Rasa Iri

Jika aku pikir akan mendapat amarah setelahnya, ternyata tidak. Ayah justru mengatakan jika membeli ponsel belumlah waktunya. Jujur aku merasa kecewa namun seperti biasa aku harus tetap berangkat sekolah tanpa bisa memprotes apa yang tidak ayah berikan padaku. Hingga saat itu aku tak berani lagi mengatakan keinginan untuk membeli ponsel. Tak jarang bahkan teman-teman mengejek aku yang tidak memiliki ponsel. Setiap kali ada acara kegiatan di sekolah aku tak memiliki ponsel untuk mengabadikan. Tak jarang bahkan aku meminjam ponsel teman dan mengirimkannya ketika nanti sudah pulang ke rumah pada ponsel mamah. Dan semua tidak berhenti di situ saja. Mamah pun terkadang tidak suka jika ponselnya di pegang-pegang.

Hingga akhirnya suatu momen dimana aku terlambat pulang sekolah saat ini, motorku mengalami kerusakan karena bocor ban dalamnya. Aku kebingungan sebab tak bisa memberikan kabar dan temanku tak memiliki nomor ponsel mamah saat itu.

"Ayo Anggia, aku bantu ke bengkel saja." ajak teman perempuanku saat itu. Sebab kebetulan aku mengantarnya pulang lebih dulu sebelum pulang ke rumah. Berhubung kami sama-sama perempuan rasanya kurang paham untuk pergi ke bengkel dan berakhirlah aku meminta bantuan teman laki-laki yang memang pernah dekat denganku. Jujur aku takut meminta bantuannya, jika ayah sampai tahu pasti akan marah besar.

"Sudah tidak apa-apa. Kan ayah kamu juga tahu kita perginya ke bengkel." ujar temanku yang perempuan. Aku pun mengalah dan ikut saja.

Sesekali aku melirik jam di pergelangan tangan begitu merasa gelisah sekali rasanya. Hampir satu jam lebih aku menunggu karena pekerja bengkel itu juga ada kerjaan. Hingga akhirnya semua selesai dengan aku buru-buru membayarkan hasil kerjanya. Kami pulang beriringan dari bengkel itu yang letaknya sedikit melewati dari sekolah ku.

Perasaanku sudah lega setidaknya aku sudah menuju pulang dengan teman perempuanku yang di antar oleh laki\=laki tadi. Yah kami bertiga memang satu kelas semua. Hingga sebelum kami berpisah saat itu ketakutan ku benar-benar terjadi. Dari arah depan aku sudah melihat mobil ayah yang mendekat ke arahku.

"Aduh ayah pasti salah paham kalau begini ceritanya..." gumamku ketakutan kala melihat ayah sudah menurunkan kaca mobil ketiika bersampingan denganku. Meski di belakangku kedua temanku bergoncneggan dengan aku duduk sendiri di motorku.

"Anggia, pulang!" suara tinggi dari ayah ku dengar begitu lantang.

Tubuhku ku rasa bergetar ketakutan, aku hanya bisa patuh untuk pulang. Ayah pun segera memutar mobil dan melaju mendahuluiku. Aku sudah bisa menebak jika Ayah pasti akan salah paham kali ini. Ayah memang begitu tidak sukanya jika aku dekat dengan satu laki-laki pun. Bagi ayah di usiaku yang beranjak remaja ini tidak ada namanya pertemanan dengan laki-laki. Yang ada hanya kata pacaran. Hingga motor yang melaju akhirnya sampai di rumah saat itu juga.

"Anggia!" teriakan memekakkan telinga itu sontak membuat kedua mataku terpejam kaget.

Hari itu akhirnya aku mendapat kemarahan ayah lagi, jujur aku sangat marah ketika ayah tak mendengarkan penjelasan dariku. Bahkan ayah tak bertanya sedikit pun padaku dan langsung menghakimi dengan apa yang ia lihat. Air mataku menangis, ku lihat wajahku memar saat ini. Hingga aku tertidur di siang itu. Mamah mengetuk pintu kamar namun aku tak menghiraukan. Ia masuk melihat keadaanku. Entah mamah pulang dari mana, yang jelas ia ku dengar mengomel pada ayah setelah itu.

Entah apa yang terjadi, yang jelas aku melihat pintu kamar yang di tutup mamah kembali terbuka. Dan apa ini? Ayah masuk ke kamarku lagi?

"Ayo bangunlah," ucapan hangat itu berbeda dari sebelumnya dimana ayah begitu terdengar kencang saat marah sebelumnya. Pria itu ku tatap takut dan aku perlahan membangunkan tubuhku yang ketakutan. Masih dengar seragam sekolah aku berbaring saat ini.

Tak ku sangka tangan kasar ayah justru mengoleskan sebuah minyak pada tanganku yang membiru. Hal ini mengingatkan aku pada masa kecil dimana ayah sering memarahiku ketika belajar dan setelahnya ayah akan mengobati sakit di tubuhku.

"Tidak ada cinta laki-laki yang bisa melebihi cintai seorang ayah pada anaknya. Tidak ada cinta setulus cinta ayah pada anaknya. Ayah hanya ingin kamu belajar dengan baik, Anggia. Ayah tidak minta apa pun. Ayah hanya ingin anak ayah sukses tanpa memikirkan pacar-pacaran." aku meneteskan air mata.

Entah sakit di tubuhku terasa begitu terkalahkan dengan sesak di dadaku mendengar perkataan ayah. Aku merasakan ketulusan dari apa yang ayah katakan saat ini. Jujur ingin sekali aku memeluk ayah, mengadukan semua perlakuannya yang tidak mau mendengar penjelasan dariku. Bahkan impianku selama ini cukup sederhana. Aku bisa berbicara bebas dan bercanda dengan ayah. Itu adalah sebuah impian yang sering kali membuatku iri melihat anak wanita di luar sana bahkan bisa berjalan berdua saja dengan ayahnya.

Aku tidak pernah iri dengan kehidupan anak peremuan di luar sana yang di turuti semua keinginannya. Hanya saja aku iri bagaimana mereka bisa tertawa berdua dengan ayah mereka seperti itu. Namun, keinginan ku hanya bisa ku pendam entah sampai kapan. Sikap ayah yang begitu kaku dan dingin membuat aku takut sekali tanpa bisa mengekspresikan keinginanku.

"Ayo makan dulu, Anggia." mamah pun masuk ke kamar memanggilku makan siang.

Aku hanya bisa patuh tanpa melawan. Mamah menggiringku ke meja makan dengan ayah yang juga menyusul di belakang. Suasana di meja makan pun masih terasa sama. Hening, sebab ayah pun tidak suka jika ada yang makan sambil berbicara. Semua hal yang bersangkutan dengan ayah pasti akan terasa kaku sekali. Ayah memang begitu sangat serius dalam segala hal.

Sejak hari itu begitu takut aku berdekatan dengan pria mana pun. Bahkan yang terakhir aku dengar ayah sampai mendatangi rumah temanku yang sempat dekat denganku. Yah, ayah memang seposesif itu padaku. Aku tidak tahu bagaimana ke depannya nanti ketika aku sudah benar-benar menemukan seorang pria yang aku rasa pas di hatiku.

"Dengar Anggia? Jangan pacaran dulu. Ayahmu itu marah sekali kalau tahu kamu mulai pacar-pacaran. Kamu masih terlalu kecil. Jangan bikin ayah sama mamah malu." ujar mamah membuat aku hanya bisa diam.

Kini ketika aku duduk di bangku kelas tiga SMP, ayah sudah jarang mengaturku atau mengawasi aku. Ayah sering jarang pulang ke rumah terkadang begitu banyak menghabiskan waktu di luar kota. Dan sejak itu aku sering melihat mamah menangis. Entah apa yang terjadi, aku tidak pernah mendengar apa pun dari bibir mamah. Mamah lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan membuka usaha di rumah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!