Harus Tria akui, dunia yang ia tempati sekarang jauh lebih baik dan mengesankan—dalam urusan perduitan. Dia memang sudah menduga kekayaan keluarga Zevallo dari buku yang pernah dibacanya, tapi melihatnya secara langsung bisa membuat mata membulat dan mulut menganga.
Rumah bak istana itu nyaris membuat air mata haru tumpah, Tria harus menahan gejolak di dadanya agar tidak meraung. Rumah macam apa yang terbentang di hadapannya? Itu tidak bisa disebut rumah! Pekarangannya saja bisa menampung sebuah hotel!
Oke, mungkin itu sedikit berlebihan.
Bangunan megah bercat putih gading itu berdiri angkuh dengan tiang-tiang tinggi bergaya klasik yang membuatnya tampak seperti istana dalam film. Jendelanya besar berlapis kaca, dan balkon-balkonnya dihiasi tanaman rambat yang terawat. Air mancur berdiri di tengah halaman depan, memancarkan air jernih di atas patung kuda bersayap. Jalan masuknya pun dilapisi batu alam halus yang mengilap seperti cermin.
Sebenarnya, rumah tersebut bukanlah rumah utama. Tapi karena keluarga Zevallo lebih sering menghabiskan waktu di sana karena tuntutan pekerjaan, akhirnya rumah itu diberikan kepada Arga sebagai pemilik tetap.
“Selamat datang Nyonya Estria….”
Puluhan maid membungkuk secara bersamaan, senyum terlukis indah menyambut kepulangan si cantik. Tria nyaris terjengkang karena canggung. Dia bahkan sungkan untuk melangkah lebih dalam—barang-barang mewah yang berkilauan hampir menyilaukan matanya. Kristal, marmer, ornamen berlapis emas... ini bukan rumah, ini pameran kemewahan.
Arga dan Amoura menuntun langkah Tria. Mertua melakukannya dengan senang hati, sedangkan si suami... ya, itu cerita lain. Beberapa kali Tria mendengar embusan napas jengkel di sisi kirinya. Suara yang sangat familiar. Sudah seperti soundtrack pribadi: dengusan ala Arga.
Tria tidak akan heran jika Arga bersikap ogah-ogahan. Makhluk yang paling dibenci dan ingin disingkirkan olehnya adalah istrinya sendiri. Dan setelah kepulangan Amoura, Tria tahu, suaminya itu akan kembali bertingkah semena-mena.
“Sayang, istirahatlah di kamar, jika kau membutuhkan sesuatu kau bisa memanggil Arga.” Amoura melirik anaknya sekilas.
“I-iya, Bu.” Tria berucap sangsi. Sebaiknya Arga tidak direkomendasikan untuk menolongnya.
“Ibu akan menginap di–”
“Bu, bukannya ada proyek yang akan dikerjakan? Ibu tidak perlu sampai menginap dan meninggalkan tanggung jawab.” Arga berdeham. “Aku bisa menjaga Estria.”
Tria bergidik, rasa was-was mulai merayap. Sebuah firasat buruk menyelinap, seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres—sesuatu yang buruk akan segera terjadi.
Dalam cerita asli, Estria seringkali dikurung di tempat gelap selama berjam-jam, sengaja ditumbuhkan trauma mendalam. Itu adalah cara Arga untuk membuat Estria merasa tidak betah di rumah, hingga akhirnya memilih bercerai. Arga, meskipun memiliki niat buruk, tak bisa melakukannya lebih dulu—Amoura tak akan pernah setuju dengan yang namanya perceraian.
Sayangnya, Estria yang dulu bukanlah Estria yang sekarang. Tria bukan wanita penakut yang bisa ditakut-takuti. Dia sudah terbiasa dengan kegelapan, dan mentalnya kini jauh lebih kuat. Satu-satunya masalahnya adalah, Tria tidak suka direndahkan, dan ia sangat mungkin membalas perlakuan jahat itu. Namun, karena tabung karakter yang masih belum penuh, ia tahu dirinya harus lebih sabar menghadapi segala perlakuan buruk yang mungkin datang.
“Estria, kau tidak apa-apa, kan?” Amoura menggenggam tangan Tria. Perlakuannya benar-benar seperti ibu kandung.
“I-iya, Bu.”
“Kalau begitu Ibu akan pergi setelah ini. Ayahmu juga pasti sibuk melakukannya sendiri.”
Estria adalah anak tunggal. Ibunya meninggal saat ia baru memasuki bangku menengah pertama. Andara—ayah Estria—banting tulang demi memperbaiki perekonomian hidup mereka, dan ia berhasil merintis usaha yang sedikit demi sedikit mulai berkembang.
Namun, beberapa tahun kemudian, Andara menghadapi masalah besar. Bisnis yang ia rintis hampir mencapai titik nol, dan dalam keputusasaan itu, Amoura datang sebagai penyelamat. Namun, kedatangan Amoura tidak hanya sebagai penyelamat, tetapi juga sebagai cikal bakal perjodohan yang tak terelakkan.
Pernikahan antara Estria dan Arga tidak akan pernah terjadi tanpa campur tangan Amoura. Wanita itu sangat keras kepala, dan Andara tak punya pilihan lain selain menurut, karena Amoura mengancam akan menarik semua bantuan yang sudah diberikan dan menjadikannya sebagai hutang yang mustahil dilunasi.
Terdengar kejam? Memang, tapi itu adalah satu-satunya cara agar permintaan Amoura terkabul. Amoura jatuh hati kepada Estria, terlalu mendamba sosok anak perempuan yang seolah hilang dari hidupnya.
Namun, seperti yang bisa ditebak, pernikahan tanpa landasan cinta itu membawa bencana. Diam-diam, Arga masih menjalin hubungan dengan kekasihnya, menyembunyikan semua itu dari Amoura. Dan Estria? Ia menjadi bahan siksaan dalam rumah tangga itu, terhitung tak penting bagi Arga. Tidak peduli jika hatinya tergores, yang jelas Arga menaruh kebencian, bukan cinta.
"Ibu pergi dulu."
Setelah kepergian Amoura, sifat dingin Arga muncul seketika.
“Aku tidak akan mengurus mu, lakukan semuanya sendiri,” katanya datar, kemudian naik ke lantai atas tanpa peduli.
Tria hanya bisa terdiam, merasa seperti orang bodoh. Beberapa pasang mata menatapnya tanpa rasa iba. Tidak ada yang berani mendekat, seolah dia adalah virus yang akan menyebarkan penyakit.
Jadi, aku harus gimana, nih? Harus ngapain, nih?
Dengan tekad yang tak pasti, Tria memberanikan diri untuk naik ke lantai atas. Setahunya, kamar Estria bersebelahan dengan kamar Arga. Pasutri itu memang tidak sekamar, katanya Arga jijik, dan kemarahannya bisa meledak kapan saja.
Tiba-tiba, tanda panah muncul di lantai, seolah memberi petunjuk. Tria mengikutinya sampai di depan sebuah kamar. Itu adalah kamar Estria.
Kamarnya berwarna biru langit yang lembut, sebagian besar dindingnya putih. Suasana di dalamnya terasa nyaman dan menenangkan, seolah berbicara tentang kedamaian yang jarang didapatkan di rumah ini. Estria tampaknya tak suka kemewahan, terlihat dari kesederhanaannya. Barang-barang di dalam kamar ini sangat sedikit, namun setiap sudutnya terasa penuh arti.
Tria terkesan, terutama dengan sebuah piano yang terletak di sudut ruang. Begitu melihatnya, Tria mendadak merasakan rindu yang mendalam pada rumahnya, pada kenyamanan yang tak pernah ia rasakan lagi.
Tria sendiri tidak memiliki siapa-siapa. Ibunya meninggal saat melahirkannya, dan ayahnya pergi begitu saja. Sejak kecil, ia dibesarkan oleh neneknya yang merupakan pahlawan sejatinya. Namun, pahlawan itu juga pergi, meninggal saat Tria berusia tujuh belas tahun.
Meskipun ayahnya pergi begitu saja, dia tak pernah melupakan kewajibannya untuk memberi nafkah. Tria bisa bersekolah hingga duduk di bangku kuliah karena kiriman uang dari ayahnya. Bahkan saat menulis skripsi, ia tahu ayahnya adalah alasan ia bisa bertahan.
“Tunggu! Aku kan lagi nyusun skripsi!!!”
Tria panik. Wajahnya memucat. Serasa hidupnya diambang kehancuran.
“Gimana dong ini? Caranya balik ke dunia asli gimana?! Mana udah setengah jadi lagi! Aku nggak mau nunda-nunda waktu!!!”
Seolah jeritannya tembus langit, papan pengumuman segera muncul.
Misi : Bujuk Arga untuk memberikan perusahaan atas nama Estria.
Selama misi tidak dilakukan, selamanya akan terkurung dan akan mendapat sanksi karena tidak bermain secara profesional.
“Misinya gila banget! Nggak tahu, ya, kalau Arga itu benci banget sama Estria?! Gimana mau ngasih perusahaannya?! Mikir dong!”
Tria memukul papan informasi sekuat tenaga, namun kali ini tak ada jawaban hingga pada akhirnya papan tersebut menghilang. Selanjutnya, muncul pengumuman untuk mengisi tabung karakter.
“Nggak! Aku nggak mau di sini! Aku mau pulang!!!”
Isi penuh karakter Estria!
Isi penuh karakter Estria!
Isi penuh karakter Estria!
Tria menutup telinganya, berusaha mengabaikan suara itu. Ia mencoba mencari pintu menuju dunianya yang asli, tetapi tidak ada yang membantunya. Hampir setiap sudut ruang dijelajahi, namun semuanya tampak seperti tembok tanpa jalan keluar.
Tiba-tiba, suara seseorang terdengar dari luar.
“Nyonya muda, tolong buka pintunya....”
Tria secepat kilat mengubah ekspersi wajahnya. Mau tidak mau, ia harus berlagak seperti Estria.
“Ada apa?” Tria menjawab lembut.
“Tuan Fahrez datang untuk menemui Nyonya.”
Tria merasa dadanya berdebar. Tidak perlu dijelaskan lagi siapa itu Fahrez Gananda. Laki-laki berwajah tampan nan ramah, dengan tinggi setara Arga. Sikapnya yang penuh pesona mampu menarik ribuan wanita dalam sekali pandang. Fahrez bisa dikatakan sempurna, tak hanya dari fisiknya, tetapi juga latar belakang keluarganya yang mendukung—bukan dari kelas rendahan.
Fahrez dan Estria adalah teman semasa SMP. Saking dekatnya, mereka mendirikan sebuah klub musik bersama, melatih anak-anak bermain piano. Mereka sering memenangkan kompetisi dan selalu menjadi bahan perbincangan publik.
Mereka adalah superstar. Mereka bermain dari hati. Mereka sangat serasi.
“Tuan Fahrez ada di ruang tamu.”
Tria menarik napas panjang dan memantapkan hati. Berusaha tetap terlihat biasa-biasa saja, meski di dalam hati ia masih galau merana karena tugas skripsinya yang belum selesai.
Di ruang tamu, Fahrez duduk sopan sambil menikmati segelas minuman. Tria sempat terpana. Manik mata Fahrez berwarna kecokelatan, berkilau di bawah cahaya lampu. Hidungnya yang mancung tampak sempurna, bibirnya berbentuk hati, membuatnya tampak begitu mempesona. Dia adalah dewa nomor dua setelah Arga.
“Estria.” Fahrez bangkit cepat, senyumnya mengembang.
Tanpa diduga, Fahrez langsung memeluknya dengan erat, membungkus seluruh tubuh Tria dalam pelukan yang begitu hangat dan penuh keakraban.
Aduh! Nggak bisa napas!
“Aku dengar kau sedikit mengalami masalah mengenai ingatanmu, apa kau mengingatku?”
Tria tahu siapa laki-laki di depannya. Cerita dalam novel sudah memberi petunjuk, meskipun masih ada tanda tanya yang menggelayuti benaknya.
“A-aku tidak tahu.” Tria terpaksa berbohong.
“Aku Fahrez, teman kecilmu. Kita sering menghabiskan waktu bersama.”
“Oh….” Tria meremas tangan, agak gugup.
Fahrez tampak kecewa, sorot matanya yang penuh harapan menyiratkan kesedihan yang mendalam. Meskipun pelukannya sudah dilepaskan, tatapannya tetap menahan Tria dalam Cengkeraman. Ia tak mengalihkan pandangannya sama sekali.
“Jadi... bagaimana?”
Tria berkedip polos. “Apanya yang bagaimana?”
“Kau pasti tidak ingat, jadi aku akan menjelaskannya. Kita memiliki beberapa murid, dan mereka menanyakan keberadaan mu. Kita melatih orang-orang yang ingin belajar bermain piano.”
Seketika, alis Tria bertautan. Memang, ia sangat menyukai piano, tapi ia merasa tak layak untuk melatih orang lain. Kemampuannya masih jauh di bawah rata-rata. Ia pun masih membutuhkan bimbingan, bukan menjadi pembimbing.
“Hm… aku… sepertinya tidak bisa.” Tria menunduk dalam. “Aku tidak ingat apa-apa. Semuanya hilang.”
“Jadi kau akan berhenti?”
“Mungkin begitu.”
“Estria, bermain piano adalah kesukaanmu. Kau sudah berusaha keras sampai ke titik ini. Tolong, jangan berhenti.”
“Ta-tapi… aku sama sekali tidak ingat. Aku mungkin butuh waktu untuk mempelajarinya kembali.” Tria memandang nanar.
Fahrez tidak berputus asa, dia meraih tangan Tria dan menggenggamnya kuat. “Kalau begitu aku akan mengajarimu sampai kau bisa. Ini hanya masalah waktu, pelan-pelan kau akan mengingatnya kembali.”
Tanpa sadar Tria berekspresi masam. “Kau yakin?”
“Aku yakin,” ucap Fahrez mantap. “Semua orang menunggumu.”
Tria merasa berat. Tak ada yang bisa menenangkan hatinya di saat seperti ini. Keberadaan dirinya seakan terperangkap di antara dua dunia. Ia berusaha melepaskan diri, namun misi yang diberikan padanya terus menghantuinya. Tidak mungkin ia bisa membagi fokusnya dua kali.
“Apa kau sudah selesai?” suara Arga terdengar tiba-tiba, memecah suasana yang mulai canggung.
Pertanyaan itu langsung mengarah pada Fahrez. Dalam sekejap, atmosfer di ruangan itu berubah menjadi tegang. Tria bisa merasakan ada hawa hitam yang melingkupi dirinya. Tidak bisa disangkal bahwa ada permusuhan antara Arga dan Fahrez, meski permusuhan itu tidak tampak secara langsung.
“Aku sebenarnya masih ingin mengobrol dengan Estria,” kata Fahrez, masih menggenggam tangan Tria dengan erat.
“Ini sudah malam, Estria harus beristirahat.” Arga tak menoleh sedikit pun ke arah Fahrez, kesombongannya sudah mendarah daging.
“Apa kau yakin dia akan beristirahat?” Fahrez menatap tajam, seolah menantang.
“Apa maksudmu?” Arga mulai mengeraskan suara.
Fahrez memberanikan diri. “Jangan kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan kepada Estria.”
“Itu bukan urusanmu,” jawab Arga dengan dingin, namun ada tanda ketegangan di matanya.
“Urusan Estria adalah urusanku juga,” balas Fahrez, suaranya semakin tajam.
Arga dan Fahrez saling bertatap mata. Tria menelan ludah, merasa harus segera memisahkan keduanya. Jika tidak, bisa jadi semuanya akan berubah menjadi kekacauan. Dengan cepat, ia berkata, “Fahrez, kita akan bicara lain kali. Kau pulanglah dulu.”
Hanya satu kali permohonan dari Tria, Fahrez akhirnya melepas genggamannya. Ia mengusap lembut pucuk kepala Tria, memberikan senyum yang penuh arti. “Hubungi aku jika ada sesuatu, Estria. Aku selalu ada untukmu.”
Dengan langkah pelan, Fahrez keluar dari ruangan, meninggalkan Tria dan Arga dalam keheningan yang berat.
Tria diam, pikirannya penuh dengan banyak pertanyaan. Sebelum menikah, Estria tak pernah merasa apa-apa terhadap Arga. Ia bahkan sempat menolak perjodohan itu. Namun siapa sangka, Estria akhirnya mengungkapkan cinta dan bersedia menerima perlakuan kasar demi membuktikan kasih sayangnya? Mengapa Estria bisa begitu naif?
Dan yang lebih buruk lagi, sekarang Tria harus berpura-pura mencintai Arga. Sungguh sebuah kesialan yang luar biasa.
......................
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments