Tabung karakter Estria adalah hal paling menyebalkan seantero jagat raya. Sudah beberapa hari Tria menjalani kehidupan ekstrem, namun tabung itu bahkan belum menyentuh garis tengah. Jangankan penuh—setengah pun tidak!
Tria merenung di dalam kamar. Kehidupan normal yang dulu akrab kini terasa jauh, seolah dilempar ke luar orbit bumi. Ia tertekan. Banyak masalah seperti batu-batu besar menumpuk di pundaknya, dan setiap hari rasanya makin berat. Air mata hampir jatuh, kerinduan memuncak seperti gelombang pasang yang siap menghantamnya.
“Aku nggak akan ngeluh lagi ngerjain tugas skripsi asal nggak disuruh jadi Estria,” keluh Tria, menatap bayangannya di cermin dengan sorot frustasi.
Soal kebutuhan sehari-hari? Tria tidak perlu pusing. Semua tersedia dalam bentuk nyata. Ia bisa makan apa pun, membeli pakaian bahkan perawatan wajah sekelas sultan. Hanya perlu menggesek kartu, dan barang mewah akan muncul seakan dijemput malaikat belanja.
Namun di balik itu semua… dia benci peraturan yang mengikat. Terlalu menyesakkan.
Mengapa harus mengisi tabung karakter?
Mengapa harus menyelesaikan misi?
Tidak bisakah dia hanya… diam, menikmati dunia ini dengan damai, tanpa target, tanpa tekanan?
Yang paling menyiksa adalah ketika harus berhadapan dengan Arga. Tria harus benar-benar sabar. Menekan diri. Menahan insting liar yang ingin memukul dan menampar wajah lelaki itu setiap kali muncul di hadapannya.
“Nyonya muda….”
“Ya?” Tria menjawab lesu, tanpa semangat.
“Tuan Arga mencari Nyonya.”
Tria menarik napas. Apa lagi sekarang? Haruskah dia memasang wajah polos sementara hatinya penuh sumpah serapah?
Mau tak mau, Tria melangkah mengikuti pelayan. Menuruni anak tangga dengan langkah yang setengah hati, dia langsung disambut pemandangan tak menyenangkan—seorang wanita duduk di sebelah Arga, terlalu dekat, terlalu intim.
Tanpa diberitahu pun Tria tahu siapa dia. Ini pertama kalinya mereka bertatap muka, dan tak perlu waktu lama untuk menebak. Hanya satu wanita yang mendapat tempat spesial seperti itu dari Arga.
Lyana.
Wanita yang selalu dinomorsatukan, dalam keadaan apa pun. Tria sudah hafal. Arga tak akan bersikap mesra pada siapa pun—selain Lyana, kekasihnya.
“Kau tahu siapa dia?” tanya Arga, nada suaranya dingin.
“Aku tidak ingat,” Tria menjawab lembut, memainkan peran dengan penuh kehati-hatian.
“Aku harap kau tidak terkejut setelah mengetahuinya. Kau amnesia, dan mungkin tak ingat hubunganku dengan beberapa orang. Tapi kau harus mengingat ini—wanita di sebelahku adalah kekasihku. Paham?”
Ya Tuhan, tahu, nyet! Udah tahu dari zaman orok!
Namun Tria tetap menjaga topeng. Ia berpikir, Estria asli pasti akan terguncang jika mendengar ini, jadi dia pun memasang wajah sedih. Kepala menunduk, jari-jari diremas kuat, bahunya bergetar perlahan, seolah sedang menahan tangis.
Sayangnya… akting menangis bukan keahliannya. Justru dia ingin tertawa pada kebodohan situasi ini.
“Aku Lyana. Aku cukup merasa sedih dengan keadaanmu sekarang,” ucap Lyana, mendekati Tria. Sorot matanya mengamati dari atas ke bawah, menilai.
“Jadi ini yang bernama Lyana?” Tria mendongak perlahan, mengingat nama itu dari ucapan Arga sebelumnya.
“Dia cantik sekali, kan?” Arga menatap Lyana dengan lembut, bahkan menyelipkan jemarinya ke rambut wanita itu.
Tria menahan mual. Ingin muntah di tempat. Aroma busuk begitu kentara. Perselingkuhan—hal paling menjijikkan di dunia.
“Aku harap kau akan menandatangani surat perceraian kita,” ucap Arga dingin, seolah kata-katanya tak membawa luka.
“Cerai?” Suara Tria tercekat, bergetar. “Tidak! Aku tidak mau!”
“Aku yakin, kau sendiri yang akan memintanya nanti.”
“Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah bercerai denganmu!”
Tentu saja Tria menolak mentah-mentah. Perceraian berarti mengakhiri segalanya—memutus hubungan, dan membuat misinya semakin mustahil untuk diselesaikan. Satu-satunya jalan menuju kemenangan adalah menaklukkan hati Arga. Membuatnya jatuh cinta. Sedalam-dalamnya.
Mustahil? Mungkin. Tapi siapa tahu, keajaiban bisa saja memilihnya.
“Aku lelah bermain-main denganmu,” sindir Arga. “Kau tidak berubah sama sekali. Malah makin keras kepala.” Senyumnya mengejek.
Saat itu, Lyana maju satu langkah. Berdiri tepat di depan Tria—kontras yang mencolok. Dua wanita dengan pesona berbeda. Tria yang terlihat polos dan manis, sementara Lyana memancarkan aura menggoda yang memikat.
“Entah mengapa, aku semakin membencimu,” ucap Lyana lirih namun menusuk. Tangannya terulur, menyentuh dagu Tria dengan gerakan merendahkan. “Kau tahu siapa perebut sebenarnya?”
“Bukan aku yang merebut Arga,” jawab Tria dengan suara pelan, namun tegas. “Tapi kau.”
“Aku?” Lyana terkekeh, tawanya meremehkan. “Jelas-jelas aku yang pertama kali bersama Arga. Dan kau tahu apa tentang kami? Kau tidak pernah dianggap! Kau hanyalah sampah. Sampah yang pantas dimusnahkan!”
Tria menunduk. Matanya menatap kaki sendiri, berusaha menetralisir gelombang kemarahan yang naik ke ubun-ubun.
“Kenapa diam?” serang Lyana lagi. “Sudah sadar, hah? Sekarang kau malu? Jangan harap amnesia-mu bisa membuat kami kasihan. Tidak akan pernah!”
Tria memejamkan mata. Jika Lyana bisa membaca pikirannya, mungkin dia akan rubuh di tempat. Ribuan kata kasar, umpatan dan makian berkecamuk di dalam kepalanya—hanya menunggu izin untuk keluar dari mulut.
Tapi Tria menahan.
Sabar. Sabar. Sabar.
Dia tak boleh gegabah. Sekali saja terpancing, siksaannya bisa kembali lebih kejam. Kata-kata Lyana sudah cukup menancap dalam. Biar hatinya saja yang terluka. Tubuhnya tidak perlu ikut tersayat.
“Kau akan bertahan berapa lama lagi?” Arga bersuara dingin, suaranya menggema seperti pisau yang diasah.
Gigi-gigi Tria mengatup rapat. “Aku tidak akan menyerah. Aku tidak ingin bercerai.”
Tangan kanannya dicengkeram paksa, diseret mengikuti langkah kaki Arga yang panjang dan terburu-buru. Para pelayan hanya berdiri terpaku, tak satu pun berani bersuara. Mereka tahu, jika Arga sudah menunjukkan taring dan tanduk, lebih baik menjauh.
Dengan susah payah, Tria mengikuti. Rasa sakit menjalar dari pergelangan tangannya yang dicengkeram. Namun ia tetap diam. Untuk apa melawan? Tak akan ada gunanya melawan sistem yang telah menindasnya sejak awal.
Lorong-lorong dilewati. Ketukan sepatu Arga bergema menyeramkan, seperti adegan thriller yang menandai awal petaka. Bulan lenyap di balik awan kelabu. Suhu tubuh Tria naik drastis, napasnya memburu.
Pintu gudang dibuka kasar. Arga mendorongnya masuk. Di dalam sana, hanya ada barang-barang tua dan tak terpakai, bertumpuk tanpa urutan. Sebuah kayu panjang tergeletak tak jauh dari jangkauan Arga.
Tria menelan ludah.
Jangan-jangan… dia mau mukul aku? Bisa mati beneran!
Dan benar saja. Arga mengambil balok kayu itu. Tatapannya gelap. Senyumnya melengkung tak wajar. Langkah kakinya pelan, namun mengancam.
“Aku sudah lama tidak menghukummu.”
“Ar… Arga… apa yang akan kau lakukan padaku?” Tria mundur, tubuhnya gemetar. Sekali hantam, bisa saja dia ‘log out’ dari dunia ini. Mati di dalam cerita—dan tak pernah kembali ke dunia nyata.
“Coba tebak?”
“T-tolong… mundur.”
“Apa kau takut?”
“I-iya…” Harga diri dikorbankan demi keselamatan. Bela diri? Tak berguna saat sistem dunia ini memantau tiap gerakannya. Kesalahan sekecil apa pun bisa membawa hukuman fatal. Gelombang kelima bukan main-main.
“Apa kau akan menandatangani surat perceraiannya sekarang?”
“Aku… tidak bisa…,” suara Tria nyaris tak terdengar.
“Katakan lagi!”
“Aku tidak bisa!”
Arga mengangkat kayu tinggi-tinggi. Tria refleks menutup mata. Mulutnya tak henti memohon. Detik terasa seperti menit. Lalu….
Tawa.
Tawa keras yang menggema di ruangan gelap itu.
“Kau terlihat mengenaskan.” Arga membuang kayu itu ke samping, bunyinya menghantam lantai dengan nyaring. “Kalau aku memukulmu, ibuku pasti curiga. Sayang sekali.”
Tria mengembuskan napas lega. Detak jantungnya perlahan kembali normal.
“Sebagai gantinya, kau akan menghabiskan malam di sini. Nikmati malammu… istriku.”
Brakk! Pintu tertutup kasar. Gelap gulita. Sunyi. Dingin.
Tria segera mencari jendela. Walau cahaya bulan hanya temaram, itu lebih baik daripada gelap total. Ia duduk lemas, memijit pelipis yang berdenyut.
“Untung nggak dipukul beneran,” gumamnya pelan. “Ya kali, babak belur.”
Dalam hati, ia mengutuk aura Arga—campuran psikopat, hantu rumah hantu, dan sihir hitam beracun. Seandainya bukan karena misi... mungkin dia sudah kabur sejak lama.
Angin malam menerpa wajah. Tria memandang kosong dari jendela. Bulan akhirnya melongok malu-malu setelah lama bersembunyi di balik awan. Cahaya lembut itu menenangkan, seperti pelukan hangat setelah hari yang kacau balau.
Ketika sedang asyik merenungi nasib dan betapa hidupnya seperti drama sinetron tanpa sponsor, atensinya tertuju pada mobil sedan hitam yang baru saja berhenti di halaman.
“Mobilnya mewah banget,” gumamnya. Lampunya yang terang sempat membuat matanya menyipit. Ia tahu itu bukan mobil biasa. Dan benar saja, tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki dari luar. Salah satunya—jelas—hak tinggi. Klik-klak-klik-klak. Jalannya terburu-buru. Ada aroma kepanikan yang ikut masuk lewat celah pintu.
Entah kenapa, Tria malah memilih berpura-pura pingsan. Refleks. Insting bertahan hidup versi drama.
“Estria!” suara Arga terdengar panik, seperti orang habis ketahuan nyontek.
“Dia pingsan?” Lyana tak kalah cemas. “Ini bagaimana? Ibumu akan marah kalau tahu ini!”
Orang baik selalu menang. Tria bersorak gembira dalam hati. Keputusannya untuk berpura-pura tak sadarkan diri terbukti jitu. Biarlah kedua pasangan itu kalang kabut. Dia ingin menikmati kekacauan dari panggung utama.
Lyana mengintip cepat, memastikan keadaan. “Arga, kau bawa Estria ke kamar. Aku akan bersembunyi di sini sampai ibumu pergi.”
“Tidak, di sini gelap.”
“Arga, tidak ada waktu! Cepat!”
Arga selalu patuh saat Lyana memerintah. Dia menatap Tria sebentar, lalu menarik tangannya. Diseret. Seperti mobil-mobilan!
“Arga! Apa yang kau lakukan?” Lyana protes, jengkel. “Angkat dia!”
Arga mendengus, malas. “Kenapa aku harus mengangkat sampah?”
Meskipun ogah-ogahan, akhirnya Arga tetap menggendong Tria. Tapi jelas tak ada niat baik di dalamnya. Wajahnya ditekuk habis.
Jadilah pertukaran yang hakiki. Tria dibebaskan, sementara Lyana—si dalang utama—menempati tempatnya. Tria mengakui, hatinya cukup berbunga-bunga. Tanpa usaha, balas dendam berjalan otomatis. Tuhan sedang bercanda dengan lucu malam ini.
“Menyusahkan saja,” gerutu Arga sambil memperbaiki posisi Tria yang hampir melorot. “Kau tidak berguna.”
Maaf nih, tapi ente yang nggak guna! Udah nyebelin, hidup lagi!
Namun baru beberapa langkah, petaka datang lebih cepat dari yang dikira. Di ujung lorong, Amoura berdiri seperti patung penjaga neraka.
Arga mematung. Napasnya langsung sesak. Tria masih berpura-pura pingsan, tapi telinganya fokus—ini hiburan mahal.
Amoura melangkah pelan, penuh tekanan. “Kau dari mana saja? Kau tidak tahu ibumu datang?”
Arga tergagap. “Hm… aku dan Estria sedang….”
“Sedang apa?” Amoura menyipitkan mata. Satu langkah maju.
“Dia tidur. Aku akan membawanya ke kamar.”
“Apa yang kalian lakukan sebelumnya?”
“Ibu, aku dan Estria... kami bermain di taman belakang,” jawabnya dengan napas yang tertahan.
“Malam-malam begini?” Nada curiga sudah seperti aroma gosong dari dapur.
“Kami... menikmati bintang.”
Amoura mengangkat alisnya lebih tinggi. “Bintang? Bintang yang mana? Malam ini cukup berawan.”
Tria hampir batuk menahan tawa. Di dalam hati, ia bertepuk tangan.
“Ibu... percaya padaku. Aku tidak melakukan hal buruk. Aku memanjakan Estria, aku menemaninya, dan menjaga dengan baik.”
Amoura menatap tajam, seperti scanner mendeteksi kebohongan. “Kau yakin?”
Arga mengangguk kecil. “Iya. Sekarang, boleh aku ke kamar? Estria lelah.”
“Baiklah. Ibu percaya.”
Senyum tipis muncul di wajah Arga. Seolah berhasil lolos dari lubang jarum. Tapi belum sempat bernapas lega, Amoura melempar kalimat sakti yang membuat lutut lemas.
“Ibu akan menginap.”
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments