"Assalamu'alaikum!"
"Lah, kok sepi ya ? Pada kemana orang-orang ?" Reyhan berbicara sendiri sambil berjalan memasuki rumah besar yang ia tempati bersama keluarganya.
Diruang depan ditemui adik perempuannya sedang bermain boneka. Raina namanya. Gadis kecil berusia 4 tahun yang cantik dengan pipi gembulnya yang menggemaskan.
"Hei, Princess. Lagi ngapain, Sayang ?" tanya Reyhan lalu mencium pipi gembul adiknya.
"Kakak. Adik 'kan kaget. Kenapa kakak tiba-tiba saja muncul enggak ada suaranya ?" Raina mengerucutkan bibirnya.
"Ih tadi kakak salam enggak ada yang jawab. Adik keasyikan main sih. Sampai-sampai kakak datang pun enggak adik tahu."
"Iya maaf deh."
"Kakak temani main. Mau enggak ?" Reyhan menawarkan diri. Sudah lama sekali ia tak main bersama adik kecilnya itu.
"Mau. Mau. Horee adik ada teman main." Soraknya kegirangan.
"Mama mana, Dik ?" Reyhan mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan mencari keberadaan Mama.
"Didapur, Kak. Lagi masak untuk makan malam. Nanti Papa makan malamnya dirumah." Jawab seseorang dari belakang Reyhan.
Abraham menoleh ke belakang dan mendapati Farhan. Adik laki-lakinya yang baru pulang tengah berjalan ke arahnya. Lalu menyalaminya, mencium tangannya penuh hormat.
Reyhan asyik bermain bersama adik-adiknya. Suasana yang sudah jarang ia rasakan sejak mengenal dunia kerja.
Ditengah keasyikannya bermain. Reyhan merasa tidak nyaman. Ia merasa dadanya mulai sakit. Lantas mengelus-elus dadanya pelan. Napasnya bahkan terasa tak teratur. Ia keringat dingin dan sesekali membuang napasnya kasar. Farhan yang sedari tadi memperhatikan gelagat kakaknya lantas bertanya.
"Kak, kenapa ? Kok kayak enggak nyaman gitu kelihatannya ? Pucat pula."
"Enggak apa-apa, Dik." Jawabnya mencoba tersenyum.
"Bilangin Mam, ya, kakak sudah pulang." Masih dengan mengelus dadanya yang semakin terasa sakit.
"Kakak kenapa sih ?" Tanya Farhan dengan cemas.
Reyhan hanya menggelengkan kepala dan sesekali membuang napas.
"Kakak... kakak ke kamar dulu. Habis bilangin Mama temenin Raina main, Dik." Ujar Reyhan menepuk bahu Farhan sembari beranjak dari tempat main Raina. Reyhan terlihat gontai saat berjalan. Bahkan ia hampir terjatuh jika tak ada Farhan yang dengan sigap memegang tangannya.
"Kak, Farhan temenin ke kamar, ya. Habis itu Farhan bilang Mama kalau kakak sudah pulang."
"Kakak enggak apa-apa. Kamu ke dapur saja."
Tanpa berpikir panjang Farhan bergegas ke dapur menemui Mama. Baru saja berlari beberapa langkah Farhan mendengar suara seperti ada benda berat yang terjatuh. Ibram berhenti. Menoleh ke belakang dan melihat kakaknya terjatuh namun masih berusaha berdiri. Tapi, gagal. Reyhan terjatuh kembali dan memegang dada sebelah kirinya yang semakin sakit karena jantungnya yang kambuh lagi. Dengan spontan Ibram berteriak memanggil Mamanya sambil berlari ke arah kakaknya yang sudah tergeletak dilantai dekat tangga.
"Ma. Mama!" Farhan berteriak.
"Adik panggil Mama." Latisha berlari ke dapur memanggil Mamanya.
Farhan kalang kabut melihat kondisi kakaknya.
Mendengar suara teriakan anaknya. Mama bergegas kearah suara dan melihat Reyhan dilantai yang berusaha bangun dibantu adiknya, Farhan.
"Astagfirullah. Kakak kenapa kok bisa begini ? Farhan ambil mobil kita bawa kakak ke rumah sakit sekarang."
"Iya, Ma."
Farhan hendak berdiri namun tangannya dicekal kakaknya dan menggelengkan kepala. Memberi kode untuk tidak membawanya ke Rumah Sakit. Farhan menoleh kearah Mama.
"Tunggu apalagi, Farhan ? Cepat!" Bentak sang Mama.
"Ii..iya, Ma. Iya."
Farhan berdiri dan tak mempedulikan larangan kakaknya.
"Ya Allah, Kak. Kenapa bisa begini, sih ? Udah ngapain coba ?" Tanya Mama diiringi isak tangis karena khawatir dengan keadaan anak bungsunya.
Reyhan ingin menjawab namun ia tak mampu. Dadanya terlalu sakit sehingga ia tak bisa hanya untuk sekedar berbicara. Dengan napas yang memburu tak beraturan dan keringat dingin yang semakin membanjiri seluruh tubuhnya. Reyhan hanya bisa beristigfar dalam hati dan berurai air mata.
"Ya Allah, hamba tau Kau tak akan memberikan penyakit ini jika hanya tak mampu melaluinya. Tapi, tolong jangan biarkan air mata wanita yang di hadapan hamba ini terus menetes hanya karena keadaan hamba yang seperti ini." Reyhan bergumam dalam hati.
"Mm.. ma, Rey...han enggak apa-apa, Ma." Semakin ia berbicara semakin dadanya sakit apalagi melihat Mamanya tak berhenti menangisi keadaannya. Sedetik kemudian Reyhan sudah tak sadarkan diri.
___
"Ayah, Abang, adik gimana keadaannya, ya ?" Rengek Bunda seperti anak kecil dalam pelukan suaminya.
"Bunda, kita berdo'a saja. Adik enggak apa-apa kok." Jawab Ayah dengan tenang. Tapi tidak dengan hatinya yang juga sangat mengkhawatirkan keadaan anak bungsunya.
"Abang sudah dibilangin jangan bawa adil keluar malah ngeyel. Ini yang Bunda takutkan, Nak."
"Iya, Bun. Abang minta maaf. Tapi tadi adik kelihatan baik-baik saja. Makanya Abang ajakin."
"Abang tahu kondisi adik gimana." Bunda terus menyalahkan Bara. Seakan penyakit Nadhira kambuh karenanya. Namun, Bara tak pernah menyalahkan bundanya ataupun membantah. Karena ia sadar, ia tau bagaimana khawatir Bundanya terhadap adiknya.
"Bunda, udah. Jangan nyalahin Abang terus dong."
Bara hanya menunduk. Mengusap wajahnya dengan kasar. Bara bangkit dari kursi tunggu didepan ruangan dimana Nadhira diperiksa. Berniat untuk ke toilet.
Tapi tunggu dulu. Bara seperti melihat orang yang tak asing baginya. Dia mempertajam penglihatannya. Seorang wanita paruh baya seumuran Sang Bunda. Dan benar saja. Adalah mamanya Reyhan yang sedikit berlari mengikuti brankar didepannya.
"Ayah, Bunda. Disana kayaknya ada Tante Mia. Tapi kelihatannya dia nangis. Abang samperin sebentar, ya ?"
"Iya. Jangan lama-lama, Bang."
"Iya, Yah."
Bara berlari mengejar Mama Reyhan. Ia melihat Mama sudah duduk dikursi tunggu dengan dipeluk seorang pemuda. Farhan.
"Tante. Farhan. Kenapa ? Siapa yang sakit ?"
"Kak Reyhan, Kak. Balik kerja jantungnya kambuh sampai enggak sadarkan diri gitu. Kak Bara disini ngapain ? Ada yang sakit juga ?" Tanya Farhan balik.
"Iya, Farhan. Nadhira juga asmanya kumat. Padahal udah lama banget enggak pernah kambuh-kambuh gitu."
"Kok bisa barengan gini ya, Kak ? Jangan-jangan jodoh." Sontak Farhan dan Bara tertawa membuat Mama bengong.
"Aamiin." Bara bersemangat dan senyum-senyum sendiri.
"Ya sudah saya balik dulu, Farhan. Tante, Bara balik, ya. Bunda sama Ayah sudah nungguin."
"Iya, Bara."
"Salam sama Reyhan, Tante. Maaf nggak bisa nungguin."
"Iya, Nak. Nanti tante bilangin Reyhan. Salam sama Ayah dan Bunda. Semoga adikmu lekas sembuh."
"Iya, Tante. Terimakasih."
Bara meninggalkan Mama dan Farhan. Menemui kembali Ayah dan Bundanya. Tapi dia tidak menemukan orang tuanya. Bara mengedarkan pandangan ke segala arah. Namun hasilnya nihil. Bara merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Baru saja hendak menelpon. Ayah terlebih dulu keluar dari ruangan yang ditempati Nadhira.
"Yah, adik sudah siuman ?"
"Udah, Bang. Masuk gih! Ada Bunda didalam."
"Iya, Yah." Bara langsung memasuki ruangan Nadhira.
"Dik, maafin Abang ya. Gara-gara Abang kamu kayak gini. Abang nyesel, Dik."
"Abang udah ih. Aku nggak apa-apa. Nih liat."
Nadhira tersenyum memperlihatkan gigi putih dan gingsul miliknya.
"Ya udah Bunda susulin Ayah dulu. Abang jaga adik ya."
"Siap, Komandan." Bara mengangkat tangannya layaknya orang sedang hormat.
Sepeninggal Bunda. Bara memandang adiknya yang tengah melamun menatap kearah jendela.
"Dik ?"
"Iya, Bang." Nadhira menoleh kearah Bara sebentar. Lalu kembali menatap kearah jendela.
"Lain kali jangan kayak gini, Dik. Abang takut."
"Maafin aku, Bang. Maaf udahan nyusahin Abang, Ayah dan Bunda." Nadhira berkata lirih tanpa menatap kakaknya. Dan dalam sepersekian detik air matanya lolos melewati pipinya.
"Huushh. Ngomong apa sih, Dik. Kami sayang sama kamu. Jangan bilang gitu lagi, ya." Bara menenangkan adiknya dan mengelus lembut puncak kepalanya.
___
Dikamar berbeda. Mama dan Farhan duduk didekat Reyhan yang baru selesai diperiksa dokter. Dengan mulut dan hidung yang tertutup selang oksigen. Mama menggenggam erat tangan anak sulungnya sambil beristigfar.
Beberapa menit kemudian Reyhan membuka mata pelan. Pelan sekali. Dan orang pertama yang dia lihat adalah mamanya yang masih berlinang air mata.
"Alhamdulillah, Kak. Akhirnya siuman juga."
"Ma, Reyhan enggak apa-apa. Adik mana, Ma ?"
"Adik Mama titip Bi Inah. Nanti dijemput Papa balik kerja terus langsung kesini."
"Ya Allah, Ma." Reyhan menutup matanya dengan tangan yang tak dipasangkan selang infus. Seperti terlihat menyesal.
"Kak, kenapa sampai begini ?"
"Kecapekan mungkin, Ma."
"Tumben lho kakak sampai sedrop ini."
Reyhan diam tak menjawab pertanyaan Mama.
"Iya sudah kakak istirahat gih!"
"Ma, maafin Reyhan udah buat Mama nangis. Reyhan janji nggak bakal bikin Mama nangis lagi kayak tadi."
"Iya, Sayang. Istirahat ya. Mama tinggal mau telpon papa dulu."
"Iya, Ma."
"Oh iya, Kak. Tadi Bara nyamperin Mama diluar. Katanya salam nggak bisa nungguin sampai kamu siuman. Adiknya juga masuk rumah sakit."
"Astaga. Besok kita jengukin ya, Ma."
"Iya. Iya. Yang penting kamu istirahat dulu. Biar besok bisa sembuh." Mama membelai lembut puncak keala anak sulungnya itu. Reyhan membalas dengan mengelus punggung tangan Mamanya.
"Ma, makasih udah jagain Reyhan. Maafin Reyhan juga belum bisa buat Mama, Papa, Farhan dan Raina bahagia. Maaf udah buat khawatir. Reyhan janji, suatu saat Reyhan akan ciptakan kebahagiaan untuk keluarga kita. Sekali lagi, makasih ya, Ma." Reyhan berkata lirih dan tanpa disadari air matanya mengalir melewati pipinya.
"Iya, Nak. Jangan kayak gini lagi ya, Sayang. Mama khawatir. Mama takut kakak kenapa-napa." Mama kembali menangis dihadapan Reyhan.
"Ma, udah. Jangan nangis lagi. Reyhan enggak apa-apa. Reyhan nggak mau air mata Mama terbuang sia-sia. Biarkan ia keluar hanya untuk kebahagiaan. Abraham mohon, Ma." Reyhan melepas selang oksigen yang ia gunakan dan mencium tangan Mama penuh kasih sayang. Tak lama Reyhan merasa sesak dan refleks memegang dadanya. Napasnya kembali tak beraturan. Melihat hal itu Mama langsung meraih selang oksigen dan measangnya kembali.
"Ya Allah, Nak. Jangan maksain diri dulu. Pokoknya Mama nggak mau tau. Kakak harus istirahat. Titik!" Reyhan hanya mengangguk. Mama meninggalkan Reyhan dan membiarkannya istirahat.
Sepeninggal Mama. Reyhan memandang keluar jendela yang menjurus ke taman Rumah Sakit. Remang-remang lampu taman yang terlihat sepi membuat Reyhan menghembuskan napas kasar. Otaknya memutar kembali memori-memori lama yamg belum bisa ia musnahkan sampai detik ini. Reyhan memejamkan mata. Berkata lirih. Menyebutkan sebuah nama. Nama yang selalu tersimpan rapi disudut ruang hatinya.
"Alea."
___
Diatap yang sama. Diruang yang berbeda. Nadhira melakukan hal yang sama seperti Reyhan. Memandang keluar jendela kamar Rumah Sakit yang ia tempati. Mengajak kenangan-kenangan lama bermain dengan malam.
"Reyhan Oktara." Lirihnya lalu memejamkan mata dan tertidur.
___To Be Continued___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Ratna
semangat y Thor
2021-02-24
0
Windi Asih
masih bingung deh sama nama"nya, suka berubah" antara Reyhan dan Abraham
2021-01-22
1