Satu Hal yang Baru

Berada di gendongan Arga bukanlah hal yang menyenangkan. Tria beberapa kali melorot, seakan bobot tubuhnya melebihi seekor sapi. Kedua kakinya menggantung tanpa arah, dan peluh dingin membasahi pelipisnya. Ia merasa tidak nyaman—tidak hanya secara fisik, tapi juga batin. Punggungnya mulai ngilu, tulang belakangnya protes, dan ia benar-benar ingin turun serta berjalan sendiri saja.

Sampai detik ini, belum juga muncul benih cinta. Arga tetap fokus pada Lyana, seolah pintu hatinya telah terkunci rapat dan kuncinya dibuang ke dasar laut. Ia tidak mudah percaya, bahkan pada keluarganya sendiri.

Sejak kecil, Arga selalu dituntut untuk sempurna. Kalangan atas selalu memperhatikan hal sekecil apa pun, bukan? Masa remaja Arga berlalu tanpa kesan, tanpa warna. Ia tak memiliki seorang sahabat pun. Lingkup pertemanan hanyalah rekan kerja—yang barangkali hanya ramah saat butuh, tanpa ketulusan.

Arga tumbuh menjadi sosok apatis. Ia tidak pernah diberi ruang untuk bernapas, tidak diberi kepercayaan oleh keluarganya. Hidupnya terkekang oleh status, dijadikan tumpuan oleh keluarga besar. Terlebih lagi, dia anak semata wayang—tak punya siapa-siapa untuk berbagi keluh kesah. Sepi, namun tak diperbolehkan terlihat lemah.

Barulah saat dia bertemu Lyana, segala kegundahan dan keputusasaan itu menguap. Sirna tanpa jejak, seperti embun di pagi hari yang hangat.

“Estria, bangun.”

Arga menempatkan Tria di sofa tanpa rasa kasihan. Saking bencinya, dia tidak sudi tempat tidurnya dinodai oleh perempuan yang tak diinginkannya. Cara membangunkannya pun terkesan kejam. Sebatang pulpen dari meja nakas dipakai untuk menepuk pipi Tria, seperti membangunkan anak ayam yang tertidur di tengah jalan.

“Hei, bangun.”

Kelopak mata itu mengerjap perlahan. Pandangan masih buram, tapi cukup jelas untuk menangkap raut wajah Arga yang tampak ingin menerkam. Alisnya menajam, rahangnya mengeras. Wajah itu seakan berteriak, ‘Pergi dari sini! Mataku perih melihatmu.’

“Ke-kenapa aku bisa di sini?”

“Kau pingsan. Aku terpaksa membawamu ke kamar,” sahut Arga dingin.

“Jadi, kau menggendongku?” Tria menyunggingkan senyum tipis, menyadari betul bahwa itu akan mengusik harga diri Arga.

“Aku terpaksa! Jika Ibu tidak datang, aku tidak akan pernah melakukannya!”

Tria mengangguk pelan, ekspresinya sedikit berubah. “Jadi Ibu datang? Pantas saja....”

Arga melengos, tak ingin berlama-lama menatap Tria. Kepalanya dipenuhi kekhawatiran—tentang Lyana, satu-satunya perempuan yang ia pedulikan. Wajahnya berubah cemas, memikirkan kekasih hatinya yang sedang bersembunyi di tempat gelap karena situasi yang tak mereka kehendaki.

Tria memandangi Arga saksama. Jarak di antara mereka memang tak jauh, tapi perlakuannya terasa seperti dua kutub berbeda. Kepada Lyana: penuh perhatian. Kepada dirinya: penuh penolakan.

Dibilang iri? Ya... mungkin saja. Selama hidup dua puluh tiga tahun, Tria tidak pernah sekalipun dikhawatirkan oleh seorang laki-laki. Tidak pernah tahu rasanya dikejar, dirindukan, atau sekadar disebut ‘manis’ oleh seseorang yang tulus. Kata “bucin”, “PDKT”, atau “uwu-uwu” hanya lewat di telinga. Tidak pernah menyentuh hatinya.

Dua kehidupan yang serupa, tapi bernasib buruk dengan cara yang berbeda.

“Arga...,” panggil Tria lirih, nyaris seperti bisikan.

“Jangan panggil namaku.”

Tria belum sempat menunjukkan ekspresi kecewa, saat Arga menambahkan, “Aku sangat membencimu.”

“Arga....” Tria sengaja mengulanginya, dengan suara lebih pelan tapi penuh perasaan.

“Estria, tidak bisakah kau mendengar?”

“Kenapa kau sangat membenciku?” tanya Tria. Tatapannya sendu, tak ada keberanian, hanya luka yang disembunyikan di balik sorot mata.

“Kenapa masih bertanya? Karena kau, aku dan Lyana jadi dalam masalah. Seharusnya yang jadi istriku adalah Lyana! Bukan kau!”

Tria menarik napas, seperti menahan perih yang merambat di dada.

“Tapi aku mencintaimu....”

Hoek! Ngapain cinta sama cowok modelan kayak gitu.

“Tidak usah berpura-pura!” Arga terpancing emosi lagi. “Jujur saja, kau hanya menginginkan hartaku, kan? Kau sama seperti yang lain! Hanya Lyana yang benar-benar tulus padaku!”

“Aku tulus mencintaimu, Arga. Kau adalah suamiku….”

“Tapi aku tidak mencintaimu!”

Kata-kata itu seperti gemuruh petir di langit malam. Tria membeku. Diam, karena tahu tak ada lagi gunanya melawan badai. Lelah bersandiwara. Kalimat manis sudah tak lagi mempan merobohkan benteng hati Arga. Dia lebih rumit dari soal matematika paling rumit di dunia.

“Aku benar-benar tidak ingin bersamamu.”

Pengakuan itu mengaburkan segalanya. Suasana makin keruh, dan Tria hanya bisa berdiri di tengah badai tanpa pelindung. Kekalahan sudah tertulis bahkan sejak awal cerita. Ia baru memulai langkah pertama, sementara Lyana sudah berada di garis akhir, mengangkat piala kemenangan yang tak pernah bisa Tria raih.

Air mata akhirnya luruh. Menetes pelan, lalu deras. Tapi bukan karena cinta yang ditolak—melainkan karena beban yang tak sanggup lagi ia tanggung. Misi ini terlalu berat. Bahkan dewa cinta pun akan menyerah jika berhadapan dengan dua jiwa yang sudah saling memiliki.

“Simpan air mata palsumu,” cibir Arga, dingin dan penuh kebencian.

Tria sesenggukan. Hatinya tercerai-berai. Ada dorongan besar untuk kembali ke dunianya sendiri—tempat ia bisa jadi diri sendiri, tanpa harus memerankan seseorang yang tak dikenalnya. Kepribadiannya bertolak belakang dengan Estria. Ia seperti ikan yang dipaksa berjalan di gurun. Jika tidak segera diselamatkan, Tria akan mati kering.

“Hapus air matamu! Kau membuatku jijik!” Arga membentak.

“Kenapa kau membenciku?! Apa salahku?! Aku juga korban di sini! Aku tidak pernah meminta berada di posisi ini, tidak pernah ingin menggantikan siapa pun!” Suara Tria pecah. Tangisannya bukan lagi lirih, tapi penuh luka dan keputusasaan.

Karena tak bisa memprotes sang Author, Tria hanya bisa melampiaskannya pada tokoh yang dituliskan untuk membencinya. Ia menjerit, bukan hanya sebagai karakter—tapi sebagai jiwa yang terjebak di dimensi yang tak dimilikinya.

“Aku ingin pulang…,” lirihnya, lalu menutup wajah dengan kedua tangan, berusaha meredam tangis yang tak terbendung. Tubuhnya gemetar. Tak ada harapan. Hatinya hancur tak berbentuk.

Untuk pertama kalinya, kemarahan Arga perlahan surut. Ada sesuatu yang berubah. Bukan karena dia luluh oleh air mata, tapi karena ia merasa... ada yang berbeda.

Harus kalian tahu, ini pertama kalinya Arga merasa iba.

Dalam naskah asli, Arga melihat Estria sebagai musuh. Tak peduli berapa kali dia tersiksa, Arga tak pernah peduli.

Tapi kali ini… sesuatu terasa janggal.

Karena tubuh yang ditempati Estria kini bukan milik Estria. Tria-lah yang mengambil alih. Meski secara kasat mata mereka sama, tapi energi yang mereka pancarkan berbeda. Aura itu… terasa lebih nyata. Lebih tulus.

Setiap manusia memiliki insting. Arga, sekalipun keras dan tak percaya siapa pun, tetap memiliki naluri. Dan nalurinya kini sedang kebingungan—menolak, tapi juga… merasakan sesuatu.

Dengan suara yang lebih rendah, Arga berujar, “Jangan menangis lagi.”

“Aku tidak bisa berhenti….”

“Berhenti sebelum ibu mendengarnya.”

“Ti-tidak bisa….”

“Kenapa kau semakin cengeng?”

“Aku tidak cengeng.”

Arga pasrah. “Terserah.”

Keheningan panjang menggantung di udara. Tria masih menangis, sementara Arga hanya berdiri memerhatikan. Tidak bergerak, tidak berkata-kata. Mereka saling berhadapan, namun tak melakukan apa pun. Adegan itu… absurd. Tragis dan konyol di saat yang bersamaan. Sikap keduanya melenceng jauh dari naskah, dan jika dilihat dari luar, ini benar-benar tampak lucu.

Setelah puas meluapkan beban, Tria akhirnya menarik napas. Pelan-pelan, ia membuka tirai rambut yang sedari tadi menutupi wajahnya. Namun detik itu juga ia menyesal. Arga masih di sana. Berdiri tegak. Menatap tanpa tedeng aling-aling.

Tatapan yang membuat darahnya berdesir.

“Sudah selesai?” tanya Arga, tenang tapi terdengar seperti sedang menahan sesuatu—entah emosi, entah rasa bingung.

Tria menunduk cepat. Wajahnya memanas. Andai bisa mengecil jadi semut, dia sudah kabur ke celah lantai. Kesalahan fatal: menangis di depan orang lain. Itu melanggar prinsip hidupnya—tak pernah memperlihatkan air mata kecuali untuk kebutuhan akting.

“Sekarang keluar dari sini. Masuk ke kamarmu sendiri.”

Tanpa menunggu perintah kedua, Tria langsung kabur. Langkah cepat seperti maling yang baru ketahuan. Tangannya menutupi separuh wajah, seolah bisa menyembunyikan rasa malu yang menyengat hingga ke ubun-ubun.

Keinginannya untuk membenturkan kepala ke tembok benar-benar nyata. Kalau saja itu bisa menghapus memori Arga tentang kejadian barusan, ia rela melakukannya berkali-kali.

...***...

Tria bangun lebih lambat dari biasanya. Seluruh bagian tubuh menolak untuk beraktivitas, otak dan hati sepakat untuk tidak ke mana-mana. Bertemu Arga dan yang lainnya bisa memicu sakit kepala. Tria harus bertapa dulu. Maka, dia kembali tidur.

Tria memasuki alam mimpi untuk kedua kalinya. Mimpi pertama hanyalah adegan random—dia bermimpi menjadi cilok dan dikerubungi pembeli yang menusuk-nusuk tubuhnya, terkukus bersama jajanan lain bak di neraka.

Baiklah, mimpi seperti itu masih bisa dikategorikan aman. Ya, aman untuk Tria.

Mimpi kedua berlatar belakang dunia asli. Tapi Tria bukanlah siapa-siapa. Dia hanya bisa melihat dan mendengar, mirip hantu yang memerhatikan manusia.

Di dalam mimpi, Tria bertemu teman sekampusnya. Mereka memakai toga, bersenang-senang merayakan kelulusan.

Di lain sisi, dia bertemu teman karate yang menerima sabuk hitam. Mereka tampak bahagia dan merayakannya bersama-sama. Tak satu pun dari mereka mencari Tria. Seolah hidup tanpa Tria adalah sebuah keberkahan.

Tria disudutkan. Orang-orang tertawa, sedangkan ia hanya diam. Tak sampai di situ, sosok Arga muncul membawa balok besar berlumuran darah. Lyana ada di sampingnya, tertawa mengejek.

“Estria! Tamat sudah riwayat hidupmu!”

Tria berlari sekencang-kencangnya. Namun, dia tidak benar-benar berlari, melainkan berjalan santai. Arga berteriak kencang, balok kayu dilemparkan dan berhasil mengenai belakang kepalanya.

“Ahhhh!!!”

Mimpi buyar dengan sekali hentakan. Teriakannya mengagetkan seseorang yang sejak tadi berusaha untuk membangunkannya. Dia adalah Arga.

“Kau kenapa?!” Arga marah, kaget.

Tubuh mundur secara naluriah, menarik selimut untuk bersembunyi. Tria juga kaget karena Arga ada di depan matanya, dan juga ada di kamarnya. Untuk apa?

Perlu digarisbawahi, Arga tidak akan berinisiatif sendiri untuk menemui Estria. Mendengar namanya saja bisa menimbulkan kemarahan setinggi langit. Alasan paling logis hanyalah karena diperintahkan Amoura. Selain dari itu, jangan harap Arga akan menghabiskan waktu berharganya demi sang istri.

“Kau semakin aneh!” Arga meraih selimut dan sekali tarik menghempaskannya ke lantai. Tria menjerit sekali lagi, spontan melindungi kepalanya.

“Jangan memukulku….”

“Aku tidak memukulmu.”

“Kau akan memukulku.”

“Tidak.” Arga tertekan. “Aku tidak melakukannya.”

“Tapi kau melakukannya….”

“Kapan?”

Tria melirik sebentar. “Kau memukulku di dalam mimpi. Sakit.”

“Ah… itu sebabnya kau berteriak?”

“I-iya….”

Arga menyipitkan mata, memfokuskan penglihatan pada benjolan berwarna ungu. Ia baru menyadarinya karena tertutupi anak rambut. Luka itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk membuat orang bertanya, "Itu luka apa? Apakah kau jatuh?"

“Dahimu kenapa?”

Tria meraba sendiri, lalu cengengesan. Luka itu didapat karena kesalahan sendiri. Ia membenturkan kepalanya ke dinding berulang kali, rasa sakit diabaikan saking malunya atas kejadian semalam.

“Dahimu kenapa?!” Arga mendesak.

“Terpeleset….”

“Kau sengaja, kan?”

“Hm… tidak.”

Terjemahan: Iya! Aku sengaja karena kau berhasil membuatku menangis! Kau adalah batu berton-ton yang akan menimpaku semakin dalam. Suatu saat nanti aku pasti akan mati di tanganmu!

Mata setajam elang menatap sangar. “Kau sengaja karena ibu di sini. Kau ingin memperlihatkan bahwa aku tidak becus menjagamu! Kau sangat licik!”

“Tapi lukanya bisa ditutupi.”

Arga mendekatkan wajah, mengendus bau kebohongan. Tria menahan napas, detak jantungnya meningkat. Arga dalam balutan kaos biasa tampak berkharisma, dahinya terekspos meluluhkan hati. Tekstur wajahnya sangat mulus, mungkin memiliki pertahanan terhadap bakteri seperti jerawat.

“Arga, aku akan menutupinya. Aku tidak akan mengatakan apa-apa.”

“Tutup mulutmu, aku membencimu.”

Ungkapan ketidaksukaan lagi-lagi terdengar. Estria di matanya adalah biang masalah. Sumber kehancuran. Arga terpaksa meninggalkan Lyana di gudang sampai jam tiga pagi, mengantarnya pulang saat itu juga sebelum ketahuan.

“Kau memuakkan.”

Tria menatap ke arah lain. “Iya, aku sudah tahu.”

Arga berdecih. “Kau sudah tahu tapi sama sekali tidak merasa malu.”

Emosi dipancing dengan sangat baik. Tria menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan.

“Lupakan. Kau juga tidak akan mengerti. Kau sebaiknya turun ke bawah, ayahmu datang menjengukmu.”

“Ayah?”

“Temui dia sekarang.”

Tria menegakkan tubuhnya dan berpikir keras. Andara tidak banyak disebutkan dalam cerita. Ia seorang tokoh figuran yang kehadirannya untuk memperlancar alur cerita. Bab awal adalah bagiannya untuk tampil—acara pernikahan antara Estria dan Arga. Kemudian laki-laki berkulit putih itu pergi ke luar negeri mengurus bisnis.

Jika ada pertanyaan, ‘Apakah kau gugup?’ Jawabannya adalah, ‘Ya!’

Selama ini, Tria tidak pernah mendapat kasih sayang secara langsung dari ayahnya. Bertatap muka saja tidak pernah. Dia tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya seorang ayah memeluk atau mengelus kepala putrinya. Yang akan cemas jika sang anak terluka karena laki-laki lain.

Seenggaknya, di dunia ini aku punya ayah….

...----------------...

Terpopuler

Comments

Angraeni.D

Angraeni.D

jadi cilok woii

2025-04-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!