Satu Hal yang Baru

Berada di gendongan Arga bukanlah hal yang menyenangkan. Tria beberapa kali melorot seakan bobot tubuhnya melebihi seekor sapi. Dia merasa tidak nyaman dan ingin berjalan sendiri saja. Tulang belakangnya mulai sakit.

Sampai detik ini, belum muncul benih cinta. Arga hanya fokus kepada Lyana dan menutup pintu hatinya untuk orang lain. Dia tidak mudah percaya. Bahkan untuk keluarganya sendiri.

Sejak kecil, Arga selalu dituntut sempurna. Kalangan atas selalu memerhatikan hal sekecil apa pun, bukan? Masa-masa remaja berlalu tanpa kesan. Dia tidak memiliki seorang sahabat, lingkup pertemanan hanyalah rekan kerja yang mungkin saja tidak pernah tulus.

Arga bersikap apatis karena tidak diberi kepercayaan oleh keluarganya, terkekang karena status, jadi tumpuan bagi keluarga besar. Terlebih lagi dia anak semata wayang. Tak bisa berbagi keluh kesah.

Barulah dia bertemu Lyana, kegundahan dan keputusasaan sirna tanpa jejak.

“Estria, bangun.”

Arga menempatkan Tria di sofa. Saking bencinya, dia tidak sudi tempat tidurnya dinodai. Cara membangunkannya pun terkesan tidak sopan. Pulpen di meja nakaslah yang menepuk pipi Tria.

“Hei, bangun.”

Mata mengerjap perlahan. Arga tampak ingin menerkam. Alisnya menajam. Raut wajah itu seakan berkata, 'Pergi dari sini! Mataku perih melihatmu.'

“Ke-kenapa aku bisa di sini?”

“Kau pingsan, aku terpaksa membawamu ke kamar.”

“Jadi, kau menggendongku?” Tria sengaja menyunggingkan senyum, Arga pasti kesal karena itu.

“Aku terpaksa! Jika ibu tidak datang, aku tidak akan pernah melakukannya!”

Tria manggut-manggut. “Jadi ibu datang? Pantas saja….”

Arga melengos. Isi kepala teringat Lyana. Wajahnya berubah cemas memikirkan kekasih hatinya yang bersembunyi di tempat gelap.

Tria memandang saksama. Perlakuan Arga kepada Lyana berbanding terbalik untuknya. Dibilang iri, ya… mungkin saja. Selama hidup dua puluh tiga tahun, Tria tidak pernah dikhawatirkan oleh laki-laki. Tidak pernah merasakan apa itu bucin, PDKT, atau uwu-uwu. Hal semacam itu belum pernah terjamah di dalam hidup.

Dua kehidupan yang serupa. Bernasib buruk.

“Arga…,” panggil Tria lembut.

“Jangan panggil namaku.”

Tria tidak sempat berekspresi, Arga langsung menambahkan, “Aku sangat membencimu.”

“Arga….” Tria sengaja mengulanginya.

“Estria, tidak bisakah kau mendengar?”

“Kenapa kau sangat membenciku?” Tria menatap sendu.

“Kenapa masih bertanya? Karena kau, aku dan Lyana dalam masalah. Seharusnya yang jadi istriku adalah Lyana!”

“Tapi aku mencintaimu….”

Hoek! Ngapain cinta sama cowok modelan kayak gitu.

“Tidak usah berpura-pura!” Arga terpancing emosi lagi. “Jujur saja, kau hanya menginginkan hartaku, kan? Kau sama seperti yang lain! Hanya Lyana yang benar-benar tulus padaku!”

“Aku tulus mencintaimu, Arga. Kau adalah suamiku….”

“Tapi aku tidak mencintaimu!”

Tria diam. Lelah bersandiwara. Kalimat manis bukanlah senjata ampuh merobohkan pertahanan Arga. Dia lebih sulit daripada memecahkan soal matematika.

“Aku benar-benar tidak ingin bersamamu.”

Pengakuan Arga makin memperkeruh suasana. Tria bingung sendiri menyikapinya. Dari awal kekalahan ada di depan mata. Tria baru memulai pijakan sedangkan Lyana sudah di garis finish. Pemenangnya tak perlu disebutkan lagi.

Lelehan air mata membasahi pipi. Tria menangis bukan karena ditolak. Ia tak sanggup menjalankan misi. Dewa cinta juga tak akan berkutik menghadapi sepasang insan yang saling memadu kasih.

“Simpan air mata palsumu.”

Tria sesenggukan. Keinginan untuk kembali ke tempat asal memporak-porandakan isi hati. Kepribadiannya sama sekali tidak cocok memerankan Estria. Seseorang harus membantunya sebelum mati kering.

“Hapus air matamu! Kau membuatku jijik!” Arga memaki.

“Kenapa kau membenciku?! Apa yang aku lakukan? Aku adalah korban! Aku juga tidak ingin seperti ini!” Tria mengungkapkan perasaannya yang paling dalam. Karena tidak bisa protes kepada Author, maka satu-satunya pelampiasan adalah kepada tokoh cerita.

“Aku ingin pulang….” Tria menutup wajah dengan kedua tangan. Sekalian meredam isak tangis yang makin menjadi. Belum pernah ia sehancur ini, sama sekali tidak ada harapan.

Kemarahan Arga berangsur padam. Kalian harus tahu bahwa ini pertama kalinya dia merasa iba. Dalam cerita asli, Arga menganggap Estria sebagai musuh, tidak pernah merasa kasihan bagaimana pun bentuk penyiksaan.

Setetes perubahan itu terjadi karena yang mengambil alih Estria adalah Tria. Meskipun memiliki persamaan signifikan, akan tetapi energi yang diberikan tidaklah sama. Setiap manusia memiliki insting masing-masing, akan menanggapi suatu hal tergantung dari aura yang terpancar.

Dengan suara yang lebih rendah, Arga berujar, “Jangan menangis lagi.”

“Aku tidak bisa berhenti….”

“Berhenti sebelum ibu mendengarnya.”

“Ti-tidak bisa….”

“Kenapa kau semakin cengeng?”

“Aku tidak cengeng.”

Arga pasrah. “Terserah.”

Keheningan panjang tercipta. Tria menangis sedangkan Arga memerhatikan. Berdiri saling berhadapan tanpa melakukan aktivitas lain. Sikap keduanya melenceng. Benar-benar lucu untuk dipandang.

Puas melepaskan beban, Tria membuka tirai penghalang. Dia salah tingkah karena Arga mengamati secara terang-terangan.

“Sudah selesai?”

Tria malu. Berharap tubunya mengecil seukuran semut. Kesalahan fatal memukul keras tengkorak kepala. Tria memiliki prinsip untuk tidak menangis di depan orang—terkecuali untuk berakting.

“Sekarang kau keluar dari sini, masuk ke kamarmu sendiri.”

Tak ada bantahan, Tria cepat-cepat melangkah untuk melindungi wajahnya. Keinginginnya untuk membenturkan kepala ke tembok sangatlah besar.

Malu-maluin!

...***...

Tria bangun lambat dari biasanya. Seluruh bagian tubuh menolak untuk beraktivitas, otak dan hati sepakat untuk tidak kemana-mana. Bertemu Arga dan lainnya bisa memicu sakit kepala. Tria harus bertapa dulu. Jadi dia kembali tidur.

Tria memasuki alam mimpi untuk kedua kali. Mimpi pertama hanyalah adegan random, dia bermimpi jadi cilok dan dikerubungi pembeli yang menusuk-nusuk tubuhnya, terkukus bersama jajanan lain bak di neraka.

Baiklah, mimpi seperti itu masih bisa dikategorikan aman. Ya, aman untuk Tria.

Mimpi kedua berlatar belakang dunia asli. Tapi Tria bukanlah siapa-siapa. Dia hanya bisa melihat dan mendengar, mirip hantu yang memerhatikan manusia.

Di dalam mimpi, Tria bertemu teman sekampusnya. Mereka memakai toga, bersenang-senang akan kelulusan.

Di lain sisi, dia bertemu teman karate yang menerima sabuk hitam. Mereka tampak bahagia dan merayakannya bersama-sama. Satu pun dari mereka tak ada yang mencari Tria. Seolah hidup tanpa Tria adalah sebuah keberkahan.

Tria disudutkan. Orang-orang tertawa sedangkan ia hanya diam. Tak sampai di situ, sosok Arga muncul membawa balok besar berlumuran darah. Lyana ada di sampingnya tertawa mengejek.

“Estria! Tamat sudah riwayat hidupmu!”

Tria berlari sekencang-kencangnya. Namun dia tidak benar-benar berlari, melainkan berjalan santai. Arga berteriak kencang, balok kayu dilemparkan dan berhasil mengenai belakang kepala.

“Ahhhh!!!”

Mimpi buyar dengan sekali hentakan. Teriakannya mengagetkan seseorang yang sejak tadi berusaha untuk membangunkannya. Dia adalah Arga.

“Kau kenapa?!” Arga marah, kaget.

Tubuh mundur secara naluriah, menarik selimut untuk bersembunyi. Tria juga kaget karena Arga di depan matanya, dan juga ada di kamarnya. Untuk apa?

Perlu digaris bawahi. Arga tidak akan berinisiatif sendiri untuk menemui Estria. Mendengar namanya saja bisa menimbulkan kemarahan setinggi langit. Alasan paling logis hanyalah karena diperintahkan Amoura. Selain dari itu, jangan harap Arga akan menghabiskan waktu berharganya demi sang istri.

“Kau semakin aneh!” Arga meraih seilmut dan sekali tarik menghempaskannya ke lantai. Tria menjerit sekali lagi, spontan melindungi kepalanya.

“Jangan memukulku….”

“Aku tidak memukulmu.”

“Kau akan memukulku.”

“Tidak.” Arga tertekan. “Aku tidak melakukannya.”

“Tapi kau melakukannya….”

“Kapan?”

Tria melirik sebentar. “Kau memukulku di dalam mimpi. Sakit.”

“Ah… itu sebabnya kau berteriak?”

“I-iya….”

Arga menyipitkan mata. Memfokuskan penglihatan pada benjolan berwarna ungu. Dia baru menyadarinya karena tertutupi anak rambut. Luka itu tidak terlalu besar tapi bisa menarik orang untuk bertanya, 'Itu luka apa? Apakah kau jatuh?'

“Dahimu kenapa?”

Tria meraba sendiri lalu cengengesan. Luka itu didapat karena kesalahan sendiri. Ia membenturkan kepalanya di dinding berulang kali, rasa sakit tidak dihiraukan saking malunya pada kejadian semalam.

“Dahimu kenapa?!” Arga mendesak.

“Terpeleset….”

“Kau sengaja, kan?”

“Hm… tidak.”

Terjemahan : Iya! Aku sengaja karena kau berhasil membuatku menangis! Kau adalah batu berton-ton yang akan menimpaku semakin dalam. Suatu saat nanti aku pasti akan mati di tanganmu!

Mata setajam elang menatap sangar. “Kau sengaja karena ibu di sini, kau ingin memperlihatkan bahwa aku tidak becus menjagamu! Kau sangat licik!”

“Tapi lukanya bisa ditutupi.”

Arga mendekatkan wajah, mengendus bau kebohongan. Tria menahan napas, detak jantungnya meningkat. Arga dalam balutan kaos biasa tampak berkharisma, dahinya terekspos meluluhkan hati. Tekstur wajah sangat mulus dan mungkin memiliki pertahanan terhadap bakteri seperti jerawat.

“Arga, aku akan menutupinya. Aku tidak akan mengatakan apa-apa.”

“Tutup mulutmu, aku membencimu.”

Ungkapan ketidaksukaan lagi-lagi terdengar. Estria di matanya adalah biang masalah. Sumber kehancuran. Arga terpaksa meninggalkan Lyana di gudang sampai jam tiga pagi, mengantarnya pulang saat itu juga sebelum ketahuan.

“Kau memuakkan.”

Tria menatap ke arah lain. “Iya, aku sudah tahu.”

Arga berdecih. “Kau sudah tahu tapi sama sekali tidak merasa malu.”

Emosi dipancing dengan sangat baik. Tria menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan.

“Lupakan. Kau juga tidak akan mengerti. Kau sebaiknya turun ke bawah, ayahmu datang menjengukmu.”

“Ayah?”

“Temui dia sekarang.”

Tria menegakkan tubuhnya dan berpikir keras. Andara tidak banyak disebutkan dalam cerita, ia seorang tokoh figuran yang kehadirannya untuk mempelancar alur cerita. Bab awal adalah bagiannya untuk tampil—acara pernikahan antara Estria dan Arga. Kemudian laki-laki berkulit putih itu pergi ke luar negeri mengurus bisnis.

Jika ada pertanyaan, 'Apakah kau gugup?' Jawabannya adalah, 'Ya!'

Selama ini, Tria tidak pernah mendapat kasih sayang secara langsung dari ayahnya. Bertatap muka saja tidak pernah. Dia tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya seorang ayah memeluk atau mengelus kepala putrinya. Yang akan cemas jika sang anak terluka karena laki-laki lain.

Seenggaknya, di dunia ini aku punya ayah….

...----------------...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!