Sandiwara

Tiket dipegang keras, hampir kusut karena tekanan. Katanya, itu adalah hadiah, sekaligus tanda maaf setelah kesalahpahaman.

Berkat mulut manis Tria, ia berhasil membuat yang salah jadi benar. Amoura sungguh memberi kepercayaan seratus persen pada perkataannya.

Tiket itu sampai melalui perantara orang lain dan disampaikan oleh asisten pribadi, Ganan.

Orang terpercaya masih berdiri tegap, pandangan lurus ke depan, sikap tubuhnya persis anggota TNI yang melakukan pelatihan. Ganan bukanlah tipe manusia sekaku itu, jika ditanya. Dia luwes dan humoris. Hanya di depan Arga saja ketakwaannya mendominasi.

Haruskah diperjelas lagi? Tidak ada yang berani bertingkah di depan Arga, mereka lebih memilih untuk membatasi diri daripada mencoba menarik perhatian.

Semuanya akan mengidap Avoidant personality disorder (Gangguan kepribadian yang membuat pengidapnya menghindari interaksi sosial karena merasa lebih rendah dari orang lain).

Arga menaruh tiket di meja, tidak tertarik. "Menonton itu membosankan."

Ganan hanya tersenyum ala kadarnya. Ingin membantah juga tidak mungkin, dan menyetujuinya juga terkesan munafik.

Maksudnya, siapa yang tidak suka menonton film? Apakah matanya ada kelainan?

"Aku tidak suka menonton bersamanya."

Ganan sekarang mengerti. Pantas saja Arga terlihat lesu dan lemah, rupanya dia harus pergi bersama orang lain. Walaupun secara teknis bukanlah seperti itu. Estria adalah istrinya, kan?

"Hah... sampai kapan harus seperti ini. Melelahkan!"

Ganan kikuk. Dia berkata dalam hati, sampai kapan juga aku harus seperti ini?

Jujur, Ganan tidak bisa memahami olah pikir atasannya. Estria tidak kalah cantik dari Lyana, dia juga cukup terkenal dalam bidang musik. Apa susahnya membuka hati untuk orang yang pasti? Ganan lelah untuk menutupi perselingkuhan itu dari Amoura dan yang lain. Tiap hari harus berdalih jika Lyana datang ke kantor menemui Arga.

"Selamat siang...."

Keduanya menoleh. Ganan baru saja memikirkan perempuan cantik itu, tidak menyangka akan bertemu sosoknya. Ia pun bergeser ke samping secara teratur.

"Lihat, aku membawakanmu kue." Lyana meletakkan kotak berwarna merah di meja. Bibir berpoles lipstik merah menambah kecantikannya.

Wajah Arga berbinar. Bagai bunga tersiram air, menyejukkan.

"Ganan, duduklah. Kau juga harus mencoba ini." Lyana mengambil satu cup cake untuk Ganan. "Jangan malu-malu."

Suasana berubah. Tidak tegang lagi. Di mana ada Lyana, di situ ada Arga yang berwajah ramah.

"Hm? Ini tiket siapa?" tanya Lyana sembari menatap Arga.

"Ibu yang memberikannya padaku. Dia memaksaku untuk pergi bersama Estria."

"Kau mau?"

"Tentu saja tidak."

"Tapi ibumu...." Suara Lyana mengecil.

"Tidak usah khawatir."

"Terus apa?"

"Kita yang akan pergi."

Ganan membulatkan mata. Beruntung Arga dan Lyana tidak melihatnya.

"Estria bagaimana?"

Arga menggigit kue lalu berkata santai. "Dia juga ikut. Aku hanya perlu mengancamnya untuk tidak memberitahu kepada ibu."

Lyana tidak puas mendengarnya. Dia masih sensi bertemu Estria setelah perkelahian tempo lalu. Namanya jadi tercemar buruk dan bau perselingkuhan makin menusuk. Cepat atau lambat pasti terbongkar. Apalagi mereka dengan sengaja pamer kedekatan pada pesta ulang tahun Selena.

"Ada apa, sayang?" Arga membelai pipi Lyana.

Ganan menunduk sambil mengunyah makanan. Berharap hilang barang sejenak. Sudah cukup tersiksa menjadi obat nyamuk!

"Aku tidak ingin bertemu Estria, aku benci padanya."

"Aku tahu...." Suara Arga makin melembut. "Tapi cobalah mengerti, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa, kan? Kau bisa membuatnya cemburu dan menunjukkan bahwa aku hanyalah milikmu."

"Jadi... aku bisa menciummu di depannya?"

"Apa pun yang kau inginkan, lakukan saja."

Semu kemerahan di pipi tercetak jelas. Arga tersenyum lebar melihat bidadari hatinya tidak lagi cemas.

Sementara itu, Tria di rumah mempersiapkan diri. Instingnya mengatakan akan ada kejadian buruk. Tombak tajam akan mencabik-cabik dagingnya dan mengeluarkan hati mungil tak berdosa.

Tria tidak pernah memikirkan untuk jalan bersama Arga. Masih belum sanggup menghadapi kebengisan pemeran utama laki-laki. Bisa saja Arga malah membawanya ke hutan lalu mengikatnya di pohon besar, atau membuangnya ke laut.

"Asem!" Tria mengumpat memegangi tiket di tangan kanan. "Ngapain ibu mertua berhati lembut ngasih ini?! Dikiranya apa?!"

Tria mondar-mandir di kamar. Kepulan asap memenuhi kepalanya. Tria mencoba untuk tenang, namun bayangan Arga membawa balok memenuhi isi otak.

"Arga pasti rencanain sesuatu. Dia kesel banget waktu ditampar ibunya! Aku nggak akan dibunuh sekarang, kan? Please lah! Nanti nggak bisa pulang ke dunia nyata!"

Tria meraih HP dan secara kebetulan benda itu berdering. Kepanikan Tria makin menjadi.

Psikopat memanggil....

"Lho? Ngapain dia nelpon? Tumben banget."

Panggilan tidak diangkat. Tria sengaja karena belum siap mendengar suara Arga melalui telepon. Bisa saja dia cosplay jadi malaikat maut.

"Ngechat bisa, kan? Nggak usah nelpon segala. Males!"

Panggilan masuk sekali lagi. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal. Tria makin waswas.

"Di sini nggak ada yang bener!" Tria menekan tombol merah. Namun dalam sepersekian detik, ponsel bergetar membahana.

2903.

Tria menerka, siapa orang yang mungkin menelponnya. Apakah dari orang iseng?

"Angkat aja kali ya...."

Setelah panggilan diterima, Tria diam, memasang pendengaran baik-baik.

"Akhirnya kau angkat juga."

"Ar... ga?"

"Bagus kau mengenali suaraku."

Tria shock. Niat hati menghindari marabahaya, namun apa hendak dikata? Dia berjodoh dengan keburukan.

“Ada apa?”

Di ujung sana terdengar suara wanita, terkikik. Nadanya sumbang di telinga, jadi Tria menjauhkan ponsel dan memilih untuk mengeraskan speaker. Dia tidak perlu menerka apa-apa lagi, Arga dan Lyana seperti semut dan gula. Ah, bukan! Itu perumpamaan yang terlalu indah, mari kita menyebutnya api dan iblis.

“Aku harap kau tidak keberatan.”

“Tentang apa?”

Suara Arga digantikan dengan Lyana, berseru, “Tahu tidak? Malam ini kita akan bertemu lagi!”

Tria berkedip sekali. “Bertemu? Lagi?”

“Aku tidak mungkin membiarkan kau pergi bersama kekasihku, jadi aku akan ikut dengan kalian. Aku harap kau tidak sakit hati.”

Sudut bibir berkedut. Tria memijit pelipis lalu mengembuskan napas perlahan. Cobaan yang satu ini diluar ekspektasi. Secara tidak langsung, Tria akan disambut sebagai orang ketiga, jadi penonton tak berguna, jadi orang bodoh yang hanya melihat Arga dan Lyana bermesraan.

Membayangkannya sudah membuat perut mendidih.

“Arga… kau yakin soal ini? Bagaimana jika ibumu tahu?”

“Tidak akan selama kau tutup mulut.”

“Tapi….”

Sambungan terputus. Tria melempar HP ke tempat tidur lalu menindihnya. Dia benar-benar marah, butuh pelampiasan sebelum jadi gila.

Sumpah serapah mengalir tanpa hambatan. Rekor terpecahkan hari itu, di mana Tria melontarkan hal-hal kotor untuk dunia yang dinaunginya sekarang.

“Cara naklukin Arga gimana, sih?!” Tria melempar bantal dengan kekuatan besar, ia mengeluarkan jurus kamehameha, memukul tembok berulang-ulang. “Kalau gini terus bakalan susah ke depannya!!! Fucek!”

Tria sama sekali tidak cemburu, masa bodoh apa yang akan keduanya lakukan. Tidak peduli apakah mereka akan berciuman atau lebih dari itu. Sebenarnya, Tria suka Arga tidak menaruh hati padanya, ia ogah disentuh oleh iblis berwujud manusia.

Yang paling memuakkan adalah harus bersandiwara. Pura-pura sakit hati karena suami tercinta memilih orang lain. Tria tidak mumpuni mengeluarkan air mata secepat kilat, dia butuh usaha ekstra yang menyakitkan. Harus menggali kesedihan di lubuk hati terdalam untuk setetes air mata.

“Author punya dendam apa, sih, sama karakternya sendiri. Demen bangat nyiksa pemeran utama.” Tria bercermin, mengamati diri sendiri. “Padahal Estria udah baik banget sama Arga fucek itu. Ah! Bego!”

Makin lama mengamati, muncul sebuah pertanyaan di dalam benak. Mengapa Arga sebegitu bencinya kepada Estria? Mengapa ia sering disebut perempuan licik? Seharusnya Lyana yang pantas dipanggil seperti itu. Dia bermuka dua. Bersikap manis di luar, namun hati dipenuhi kebencian.

...***...

Akhirnya waktu telah tiba.

Arga bersikap manis karena diperhatikan sang ibu. Amoura masih betah berlama-lama di rumah anaknya, sekalian mengawasi sekeliling. Apakah Arga benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami atau tidak.

“Hati-hati, sayang….” Arga menggenggam tangan Tria menuruni tangga, senyumnya mengalahkan sinar mentari.

“Kalian sudah siap?” tanya Amoura bahagia.

“Iya, Bu. Kami akan berangkat sekarang.”

“Baiklah, hati-hati di jalan. Kau harus menjaga Estria baik-baik.”

Arga mengangguk patuh. “Pasti, Bu.”

Tria melirik ke bawah, Arga masih menggenggam tangannya. Rasanya cukup aneh. Sebelumnya, Tria belum pernah diperlakukan sebaik itu. Yang ada hanyalah kekerasan tanpa ampun. Dimaki, direndahkan, dan diseret merupakan aktivitas normal.

Kelembutan Arga masih berlanjut. Dia membukakan pintu mobil untuk Tria, juga memasangkan sabuk pengaman. Haruskah Tria khawatir mulai dari sekarang? Dia harus membayar Arga untuk ini.

“Kami pergi….” Arga menaikkan kaca mobil, melaju dengan kecepatan normal.

Awalnya berjalan baik. Selain jadi pemeran utama, rupanya Arga juga cocok jadi seorang aktor. Dia akan dengan mudah terjun ke dunia entertainment, dipuja banyak orang dan menerima penghargaan besar. Sungguh jalan cerita yang adil.

Arga, “Cih! Tanganku jadi kotor.”

Tria meremas tali sabuk, mengatupkan mulut rapat-rapat.

“Kau pasti sangat menikmati acara tadi. Sayang sekali itu hanyalah sandiwara.”

“Aku tahu posisiku.”

Seringai menyebalkan menghiasi wajah Arga. “Kau sadar diri, ya?”

Tak ada jawaban. Arga melirik tajam ke samping. Kecepatan mobil dinaikkan perlahan-lahan, meningkatkan adrenalin dan jantung pun menggebu. Arga tahu satu kelemahan Tria, dia tidak suka mengebut. Ekspresi ketakutannya mudah terbaca.

“Berapa lama lagi kau akan bertahan?”

Tria senyum meski hatinya berdebar. “Aku tidak akan menyerah.”

Kecepatan semakin menggila. Tria mulai didera sakit kepala.

“Semakin kau gigih, aku semakin ingin menyakitimu.”

Aku mual….

“Ada apa, Estria? Kenapa wajahmu pucat? Kau takut?”

“Kau ingin aku muntah?” Tria memelas. Satu tangan memegangi perut dan satunya menutup mulut. “Pelankan mobilnya.”

Arga speechless. Berpikir perubahan wajah Tria karena takut kecepatan, dia berkedip cepat mengolah apa yang tadi terdengar.

“Kau mabuk?”

Sulit dipercaya. Estria yang Arga kenal tidak mabuk darat. Dia juga pernah melakukan hal yang sama berulang-ulang untuk mengerjainya. Jadi wajar saja Arga heran.

“Pelankan mobilnya.” Tria memerintah lebih keras. “Atau aku akan mengotori mobilmu.”

Mau tidak mau Arga menurut juga, kedua alisnya bertautan, melirik sekilas pada Tria dan berkata, “Sejak kapan kau mabuk?”

“Hm….”

“Kau banyak berubah.”

Tria waspada, meneguk ludah berat.

“Kau seperti bukan Estria.”

Gawat!

...----------------...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!