3. Teman-teman Penjual Koran

Semakin berputarnya waktu semakin gelap pula suasana kota Jakarta yang tak pernah luput dari kata macet. Lampu-lampu siring jalan sebagai penerang jalanan kini nampak menyala menerangi jalan raya yang masih dipadati dengan banyaknya kendaraan yang berlalu lalang.

Begitu banyak kendaraan yang Jakarta ini punya bahkan jalanan yang panjang dan luas pun ini seakan tak bisa menampung banyaknya kendaraan. Bastian pernah berpikir untuk bisa memiliki mobil atau kendaraan yang orang-orang kaya itu punya namun, sayangnya saat ini Bastian hanya bisa berdiri mengetuk-ngetuk permukaan jendela kaca mobil untuk menawarkan koran dan beberapa tisu berharap ada yang membelinya.

Suara adzan merdu berkumandang. Suara klakson mobil terdengar bergantian seakan saling bersahutan. Mereka sepertinya tak sabar pulang ke rumah masing-masing. Aku berlari memotong jalanan bergaris putih saat lampu merah terlihat. Kali ini aku tidak sedang ingin menawarkan beberapa koran dan tisu yang hanya berkurang sedikit, tidak banyak tapi itu sudah sangat membuat aku bersyukur.

Di depan sana sudah ada bocah laki-laki yang usianya hampir sama sepertiku. Mereka juga nampak memeluk beberapa bungkus tisu serta koran yang mereknya tentu saja sama dengan yang Bastian miliki.

"Kenapa kamu lama sekali?"

Pertanyaan itu langsung terlontar dari anak laki-laki berbaju putih yang terlihat kumuh. Dia namanya Mandra. Tubuhnya terlihat kurus begitu sangat kecil bahkan aku merasa jika tubuh Mandra itu hanya dihuni oleh tulang saja.

Bastian bahkan baru menyadari saat ia telah tumbuh dewasa jika temannya itu ternyata adalah salah satu makhluk yang paling kotor. Lihat saja, ingus kering menempel pada hidungnya. Wajah lusuh dengan rambut yang berantakan dan bahkan sesekali ia nampak menggaruk-garuk kepalanya seakan tidak pernah mandi.

Anaknya sangat kotor terlebih lagi pada jari jari tangannya yang terlihat kotor seakan ia telah mengobrak-abrik tempat sampah. Kukukunya panjang dan menghitam seakan tidak pernah dipotong. Bastian bahkan tak menyangka jika ia pernah memiliki teman sekotor ini.

"Iya you lama banget. I jadi capek nunggunya," tambah teman Bastian yang satu lagi.

Hiraukan saja campuran kata-kata Inggrisnya itu. Bahasa planet itu kadang membuat Bastia pusing. Kali ini teman dekat Bastian agak berbeda dari Mandra.

Jika Mandra adalah anak yang begitu sangat kotor maka berbeda dengan Joy. Joy adalah anak orang kaya. Kulitnya putih bersih hanya saja ia sengaja memakai pakaian compang-camping agar ia jauh lebih terlihat seperti Bastian dan teman-temannya.

Namun tentu saja hal itu tidak membuatnya nampak seperti Bastian dan teman-temannya yang memang sudah miskin dan melarat sejak awal. Aura ketampanan dan kekayaannya tidak bisa hilang dari sosok Joy.

Joy itu adalah anak kompleks perumahan yang rata-rata adalah orang kaya. Joy bahkan merupakan anak dari seorang dokter dan ibunya yang merupakan sebuah pemilik butik. Tentu saja dia punya mobil yang banyak.

Bastian bahkan tidak mengerti mengapa anak seperti Joy yang hidup lebih dari kata cukup mau menjual koran dan tisu seperti Bastian dan teman-temannya. Entah karena kegabutan atau hanya ingin mencari pengalaman saja. Kalau alasan hanya untuk mencari uang jajan, Joy punya banyak uang. Ia bahkan sering mentraktir Bastian dan teman-teman yang lain untuk makan bakso di pinggir jalan selepas menjual koran dan tisu.

"Maaf teman-teman aku lupa kalau kalian menunggu di sini," Bastian menjawab sambil tersenyum dengan cengengesan.

Mendengar jawaban dari Bastian kedua temannya itu menggeleng lalu tak berselang lama mereka memilih melanjutkan perjalanan. Bukan hanya dua teman Bastian ini saja yang sangat dekat dengannya namun, ada beberapa.

"Bastian! Mandra! Joy! Tunggu!"

Teriakan itu terdengar membuat Bastian dan yang lainnya menghentikan langkah lalu menoleh menatap anak laki-laki bertubuh gempal sedang berlari memotong jalan.

Ia terlihat sedang menenteng radio berwarna putih yang sengaja ia letakkan di atas bahunya sementara tangan yang satu sengaja memeluk beberapa lembar koran yang nampaknya terlihat menipis. Bastian akui anak bertubuh gempal yang hampir mirip teman kera sakti yang menyerupai sosok babi itu pandai dalam menjual koran. Entah iya apakan pembeli sampai mau membeli korannya.

"Tumben kau lama?" tanya Bastian pada teman gendutnya itu. Namanya Badrul, hobinya hanya makan saja.

"Aku lihat tadi ada kecelakaan."

"Mati? tanya Bastian tanpa basa-basi.

"Tidak."

"Dibawa ke rumah sakit?"

"Tidak," jawabnya sedikit kebingungan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Lalu?" tanya Bastian yang penasaran.

"Hanya dijemput ambulans."

Joy menepuk jidatnya itu lalu berujar, "Itu berarti dia dibawa ke hospital."

"Hospital?" sebutnya dengan logat khas Indonesia yang begitu kaku dalam mengucapkan kalimat bahasa Inggris.

"Hospital bukan hospital," ujar Bastian membenarkan sambil memonyong-monyongkan bibirnya membuat Badrul mengernyit bingung.

"Memangnya parah orang yang kecelakaan itu?" tanya Mandra yang akhirnya ikut bicara.

"Tidak hanya saja kepalanya pecah."

"Berdarah?"

"Berdarah," jawabnya enteng.

Setelahnya Bastian dan teman-temannya itu melajukan langkahnya menuju ke tempat bos besar.

"Hai si kecil!" Mandra meneriaki bocah kecil berusia 6 tahun yang nampak masih menjajakan beberapa koran dan tisu dari mobil ke mobil.

Bocah kecil itu menoleh lalu berlari ke arah mereka. Dia adalah sahabat Bastian beserta teman-temannya yang lain. Dalam persahabatan, anak kecil itu, Sodiq yang paling mudah serta tubuhnya yang paling kecil di antara mereka berlima.

Saking kecilnya tubuh Sodiq ketika ia berdiri tubuhnya hanya sampai di bagian bawah tulang rusuk Bastian dan teman-temannya. Dia juga salah satunya anak penjual koran yang jualannya cepat laku. Mungkin karena merasa kasihan atau merasa lucu melihat anak sekecil itu menjual koran dan tisu di jalan yang begitu dipadati dengan kendaraan.

Bagi Bastian Sodiq adalah anak yang hidupnya paling menyedihkan tapi tentu saja semua kehidupan teman-temannya juga menyedihkan kecuali Joy yang hanya berusaha mencari kepedihan namun, kehidupan Sodiq benar-benar begitu menyedihkan.

Sodiq adalah anak kecil yang harus membanting tulang mencari uang untuk menghidupi neneknya. Bastian pernah mendengar cerita jika Sodiq dititipkan kepada neneknya lalu kedua orang tuanya itu pergi merantau dan sampai sekarang mereka belum juga kembali dari perantauan.

Tak ada telepon, tak ada surat, tak ada kiriman uang dan tak ada kabar. Mereka semua seakan benar-benar hilang bagai ditelan oleh bumi dan Sodiq pun tak pernah sekalipun berniat untuk mencari sosok kedua orang tuanya itu. Entahlah mungkin ia akan mencarinya jika ia telah tumbuh dewasa nanti.

Walaupun kehidupan Sodiq begitu menyedihkan tapi kesedihan itu tak pernah terpampang di wajah yang begitu masih lugu. Anak laki-laki itu selalu terlihat tersenyum dan jarang sekali menangis bahkan nyaris tidak pernah bersedih atau menitipkan air mata kecuali jika ia dibentak oleh pak bos.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!