Permintaanku

Air mataku jatuh saat melihat mobil sudah menjauh dari pelataran rumah. Kali pertama ayah sakit sampai harus di rujuk ke luar kota tentu saja membuat kami semua panik. Perasaanku begitu sangat takut saat ini, jangan sampai terjadi hal serius pada ayah. Bahkan mamah terpaksa meninggalkan aku di rumah dengan orang kepercayaan yang kerja di rumah. Sebab sekolahku juga begitu penting. Sementara adikku terpaksa harus di bawa.

Tepat jam sepuluh tadi ayah tiba-tiba teriak menjerit memegang dadanya. Semula keadaan demamnya sudah mulai menurun entah apa yang membuat ayah seperti itu. Hanya keterangan dari rumah sakit terdekat mengatakan ayah terkena jantung.

Memaksa diri untuk tetap belajar dengan fokus nyatanya pikiranku bertanya-tanya apa yang terjadi pada ayah di sana. Mungkin jika biasanya di rumah sepi membuat aku senang bisa bebas bermain dan melakukan apa pun dengan teman-temanku. Tapi, tidak kali ini. Semua itu tidak bisa aku lakukan ketika ayah berjuang melawan sakit tanpa aku bisa melihatnya.

Sekali pun ayah terlihat kuat, tetapi ketika sakit sedikit pun aku tidak tega melihat wajah tua itu meringis kesakitan.

Satu minggu berjalan nyatanya aku masih terlihat linglung menanti kabar dari ayahku hingga ketika pulang sekolah keningku mengerut dalam melihat mamah sudah ada di rumah dengan mobil ayah.

"Ayah pulang?" gumamku lirih melihat mobil itu. Perasan senang dan takut bersamaan menyerang pikiranku saat ini.

Ingatan tentang raport ku yang belum di periksa ayah rasanya akan ada hukuman yang menyusul. Hingga dengan ragu aku melangkah kan kakiku mendekat. Dimana mamah tengah menggendong adik bayiku.

"Anggia," panggil Mamah dengan lemas.

Wajah mamah terlihat begitu lelah, apa yang terjadi selama di rumah sakit aku tidak tahu. Yang jelas mamah pasti kelelahan menjaga ayah dan juga adikku di sana.

Bedanya saat ini, ketika ayah sakit mamah tidak lagi kepikiran soal biaya. Sebab kami memang sudah mulai hidup dengan berkecupukan. Tidak seperti sebelumnya. Mamah sering kali terduduk menangis di depan pintu kamar saat aku dan ayah sakit berganti-gantian tanpa henti. Biaya yang hanya kami harapkan dari pemberian teman-teman ayah yang baik saja yang bisa menolong mamah.

"Ayah gimana, Mah?" tanya ku saat pulang dari sekolah hari itu. Aku mencium wajah bayi mungil yang semula sangat tidak aku harapkan kehadirannya.

Yah, mungkin bisa di bilang aku adalah kakak yang jahat tidak terima ketika memiliki seorang adik. Itu semua tentu karena aku terbiasa menjadi anak satu-satunya di antara ayah dan mamah, membuat aku takut. Jika kasih sayang mereka benar-benar habis untukku karena kehadiran adikku.

Setidaknya semua sikap keras ayah dan mamah padaku bisa terobati dengan perhatian mereka selama ini. Namun, Tuhan lagi-lagi mengujiku dengan mendapatkan kasih sayang hasil dari berbagi dengan adik.

"Ayahmu belum bisa pulang, Anggia. Di sana sepupunya yang jagain. Mamah juga sakit jadi harus pulang istirahat. Kalau di sana takutnya adikmu juga tertular sakit nanti." miris aku mendengar keluhan mamah.

Kasihan sekali kami yang hidup jauh dari keluarga. Semua harus kami hadapi sendiri. Tapi, mamah adalah wanita yang begitu kuat. Sejak aku kecil aku bahkan tak pernah melihat mamah terbaring sakit. Apa aku egois jika berdoa mama terus sehat seperti ini? Sebab aku dan ayah entah tak terhitung jumlahnya terbaring sakit di tempat tidur.

Segera aku berinisiatif berganti pakaian dan mengganti mamah menjaga adikku. Mamah berbaring dengan aku memangku adikku. Mungkin bisa terlihat ada perasaan senang ketika aku lebih banyak bermain dengan adikku dari pada harus di suruh belajar. Entah mengapa kepalaku terasa seperti ingin memuntahkan semua pelajaran yang aku pelajari setiap kali di suruh belajar sendiri.

Mamah sesekali menghubungi keluarga yang menjaga ayah di sana. Beruntung sekali rasanya kami memiliki keluarga yang begitu baik pada kami. Meski pertemuan mereka baru beberapa waktu sebab sama-sama merantau di kota yang berbeda bahkan tanpa adanya komunikasi.

Dua minggu tepat dari saat kepergian ayah dari rumah ke rumah sakit, akhirnya kini pamanku datang mengantar ayah. Ia bersikeras untuk meminta mamah tetap di rumah demi adikku yang masih bayi. Mereka begitu baik merawat ayah bahkan semua kebutuhan di rumah sakit mereka semua yang mengurus.

Senang tentu saja akhirnya ayah sudah bisa pulang dalam keadaan yang sehat saat ini.

"Jangan bikin ayahmu berpikir keras. Dokter bilang itu bahaya buat jantungnya." ujar mamah memperingati aku sebelum aku membawakan minuman ke kamar. Dimana ayah tengah berbaring dengan tubuh yang sedikit lebih kurus dari biasanya.

"Iya, mamah." sahutku.

Bagaimana jika soal pelajaran tentu aku tidak bisa menghindari hal itu. Mamah memintaku menjadi anak yang baik dan patuh apa yang di perintah oleh ayah, oke aku tentu bisa. Tapi jika tentang pelajaran di sekolah entah mengapa pikiranku sudah benar-benar terasa tak bisa lagi berpikir. Seolah kebebasan yang aku dapatkan saat ini belajar sendiri selama ayah sibuk kerja membuatku benar-benar tak bisa berpikir berat lagi.

Bertahun-tahun aku belajar di bawah didikan ayah yang sangat tegas membuatku ketergantungan selalu di perlakukan keras.

Dari waktu ke waktu keadaan ayahku semakin membaik dan ia mulai aktif untuk bekerja lagi. Pagi ini kami duduk sarapan bersama. Ayah rapi dengan pakaian kerja yang begitu stylish. Meski usianya sudah menginjak kepala lima hampir ke enam ayah begitu terlihat segar. Penampilannya yang selalu menggunakan jeans bermerk dengan kaos yang ia masukkan ke dalam celana menambah kesan gaul dna muda. Terkadang aku dan mamah tertawa melihat penampilan ayahku yang begitu mengalahkan anak-anak muda di luar sana.

Tapi, itulah ciri ayahku. Memang penampilannya begitu ia jaga, mungkin karena usia mamah yang juga masih sanga muda maka ayah berusaha maksimal mengimbangi mamahku.

Jujur sarapan satu meja seperti ini sering kali membuatku menghindar. Sebab entah mengapa kejadian yang sering terjadi kala makan mamah dan ayah sering kali ribut dan berakhir pertengkaran besar.

"Anggia!" panggilan dari suara berat itu membuat aku cepat mengangkat kepala menatap ayah. Takut apa yang akan ayah sampaikan padaku. Dadaku terasa sesak, badanku panas dingin bahkan mataku sudah berkaca-kaca. Apa ini saatnya ayah membahas nilaiku di sekolah yang mulai turun? Atau ayah membahas masalah pembelajaranku lagi? Ketakutan mulai menguasai diriku saat ini.

"Iya, Ayah." sahutku dengan pelan penuh ketakutan.

"Apa yang kamu butuhkan di sekolah? Katakan pada ayah?" napasku ku buang dengan lega mendengar ucapan sang ayah, bukan karena permintaannya. Melainkan karena pikiranku yang menakutkan ternyata tidak terjadi.

"Laptop? Motor? Buku? Atau ada yang lainnya kamu butuhkan untuk sekolah. Ayah akan belikan." wajahku takut-takut tersenyum senang mendengar ucapan ayah.

"Ponsel boleh, Ayah?" ragu aku bertanya. Sebab hanya itu keinginanku selama ini. Di luar sana teman-temanku sudah memiliki ponsel semua. Meski untuk hal belajar memang tak pernah di butuhkan saat ini. Di sekolah pun kami tidak boleh membawa ponsel.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!