Klub Musik

Jika ditanya mengenai perasaan, maka ada satu jawaban pasti untuk Tria. Jauh sebelum ia terlempar ke dalam cerita mengerikan ini, dia sudah membenci karakter Arga, apa pun alasannya.

Laki-laki itu memang tampan. Bahkan terlalu tampan. Hanya orang dengan standar rendah yang akan memalingkan wajah. Ditatap dari segi mana pun—tinggi semampai, sorot mata tajam, garis rahang tegas, dan postur yang nyaris sempurna—aura mendominasinya selalu memikat. Bahkan bangun pagi tanpa membersihkan diri pun, kharismanya tidak akan berkurang sedikit pun. Seakan dunia memang tidak adil karena menciptakan manusia seelok itu.

Arga Zevallo adalah definisi sempurna dari karakter impian setiap wanita, mirip dengan tokoh utama dalam buku-buku roman klasik yang memenuhi rak-rak toko buku. Kaya, berkuasa, disegani banyak orang. Setiap langkahnya seperti orkestra yang membuat siapa pun bertekuk lutut—entah karena kagum, takut, atau sekadar tak sanggup menahan pesona.

Kelebihannya terlalu banyak untuk dihitung, seperti air yang tumpah dan mengalir ke segala arah. Tak bisa dikumpulkan, tak bisa dibendung. Ia membasahi segala sisi kehidupannya dan menciptakan genangan ketakjuban di mana-mana.

Namun, di balik semua itu, keburukan terpampang jelas di depan mata Estria. Tanpa kedok. Tanpa usaha untuk ditutupi. Istri sah diperlakukan seperti mainan tak bermutu, layaknya boneka porselen cantik yang hanya layak dipajang, bukan untuk disayangi.

Dan di sanalah kebencian Tria tumbuh subur. Ia mewakili setiap luka yang dirasakan Estria, menyerap amarah yang bertahun-tahun tak bersuara. Sekarang, saat dia menjadi Tria dalam tubuh Estria, semua itu terasa nyata. Terlalu nyata.

“Turun.”

Jengkel. Tria harus menobatkan Arga sebagai makhluk paling tidak berperasaan yang pernah ia temui. Dia melebihi iblis—kalau iblis bisa tertawa, mereka pun mungkin akan merasa tersaingi olehnya.

“Apa?” Tria menatap dengan sorot tak percaya, suara nyaris tercekat.

Tanpa menjawab, Arga membuka sendiri pintu mobil dari luar. Gerakannya tenang, terlalu tenang untuk laki-laki yang baru saja menghancurkan logika sopan santun manusia. “Turun.”

“Ta-tapi ini belum sampai….”

“Bukan urusanku.”

“Tapi—”

“Aku bilang turun.”

Nada suaranya tidak meninggi, tidak menggertak, namun terdengar seperti perintah mutlak yang tak bisa dibantah. Ada tekanan di sana. Dingin, menusuk, dan jelas tak memberi ruang untuk negosiasi.

Tria terdiam, menahan napas beberapa detik, mengepalkan tangan kanan di pangkuannya. Tubuhnya bergetar. Bukan karena takut, tapi karena muak. Ingin sekali ia menampar laki-laki itu, atau setidaknya melempar sepatu ke wajah tampannya yang menyebalkan.

Padahal niat awalnya sederhana. Dia hendak ke klub musik sore ini. Sudah ada janji dengan Fahrez untuk latihan piano. Arga, dengan senyum simpul dan nada manisnya, menawarkan diri untuk mengantar. Dan bodohnya Tria—yang semestinya tahu lebih baik—malah menerima tawaran itu dengan setengah lega.

Ternyata benar. Kebaikan dari seorang Arga tak pernah gratis. Tak pernah tulus. Dan terutama, tidak pernah berlaku untuknya.

“Apa yang kau tunggu? Turun!”

“Arga… aku tidak tahu jalan.” Tria mencoba bertahan. Wajahnya dipenuhi kesedihan, namun dalam hati, ia ingin menggigit lelaki itu sampai berdarah.

Arga mencengkeram tangannya kasar, menarik paksa. “Bukan urusanku, kan? Memangnya kau siapa?”

“Kau benar-benar akan menurunkanku di sini?”

“Kenapa tidak?”

Kenapa tidak?! Ucapan itu seperti peluru yang menghantam dada. Tidak salah lagi, Arga butuh ke psikiater. Segera.

“Arga, aku baru saja sembuh. Aku tidak mungkin–”

“Hei!” Arga menghentakkan tangannya. “Tempat yang kau duduki itu milik Lyana, bukan milikmu. Tidak usah berpura-pura di depanku. Kau itu sangat licik!”

Tria nyaris ingin kayang di tempat. Licik? Dari sisi mana? Cermin pun pasti akan menolak memantulkan tuduhan itu. Estria bahkan terlalu polos, hampir menyentuh titik dungu.

“Pergilah!”

Kesabaran Tria akhirnya mencapai batas akhir. Gerakannya spontan, naluri yang mengambil alih: Plak! Telapak tangannya mendarat tepat di wajah Arga.

Detik berikutnya, rasa sakit langsung menjalari tubuhnya. Perutnya seakan diremas dari dalam, kepalanya berdenyut tak karuan. Tria menggigil, napas memburu tak teratur.

“Kau menamparku?!” Arga ternganga. Mata membulat seperti tidak percaya. Tapi tak ada rasa kasihan.

“Sakit…!!!” Tria jatuh terduduk, tangan kanan meraih kerah kemeja Arga, memohon bantuan. “Tolong aku….”

Namun apa yang dia dapat?

Senyum. Senyum menyebalkan dari lelaki tak berhati itu.

“Itu karma karena kau menamparku,” katanya ringan, seperti sedang membalas lelucon.

Biadab. Itu satu-satunya kata yang menggambarkan laki-laki ini dengan sempurna.

Tanpa menoleh, Arga berbalik. Langkahnya tenang. Deru mesin mobil saat melaju seperti ejekan yang mengiris telinga. Tria memukul tanah, matanya panas, dadanya sesak.

Kini ia tahu, seperti inilah rasanya diinjak-injak. Dipermalukan.

“Lihat aja, Arga! Setelah tabung karakter terisi penuh, aku akan ngebunuh kamu!!!”

Sekali lagi, rasa sakit mendera. Gelombang kedua jauh lebih menyakitkan. Dan seperti menabur garam di luka, papan pengumuman muncul—berkedip-kedip seolah mengejek.

Isi penuh karakter Estria!!!

Isi penuh karakter Estria!!!

Isi penuh karakter Estria!!!

“Bacot! Nggak lihat, ya? Meranin Estria itu susah banget! Nggak ada peran yang lebih mudah gitu?”

Isi penuh karakter Estria!!!

Kepala Tria seperti akan meledak. Ini bukan lagi sekadar akting. Ini penyiksaan dalam format cerita. Ini kejahatan dunia maya yang nyata!

“Author!!!” Tria meraung. “Kenapa harus mati, sih? Lihat nih, aku yang jadi korban! Kalau mau bikin cerita yang logis napa!”

Ia meringkuk di pinggir jalan, menundukkan kepala dengan wajah memerah penuh bara. Napasnya terengah. Ponselnya tertinggal di mobil, uang tak ia bawa, dan arah pulang? Mustahil. Jauh. Bahkan untuk lanjut ke klub musik pun ia tak tahu rutenya.

Saat harapannya menipis, suara familiar memanggil.

“Estria?”

Tria mendongak cepat. Matanya membulat, bibirnya bergetar pelan. Haru menyeruak seperti hujan setelah kemarau.

“Fahrez…,” desahnya penuh rasa lega.

“Apa yang kau lakukan di sini? Apa ini ulah Arga?”

Tria mengangguk cepat. “Dia menurunkan ku di sini.”

“Dia masih belum berubah.” Suara Fahrez terdengar dingin namun penuh perhatian. Ia membelai pipi Tria lembut, sorot matanya khawatir. “Aku tadinya ingin ke rumahmu, perasaanku tidak enak sejak tadi.”

“Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan ku.”

“Tidak usah sungkan, kita adalah teman.”

Jika Tria bisa bertemu Estria asli, ia akan menyeret perempuan itu ke depan cermin, menatap matanya dalam-dalam, lalu mungkin menampar pelan sampai seluruh sistem saraf tersambung dengan benar.

Lihat, Estria! Laki-laki yang sepatutnya kau pilih itu Fahrez! Bukan si Psikopat Arga!

“Kalau begitu kita berangkat bersama.” Fahrez melepas helm dan memberikannya kepada Tria. Dia hanya membawa satu.

“Kau sangat baik.”

Farez tertawa. “Setelah kau lupa ingatan, entah mengapa kau lebih manis. Kau seperti terlahir kembali. Jarang sekali kau memujiku.”

“Benarkah?”

“Ya.”

“Apakah dulunya aku buruk?”

“Siapa yang bilang? Kau baik di mata orang yang tepat, meskipun kau melakukan kesalahan.”

Tria tidak berkata apa-apa lagi. Diamnya bukan karena tidak punya suara, tapi karena terbius. Fahrez benar-benar mumpuni dalam membuat perempuan larut dalam suasana. Laki-laki seperti dia bukan sekadar langka, tapi hampir punah. Orang yang mendapatkannya pasti beruntung lahir dan batin. Kalau hidup terasa kurang, Fahrez bisa jadi pelengkap. Kalau luka menganga, dia datang seperti balsem herbal paling mujarab.

Selain itu, dia seolah jelmaan dewa kasih sayang. Tatapannya lembut, bukan sekadar menatap tapi menenangkan. Sentuhannya juga mendarat di tempat yang tepat, tidak berlebihan, tidak juga garing.

Kemarin, Tria mendapatkan belaian kepala—klasik tapi mematikan bagi kaum hawa. Rata-rata perempuan akan langsung melunak jika diperlakukan seperti itu. Hari ini, sentuhan lembut di pipi jadi bukti nyata: Fahrez tahu caranya menyayangi.

Dan di sisi lain, ada Arga. Ah, ya, Arga. Si kutukan berjalan. Kalau dibandingkan, mereka seperti bumi dan neraka.

Akhirnya, mereka berdua sampai di tujuan. Klub musik itu bernama Putih Miracle. Nama yang terdengar absurd, tapi punya makna sentimental. Estria yang mengusulkannya, sesuai isi novel yang Tria baca di bab sembilan.

Alasannya? Estria ingin sebuah keajaiban datang padanya.

Entah keajaiban seperti apa yang dimaksud—Tria tidak tahu. Tapi dia curiga. Mungkin si pemeran utama sudah punya firasat kalau dirinya akan meninggal di bab sepuluh dan tidak akan pernah bangkit lagi.

Kenapa? Karena Author-nya meninggal.

Memikirkan itu saja membuat kepala Tria cenat-cenut. Seluruh cerita yang kini ia jalani mungkin akan berubah haluan. Tergantung bagaimana dia menyikapinya. Atau… bisa jadi semua tindakannya sudah diprogram sejak awal. Seolah dia hanya bidak kecil di papan cerita yang dikendalikan oleh tangan tak kasatmata.

Kalau begitu, siapa sebenarnya yang gila? Tria? Estria? Atau Author?

“Kita biasanya melatih pada hari minggu, jadi klubnya sepi.” Fahrez duduk di bangku piano. “Aku ingin kau terbiasa dengan tempat ini dulu, setelah itu aku akan memperkenalkan kembali anak didik kita.”

“Berapa anggota yang kita punya?”

“Lima belas. Sebagian sudah dikeluarkan karena keterbatasan tenaga kerja. Hanya kau dan aku yang jadi pelatihnya, itulah mengapa aku sangat berharap kau tidak berhenti."

Klub musik didirikan sebagai kerja sampingan, setidaknya mereka bisa menyebarkan ilmu sekaligus bersenang-senang. Itulah mengapa keduanya tidak merekrut pelatih lain.

“Tapi, Fahrez… aku yang sekarang tidak bisa melakukan apa-apa.”

Fahrez menepuk sisi kanan, bermaksud menyuruh Tria duduk. “Aku akan mengajarimu.”

Tria memandangi deretan hitam dan putih. Sudah beberapa hari jemarinya tidak menari di tuts piano. Dia terlalu sibuk dengan tugas kuliah.

“Aku ingat beberapa.” Tria agak ragu. “Tapi mungkin tidak akan sebagus dulu.”

“Tidak apa-apa, cobalah dulu. Kau pasti bisa.”

Klub musik itu sangat sepi. Tak ada percakapan, hanya keheningan yang menggema. Kesunyian terasa menempel di dinding, menggantung di langit-langit. Fahrez menatap lekat bagaimana Tria mengembuskan napas. Dia tahu, perlu keberanian untuk memulai sesuatu di tempat yang baru. Dan itulah yang tengah Tria rasakan.

Yah… kok agak deg-degan, ya? Jariku tremor.

Belum ada permulaan, tapi kedua tangan sudah siaga di atas tuts. Namun, belum juga menekan. Seolah ada monster yang akan muncul begitu melodi pertama terdengar.

Alih-alih memainkan lagu, ingatan Tria justru melompat ke masa kecilnya. Saat ia mulai belajar piano di usia sepuluh tahun.

Orang pertama yang mengajarinya adalah sang nenek. Tria belajar tekun, bahkan sampai kepalanya berdenyut karena terlalu fokus. Lagu pertama yang berhasil ia kuasai adalah River Flows in You. Saat itu, ia merasa seperti superstar.

“Kenapa?” Fahrez menyentuh pundak Tria.

“Tidak apa-apa.”

“Apa aku terlalu memaksamu?”

“Bukan, bukan seperti itu.”

“Kita tidak perlu tergesa-gesa, Estria….”

Tak ingin membuat Fahrez kecewa—meskipun dia yakin Fahrez bukan tipe yang akan kecewa dengan hal sesederhana ini—Tria akhirnya memutuskan untuk bermain. Tangannya agak bergetar, terkesan terburu-buru, tapi perlahan ia mulai menikmati permainannya.

Di antara semua alat musik, piano selalu menjadi pusat perhatiannya. Ada sesuatu yang magis. Setiap kali jemarinya menari di atas tuts, hatinya ikut berdansa. Damai.

Fahrez terdiam. Tatapannya terpaku pada wajah bulat yang bercahaya lembut, seolah menyerap energi dari melodi. Ia seakan tidak percaya, ada sesuatu yang menggelitik hatinya.

“Kau merubah gayamu?” tanyanya tiba-tiba.

Spontan Tria berhenti. Dia menoleh ragu. “Hm?”

“Caramu bermaian sedikit berbeda. Saat kau bermain dulu, kau akan terlihat bernafsu dan lagu yang kau bawa lebih banyak bertempo cepat. Kau sendiri yang mengatakan bahwa kau kurang suka lagu yang slow.”

“Apakah buruk?”

“Tidak.” Fahrez terkekeh. “Aku sebenarnya sangat menyukainya, kau menjiwai apa yang kau mainkan. Seolah ragamu menyatu di dalamnya.”

Tria tersenyum simpul. Akhirnya, ada lagi yang memujinya. Bukan basa-basi. Pujian yang terasa tulus dan menyentuh.

“Kau terlihat lebih baik sekarang.”

“Terima kasih, Fahrez.”

Fahrez bergeser sedikit. “Aku ingin bertanya satu hal, setelah pulang dari rumah sakit, apa Arga masih menyakitimu?”

“Kau tahu?” Tria pura-pura bodoh.

“Hm….” Fahrez memalingkan wajah, terbatuk kecil. “Sejak kau menikah dengannya, kau seringkali memberitahuku.”

Tria mengangguk. Estria dan Fahrez adalah teman. Bukan sembarang teman. Segala hal yang terjadi—termasuk luka—seolah wajib diketahui Fahrez.

Pikirannya melayang ke bab-bab awal. Saat Estria dikurung di gudang. Ia menelepon Fahrez, minta ditemani sepanjang malam. Sambungan itu berlangsung hingga pagi. Kesetiaan Fahrez memang pantas diacungi jempol.

“Estria,” suara Fahrez tenang, namun mengandung sesuatu yang dalam. “Lakukanlah seperti dulu. Tidak perlu menutupi apa pun dariku. Aku akan melindungimu.”

...----------------...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!