Hero Or Villain
Dia tertabrak mobil dan kehilangan banyak darah....
Tria tidak pernah menyangka akan berputus asa hanya karena sebuah kalimat. Gumpalan penyakit dalam dada ingin dimuntahkan dalam bentuk makian dan cacian. Baginya, itu adalah sebuah penyiksaan tidak langsung!
Sudah hampir setengah tahun ia menunggu kepastian dari Author yang entah menghilang ke mana, meninggalkan misteri tentang pemeran utama yang begitu sengsara.
Tak ada keadilan dalam cerita itu—tokoh utamanya disiksa sedemikian rupa hingga tangis menjadi santapan sehari-hari.
"Author sengklek! Kalau nggak bisa buat cerita sampai habis, jangan buat cerita! Buat penasaran aja!"
Tria memerhatikan deretan bab yang berjumlah sepuluh. Di awal cerita, sang Author sempat menuliskan catatan bahwa kisah ini akan terdiri dari sekitar lima puluh bagian, dan—katanya—akan selesai dalam waktu yang cepat.
Rupanya, pemberi harapan palsu bisa datang dari mana saja. Tria menyesal telah menemukan cerita bergenre romansa itu. Benar-benar memuakkan!
Tria sangat tertarik dengan tokoh utama yang bernama Estria. Selain nama mereka yang hampir mirip, hobi mereka pun sama—sama-sama gemar bermain piano. Pendeskripsian wajahnya bahkan bisa dibilang copy-paste.
Estria memiliki wajah mungil. Ia cukup tinggi. Matanya bulat dan tampak polos, hidung kecil, serta bibir ranum. Semua yang ada seolah bisa diklaim sebagai milik Tria. Bahkan tahi lalat di bawah alis pun tak luput!
Hei, Author! Nggak mau balik? Lama amat hibernasinya!
Tria gatal untuk menyindir lagi. Pesan itu dikirim di kolom komentar, di mana semua orang bisa membacanya.
Bukannya ingin menjatuhkan, tapi ini sudah kelewat batas, sudah melewati kesabaran seorang pembaca. Memang, sih, jadi seorang penulis membutuhkan waktu agar karya yang dihasilkan semeriah kembang api. Tria pengertian, kok!
Namun, Author yang tak bertanggung jawab itu rasanya seperti meminta untuk disantet!
Lelah mengeluarkan setetes api, Tria mulai merasa mengantuk. Tubuhnya juga pegal-pegal setelah latihan melawan tiga orang sekaligus. Ia sudah bergabung dengan Karate sejak masih kecil, dan kini tinggal selangkah lagi menuju sabuk hitam. Deretan piala di sudut ruangan bisa jadi alasan untuk berbangga.
Karate dan piano adalah dua hal yang tak terpisahkan dari hidup Tria.
Sebelum benar-benar terlelap, sebuah notifikasi membuatnya tersadar kembali. Seseorang telah membalas komentarnya.
Untuk semua pembaca, aku selaku pihak keluarga meminta maaf atas ketidaknyamanan kalian. Aku tidak sempat memberitahu karena masih cukup terguncang setelah apa yang kakakku alami. Maaf karena cerita ini tidak akan pernah berlanjut karena kakakku sudah lama meninggal karena kecelakaan. Aku harap kalian dapat mengerti....
"Hah? Ini bercanda, kan?"
Tria mengulang bacaannya sampai tiga kali. Balasan dari pembaca lain justru makin memperkeruh suasana. Mereka menyuarakan duka cita paling mendalam, diikuti dengan emotikon sedih.
Setelah merasa paling disakiti, kini Tria merasa menjadi manusia paling jahat di dunia. Ia mencaci tanpa tahu kebenarannya. Ia lupa bahwa seorang penulis juga adalah manusia—yang bisa saja mengalami kematian. Betapa bodohnya!
Tria membenamkan wajah di atas tempat tidur. Hidupnya seakan diterjang batu bara Yang menyala-nyala.
"Jadi... selama ini aku marah-marah sama orang yang udah wafat? Gila!"
Semalaman Tria overthinking, beberapa kali mencubit dirinya sendiri sebagai hukuman atas kebodohannya. Ia tak bisa tidur sebagaimana mestinya. Barulah saat jarum jam menunjukkan pukul dua pagi, ia berhasil masuk ke alam mimpi. Itu pun, masalah baru kembali muncul.
Gelap dan sepi. Sejauh mata memandang, tak ada satu pun makhluk hidup yang tampak. Suara paling keras hanyalah deru napasnya sendiri. Untuk melangkah ke depan dibutuhkan keberanian besar, dan untuk tetap tinggal dibutuhkan mental yang kuat.
Sebelum sempat berpikir lebih jernih, cahaya putih dari ujung sana perlahan mendekat. Rambut sosok itu tergerai panjang, tangannya terulur seakan meminta pertolongan. Raut wajah bernuansa kelam membuat tubuh Tria merinding.
Sosok itu membuat Tria terhenti bernapas. Ia seolah sedang bercermin. Ia melihat dirinya sendiri—dalam balutan gaun putih, meneteskan air mata.
“Tolong aku...”
Uluran tangan itu menyentuh kulit wajahnya. Tria tak bisa berkedip. Kepalanya mulai terasa pusing. Ia butuh kejelasan atas apa yang sedang terjadi. Bagaimana bisa ia berada dalam ruang seluas ini, namun hanya kegelapan yang menyelimuti?
"Tolong aku, jangan biarkan aku mati...."
"Ka-kamu siapa?" Tria menatap lekat, agak kaku menggerakkan mulut. "Dan juga... aku di mana?"
"Tolong aku...."
Kedua pipi dielus lembut. Sosok itu kian bercahaya, menyilaukan mata. Tria ingin berlari—ketakutan mulai menjalari seluruh tubuh. Aliran darahnya bergetar, jantung berdetak tak karuan, pembuluh darah terasa membengkak. Ia kesulitan bernapas, dadanya sesak seolah dihimpit beban tak kasat mata.
“Tolong aku....”
Tria mengerang kesakitan. Jiwa dan raganya terasa tercerabut, ditarik paksa ke arah yang tak diketahui.
Lalu, suara dengan frekuensi tinggi memekakkan telinga. Cahaya menyapu cepat, melahap kegelapan. Tria tak lagi bisa melihat, tak bisa mendengar. Ia terseret masuk ke dalam sebuah lubang kecil yang sempit dan tak berujung.
Perjalanan dimulai!
Perjalanan dimulai!
Perjalanan dimulai!
Suara peringatan bernuansa merah menyala muncul tepat di atas kepala. Beberapa tulisan bermunculan secara acak, mengelilingi tubuhnya. Semuanya mengarah pada satu hal: sebuah perjalanan akan segera dimulai—dan pusat dari semuanya adalah seorang perempuan bernama Tria.
...***...
"Dokter! Pasien sudah siuman!"
Suara-suara kecil mulai mengusik pendengaran. Tria melenguh pelan, lalu perlahan membuka mata lebih lebar. Seluruh tubuhnya terasa remuk, tak bisa digerakkan, seolah semua tenaga telah menghilang begitu saja.
Seorang dokter berdiri di sampingnya, memeriksanya dengan saksama. Ia mengecek detak jantung di dada dan denyut Nadi di pergelangan tangan. Wajahnya tampak lega, seolah menantikan momen ini sejak lama.
"Akhirnya kau bangun, sayang...."
Tria bingung. Ia mencoba memfokuskan penglihatannya yang perlahan mulai membaik. Di sekelilingnya, ada dua orang perawat, seorang dokter, seorang perempuan berkepala tiga—namun tetap terlihat cantik—dan seorang laki-laki berperawakan tinggi.
"Ibu sangat menghawatirkan mu." Amoura memeluk Tria sayang, air mata haru melukis pipinya.
Dua perawat membantu Tria untuk duduk. Dengan lemah, ia menatap satu per satu wajah yang tampak asing. Ia bahkan tidak tahu sedang berada di mana. Semua begitu berbeda... begitu ganjil... namun nyata.
"Kalian siapa?" Tria bertanya sangsi. Menatap orang secara bergantian. "Aku juga di mana?"
"Dokter, apa yang terjadi dengan menantu saya?" Amoura bertanya panik.
Tria terusik dengan kata menantu. Sejak kapan dia menikah?
Dokter menghela napas. "Pasien mengalami kecelakaan yang parah, ingatannya memburuk."
Amoura menggenggam tangan Tria, air matanya semakin meluncur deras. "Estria, kau tidak mengingat ibumu ini?"
Tria mengedipkan mata lebih cepat, mencoba mengamati wajah-wajah di sekelilingnya. Ditanya seribu kali pun, Ia tetap takkan tahu siapa mereka.
"Maaf, nama aku bukan Estria, tapi Tria," ucapnya pelan namun pasti.
"Apa yang kau katakan? Namamu adalah Estria, bukan Tria," sahut perempuan berkepala tiga itu dengan nada heran.
Tria spontan menarik tangannya, lalu mundur hingga membentur kepala ranjang. Matanya menelisik sekeliling, siapa tahu ada kamera pengintai tersembunyi. Dalam pikirannya, ini bisa jadi konten jebakan. Cukup lumrah di kalangan Youtuber, bukan?
Namun, kejanggalan lain terasa makin nyata. Mereka berbicara dengan bahasa yang terlalu formal. Terlalu baku. Tidak cocok dengan dunia yang dikenalnya. Kepalanya makin berat.
"Kalian siapa, sih?!" bentaknya, judes dan tanpa filter.
Wajah Amoura menggelap. Nada suara Tria seperti hantaman keras di dada. Ia pun melangkah mundur, menarik pria tinggi yang sejak tadi berdiri di belakangnya. "Walaupun kau tidak mengingat ibu, tapi kau pasti mengingat Arga, kan? Kau pasti mengingat dia."
Pandangan Arga menusuk. Tatapannya dingin, terlalu dingin untuk seorang pasien yang baru siuman. Seolah kehadirannya justru membawa tekanan baru.
"Aku nggak tahu." Tria memijit kecil pelipisnya. Dia menambahkan kalimat dengan suara yang tegas. "Aku sama sekali nggak tahu kalian siapa!"
"Estria...." Amoura berucap lembut, menatap nanar.
"Nama aku bukan Estria!" Tria lama-lama kesal. "Jangan paksa aku buat ngenal kalian! Jangan paksa aku juga kalau nama aku Estria! Kalian ini dari tim apa?! Kalian ini pasti mau nge-prank aku, kan? Ngaku nggak?!"
"Ada apa denganmu?" Arga menggenggam tangan Tria. Suaranya sedingin kutub utara. "Cara bicaramu aneh, sama sekali bukan kau. Apakah karena kecelakaan itu?"
Tria bangkit dan hendak pergi. Orang-orang di sekitarnya terasa mencurigakan. Pemaksaan yang dilontarkan pada dirinya membangkitkan kejengkelan yang tak tertahankan. Tria merasa lebih baik pulang atau melapor ke polisi. Mungkin saja ia memang diculik.
"Estria!"
Seruan bernada tegas itu menghentikan langkahnya. Tria langsung siap siaga, waspada akan kekerasan yang mungkin datang kapan saja.
"Jangan dekat-dekat!"
"Kau mau ke mana? Kau baru saja bangun, istirahatlah lebih banyak dan jangan membuat orang lain cemas...!" Arga menekan kalimat di akhir.
"Masalahnya kalian semua ini aneh! Berhenti panggil aku Estria atau aku nggak akan segan nelpon polisi!"
Amoura menatap dokter. "Dok, apakah wajar dia bertingkah seperti itu? Kenapa dia bersikeras sekali? Siapa itu Tria?"
"Estria...!" Arga menekankan suaranya lebih dalam. Sorot matanya menyiratkan ancaman, seakan ingin menguliti.
Dari sini, Tria mulai merasakan ada yang aneh. Beberapa potongan ingatannya mulai menyatu. Hal terakhir yang ia ingat adalah bertemu seseorang yang sangat mirip dengannya—meminta tolong dengan panik, lalu semuanya berubah dalam sekejap.
"Ka-kalian ada cermin?" Tria mulai gemetar, tak bisa menyembunyikan rasa takut yang merasuki tubuhnya.
Salah satu perawat memberikan apa yang Tria minta. Dia bercermin untuk memastikan sesuatu. Dan apa yang terjadi? Tidak ada perubahan. Wajah yang ada di sana masih sama, tahi lalat di bawah alis tidak berpindah.
"Estria, jangan membuat ibu takut...," ucap Amoura.
"Es... tria...." Tria menggumam pelan, alisnya berkerut, menajam.
Nama itu... sangat familiar. Bukankah itu nama tokoh utama yang sangat ia gemari? Pemeran utama yang selalu disiksa oleh suaminya? Berselingkuh tanpa tahu malu?
Tria menggeleng beberapa kali, kebingungannya semakin mendalam. "Apa namaku Estria Zevallo? Istri dari Arga Zevallo?"
Arga tercekat, tampaknya terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulut Tria. "Kau ingat? Kau mengingatku?"
"Kau Arga Zevallo? Suamiku?" Tria memandangi pria itu dari atas hingga bawah, mencoba mencari tanda-tanda kejujuran dalam dirinya. Semua yang ada pada Arga adalah keindahan yang luar biasa, bagaikan dewa. Arga sangat tampan, bahkan mungkin terlalu tampan untuk seorang pria yang pantas disebut suami.
Namun, daripada mengagumi sosoknya, Tria merasa seperti ingin melayangkan tonjokan paling keras. Bagaimana mungkin dia bisa disebut seorang suami, tetapi memperlakukan istrinya begitu kejam?
"Bajingan!!!" Tria mengutuk, tubuhnya bergetar karena amarah. Dia siap melepaskan bogeman, tetapi sesuatu yang tak terduga terjadi pada tubuhnya. "Sakit!!!"
Sakit menjalari seluruh tubuhnya, seperti tulang-tulangnya diremas. Peringatan muncul di depan matanya, tulisan yang semakin jelas.
Isi penuh karakter Estria!
1. Lemah lembut
2. Penurut
3. Berhati baik
Tria merasa terjepit. Ia harus berperilaku seperti Estria yang asli, tidak boleh bertindak gegabah jika tidak ingin mendapat siksaan. Setidaknya ia harus mengisi tabung karakter hingga penuh agar diberi kebebasan sedikit lebih banyak untuk bertindak.
"Sial!"
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Queen
yahlohh
2025-02-21
0