Senja (Dan Rasa)

Senja (Dan Rasa)

Bab 1

Nadhira POV

Senja yang tak pernah bosan hadir. Walau kenyataannya ia datang hanya untuk pergi (lagi). Senja kali ini masih tetap sama seperti senja-senja sebelumnya setelah kepergiannya. Ia datang menyuguhkan keindahan yang tak bosan untuk ku nikmati. Bersama perasaan lama yang belum juga kunjung pergi hingga detik ini. Bayangkan saja, bagaimana senangnya menemani mentari pulang ke singgasananya dengan perasaan lama yang selalu kubanggakan.

Subhanallah ☺️

Senja dan perasaan. Dua hal yang belum mampu aku pisahkan. Selalu datang di waktu yang bersamaan. Saat langit menampakkan wajah teduh jingganya.

Disinilah aku. Dibawah bentangan langit berkawankan awan putih yang masih menggumpal. Diantara bunga-bunga. Aku berdiri menghadap ufuk Barat. Menyaksikan matahari pulang dan menikmati rasa itu.

"Dik ?" panggilnya dengan memegang lembut pundakku.

"Iya, Bang ?" Tanpa menoleh aku menjawab. Sebab, tanpa melihatnya pun aku tahu siapa pemilik suara berat itu. Seorang lelaki yang menjadi tempat ternyaman kedua untukku pulang setelah orang tuaku. Dia, Bara. Barata Bahari Prayuda. Satu-satunya saudara kandung yang ku miliki. Seorang kakak yang selalu tahu bagaimana cara menyenangkan dan menenangkan adiknya. He's the best brother ♡

"Are you good, Dik ?" tanyanya. Kali ini dengan meraih kepalaku dan membawanya dalam rangkulan, membelai lembut rambutku yang tertutup hijab instan.

"Hmmm."

Kami sama-sama terdiam dan larut dengan pikiran masing-masing. Tak ada yang membuka suara. Hanya sibuk menikmati senja.

"Bang ?" Panggilku dengan mendongakkan kepala menatap wajah teduhnya yang sama persis seperti ayahku.

"Tentang perasaan yang tak pernah hilang dan aku menyukai itu. Apakah salah ?" lanjutku masih dengan menatap wajahnya.

"Tidak ada yang salah dengan itu. Yang salah itu kamu, Dik." Ia menjawab mantap tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.

"Aku ? Kenapa aku yang salah ?" Aku menarik diri dari rangkulannya dan mengubah posisi tepat menghadapnya.

"Kamu salah tidak pernah bercerita tentang perasaan dan pada siapa perasaan itu tumbuh. " Masih dengan posisi yang sama menghadap arah mentari pulang.

"Ah Abang mah gitu. Giliran aku serius malah di becandain," keluhku.

"Lho, kok Abang lagi ? Ya udah deh. Cerita saja ke Abang."

"Jadi begini..."

Aku menggantung ucapanku. Menunggu respond dari abangku.

"Jadi ?" Tanyanya merubah posisi menghadapku dengan alis terangkat sebelah.

"Ciyeee nungguin yaa. Hahaha."

"Aish apaan sih, Dik ? Ini juga udah di seriusin malah becandain balik."

"Iya. Iya."

Aku mengatur napas pelan sebelum membuka suara.

"Bang, aku pernah memiliki perasaan untuk seseorang. Kami pernah bersama. Menjalin sebuah hubungan. Tapi, tanpa komitmen menurutku. Dan itu sudah lama sekali. Waktu aku masih SMA dulu. Aku pikir itu hanya sekedar perasaan yang suatu saat akan hilang begitu saja seiring berjalannya waktu. Yang seperti orang-orang bilang sekedar cinta monyet."

Aku diam. Menoleh ke arah abangku yang menatapku intens. Aku menunduk, mengaitkan jariku dengan jari yang lain dan melanjutkan kalimatku.

"Nyatanya aku salah. Salah besar. Perasaan itu kian hari kian tumbuh. Pada akhirnya, datang hari dimana kami harus berpisah. Kami hilang bersama kehidupan masing-masing. Pergi kemana saja kaki membawa kami melangkah. Tapi, tidak dengan perasaan yang ku miliki untuknya. Tidak tahu dengan perasaannya. Dan sampai saat ini pun perasaan itu masih menetap. Perasaan itu dengan lancang semakin tumbuh saat senja kembali datang. Barangkali, karena kami dulu sama-sama menyukai senja. What I shoud to do, Bang ?"

Aku menatap wajah teduh abangku dengan sendu. Inginku menangis. Tapi aku tak ingin terlihat lemah hanya karena perasaan.

"Dik, kamu yakin dengan perasaan itu ?" Bang Bara bertanya sambil mengelus lembut puncak kepalaku.

"Yakin. Sangat yakin, Bang," aku menjawab penuh keyakinan.

"Baiklah. Dan kamu menyukainya. Tanpa Abang mengatakan apapun, Abang yakin kamu tahu bagaimana cara menyikapinya. Kamu bukan anak kecil lagi, Dik. Belajarlah untuk menyelesaikan masalah sendiri. Terlebih itu adalah masalah perasaan. Hanya kamu yang tau tentang perasaanmu. Ingat, tidak semua orang bisa mengerti apa yang kamu rasakan. Meski sedekat apapun kamu dengannya. Bahkan orang tuamu sekalipun."

Aku kembali terdiam setelah mendengar penuturan abangku. Memejamkan mata lalu mencoba menelaah apa yang dimaksudkan.

Kami masih sama-sama terdiam dengan kembali pada posisi menghadap matahari pulang. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Dik, masuk yuk! Udah mau malam ini. Takut kena semprot Bunda. Hahaha."

Abangku mencoba mencairkan suasana.

"Ish Abang mah. Aku bilangin Bunda baru tahu rasa, ya."

"Sudahlah. Enggak usah pakai main-main ngadu segala."

"Ye lah. Ye lah." Jawabku dengan gaya bicara Si Botak Kembar, Upin & Ipin. Lalu kami masuk ke dalam rumah dengan tawa lepas.

____

Sepi tak bersuara. Hanya suara dentingan piring yang beradu dengan sendok yang terdengar. Begitulah suasana ruang makan dirumahku. Dan selalu saja begitu. Sepi. Karena Ayah selalu mengajarkan untuk tidak berbicara saat makan.

Makan malam telah usai. Biasanya kami akan menggunakan sedikit waktu untuk sekedar bersenda gurau atau sekedar bercerita kejadian yang kami lalui. Tapi lain dengan malam ini yang tiba-tiba aku diajak pergi oleh Bang Bara.

"Dik, ikut Abang Yuk!"

"Kemana, Bang ? Malas ah," jawabku.

"Ikut saja. Ayo!" Bang Bara menarik tanganku paksa.

"Abang jangan ajakin adik pergi jauh malam-malam," kali ini Bunda yang angkat bicara.

"Enggak, Bun. Bunda tenang saja lah. Gini-gini Abang juga enggak mau lihat adik kenapa-kenapa. Iya Dik, ya ?"

"Yaelah, giliran begini saja malah berasa akrab sama adiknya," celetukku sambil memutar bola mataku malas.

"Makanya ayo ikut Abang."

"Baik, Abang Bara."

"Bun, Yah. Abang pinjam adik sebentar, ya ?"

"Iya. Tapi jangan lama-lama balik. Kasihan adikmu nanti kelelahan. Besok kuliah toh, Dik."

"Iya, Yah." Jawabku bersamaan dengan Bang Reyndra.

____

Disebuah taman kecil tapi indah. Menenangkan. Iya. Ditaman inilah aku berada. Atas ajakan Bang Bara. Entah apa alasannya membawaku sampai ke tempat ini malam-malam. Untuk pertama kali.

"Bang, tamannya bagus, ya. Kecil sih. Tapi nyaman." Pujiku dengan memejamkan mata. Menikmati hembusan angin malam yang menerpa wajahku.

"Makanya jangan menolak jika Abang mengajakmu pergi. Pernah Abang membuatmu kamu kecewa ? Tidak, 'kan ? Hahaha."

"Ok. Ok. Abang memang yang terbaik. Saaaayang Bang Bara."

"Sudah mulai pandai memuji, Dik ?"

Aku kembali terdiam dengan mata terpejam. Begitu juga dengan Bang Bara. Kami menikmati suasana taman yang terlalu ramai pengunjung.

"Dik, bisakah Abang tahu seseorang yang kamu maksudkan sore tadi ?"

Aku membuka mata lalu menoleh sebentar. Dan kembali memejamkan mata.

"Dia..." kata-kataku tergantung. Aku menundukkan kepala. Mulutku seakan beku. Tak mampu berkata. Sesak. Seperti beban berat menimpa dadaku.

"Kamu tak perlu memaksa diri jika memang tidak bisa, Dik. Tidak ada yang boleh memaksamu. Termasuk Abang," lantas mengelus kepalaku sayang.

Aku masih terdiam. Hingga detik berikutnya aku memberanikan diri membuka suara. Menceritakan pada Bang Bara.

"Dia orang yang ku kenal tanpa sengaja. Kami bertemu ketika dia datang berkunjung ke sekolahku untuk sosialisasi Perguruan Tinggi tempat ia menempuh pendidikan. Mungkin seumuran Abang. Tempatnya kuliah juga sama dengan Abang. Dan pertemuan selanjutnya ditoko buku. Dari sana kami berkenalan. Saling bertukar nomor telepon. Dan saat itulah semuanya dimulai. Tak berselang lama sejak kami berkenalan. Rasa itu mulai tumbuh. Nyaman."

Aku kembali terdiam.

"Dik, siapa namanya ? Kamu bilang satu kampus dengan Abang, 'kan ?"

"Iya, sekampus dengan Abang. Reyhan namanya. Reyhan Akbar Oktara." Aku menutup mata saat mulutku mengucap namanya. Nama yang indah dan selalu ku semogakan. Nama yang selalu dekat dengan Aamiin ku.

"Reyhan Akbar Oktara ?" Bang Bara menatapku kaget. Dan aku tak kalah kagetnya dengan abangku.

"Iya, Bang. Apakah Abang mengenalnya ?"

"Dia teman baik Abang dikampus. Satu jurusan. Hanya saja berbeda kelas, Dik. Ternyata dunia sesempit ini, ya. Sampai sekarang pun Abang masih sering ketemu," jawabnya antusias.

"Really ? Kenapa kau tidak tahu, Bang ? Padahal, hampir semua teman Abang aku tahu."

"Iya. Karena, hanya dia saja yang jarang ke rumah. Dia anak Mami, Dik. Anak rumahan. Dulu pernah sekali dia menjemput Abang. Bahkan pernah menginap juga dirumah. Tapi, kamu yang saat itu sedang berteman selang infus di Rumah Sakit."

"Ooh." Aku hanya ber-oh ria. Aku bahkan belum percaya sepenuhnya bahwa Bang Bara berteman dengannya.

"Bang, balik yuk! Nanti Bunda mencari kita. Besok aku kuliah pagi."

"Baik, Komandan Kecil," ucap Bang Bara yang sukses membuatku tertawa.

Kami beranjak pulang. Aku memilih diam sambil mengelus lenganku karena merasa kedinginan.

"Kenapa, Dik ?"

"Dingin, Bang."

"Pakai saja jaket Abang."

"Tidak usah, Bang. Aku tidak apa-apa."

Kami pulang tanpa suara. Hingga sampai rumah pun aku tak sadar.

"Dik, kita sudah sampai lho. Mau diam diatas motor sampai kapan ?" tanya Bang Bara membuyarkan lamunanku.

"Oh iya, Bang. Hee," balasku cengengesan.

"Ciyee ngelamunin Abraham, ya ? Sudahlah. Besok Abang ajakin ketemu," godanya.

"Apaan sih, Bang ? Udah nggak usah ledekin."

Tanpa menunggu Bang Bara aku langsung memasuki rumah. Tiba didepan pintu dadaku terasa sesak. Sesak sekali. Iya. Aku sering mengalami sesak sejak kecil. Itulah yang menyebabkan kasih sayang yang kudapatkan semakin bertambah dari keluargaku.

Aku memegang dadaku dengan erat. Tepatnya meremas. Naasku memburu tak beraturan. Seperti ingin terjatuh saat itu juga. Tapi dengan sisa tenaga kujaga keseimbanganku. Aku hanya tak ingin dilihat sakit oleh kakakku. Tapi...

"Nadhira!"

Bang Bara sudah terlanjur melihatku. Lantas berteriak dan berlari ke arahku. Memeluk erat tubuhku yang terlampau kecil jika dibandingkan dengan tubuhnya yang tegap.

"Dik, are you okay ?" Tanyanya cemas.

"Iya, Bang. Aku... akkhh." Belum sempat aku berkata. Dadaku semakin sesak. Seperti terikat erat dengan tali. Aku semakin memegang kuat dadaku. Disaat bersamaan aku dapat melihat butiran-butiran kristal mengalir dipipi Bang Reyndra. "Sesayang itukah dia padaku ?" Batinku.

"Kita ke rumah sakit sekarang. Abang panggil Ayah sama Bunda dulu," katanya dibarengi isakan pelan.

"Bang, i'm okay." Aku mencoba tersenyum. Hanya sebentar. Dan akhirnya tumbang. Semua gelap.

__________To Be Continued__________

Sorry for typo 😁

Maklumi saja cerita begini yah.

Hanya penulis pemula yang masih dalam tahap belajar 😉

Terpopuler

Comments

fantasiku49

fantasiku49

bgs

2023-09-02

0

Rakyal Aen

Rakyal Aen

coba baca
kelihatannya mebarik....

2022-06-19

0

Suri Kharimah Asdi

Suri Kharimah Asdi

aku kasih sepuluh jempol untuk kamu. Kata2 indah banget. Jujur sebagai penyuka sastra aku serasa membaca novel karya penulis terkenal seperti Asma Nadia. Cantik banget bahasanya.

2021-02-25

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1
2 Bab 2
3 Bab 3
4 Bab 4
5 Bab 5
6 Bab 6
7 Bab 7
8 Bab 8
9 Bab 9
10 Bab 10
11 Bab 11
12 Bab 12
13 Bab 13
14 Bab 14
15 Bab 15
16 Bab 16
17 Bab 17
18 Bab 18
19 Bab 19
20 Bab 20
21 Bab 21
22 Bab 22
23 Bab 23
24 Bab 24
25 Bab 25
26 Bab 26
27 Bab 27
28 Bab 28
29 Bab 29
30 Bab 30
31 Bab 31
32 Bab 32
33 Bab 34
34 Bab 35
35 Bab 36
36 Bab 37
37 Bab 38
38 Bab 39
39 Bab 40
40 Bab 41
41 Bab 42
42 Bab 43
43 Bab 44
44 Bab 45
45 Bab 46
46 Bab 47
47 Bab 48
48 Bab 49
49 Bab 50
50 Bab 51
51 Bab 52
52 Bab 53
53 Bab 54
54 Bab 55
55 Bab 56
56 Bab 57
57 Bab 58
58 Bab 59
59 Bab 60
60 Bab 61
61 Bab 62
62 Bab 63
63 Bab 64
64 Bab 65
65 Bab 66
66 Bab 67
67 Bab 68
68 Bab 69
69 Bab 70
70 Bab 71
71 Bab 72
72 Bab 73
73 Bab 74
74 Bab 75
75 Bab 76
76 Bab 77
77 Bab 78
78 Bab 79
79 Bab 80
80 Bab 81
81 Bab 82
82 Bab 83
83 Bab 84
84 Bab 85
85 Bab 86
86 Bab 87
87 Bab 88
88 Bab 89
89 Bab 90
90 Bab 91
91 Bab 92
92 Bab 93
93 Bab 94
94 Bab 95
95 Bab 96
96 Bab 97
97 Bab 98
98 Bab 99
99 Bab 100
100 Bab 101
101 Bab 102
102 Bab 103
103 Bab 104
104 Bab 105
105 Bab 106
106 Bab 107
107 Bab 108
108 Bab 109
109 Bab 110
110 Bab 111
111 Bab 112
112 Bab 113
113 Bab 114
114 Bab 115
115 Bab 116
116 Bab 117
117 Bab 118
118 Bab 119
119 Bab 120
120 Bab 121
121 Bab 122
122 Bab 123
123 Bab 124
124 Bab 125
125 Bab 126
126 Bab 127
127 Bab 128
128 Bab 129
129 Bab 130
130 Bab 131
131 Bab 132
132 Bab 133
133 Bab 134
134 Bab 135
135 Bab 136
136 Bab 137
137 Bab 138
138 Bab 139
139 Bab 140
140 Bab 141
141 Bab 142
142 Bab 143
143 Bab 144
144 Bab 145
145 Bab 146
146 Bab 147
147 Bab 148
148 Bab 149
149 Bab 150
150 Bab 151
151 Dear, My beloved readers
152 QnA
153 Kabar Gembira
154 Maaf
155 Cuap-cuap Author
156 Hai, Lovely Readers!
157 Tentang Kelangsungan Cerita Reyhan dan Aleeana
158 Pemberitahuan
159 Anyeong! Othor Comeback.
Episodes

Updated 159 Episodes

1
Bab 1
2
Bab 2
3
Bab 3
4
Bab 4
5
Bab 5
6
Bab 6
7
Bab 7
8
Bab 8
9
Bab 9
10
Bab 10
11
Bab 11
12
Bab 12
13
Bab 13
14
Bab 14
15
Bab 15
16
Bab 16
17
Bab 17
18
Bab 18
19
Bab 19
20
Bab 20
21
Bab 21
22
Bab 22
23
Bab 23
24
Bab 24
25
Bab 25
26
Bab 26
27
Bab 27
28
Bab 28
29
Bab 29
30
Bab 30
31
Bab 31
32
Bab 32
33
Bab 34
34
Bab 35
35
Bab 36
36
Bab 37
37
Bab 38
38
Bab 39
39
Bab 40
40
Bab 41
41
Bab 42
42
Bab 43
43
Bab 44
44
Bab 45
45
Bab 46
46
Bab 47
47
Bab 48
48
Bab 49
49
Bab 50
50
Bab 51
51
Bab 52
52
Bab 53
53
Bab 54
54
Bab 55
55
Bab 56
56
Bab 57
57
Bab 58
58
Bab 59
59
Bab 60
60
Bab 61
61
Bab 62
62
Bab 63
63
Bab 64
64
Bab 65
65
Bab 66
66
Bab 67
67
Bab 68
68
Bab 69
69
Bab 70
70
Bab 71
71
Bab 72
72
Bab 73
73
Bab 74
74
Bab 75
75
Bab 76
76
Bab 77
77
Bab 78
78
Bab 79
79
Bab 80
80
Bab 81
81
Bab 82
82
Bab 83
83
Bab 84
84
Bab 85
85
Bab 86
86
Bab 87
87
Bab 88
88
Bab 89
89
Bab 90
90
Bab 91
91
Bab 92
92
Bab 93
93
Bab 94
94
Bab 95
95
Bab 96
96
Bab 97
97
Bab 98
98
Bab 99
99
Bab 100
100
Bab 101
101
Bab 102
102
Bab 103
103
Bab 104
104
Bab 105
105
Bab 106
106
Bab 107
107
Bab 108
108
Bab 109
109
Bab 110
110
Bab 111
111
Bab 112
112
Bab 113
113
Bab 114
114
Bab 115
115
Bab 116
116
Bab 117
117
Bab 118
118
Bab 119
119
Bab 120
120
Bab 121
121
Bab 122
122
Bab 123
123
Bab 124
124
Bab 125
125
Bab 126
126
Bab 127
127
Bab 128
128
Bab 129
129
Bab 130
130
Bab 131
131
Bab 132
132
Bab 133
133
Bab 134
134
Bab 135
135
Bab 136
136
Bab 137
137
Bab 138
138
Bab 139
139
Bab 140
140
Bab 141
141
Bab 142
142
Bab 143
143
Bab 144
144
Bab 145
145
Bab 146
146
Bab 147
147
Bab 148
148
Bab 149
149
Bab 150
150
Bab 151
151
Dear, My beloved readers
152
QnA
153
Kabar Gembira
154
Maaf
155
Cuap-cuap Author
156
Hai, Lovely Readers!
157
Tentang Kelangsungan Cerita Reyhan dan Aleeana
158
Pemberitahuan
159
Anyeong! Othor Comeback.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!