Suara Azan di masjid itu terdengar berkumandang di malam ini beberapa orang-orang yang nampak menggunakan taluku nampak berbondong-bondong menuju ke arah masjid hari semakin gelap penerang lampu kiri benar-benar telah dinyalakan kini mereka
Bastian dan ke empat sahabat penjual korannya itu kini melangkah bersama menuju pulang ke rumah masing-masing. Setiap langkah yang berlalu terdapat canda tawa yang menemani setiap langkah mereka hingga candaan itu terhenti saat mereka berada di warung. Tempat ini merupakan tempat dimana mereka selalu membeli makanan untuk mereka bawa pulang ke rumah dari hasil mereka menjual koran dan tisu.
"Ada beras Koh?" tanya Sodiq setibanya ia di warung.
Ia menatap pria yang menggunakan topi ciri khas orang Cina itu. Namanya adalah koh Li, pria berumur sekitar 60-an tahun itu memiliki mata yang sipit sipit dengan rambut beruban.
"Lu cai apa tadi?"
"Cari beras, Koh. Ada?"
"Ada belas. Di sini telus ada belas. Lu mau berapa liter a?" tanya Koh Li yang nampak sibuk menghitung beberapa lembar uang yang ada pada tangannya.
"Satu liter saja, Koh."
"Satu liter a?"
"Iya Koh."
"Saya juga, Koh. Berasnya satu liter," sahut Bastian sambil mengacungkan jarinya.
Sementara yang lainnya terlihat sedang memunguti satu persatu barang yang akan mereka beli. Bastian kini terdiam menanti koh Li yang nampak mengisi literan yang terbuat dari besi itu dengan beras.
Bastian menoleh menatap Mandra dan Badrul yang memegang beberapa bungkus mi sementara Joy hanya nampak terdiam menanti teman-temannya selesai berbelanja.
"Kau tidak ingin beli sesuatu, Joy?" tanya Bastian.
"No. I nggak mau beli apa-apa."
Bastian mengangguk.
"Oh iya kayaknya kita semua harus balik ke rumah, deh soalnya kalau jam delapan Mommy sama Papi udah balik dari tempat kerja."
Bastian mengangguk lalu dengan buru-buru ia yang mengeluarkan uang dari saku celananya dan memberikannya kepada koh Li tak lupa juga ia membeli beberapa bungkus mie untuk dimakan malam ini.
Setelah cukup kini mereka melanjutkan perjalanan. Untung saja jalan ke rumah mereka searah jadi mereka bisa pulang bersama-sama.
Joy lebih dulu tiba di rumahnya. Kini mereka telah berada di kompleks yang rata-ratanya adalah orang kaya. Banyak rumah-rumah tinggi bertingkat dan memiliki pagar yang tinggi-tinggi, tak kalah tinggi dengan rumah Joy.
Bastian dan teman-teman lainnya saat pertama kali melihat rumah Joy terkejut bukan main. Mereka semua rata-rata yang hanya memiliki rumah kecil dan sempit tak menyangka jika Joy, teman si penjual koran itu yang sama sepertinya memiliki rumah yang begitu sangat megah.
Bagi mereka ini bukan hanya sebuah rumah tapi istana. Istana yang mereka sering bayangkan dan ia lihat bersama dengan teman-teman yang lainnya.
Mereka pernah melihat rumah-rumah besar di TV milik koh Li saat mereka singgah untuk membeli beras dan perlengkapan lainnya.
"Kalian tidak mau singgah?" tawar Joy membuat teman-teman yang lainnya itu saling berpandangan.
Badrul tertawa cengengesan lalu melangkah maju membuat Bastian dengan cepat menarik pergelangan tangan Badrul membuat langkah si gendut itu tertahan.
"Gak usah. Kita nggak usah singgah. Nanti rumah kau kotor."
Bibir Badrul kini menjadi cemberut setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Bastian.
"Tapi kenapa?" bisik Badrul yang tidak terima.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kau pasti mau makan banyak kan di rumahnya Joy," tebaknya.
"Lah emang iya. Lihat aja rumahnya Joy yang besar itu! Rumahnya Joy itu kan besar berarti banyak makanan di rumah Joy," jelas Badrul sambil tersenyum mabuk.
"Dasar gila. Otak kau hanya makanan terus."
"Terus aku harus pikir apa?"
"Sudah! Sudah! Kalau kita mampir ke rumahnya Joy itu berarti Mandra juga akan masuk ke rumahnya Joy."
"Memangnya kenapa?" tanya Badrul yang tidak mengerti.
Bastian menghela nafas panjang.
"Lihat tubuh Mandra! Tubuh Mandra itu kotor kalau kakinya menginjak lantai bersih milik rumah Joy pasti bisa kotor. Apalagi, kan Mandra itu bau kalau rumah Joy jadi busuk bagaimana?"
"Kau mau tanggung jawab?" tambah Bastian sambil berbisik dengan raut wajahnya yang nampak menakut-nakuti membuat Badrul kini terdiam.
"Bagaimana semuanya mau mampir?" tanya Joy.
"Nggak usah, Joy. Kita mau pulang aja," tolak Bastian membuat Joy mengangguk lalu tak berselang lama ia menarik pagar hingga beberapa penjaga rumah Joy yang berseragam hitam itu mendekat menghampiri Joy yang terlihat terkejut.
"Lari semua!" bidkmy Joy menyuruh teman-temannya membuat Bastian, Mandra Badrul dan Sodiq dengan cepat berlari.
Sudah pasti Joy tidak ingin jika penjaga rumahnya itu tahu kalau Joy berteman dengan orang-orang miskin seperti Bastian dan teman-temannya yang lain.
Perjalanan dilanjutkan dan kini tersisa Bastian, Mandra dan Sodiq. Mereka melangkah sambil sedikit membahas tentang kehidupan Joy yang begitu menyenangkan.
Menurut mereka, pandangan anak-anak serta anak-anak miskin seperti mereka punya rumah besar berarti memiliki kehidupan yang enak seperti tidur di kasur empuk, dinding yang mulus, atap yang indah dan ruangan ber-ac.
Itulah yang mereka pikirkan namun, rupanya ada sosok anak orang kaya yang lebih memilih menjadi orang susah seperti mereka contohnya saya Joy.
Andai saja Bastian bisa berada di posisi Joy mungkin dia tak ingin bersusah payah berada di bawah terik panas matahari sambil menawarkan koran dan tisu kepada para pembeli. Untuk untung jika ada yang ingin membeli kalau tidak maka kita hanya akan mendapat sebuah makian dan celaan dari orang-orang.
Perlahan-lahan rumah yang tinggi kini mengurang digantikan dengan pepohonan dan jalanan yang tak lagi beraspal. Rumah-rumah kayu terlihat, sampah berserakan, rumah berhimpitan dan cucian bertebaran dengan tali jemuran seakan menghalangi pandangan.
Ya ini adalah tempat pemukiman warga seperti Bastian dan teman-temannya. Sodiq tiba lebih dulu. Ia melambaikan tangan pada Bastian, Mandra dan Badrul. Anak laki-laki itu lebih dulu tiba di rumahnya.
Sodiq disambut oleh Neneknya yang rupanya telah menunggu di bibir pintu. Neneknya itu terlihat tersenyum saat Sodiq menjulurkan sekantong beras dan beberapa bungkus mie.
Bastian beserta teman-temannya ikut turut bahagia. Sesama parah pejuang senyum orang-orang di rumah pasti tahu bagaimana rasanya jika melihat orang-orang yang mereka sayangi tersenyum karena perbuatan diri sendiri.
"Kalian tidak mau singgah?" tawar Badrul yang kini menopang pinggang saat ia telah berada di depan rumahnya.
"Tidak usah, kita langsung pulang saja. Iya kan, Ra?"
Mandra mengangguk sambil sesekali menggaruk kepalanya membuat Bastian mengehela nafas panjang.
"Aku duluan, ya," ujar Bastian lalu berlari meninggalkan Mandra yang langsung melongo.
Bastian kembali meninggalkannya seperti tadi malam.
"Bastian tunggu!" teriak Mandra lalu berlari.
Bastian sebenarnya tidak ingin berlama-lama dekat dengan Mandra karena sosoknya yang cukup tak menjaga kebersihan. Entah mengapa sahabatnya yang satu ini cukup bau apalagi jika jam-jam seperti ini.
"Bastian tunggu!"
"Ah jangan dekat-dekat! Kalau kau mau dekat-dekat kau mandi dulu!!!" teriak Bastian yang kini menginjakkan kakinya menaiki arahkan tangga rumahnya sementara Mandra kini memelankan larinya sambil menatap Bastian yang kini sedang berada di sebelah rumahnya.
Bastian dan Mandra, mereka bertetangga. Memang sepertinya Tuhan sedang menguji Bastian. Temannya yang sering ia jauhi saat bekerja itu karena bau badannya entah mengapa harus didekatkan sebagai tetangga namun, Bastian sepertinya sedikit beruntung dan bersyukur karena ia tidak perlu takut untuk pulang ke rumah karena rumah Mandra berada pas di sebelah rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments