NovelToon NovelToon

Aku Si Penjual Koran

Bab 1. Teringat Kisah

Panas terik matahari kota Jakarta hari ini benar-benar sangat menyengat indra peraba. Entah berapa derajat celcius panas hari ini saat berada di dalam rongga kendaraan berempat yang telah dinyalakan pendingin namun, tak memberikan pengaruh bagi si pemilik mobil.

Suara klakson terdengar bergantian berbunyi dengan suara peringatan yang hampir sama. diiringi kemacetan yang panjang dan menyebar agak sedikit tak terkendali. Tak lupa juga dihiasi dengan asap kendaraan yang menyengat dan menyerbak mengotori rongga paru-paru yang sudah terasa sesak.

Bangunan kota Jakarta si pencakar langit seakan terlihat sedang menopang langit biru yang membentang di angkasa luas. Ini bukanlah sebuah puisi atau kalimat sebuah ungkapan dari seseorang tapi ini adalah sebuah pandangan apa yang pria yang sedang di dalam mobil hitam itu lihat.

Asap kendaraan yang menghitam berasal dari knalpot motor yang berbunyi nyaring itu berhasil membuat pria berjas hitam yang sejak tadi sedang duduk di kursi setirnya memilih untuk menutup jendela mobilnya.

"Panas sekali hari ini," komentarnya setelah ia melonggarkan dasi pada kerah bajunya.

Ia meneguk salivanya melewati kerongkongan yang terasa mengering hingga memutuskan meraih sebotol air yang ada di hadapannya. Ia membukanya cepat dan meminumnya beberapa teguk lalu kembali meletakkannya di tempat dimana ia mengambilnya.

Ia menunduk menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya berwarna hitam pekat itu yang nampak telah menunjukkan pukul 05.00 sore. Ia menghela nafas berar, seharusnya ia sudah ada di rumah sejak tadi tapi kemacetan parah ini mengakibatkannya sangat terlambat untuk tiba di rumah.

Bastian Aruma, itulah nama lengkap dari pria yang sejak tadi bergelut dengan pikirannya, memikirkan istri yang tentu saja akan menantinya di rumah apalagi ia tahu Vira, istrinya tidak akan makan siang jika dirinya belum tiba di rumah.

Bastian kembali menatap jam dan entah yang kesekian kalinya ia menghela nafas berat. Semakin lama ia di sini bisa-bisa maag istrinya itu kambuh lagi. Bastian sebenarnya sudah sejak tadi menyuruh istrinya untuk makan lebih dulu tapi Bastian tahu istrinya itu tidak ingin mendengarkan perkataannya. Makan bersama-sama selalu menjadi tujuan oleh istrinya.

Bastian bahagia memiliki istri yang baik dan perhatian seperti Vira. Wanita yang ia nikahi satu tahun yang lalu itu membawanya pada sebuah kebahagiaan yang selalu tergambar pada raut wajahnya. Bastian tahu wanita yang ia nikah setahun yang lalu itu bukanlah wanita yang ia pacari namun, ia menikahi gadis itu hanya kemauan Bapaknya saja.

Kemauan Bapaknya itu harus ia turuti karena ia tahu Bapaknya telah memiliki banyak jasa untuknya. Di dalam kehidupannya pria tua berumur 81 itu sangat berarti baginya. Bastian tidak akan pernah tahu bagaimana nasib kehidupannya jika tidak bertemu dengan pria tua itu yang kini ia anggap sebagai Bapak kandung sendiri walaupun pria itu tidak memiliki darah keturunan yang sama.

Tatapannya yang fokus menatap ke arah kendaraan yang berjajar rapi itu kini teralihkan saat suara anak-anak terdengar membuat Bastian menggerakkan kepalanya menatap ke arah bocah-bocah kecil yang nampak sedang menawarkan beberapa koran pada pengendara mobil.

Ada beberapa pengendara mobil yang nampak membeli beberapa koran yang bocah-bocah itu tawarkan dari mobil ke mobil dan memberikan uang recehan kepada bocah-bocah penjual koran itu.

Senyum yang membias bahagia di sudut bibir bocah-bocah berkulit sawo matang karena sengatan panas matahari kota Jakarta terlihat dengan jelas membuat Bastian juga ikut tersenyum. Bastian sangat tahu uang recehan yang menurut orang-orang kaya yang mereka berikan tidaklah memiliki makna apa-apa tapi tidak bagi bocah-bocah itu. Sekeping koin sangat berharga bagi mereka Bastian sangat tahu itu.

Tok tok tok!!!

Suara ketukan di permukaan kaca mobil terdengar membuat perhatian Bastian mengarah pada sosok bocah yang sedang berdiri di pintu mobilnya. Bastian tersenyum lalu ia membuka jendela kaca mobilnya hingga tak ada lagi penghalang antara ia dan bocah lelaki yang terlihat memeluk beberapa lembaran koran.

"Pak, mau beli koran? Harganya cuma lima ribu. Ini berita terbaru, pak. Ada beberapa berita tentang artis-artis yang selingkuh, tentang korupsi dan dunia artis."

Bastian tertawa kecil saat bocah kecil itu menjelaskan.

"Bapak bisa membaca koran sambil menunggu kemacetan ini berakhir. Saya tahu bapak pasti sangat bosan menunggu kemacetan ini."

"Saya lihat kemacetannya sangat panjang, pak-" bocah itu menunjuk ke arah depan sana membuat Bastian juga ikut menatap ke arah telunjuk bocah itu lalu bocah lelaki itu kembali bicara.

"Bapak pasti sangat bosan menunggu kemacetan jadi bapak bisa membaca koran sambil menunggu kemacetan. Bapak mau beli?"

Bastian mengangguk. Ia meraih dompet dan membukanya langsung di hadapan bocah lelaki itu. Sebelum ia menarik uang lembaran di dalam lipatan dompetnya kembali ia tutup membuat bocah lelaki yang sejak tadi menatap ke arah dompet kini dengan cepat menatap ke arah Bastian yang rupanya juga sedang menatap ke arah bocah itu.

"Apa kamu sudah makan?"

"Belum pak. Saya belum makan."

"Kenapa kamu belum makan?"

"Sejak tadi tidak ada yang laku, Pak."

Bastian mengangguk. Dia meraih uang lima puluh ribu lalu menjulurkannya ke arah bocah lelaki itu.

"Di mana kamu tinggal?"

"Saya tidak punya rumah."

"Lalu di mana kamu tidur?"

Kini bocah lelaki itu tak langsung menjawab. Ia nampak diam dengan gerakan bola matanya yang bergerak kiri kanan seakan sedang berpikir. Cukup lama bocah lelaki itu terdiam hingga akhirnya menjawab, "Saya tidur di depan toko."

"Benarkah?" tatap Bastian sedikit tak percaya.

Bocah lelaki itu mengangguk membuat Bastian ikut menganggukkan kepalanya dengan pelan lalu kembali bertanya, "Apa kau masih sekolah?"

"Tidak pak."

"Kenapa kamu tidak sekolah?"

"Saya tidak punya uang."

"Di mana ibu dan bapak kamu?"

"Ibu dan bapak saya telah meninggal."

"Benarkah?"

"Iya."

Mendengar hal itu membuat Bastian tertawa kecil lalu Bastian kembali mengangguk.

"Ini uangnya."

Bocah lelaki itu meraih uang yang dijulurkan oleh Bastian. Kedua mata bocah itu terlihat berbinar saat melihat uang berwarna biru itu berada di depan matanya.

"Saya tidak punya uang kecil. Apakah bapak punya uang kecil?"

Bastian menggeleng. Ia menutup dompet dan memasukkannya ke dalam kantong celana dan kembali menatap bocah lelaki itu.

"Saya tidak punya uang kecil untuk kamu dan aku tahu, nak kamu berjuang untuk kehidupan kamu."

"Kamu adalah anak yang baik tapi tidak ada anak yang baik jika ia berbohong. Saya tahu kamu ini masih punya kedua orang tua. Mereka masih hidup."

"Saya lihat sepertinya kamu juga tidak tinggal di depan-depan toko seperti apa yang kamu katakan dan oh iya, jangan lupa! Jangan berikan uang ini kepada bos besar yang telah menyuruh kamu menjual koran ini dan menyuruh kamu berbohong."

"Sembunyikan uang itu dan berikan kepada ibu kamu untuk membeli beras," lanjut Bastian.

Mendengar hal itu, bocah yang sejak tadi tersenyum karena telah mendapat uang kini raut wajahnya berubah menjadi datar, ada sedikit ketakutan yang terlihat pada wajahnya.

"Kenapa? Kenapa Bapak bisa tahu?"

Bastian tertawa kecil.

"Kenapa saya bisa tahu?" tanya Bastian lalu ia terdiam sejenak, cukup lama hingga bocah lelaki itu terlihat menggerakkan kepalanya mendekati Bastian.

Bastian kembali tersenyum lalu menatap ke arah bocah itu dan mengelus kepalanya.

"Saya tahu semuanya karena saya dulunya adalah si penjual koran."

"Sama seperti kamu," sambungnya.

2. Aku Bocah Itu

Suara klakson terdengar begitu nyaring di indra pendengaran saat beberapa pengendara membunyikan klakson sebagai teguran kepada para pengendara yang berada paling depan jika lampu merah telah berganti menjadi lampu hijau membuat kendaraan berlalu begitu saja.

Bocah dengan pakaian lusuh dan terdapat kotoran debu yang membuat pakaian itu terlihat sangat kotor serta beberapa lembar koran yang ada di pelukannya. Bocah itu terlihat menepi di pinggir jalan tepatnya di bawah lampu merah sambil menyandarkan tubuhnya di sebuah tiang lampu.

Pandangannya menatap ke arah lampu merah dengan harapan agar lampu hijau itu berubah menjadi lampu merah. Bocah berusia 10 tahun itu memiliki kulit yang berwarna sawo matang, ini tanda bukti bagaimana sadisnya panas terik matahari membakar permukaan kulit bocah itu hingga berhasil merubah warna kulit asli bocah itu.

Kini lampu hijau itu berubah menjadi warna orange hingga berubah menjadi merah. Hingga kendaraan yang begitu banyak terhenti menanti lampu hijau dan inilah yang menjadi kesempatan bagi bocah lelaki yang menggunakan topi berwarna biru itu yang agak kebesaran di kepalanya.

Ini bukanlah topi milik dirinya sendiri melainkan topi ini ia dapat di jalanan. Mungkin saja pemiliknya tidak sadar jika topinya itu terjatuh ke aspal namanya Bastian. Ya bocah bertubuh agak kurus dengan penampilan begitu gagah. Anggap saja bocah itu adalah tulang besi. harus punya banyak ketahanan tubuh untuk menghadapi dunia ini.

Perlu kalian ketahui lagi jika bocah itu bernama Bastian. Ya bocah itu adalah pria yang berada di dalam mobil itu. Bastian dulunya adalah seorang bocah miskin yang setiap harinya harus menjual koran pada para pengendara bermobil maupun bermotor.

Kini kegiatannya dahulu seperti apa yang ia lakukan sekaranh yang sedang menawarkan beberapa koran beserta beberapa bungkus tissue kepada para pengendara bermotor dan bermobil. Ia mendatangi mobil ke mobil dan beberapa kendaraan lainnya mengharapkan seseorang bisa membeli beberapa koran dan juga tisu yang ada di pelukannya.

"Bapak mau baca koran? Korannya sangat bagus. Ada berita yang sempat viral berada di koran ini."

Itu yang Bastian katakan pada seorang lelaki berkumis tebal yang berada di dalam mobil sambil memegang setir mobilnya. Pria berkumis tebal itu menatap risih serta sinis ataupun tidak suka kepada Bastian yang masih berdiri di depan kaca jendela mobilnya.

"Bapak mau beli?" tawar Bastian lagi lalu tak berselang lama pria berkumis tebal itu menggerakkan jemarinya berusaha untuk mengusir Bastian.

"Harganya tidak mahal, kok pak nanti ada potongan harga," jelas Bastian tidak mudah menyerah.

"Tidak, tidak!" jawabnya dengan ketus tanpa menoleh menatap Bastian.

"Harganya cuma sepuluh ribu dua, ini sudah harga yang paling murah, pak. Kalau bapak beli di toko harganya lebih mahal."

Pria itu menatap sekilas lalu memasang wajah kesal.

"Sudah kubilang aku tidak mau. Sana pergi!" usir pria itu lalu menaikkan kaca jendela mobilnya membuat Bastian menghela nafas panjang.

Dasar pria pelit. Memangnya dia tidak tahu jika bocah seperti ini sangat membutuhkan yang namanya uang. Ataupun mungkin saja pria tua itu memiliki hati seperti batu yang tidak memiliki rasa simpati sesama manusia. Mungkin seperti ini sebagian orang yang tinggal di Jakarta, tidak semuanya tapi hampir sama rata. Bagi Bastian tak ada lagi manusia yang berhati baik seperti malaikat yang datang dan memberikannya uang banyak. Ya sepertinya malaikat yang asli juga tidak akan melakukannya.

"Bu, ibu mau beli tisu atau koran?" tawar Bastian pada seorang wanita yang masih berada di dalam mobilnya.

Wanita itu tak menjawab. Ia terlihat menatap Bastian sejenak lalu meraih beberapa lembar uang dan langsung menjulurkan ke arah Bastian.

Baru saja Bastian ingin meraih uang itu tiba-tiba dengan sengaja wanita itu melepas pegangannya dari ujung lembaran uang hingga uang itu terjatuh ke aspal membuat Bastian dengan cepat menunduk untuk meraih uang itu.

Setelah ia bangkit ia bisa melihat jika kaca mobil wanita itu telah ditutup dengan rapat hingga Bastian tak mampu lagi melihat sosok wanita itu seperti tadi. Bastian tersenyum melihat lembaran uang yang nilainya tidak terlalu besar telah berada di dalam genggaman.

Bastian mengetuk-ngetuk permukaan jendela kaca mobil yang begitu sangat gelap dan hanya menampakkan pantulan wajahnya di sana. Tak berselang lama mobil itu melaju pergi meninggalkan Bastian yang kini dengan cepat berlari ke sirin jalan setelah mengetahui jika lampu yang berwarna merah itu telah berganti menjadi warna hijau dan itu berarti Bastian harus kembali berdiri di bawah tiang lampu merah.

Bastian memasukkan beberapa lembar uang ke dalam saku celananya. Ya seperti biasa seseorang memberikan uang secara percuma. Mungkin saja wanita itu mengira jika ia ingin meminta-minta sama seperti beberapa orang dewasa yang sedang menjulurkan jemari tangannya meminta uang kepada para pejalan kaki maupun para pengendara yang lain sambil memainkan musik yang terbuat dari penutup lombok botol lebih tepatnya adalah pengamen.

Di sini ada begitu banyak pengamen jalanan yang tak terhitung jumlahnya bahkan ada beberapa orang yang tidak berasal dari Jakarta asli melainkan dari beberapa daerah yang datang sengaja ke Jakarta hanya untuk mengamen atau meminta-minta kepada orang yang ada di sini.

Mungkin mereka pikir orang Jakarta kebanyakan adalah orang kaya tapi sepertinya bagi Bastian itu tidaklah benar bahkan banyak orang Jakarta yang hidupnya seperti yang sekarang Bastian rasakan. Hidup melarat dan menghabiskan waktunya di bawah terik panas matahari.

Jangan ragukan lagi bagaimana kehidupan Bastian yang setiap harinya penuh dengan kelelahan. Lihat saja sekarang cucuran keringat yang membasahi wajahnya tidak menghiraukan atau menurunkan rasa semangatnya. Ketika lampu merah berubah menjadi warna hijau dia kembali melakukan aksinya dengan menawarkan beberapa koran dan juga tisu pada pengendara yang sedang menanti lampu hijau.

Bukan hanya Bastian seorang diri yang melakukan hal ini seperti menawarkan koran atau tisu kepada orang-orang tetapi ada begitu banyak anak-anak yang melakukan hal ini. Bukan hanya ada satu tapi Bastian pernah menghitungnya sekitar ada 30-an anak.

Kaki yang tak menggunakan alas kaki itu harus dipaksakan menyengat panasnya terik matahari yang membakar permukaan aspal bersamaan dengan telapak kakinya yang perlahan menebal. Mungkin ini menyakitkan bagi kulit tebal yang terdapat sedikit pecah-pecahan di bagian tumit kaki dan bagi Bastian ini sudah sangat biasa bagi sosok anak sepertinya.

Mengeluh bukanlah bagian dari dirinya karena sesungguhnya keadaan yang penuh dengan kepahitan ini memaksakan bocah sepertinya itu harus lebih kuat dari umurnya yang masih terbilang masih kecil.

3. Teman-teman Penjual Koran

Semakin berputarnya waktu semakin gelap pula suasana kota Jakarta yang tak pernah luput dari kata macet. Lampu-lampu siring jalan sebagai penerang jalanan kini nampak menyala menerangi jalan raya yang masih dipadati dengan banyaknya kendaraan yang berlalu lalang.

Begitu banyak kendaraan yang Jakarta ini punya bahkan jalanan yang panjang dan luas pun ini seakan tak bisa menampung banyaknya kendaraan. Bastian pernah berpikir untuk bisa memiliki mobil atau kendaraan yang orang-orang kaya itu punya namun, sayangnya saat ini Bastian hanya bisa berdiri mengetuk-ngetuk permukaan jendela kaca mobil untuk menawarkan koran dan beberapa tisu berharap ada yang membelinya.

Suara adzan merdu berkumandang. Suara klakson mobil terdengar bergantian seakan saling bersahutan. Mereka sepertinya tak sabar pulang ke rumah masing-masing. Aku berlari memotong jalanan bergaris putih saat lampu merah terlihat. Kali ini aku tidak sedang ingin menawarkan beberapa koran dan tisu yang hanya berkurang sedikit, tidak banyak tapi itu sudah sangat membuat aku bersyukur.

Di depan sana sudah ada bocah laki-laki yang usianya hampir sama sepertiku. Mereka juga nampak memeluk beberapa bungkus tisu serta koran yang mereknya tentu saja sama dengan yang Bastian miliki.

"Kenapa kamu lama sekali?"

Pertanyaan itu langsung terlontar dari anak laki-laki berbaju putih yang terlihat kumuh. Dia namanya Mandra. Tubuhnya terlihat kurus begitu sangat kecil bahkan aku merasa jika tubuh Mandra itu hanya dihuni oleh tulang saja.

Bastian bahkan baru menyadari saat ia telah tumbuh dewasa jika temannya itu ternyata adalah salah satu makhluk yang paling kotor. Lihat saja, ingus kering menempel pada hidungnya. Wajah lusuh dengan rambut yang berantakan dan bahkan sesekali ia nampak menggaruk-garuk kepalanya seakan tidak pernah mandi.

Anaknya sangat kotor terlebih lagi pada jari jari tangannya yang terlihat kotor seakan ia telah mengobrak-abrik tempat sampah. Kukukunya panjang dan menghitam seakan tidak pernah dipotong. Bastian bahkan tak menyangka jika ia pernah memiliki teman sekotor ini.

"Iya you lama banget. I jadi capek nunggunya," tambah teman Bastian yang satu lagi.

Hiraukan saja campuran kata-kata Inggrisnya itu. Bahasa planet itu kadang membuat Bastia pusing. Kali ini teman dekat Bastian agak berbeda dari Mandra.

Jika Mandra adalah anak yang begitu sangat kotor maka berbeda dengan Joy. Joy adalah anak orang kaya. Kulitnya putih bersih hanya saja ia sengaja memakai pakaian compang-camping agar ia jauh lebih terlihat seperti Bastian dan teman-temannya.

Namun tentu saja hal itu tidak membuatnya nampak seperti Bastian dan teman-temannya yang memang sudah miskin dan melarat sejak awal. Aura ketampanan dan kekayaannya tidak bisa hilang dari sosok Joy.

Joy itu adalah anak kompleks perumahan yang rata-rata adalah orang kaya. Joy bahkan merupakan anak dari seorang dokter dan ibunya yang merupakan sebuah pemilik butik. Tentu saja dia punya mobil yang banyak.

Bastian bahkan tidak mengerti mengapa anak seperti Joy yang hidup lebih dari kata cukup mau menjual koran dan tisu seperti Bastian dan teman-temannya. Entah karena kegabutan atau hanya ingin mencari pengalaman saja. Kalau alasan hanya untuk mencari uang jajan, Joy punya banyak uang. Ia bahkan sering mentraktir Bastian dan teman-teman yang lain untuk makan bakso di pinggir jalan selepas menjual koran dan tisu.

"Maaf teman-teman aku lupa kalau kalian menunggu di sini," Bastian menjawab sambil tersenyum dengan cengengesan.

Mendengar jawaban dari Bastian kedua temannya itu menggeleng lalu tak berselang lama mereka memilih melanjutkan perjalanan. Bukan hanya dua teman Bastian ini saja yang sangat dekat dengannya namun, ada beberapa.

"Bastian! Mandra! Joy! Tunggu!"

Teriakan itu terdengar membuat Bastian dan yang lainnya menghentikan langkah lalu menoleh menatap anak laki-laki bertubuh gempal sedang berlari memotong jalan.

Ia terlihat sedang menenteng radio berwarna putih yang sengaja ia letakkan di atas bahunya sementara tangan yang satu sengaja memeluk beberapa lembar koran yang nampaknya terlihat menipis. Bastian akui anak bertubuh gempal yang hampir mirip teman kera sakti yang menyerupai sosok babi itu pandai dalam menjual koran. Entah iya apakan pembeli sampai mau membeli korannya.

"Tumben kau lama?" tanya Bastian pada teman gendutnya itu. Namanya Badrul, hobinya hanya makan saja.

"Aku lihat tadi ada kecelakaan."

"Mati? tanya Bastian tanpa basa-basi.

"Tidak."

"Dibawa ke rumah sakit?"

"Tidak," jawabnya sedikit kebingungan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Lalu?" tanya Bastian yang penasaran.

"Hanya dijemput ambulans."

Joy menepuk jidatnya itu lalu berujar, "Itu berarti dia dibawa ke hospital."

"Hospital?" sebutnya dengan logat khas Indonesia yang begitu kaku dalam mengucapkan kalimat bahasa Inggris.

"Hospital bukan hospital," ujar Bastian membenarkan sambil memonyong-monyongkan bibirnya membuat Badrul mengernyit bingung.

"Memangnya parah orang yang kecelakaan itu?" tanya Mandra yang akhirnya ikut bicara.

"Tidak hanya saja kepalanya pecah."

"Berdarah?"

"Berdarah," jawabnya enteng.

Setelahnya Bastian dan teman-temannya itu melajukan langkahnya menuju ke tempat bos besar.

"Hai si kecil!" Mandra meneriaki bocah kecil berusia 6 tahun yang nampak masih menjajakan beberapa koran dan tisu dari mobil ke mobil.

Bocah kecil itu menoleh lalu berlari ke arah mereka. Dia adalah sahabat Bastian beserta teman-temannya yang lain. Dalam persahabatan, anak kecil itu, Sodiq yang paling mudah serta tubuhnya yang paling kecil di antara mereka berlima.

Saking kecilnya tubuh Sodiq ketika ia berdiri tubuhnya hanya sampai di bagian bawah tulang rusuk Bastian dan teman-temannya. Dia juga salah satunya anak penjual koran yang jualannya cepat laku. Mungkin karena merasa kasihan atau merasa lucu melihat anak sekecil itu menjual koran dan tisu di jalan yang begitu dipadati dengan kendaraan.

Bagi Bastian Sodiq adalah anak yang hidupnya paling menyedihkan tapi tentu saja semua kehidupan teman-temannya juga menyedihkan kecuali Joy yang hanya berusaha mencari kepedihan namun, kehidupan Sodiq benar-benar begitu menyedihkan.

Sodiq adalah anak kecil yang harus membanting tulang mencari uang untuk menghidupi neneknya. Bastian pernah mendengar cerita jika Sodiq dititipkan kepada neneknya lalu kedua orang tuanya itu pergi merantau dan sampai sekarang mereka belum juga kembali dari perantauan.

Tak ada telepon, tak ada surat, tak ada kiriman uang dan tak ada kabar. Mereka semua seakan benar-benar hilang bagai ditelan oleh bumi dan Sodiq pun tak pernah sekalipun berniat untuk mencari sosok kedua orang tuanya itu. Entahlah mungkin ia akan mencarinya jika ia telah tumbuh dewasa nanti.

Walaupun kehidupan Sodiq begitu menyedihkan tapi kesedihan itu tak pernah terpampang di wajah yang begitu masih lugu. Anak laki-laki itu selalu terlihat tersenyum dan jarang sekali menangis bahkan nyaris tidak pernah bersedih atau menitipkan air mata kecuali jika ia dibentak oleh pak bos.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!