Aku Si Penjual Koran
Panas terik matahari kota Jakarta hari ini benar-benar sangat menyengat indra peraba. Entah berapa derajat celcius panas hari ini saat berada di dalam rongga kendaraan berempat yang telah dinyalakan pendingin namun, tak memberikan pengaruh bagi si pemilik mobil.
Suara klakson terdengar bergantian berbunyi dengan suara peringatan yang hampir sama. diiringi kemacetan yang panjang dan menyebar agak sedikit tak terkendali. Tak lupa juga dihiasi dengan asap kendaraan yang menyengat dan menyerbak mengotori rongga paru-paru yang sudah terasa sesak.
Bangunan kota Jakarta si pencakar langit seakan terlihat sedang menopang langit biru yang membentang di angkasa luas. Ini bukanlah sebuah puisi atau kalimat sebuah ungkapan dari seseorang tapi ini adalah sebuah pandangan apa yang pria yang sedang di dalam mobil hitam itu lihat.
Asap kendaraan yang menghitam berasal dari knalpot motor yang berbunyi nyaring itu berhasil membuat pria berjas hitam yang sejak tadi sedang duduk di kursi setirnya memilih untuk menutup jendela mobilnya.
"Panas sekali hari ini," komentarnya setelah ia melonggarkan dasi pada kerah bajunya.
Ia meneguk salivanya melewati kerongkongan yang terasa mengering hingga memutuskan meraih sebotol air yang ada di hadapannya. Ia membukanya cepat dan meminumnya beberapa teguk lalu kembali meletakkannya di tempat dimana ia mengambilnya.
Ia menunduk menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya berwarna hitam pekat itu yang nampak telah menunjukkan pukul 05.00 sore. Ia menghela nafas berar, seharusnya ia sudah ada di rumah sejak tadi tapi kemacetan parah ini mengakibatkannya sangat terlambat untuk tiba di rumah.
Bastian Aruma, itulah nama lengkap dari pria yang sejak tadi bergelut dengan pikirannya, memikirkan istri yang tentu saja akan menantinya di rumah apalagi ia tahu Vira, istrinya tidak akan makan siang jika dirinya belum tiba di rumah.
Bastian kembali menatap jam dan entah yang kesekian kalinya ia menghela nafas berat. Semakin lama ia di sini bisa-bisa maag istrinya itu kambuh lagi. Bastian sebenarnya sudah sejak tadi menyuruh istrinya untuk makan lebih dulu tapi Bastian tahu istrinya itu tidak ingin mendengarkan perkataannya. Makan bersama-sama selalu menjadi tujuan oleh istrinya.
Bastian bahagia memiliki istri yang baik dan perhatian seperti Vira. Wanita yang ia nikahi satu tahun yang lalu itu membawanya pada sebuah kebahagiaan yang selalu tergambar pada raut wajahnya. Bastian tahu wanita yang ia nikah setahun yang lalu itu bukanlah wanita yang ia pacari namun, ia menikahi gadis itu hanya kemauan Bapaknya saja.
Kemauan Bapaknya itu harus ia turuti karena ia tahu Bapaknya telah memiliki banyak jasa untuknya. Di dalam kehidupannya pria tua berumur 81 itu sangat berarti baginya. Bastian tidak akan pernah tahu bagaimana nasib kehidupannya jika tidak bertemu dengan pria tua itu yang kini ia anggap sebagai Bapak kandung sendiri walaupun pria itu tidak memiliki darah keturunan yang sama.
Tatapannya yang fokus menatap ke arah kendaraan yang berjajar rapi itu kini teralihkan saat suara anak-anak terdengar membuat Bastian menggerakkan kepalanya menatap ke arah bocah-bocah kecil yang nampak sedang menawarkan beberapa koran pada pengendara mobil.
Ada beberapa pengendara mobil yang nampak membeli beberapa koran yang bocah-bocah itu tawarkan dari mobil ke mobil dan memberikan uang recehan kepada bocah-bocah penjual koran itu.
Senyum yang membias bahagia di sudut bibir bocah-bocah berkulit sawo matang karena sengatan panas matahari kota Jakarta terlihat dengan jelas membuat Bastian juga ikut tersenyum. Bastian sangat tahu uang recehan yang menurut orang-orang kaya yang mereka berikan tidaklah memiliki makna apa-apa tapi tidak bagi bocah-bocah itu. Sekeping koin sangat berharga bagi mereka Bastian sangat tahu itu.
Tok tok tok!!!
Suara ketukan di permukaan kaca mobil terdengar membuat perhatian Bastian mengarah pada sosok bocah yang sedang berdiri di pintu mobilnya. Bastian tersenyum lalu ia membuka jendela kaca mobilnya hingga tak ada lagi penghalang antara ia dan bocah lelaki yang terlihat memeluk beberapa lembaran koran.
"Pak, mau beli koran? Harganya cuma lima ribu. Ini berita terbaru, pak. Ada beberapa berita tentang artis-artis yang selingkuh, tentang korupsi dan dunia artis."
Bastian tertawa kecil saat bocah kecil itu menjelaskan.
"Bapak bisa membaca koran sambil menunggu kemacetan ini berakhir. Saya tahu bapak pasti sangat bosan menunggu kemacetan ini."
"Saya lihat kemacetannya sangat panjang, pak-" bocah itu menunjuk ke arah depan sana membuat Bastian juga ikut menatap ke arah telunjuk bocah itu lalu bocah lelaki itu kembali bicara.
"Bapak pasti sangat bosan menunggu kemacetan jadi bapak bisa membaca koran sambil menunggu kemacetan. Bapak mau beli?"
Bastian mengangguk. Ia meraih dompet dan membukanya langsung di hadapan bocah lelaki itu. Sebelum ia menarik uang lembaran di dalam lipatan dompetnya kembali ia tutup membuat bocah lelaki yang sejak tadi menatap ke arah dompet kini dengan cepat menatap ke arah Bastian yang rupanya juga sedang menatap ke arah bocah itu.
"Apa kamu sudah makan?"
"Belum pak. Saya belum makan."
"Kenapa kamu belum makan?"
"Sejak tadi tidak ada yang laku, Pak."
Bastian mengangguk. Dia meraih uang lima puluh ribu lalu menjulurkannya ke arah bocah lelaki itu.
"Di mana kamu tinggal?"
"Saya tidak punya rumah."
"Lalu di mana kamu tidur?"
Kini bocah lelaki itu tak langsung menjawab. Ia nampak diam dengan gerakan bola matanya yang bergerak kiri kanan seakan sedang berpikir. Cukup lama bocah lelaki itu terdiam hingga akhirnya menjawab, "Saya tidur di depan toko."
"Benarkah?" tatap Bastian sedikit tak percaya.
Bocah lelaki itu mengangguk membuat Bastian ikut menganggukkan kepalanya dengan pelan lalu kembali bertanya, "Apa kau masih sekolah?"
"Tidak pak."
"Kenapa kamu tidak sekolah?"
"Saya tidak punya uang."
"Di mana ibu dan bapak kamu?"
"Ibu dan bapak saya telah meninggal."
"Benarkah?"
"Iya."
Mendengar hal itu membuat Bastian tertawa kecil lalu Bastian kembali mengangguk.
"Ini uangnya."
Bocah lelaki itu meraih uang yang dijulurkan oleh Bastian. Kedua mata bocah itu terlihat berbinar saat melihat uang berwarna biru itu berada di depan matanya.
"Saya tidak punya uang kecil. Apakah bapak punya uang kecil?"
Bastian menggeleng. Ia menutup dompet dan memasukkannya ke dalam kantong celana dan kembali menatap bocah lelaki itu.
"Saya tidak punya uang kecil untuk kamu dan aku tahu, nak kamu berjuang untuk kehidupan kamu."
"Kamu adalah anak yang baik tapi tidak ada anak yang baik jika ia berbohong. Saya tahu kamu ini masih punya kedua orang tua. Mereka masih hidup."
"Saya lihat sepertinya kamu juga tidak tinggal di depan-depan toko seperti apa yang kamu katakan dan oh iya, jangan lupa! Jangan berikan uang ini kepada bos besar yang telah menyuruh kamu menjual koran ini dan menyuruh kamu berbohong."
"Sembunyikan uang itu dan berikan kepada ibu kamu untuk membeli beras," lanjut Bastian.
Mendengar hal itu, bocah yang sejak tadi tersenyum karena telah mendapat uang kini raut wajahnya berubah menjadi datar, ada sedikit ketakutan yang terlihat pada wajahnya.
"Kenapa? Kenapa Bapak bisa tahu?"
Bastian tertawa kecil.
"Kenapa saya bisa tahu?" tanya Bastian lalu ia terdiam sejenak, cukup lama hingga bocah lelaki itu terlihat menggerakkan kepalanya mendekati Bastian.
Bastian kembali tersenyum lalu menatap ke arah bocah itu dan mengelus kepalanya.
"Saya tahu semuanya karena saya dulunya adalah si penjual koran."
"Sama seperti kamu," sambungnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments