari pamanku. Meski tante sering kali membelaku tapi tetap saja paman tak hentinya menceramahi aku.
Ternyata ayah bukan sibuk sampa tak datang mengunjungi aku, melainkan ayah sedang memikirkan jalan untukku. Ia benar-benar kecewa dengan pikiranku yang bisa lalai dalam nasihat ayah.
"Kamu tahu kan bagaimana sakitnya ayahmu kerja cari uang dulu? Kamu lihat semua perjuangan ayahmu kerja di tengah hutan seorang diri sampai bisa seperti ini. Kenapa kamu justru main-main Anggia dengan sekolahmu? Susah payah ayahmu mencari uang untuk biaya sekolahmu, agar anak-anaknya tidak kesusahan kelak hidupnya..." banyak kata dari paman hingga tak terasa aku meneteskan air mata.
Aku sangat tahu. Aku sangat paham itu semua. Tapi, rasanya begitu sulit untuk menahan ketertarikan ku pada lawan jenis. Di sekolah aku termasuk banyak teman pria yang mendekati aku. Dan aku begitu merasa senang jika ada yang memperhatikan aku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments