NovelToon NovelToon

Senja (Dan Rasa)

Bab 1

Nadhira POV

Senja yang tak pernah bosan hadir. Walau kenyataannya ia datang hanya untuk pergi (lagi). Senja kali ini masih tetap sama seperti senja-senja sebelumnya setelah kepergiannya. Ia datang menyuguhkan keindahan yang tak bosan untuk ku nikmati. Bersama perasaan lama yang belum juga kunjung pergi hingga detik ini. Bayangkan saja, bagaimana senangnya menemani mentari pulang ke singgasananya dengan perasaan lama yang selalu kubanggakan.

Subhanallah ☺️

Senja dan perasaan. Dua hal yang belum mampu aku pisahkan. Selalu datang di waktu yang bersamaan. Saat langit menampakkan wajah teduh jingganya.

Disinilah aku. Dibawah bentangan langit berkawankan awan putih yang masih menggumpal. Diantara bunga-bunga. Aku berdiri menghadap ufuk Barat. Menyaksikan matahari pulang dan menikmati rasa itu.

"Dik ?" panggilnya dengan memegang lembut pundakku.

"Iya, Bang ?" Tanpa menoleh aku menjawab. Sebab, tanpa melihatnya pun aku tahu siapa pemilik suara berat itu. Seorang lelaki yang menjadi tempat ternyaman kedua untukku pulang setelah orang tuaku. Dia, Bara. Barata Bahari Prayuda. Satu-satunya saudara kandung yang ku miliki. Seorang kakak yang selalu tahu bagaimana cara menyenangkan dan menenangkan adiknya. He's the best brother ♡

"Are you good, Dik ?" tanyanya. Kali ini dengan meraih kepalaku dan membawanya dalam rangkulan, membelai lembut rambutku yang tertutup hijab instan.

"Hmmm."

Kami sama-sama terdiam dan larut dengan pikiran masing-masing. Tak ada yang membuka suara. Hanya sibuk menikmati senja.

"Bang ?" Panggilku dengan mendongakkan kepala menatap wajah teduhnya yang sama persis seperti ayahku.

"Tentang perasaan yang tak pernah hilang dan aku menyukai itu. Apakah salah ?" lanjutku masih dengan menatap wajahnya.

"Tidak ada yang salah dengan itu. Yang salah itu kamu, Dik." Ia menjawab mantap tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.

"Aku ? Kenapa aku yang salah ?" Aku menarik diri dari rangkulannya dan mengubah posisi tepat menghadapnya.

"Kamu salah tidak pernah bercerita tentang perasaan dan pada siapa perasaan itu tumbuh. " Masih dengan posisi yang sama menghadap arah mentari pulang.

"Ah Abang mah gitu. Giliran aku serius malah di becandain," keluhku.

"Lho, kok Abang lagi ? Ya udah deh. Cerita saja ke Abang."

"Jadi begini..."

Aku menggantung ucapanku. Menunggu respond dari abangku.

"Jadi ?" Tanyanya merubah posisi menghadapku dengan alis terangkat sebelah.

"Ciyeee nungguin yaa. Hahaha."

"Aish apaan sih, Dik ? Ini juga udah di seriusin malah becandain balik."

"Iya. Iya."

Aku mengatur napas pelan sebelum membuka suara.

"Bang, aku pernah memiliki perasaan untuk seseorang. Kami pernah bersama. Menjalin sebuah hubungan. Tapi, tanpa komitmen menurutku. Dan itu sudah lama sekali. Waktu aku masih SMA dulu. Aku pikir itu hanya sekedar perasaan yang suatu saat akan hilang begitu saja seiring berjalannya waktu. Yang seperti orang-orang bilang sekedar cinta monyet."

Aku diam. Menoleh ke arah abangku yang menatapku intens. Aku menunduk, mengaitkan jariku dengan jari yang lain dan melanjutkan kalimatku.

"Nyatanya aku salah. Salah besar. Perasaan itu kian hari kian tumbuh. Pada akhirnya, datang hari dimana kami harus berpisah. Kami hilang bersama kehidupan masing-masing. Pergi kemana saja kaki membawa kami melangkah. Tapi, tidak dengan perasaan yang ku miliki untuknya. Tidak tahu dengan perasaannya. Dan sampai saat ini pun perasaan itu masih menetap. Perasaan itu dengan lancang semakin tumbuh saat senja kembali datang. Barangkali, karena kami dulu sama-sama menyukai senja. What I shoud to do, Bang ?"

Aku menatap wajah teduh abangku dengan sendu. Inginku menangis. Tapi aku tak ingin terlihat lemah hanya karena perasaan.

"Dik, kamu yakin dengan perasaan itu ?" Bang Bara bertanya sambil mengelus lembut puncak kepalaku.

"Yakin. Sangat yakin, Bang," aku menjawab penuh keyakinan.

"Baiklah. Dan kamu menyukainya. Tanpa Abang mengatakan apapun, Abang yakin kamu tahu bagaimana cara menyikapinya. Kamu bukan anak kecil lagi, Dik. Belajarlah untuk menyelesaikan masalah sendiri. Terlebih itu adalah masalah perasaan. Hanya kamu yang tau tentang perasaanmu. Ingat, tidak semua orang bisa mengerti apa yang kamu rasakan. Meski sedekat apapun kamu dengannya. Bahkan orang tuamu sekalipun."

Aku kembali terdiam setelah mendengar penuturan abangku. Memejamkan mata lalu mencoba menelaah apa yang dimaksudkan.

Kami masih sama-sama terdiam dengan kembali pada posisi menghadap matahari pulang. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Dik, masuk yuk! Udah mau malam ini. Takut kena semprot Bunda. Hahaha."

Abangku mencoba mencairkan suasana.

"Ish Abang mah. Aku bilangin Bunda baru tahu rasa, ya."

"Sudahlah. Enggak usah pakai main-main ngadu segala."

"Ye lah. Ye lah." Jawabku dengan gaya bicara Si Botak Kembar, Upin & Ipin. Lalu kami masuk ke dalam rumah dengan tawa lepas.

____

Sepi tak bersuara. Hanya suara dentingan piring yang beradu dengan sendok yang terdengar. Begitulah suasana ruang makan dirumahku. Dan selalu saja begitu. Sepi. Karena Ayah selalu mengajarkan untuk tidak berbicara saat makan.

Makan malam telah usai. Biasanya kami akan menggunakan sedikit waktu untuk sekedar bersenda gurau atau sekedar bercerita kejadian yang kami lalui. Tapi lain dengan malam ini yang tiba-tiba aku diajak pergi oleh Bang Bara.

"Dik, ikut Abang Yuk!"

"Kemana, Bang ? Malas ah," jawabku.

"Ikut saja. Ayo!" Bang Bara menarik tanganku paksa.

"Abang jangan ajakin adik pergi jauh malam-malam," kali ini Bunda yang angkat bicara.

"Enggak, Bun. Bunda tenang saja lah. Gini-gini Abang juga enggak mau lihat adik kenapa-kenapa. Iya Dik, ya ?"

"Yaelah, giliran begini saja malah berasa akrab sama adiknya," celetukku sambil memutar bola mataku malas.

"Makanya ayo ikut Abang."

"Baik, Abang Bara."

"Bun, Yah. Abang pinjam adik sebentar, ya ?"

"Iya. Tapi jangan lama-lama balik. Kasihan adikmu nanti kelelahan. Besok kuliah toh, Dik."

"Iya, Yah." Jawabku bersamaan dengan Bang Reyndra.

____

Disebuah taman kecil tapi indah. Menenangkan. Iya. Ditaman inilah aku berada. Atas ajakan Bang Bara. Entah apa alasannya membawaku sampai ke tempat ini malam-malam. Untuk pertama kali.

"Bang, tamannya bagus, ya. Kecil sih. Tapi nyaman." Pujiku dengan memejamkan mata. Menikmati hembusan angin malam yang menerpa wajahku.

"Makanya jangan menolak jika Abang mengajakmu pergi. Pernah Abang membuatmu kamu kecewa ? Tidak, 'kan ? Hahaha."

"Ok. Ok. Abang memang yang terbaik. Saaaayang Bang Bara."

"Sudah mulai pandai memuji, Dik ?"

Aku kembali terdiam dengan mata terpejam. Begitu juga dengan Bang Bara. Kami menikmati suasana taman yang terlalu ramai pengunjung.

"Dik, bisakah Abang tahu seseorang yang kamu maksudkan sore tadi ?"

Aku membuka mata lalu menoleh sebentar. Dan kembali memejamkan mata.

"Dia..." kata-kataku tergantung. Aku menundukkan kepala. Mulutku seakan beku. Tak mampu berkata. Sesak. Seperti beban berat menimpa dadaku.

"Kamu tak perlu memaksa diri jika memang tidak bisa, Dik. Tidak ada yang boleh memaksamu. Termasuk Abang," lantas mengelus kepalaku sayang.

Aku masih terdiam. Hingga detik berikutnya aku memberanikan diri membuka suara. Menceritakan pada Bang Bara.

"Dia orang yang ku kenal tanpa sengaja. Kami bertemu ketika dia datang berkunjung ke sekolahku untuk sosialisasi Perguruan Tinggi tempat ia menempuh pendidikan. Mungkin seumuran Abang. Tempatnya kuliah juga sama dengan Abang. Dan pertemuan selanjutnya ditoko buku. Dari sana kami berkenalan. Saling bertukar nomor telepon. Dan saat itulah semuanya dimulai. Tak berselang lama sejak kami berkenalan. Rasa itu mulai tumbuh. Nyaman."

Aku kembali terdiam.

"Dik, siapa namanya ? Kamu bilang satu kampus dengan Abang, 'kan ?"

"Iya, sekampus dengan Abang. Reyhan namanya. Reyhan Akbar Oktara." Aku menutup mata saat mulutku mengucap namanya. Nama yang indah dan selalu ku semogakan. Nama yang selalu dekat dengan Aamiin ku.

"Reyhan Akbar Oktara ?" Bang Bara menatapku kaget. Dan aku tak kalah kagetnya dengan abangku.

"Iya, Bang. Apakah Abang mengenalnya ?"

"Dia teman baik Abang dikampus. Satu jurusan. Hanya saja berbeda kelas, Dik. Ternyata dunia sesempit ini, ya. Sampai sekarang pun Abang masih sering ketemu," jawabnya antusias.

"Really ? Kenapa kau tidak tahu, Bang ? Padahal, hampir semua teman Abang aku tahu."

"Iya. Karena, hanya dia saja yang jarang ke rumah. Dia anak Mami, Dik. Anak rumahan. Dulu pernah sekali dia menjemput Abang. Bahkan pernah menginap juga dirumah. Tapi, kamu yang saat itu sedang berteman selang infus di Rumah Sakit."

"Ooh." Aku hanya ber-oh ria. Aku bahkan belum percaya sepenuhnya bahwa Bang Bara berteman dengannya.

"Bang, balik yuk! Nanti Bunda mencari kita. Besok aku kuliah pagi."

"Baik, Komandan Kecil," ucap Bang Bara yang sukses membuatku tertawa.

Kami beranjak pulang. Aku memilih diam sambil mengelus lenganku karena merasa kedinginan.

"Kenapa, Dik ?"

"Dingin, Bang."

"Pakai saja jaket Abang."

"Tidak usah, Bang. Aku tidak apa-apa."

Kami pulang tanpa suara. Hingga sampai rumah pun aku tak sadar.

"Dik, kita sudah sampai lho. Mau diam diatas motor sampai kapan ?" tanya Bang Bara membuyarkan lamunanku.

"Oh iya, Bang. Hee," balasku cengengesan.

"Ciyee ngelamunin Abraham, ya ? Sudahlah. Besok Abang ajakin ketemu," godanya.

"Apaan sih, Bang ? Udah nggak usah ledekin."

Tanpa menunggu Bang Bara aku langsung memasuki rumah. Tiba didepan pintu dadaku terasa sesak. Sesak sekali. Iya. Aku sering mengalami sesak sejak kecil. Itulah yang menyebabkan kasih sayang yang kudapatkan semakin bertambah dari keluargaku.

Aku memegang dadaku dengan erat. Tepatnya meremas. Naasku memburu tak beraturan. Seperti ingin terjatuh saat itu juga. Tapi dengan sisa tenaga kujaga keseimbanganku. Aku hanya tak ingin dilihat sakit oleh kakakku. Tapi...

"Nadhira!"

Bang Bara sudah terlanjur melihatku. Lantas berteriak dan berlari ke arahku. Memeluk erat tubuhku yang terlampau kecil jika dibandingkan dengan tubuhnya yang tegap.

"Dik, are you okay ?" Tanyanya cemas.

"Iya, Bang. Aku... akkhh." Belum sempat aku berkata. Dadaku semakin sesak. Seperti terikat erat dengan tali. Aku semakin memegang kuat dadaku. Disaat bersamaan aku dapat melihat butiran-butiran kristal mengalir dipipi Bang Reyndra. "Sesayang itukah dia padaku ?" Batinku.

"Kita ke rumah sakit sekarang. Abang panggil Ayah sama Bunda dulu," katanya dibarengi isakan pelan.

"Bang, i'm okay." Aku mencoba tersenyum. Hanya sebentar. Dan akhirnya tumbang. Semua gelap.

__________To Be Continued__________

Sorry for typo 😁

Maklumi saja cerita begini yah.

Hanya penulis pemula yang masih dalam tahap belajar 😉

Bab 2

"Assalamu'alaikum!"

"Lah, kok sepi ya ? Pada kemana orang-orang ?" Reyhan berbicara sendiri sambil berjalan memasuki rumah besar yang ia tempati bersama keluarganya.

Diruang depan ditemui adik perempuannya sedang bermain boneka. Raina namanya. Gadis kecil berusia 4 tahun yang cantik dengan pipi gembulnya yang menggemaskan.

"Hei, Princess. Lagi ngapain, Sayang ?" tanya Reyhan lalu mencium pipi gembul adiknya.

"Kakak. Adik 'kan kaget. Kenapa kakak tiba-tiba saja muncul enggak ada suaranya ?" Raina mengerucutkan bibirnya.

"Ih tadi kakak salam enggak ada yang jawab. Adik keasyikan main sih. Sampai-sampai kakak datang pun enggak adik tahu."

"Iya maaf deh."

"Kakak temani main. Mau enggak ?" Reyhan menawarkan diri. Sudah lama sekali ia tak main bersama adik kecilnya itu.

"Mau. Mau. Horee adik ada teman main." Soraknya kegirangan.

"Mama mana, Dik ?" Reyhan mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan mencari keberadaan Mama.

"Didapur, Kak. Lagi masak untuk makan malam. Nanti Papa makan malamnya dirumah." Jawab seseorang dari belakang Reyhan.

Abraham menoleh ke belakang dan mendapati Farhan. Adik laki-lakinya yang baru pulang tengah berjalan ke arahnya. Lalu menyalaminya, mencium tangannya penuh hormat.

Reyhan asyik bermain bersama adik-adiknya. Suasana yang sudah jarang ia rasakan sejak mengenal dunia kerja.

Ditengah keasyikannya bermain. Reyhan merasa tidak nyaman. Ia merasa dadanya mulai sakit. Lantas mengelus-elus dadanya pelan. Napasnya bahkan terasa tak teratur. Ia keringat dingin dan sesekali membuang napasnya kasar. Farhan yang sedari tadi memperhatikan gelagat kakaknya lantas bertanya.

"Kak, kenapa ? Kok kayak enggak nyaman gitu kelihatannya ? Pucat pula."

"Enggak apa-apa, Dik." Jawabnya mencoba tersenyum.

"Bilangin Mam, ya, kakak sudah pulang." Masih dengan mengelus dadanya yang semakin terasa sakit.

"Kakak kenapa sih ?" Tanya Farhan dengan cemas.

Reyhan hanya menggelengkan kepala dan sesekali membuang napas.

"Kakak... kakak ke kamar dulu. Habis bilangin Mama temenin Raina main, Dik." Ujar Reyhan menepuk bahu Farhan sembari beranjak dari tempat main Raina. Reyhan terlihat gontai saat berjalan. Bahkan ia hampir terjatuh jika tak ada Farhan yang dengan sigap memegang tangannya.

"Kak, Farhan temenin ke kamar, ya. Habis itu Farhan bilang Mama kalau kakak sudah pulang."

"Kakak enggak apa-apa. Kamu ke dapur saja."

Tanpa berpikir panjang Farhan bergegas ke dapur menemui Mama. Baru saja berlari beberapa langkah Farhan mendengar suara seperti ada benda berat yang terjatuh. Ibram berhenti. Menoleh ke belakang dan melihat kakaknya terjatuh namun masih berusaha berdiri. Tapi, gagal. Reyhan terjatuh kembali dan memegang dada sebelah kirinya yang semakin sakit karena jantungnya yang kambuh lagi. Dengan spontan Ibram berteriak memanggil Mamanya sambil berlari ke arah kakaknya yang sudah tergeletak dilantai dekat tangga.

"Ma. Mama!" Farhan berteriak.

"Adik panggil Mama." Latisha berlari ke dapur memanggil Mamanya.

Farhan kalang kabut melihat kondisi kakaknya.

Mendengar suara teriakan anaknya. Mama bergegas kearah suara dan melihat Reyhan dilantai yang berusaha bangun dibantu adiknya, Farhan.

"Astagfirullah. Kakak kenapa kok bisa begini ? Farhan ambil mobil kita bawa kakak ke rumah sakit sekarang."

"Iya, Ma."

Farhan hendak berdiri namun tangannya dicekal kakaknya dan menggelengkan kepala. Memberi kode untuk tidak membawanya ke Rumah Sakit. Farhan menoleh kearah Mama.

"Tunggu apalagi, Farhan ? Cepat!" Bentak sang Mama.

"Ii..iya, Ma. Iya."

Farhan berdiri dan tak mempedulikan larangan kakaknya.

"Ya Allah, Kak. Kenapa bisa begini, sih ? Udah ngapain coba ?" Tanya Mama diiringi isak tangis karena khawatir dengan keadaan anak bungsunya.

Reyhan ingin menjawab namun ia tak mampu. Dadanya terlalu sakit sehingga ia tak bisa hanya untuk sekedar berbicara. Dengan napas yang memburu tak beraturan dan keringat dingin yang semakin membanjiri seluruh tubuhnya. Reyhan hanya bisa beristigfar dalam hati dan berurai air mata.

"Ya Allah, hamba tau Kau tak akan memberikan penyakit ini jika hanya tak mampu melaluinya. Tapi, tolong jangan biarkan air mata wanita yang di hadapan hamba ini terus menetes hanya karena keadaan hamba yang seperti ini." Reyhan bergumam dalam hati.

"Mm.. ma, Rey...han enggak apa-apa, Ma." Semakin ia berbicara semakin dadanya sakit apalagi melihat Mamanya tak berhenti menangisi keadaannya. Sedetik kemudian Reyhan sudah tak sadarkan diri.

___

"Ayah, Abang, adik gimana keadaannya, ya ?" Rengek Bunda seperti anak kecil dalam pelukan suaminya.

"Bunda, kita berdo'a saja. Adik enggak apa-apa kok." Jawab Ayah dengan tenang. Tapi tidak dengan hatinya yang juga sangat mengkhawatirkan keadaan anak bungsunya.

"Abang sudah dibilangin jangan bawa adil keluar malah ngeyel. Ini yang Bunda takutkan, Nak."

"Iya, Bun. Abang minta maaf. Tapi tadi adik kelihatan baik-baik saja. Makanya Abang ajakin."

"Abang tahu kondisi adik gimana." Bunda terus menyalahkan Bara. Seakan penyakit Nadhira kambuh karenanya. Namun, Bara tak pernah menyalahkan bundanya ataupun membantah. Karena ia sadar, ia tau bagaimana khawatir Bundanya terhadap adiknya.

"Bunda, udah. Jangan nyalahin Abang terus dong."

Bara hanya menunduk. Mengusap wajahnya dengan kasar. Bara bangkit dari kursi tunggu didepan ruangan dimana Nadhira diperiksa. Berniat untuk ke toilet.

Tapi tunggu dulu. Bara seperti melihat orang yang tak asing baginya. Dia mempertajam penglihatannya. Seorang wanita paruh baya seumuran Sang Bunda. Dan benar saja. Adalah mamanya Reyhan yang sedikit berlari mengikuti brankar didepannya.

"Ayah, Bunda. Disana kayaknya ada Tante Mia. Tapi kelihatannya dia nangis. Abang samperin sebentar, ya ?"

"Iya. Jangan lama-lama, Bang."

"Iya, Yah."

Bara berlari mengejar Mama Reyhan. Ia melihat Mama sudah duduk dikursi tunggu dengan dipeluk seorang pemuda. Farhan.

"Tante. Farhan. Kenapa ? Siapa yang sakit ?"

"Kak Reyhan, Kak. Balik kerja jantungnya kambuh sampai enggak sadarkan diri gitu. Kak Bara disini ngapain ? Ada yang sakit juga ?" Tanya Farhan balik.

"Iya, Farhan. Nadhira juga asmanya kumat. Padahal udah lama banget enggak pernah kambuh-kambuh gitu."

"Kok bisa barengan gini ya, Kak ? Jangan-jangan jodoh." Sontak Farhan dan Bara tertawa membuat Mama bengong.

"Aamiin." Bara bersemangat dan senyum-senyum sendiri.

"Ya sudah saya balik dulu, Farhan. Tante, Bara balik, ya. Bunda sama Ayah sudah nungguin."

"Iya, Bara."

"Salam sama Reyhan, Tante. Maaf nggak bisa nungguin."

"Iya, Nak. Nanti tante bilangin Reyhan. Salam sama Ayah dan Bunda. Semoga adikmu lekas sembuh."

"Iya, Tante. Terimakasih."

Bara meninggalkan Mama dan Farhan. Menemui kembali Ayah dan Bundanya. Tapi dia tidak menemukan orang tuanya. Bara mengedarkan pandangan ke segala arah. Namun hasilnya nihil. Bara merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Baru saja hendak menelpon. Ayah terlebih dulu keluar dari ruangan yang ditempati Nadhira.

"Yah, adik sudah siuman ?"

"Udah, Bang. Masuk gih! Ada Bunda didalam."

"Iya, Yah." Bara langsung memasuki ruangan Nadhira.

"Dik, maafin Abang ya. Gara-gara Abang kamu kayak gini. Abang nyesel, Dik."

"Abang udah ih. Aku nggak apa-apa. Nih liat."

Nadhira tersenyum memperlihatkan gigi putih dan gingsul miliknya.

"Ya udah Bunda susulin Ayah dulu. Abang jaga adik ya."

"Siap, Komandan." Bara mengangkat tangannya layaknya orang sedang hormat.

Sepeninggal Bunda. Bara memandang adiknya yang tengah melamun menatap kearah jendela.

"Dik ?"

"Iya, Bang." Nadhira menoleh kearah Bara sebentar. Lalu kembali menatap kearah jendela.

"Lain kali jangan kayak gini, Dik. Abang takut."

"Maafin aku, Bang. Maaf udahan nyusahin Abang, Ayah dan Bunda." Nadhira berkata lirih tanpa menatap kakaknya. Dan dalam sepersekian detik air matanya lolos melewati pipinya.

"Huushh. Ngomong apa sih, Dik. Kami sayang sama kamu. Jangan bilang gitu lagi, ya." Bara menenangkan adiknya dan mengelus lembut puncak kepalanya.

___

Dikamar berbeda. Mama dan Farhan duduk didekat Reyhan yang baru selesai diperiksa dokter. Dengan mulut dan hidung yang tertutup selang oksigen. Mama menggenggam erat tangan anak sulungnya sambil beristigfar.

Beberapa menit kemudian Reyhan membuka mata pelan. Pelan sekali. Dan orang pertama yang dia lihat adalah mamanya yang masih berlinang air mata.

"Alhamdulillah, Kak. Akhirnya siuman juga."

"Ma, Reyhan enggak apa-apa. Adik mana, Ma ?"

"Adik Mama titip Bi Inah. Nanti dijemput Papa balik kerja terus langsung kesini."

"Ya Allah, Ma." Reyhan menutup matanya dengan tangan yang tak dipasangkan selang infus. Seperti terlihat menyesal.

"Kak, kenapa sampai begini ?"

"Kecapekan mungkin, Ma."

"Tumben lho kakak sampai sedrop ini."

Reyhan diam tak menjawab pertanyaan Mama.

"Iya sudah kakak istirahat gih!"

"Ma, maafin Reyhan udah buat Mama nangis. Reyhan janji nggak bakal bikin Mama nangis lagi kayak tadi."

"Iya, Sayang. Istirahat ya. Mama tinggal mau telpon papa dulu."

"Iya, Ma."

"Oh iya, Kak. Tadi Bara nyamperin Mama diluar. Katanya salam nggak bisa nungguin sampai kamu siuman. Adiknya juga masuk rumah sakit."

"Astaga. Besok kita jengukin ya, Ma."

"Iya. Iya. Yang penting kamu istirahat dulu. Biar besok bisa sembuh." Mama membelai lembut puncak keala anak sulungnya itu. Reyhan membalas dengan mengelus punggung tangan Mamanya.

"Ma, makasih udah jagain Reyhan. Maafin Reyhan juga belum bisa buat Mama, Papa, Farhan dan Raina bahagia. Maaf udah buat khawatir. Reyhan janji, suatu saat Reyhan akan ciptakan kebahagiaan untuk keluarga kita. Sekali lagi, makasih ya, Ma." Reyhan berkata lirih dan tanpa disadari air matanya mengalir melewati pipinya.

"Iya, Nak. Jangan kayak gini lagi ya, Sayang. Mama khawatir. Mama takut kakak kenapa-napa." Mama kembali menangis dihadapan Reyhan.

"Ma, udah. Jangan nangis lagi. Reyhan enggak apa-apa. Reyhan nggak mau air mata Mama terbuang sia-sia. Biarkan ia keluar hanya untuk kebahagiaan. Abraham mohon, Ma." Reyhan melepas selang oksigen yang ia gunakan dan mencium tangan Mama penuh kasih sayang. Tak lama Reyhan merasa sesak dan refleks memegang dadanya. Napasnya kembali tak beraturan. Melihat hal itu Mama langsung meraih selang oksigen dan measangnya kembali.

"Ya Allah, Nak. Jangan maksain diri dulu. Pokoknya Mama nggak mau tau. Kakak harus istirahat. Titik!" Reyhan hanya mengangguk. Mama meninggalkan Reyhan dan membiarkannya istirahat.

Sepeninggal Mama. Reyhan memandang keluar jendela yang menjurus ke taman Rumah Sakit. Remang-remang lampu taman yang terlihat sepi membuat Reyhan menghembuskan napas kasar. Otaknya memutar kembali memori-memori lama yamg belum bisa ia musnahkan sampai detik ini. Reyhan memejamkan mata. Berkata lirih. Menyebutkan sebuah nama. Nama yang selalu tersimpan rapi disudut ruang hatinya.

"Alea."

___

Diatap yang sama. Diruang yang berbeda. Nadhira melakukan hal yang sama seperti Reyhan. Memandang keluar jendela kamar Rumah Sakit yang ia tempati. Mengajak kenangan-kenangan lama bermain dengan malam.

"Reyhan Oktara." Lirihnya lalu memejamkan mata dan tertidur.

___To Be Continued___

Bab 3

Tiga bulan berlalu setelah kejadian dimana Reyhan dan Nadhira masuk rumah sakit. Kini mereka kembali dengan aktifitas masing-masing. Nadhira yang sibuk dengan kuliahnya. Dan Reyhan yang sibuk dengan perusahaan yang dikelolanya bersama Sang papa.

“Dimana lo ?” tanyanya.

“...”

“Oke-oke. Gue kesana ya. Mumpung senggang.”

“...”

“Siap, komandan. Hahaha.”

“Ma! Reyhan pergi dulu, ya.” Reyhan mendekati Mama untuk berpamitan.

“Kemana ? Kan libur, kak.”

“Mau ke tempat Bara, Ma. Udah lama nggak kesana. Lagian saat adiknya di rumah sakit Reyhan belum sempat jengukin. Padahal satu rumah sakit.”

“Iya udah. Hati-hati, Nak. Jangan sampe kecapean lho.”

“Iya, Ma. Khawatiran banget deh. Reyhan bukan anak kecil lagi kan.”

“Iya iya. Sana gih.”

Reyhan meninggalkan Mama yang sedang menyulam.

___

Reyhan melajukan mobilnya memasuki sebuah rumah besar dengan cat yang dominan berwarna biru. Ia memarkir mobilnya.

Reyhan mengetuk pintu berulang kali. Namun, nihil. Pintu belum terbuka. Sampai beberapa menit kemudian Reyhan mengetuk pintu lagi. Dan kali ini tidak menunggu waktu lama pintu terbuka. Ia mendapati seorang perempuan paruh baya seumuran Mamanya. Ia Bunda. Bundanya Bara dan Nadhira. Tapi, Reyhan bukan ingin bertemu Nadhira, ya. Karena, Reyhan belum tau itu rumah Aleea. Eh Nadhira maksudnya.

“Assalamu’alaikum, Tante,” sapa Reyhan sembari meraih tangan Bunda dan menciumnya seperti yang sering ia lakukan pada Mama.

“Wa’alaikumussalam. Nak Reyhan, ya ?”

“Iya, Tante.”

“Subhanallah. Makin ganteng aja, ya.”

“Tante bisa saja. Bara ada, Tante ?”

“Ada dikamar, Nak. Ayo masuk. Tante panggilin dulu.”

“Iya, tante. Terimakasih.”

Reyhan mengikuti langkah wanita yang ada didepannya tersebut. Hingga pada akhirnya mereka sampai disebuah ruang tamu besar lengkap dengan berbagai lukisan indah.

“Duduk dulu, Nak. Tante panggilin Bara sebentar.”

“Iya, Tante.”

Reyhan mengedarkan pandangan ke seluruh ruang yang ia tempati saat itu. Rasa kagum dan takjub hadir dibenaknya. Namun sedetik kemudian kegiatannya menikmati lukisan-lukisan yang terpajang di sekitarnya buyar diganggu suara ketukan dan tak berselang lama masuk seorang gadis dengan gamis dan hijab instan berwarna senada berjalan gontai sambil memegangi dadanya. Abraham memperhatikan gadis itu yang terlihat semakin lemah dari ruang tamu.

“Bunda. Abang.” panggilnya dengan suara lemah hampir tak terdengar.

“Bang.” Semakin lirih.

Reyhan bangkit dan berjalan mendekati gadis itu. Semakin dekat. Dekat. Dan sampailah ia didepan gadis itu. Reyhan kaget dan ada rasa tak percaya hinggap pada dirinya.

“Aleea ?”

Nadhira mencoba mengangkat kepalanya sedikit sambil menahan sesak yang teramat sangat didadanya. Ia memandang kedua bola mata yang tengah memandangnya tak percaya.

“Aleea, kamu kenapa ?”

“Reyhan ?”

“Iya aku Reyhan. Reyhan Akbar Oktara. Kamu kenapa, Aleea ? Dada kamu kenapa ? Kamu kok pucat gitu ?” Reyhan melontarkan pertanyaan bertubi-tubi.

Nadhira goyah. Hampir terjatuh. Dan Reyhan dengan sigap memegangnya. Nadhira mencengkram dadanya dan lengan Reyhan karena sesak yang dirasakan.

“Bang.. Bang Bara.. ma..mana ?” tanyanya terbata-bata.

“Agghhh.” Nadhira mengaduh dan semakin kuat mencengkram dadanya. Reyhan yang tak kuat melihat gadis yang namanya masih ia simpan rapi itu seperti ingin meneteskan air mata. Namun, ia tahan.

“Ayo aku bantu. Kita duduk dulu. Kamu bisa kan, Aleea ?”

Nadhira hanya mengangguk dan mengikuti Reyhan. Sesak semakin menyerang dadanya. Nadhira mencengkram kuat lengan Reyhan.

“Duduk dulu.”

“Bunda mana ? Panggilin sebentar. Aku nggak kuat.” Pintanya lemah dengan suara semakin tak terdengar.

“Iya, Alee. iya.”

Baru saja Reyhan membalik badan untuk memanggil pemilik rumah. Tiba-tiba...

“Adik! ” teriaknya dan berlari menuruni anak tangga secepat mungkin. Meninggalkan Bunda yang juga kaget melihat anak gadisnya duduk lemah memegang dan masih mencengkeram lengan Reyhan.

“Kenapa bisa begini lagi sih, Dik ? Obat kamu mana ?”

“Ya Allah, Dik. Kamu kenapa, Nak ?”

Reyhan hanya berdiam menyaksikan kepanikan sekaligus bentuk perhatian seorang Ibu dan Kakak pada gadisnya.

“Di...dika..mar, Bang.”

“Tunggu Abang ambilin dulu. Yang kuat, ya, Dik.”

Bara berlari menuju kamar Nadhira.

“Bunda, adik nggak kuat. Sesak banget.” Nadhira merintih dan menangis.

Reyhan yang menyaksikan kejadian itu merasa dadanya sesak seketika. Ia tak kuat melihat Nadhira dengan kondisi seperti itu. Dan tanpa ragu ia duduk disamping Nadhira. Menggenggam tangan Nadhira seperti yang dilakukan Bara pada adiknya.

“Aleea, kamu yang kuat, ya. Ada Bunda, Ayah, Abang dan aku untuk kamu.” Reyhan mencoba menguatkan Nadhira. Sandra Bunda nampak kaget melihat aksi Reyhan yang bersikap seperti orang yang sangat dekat dengan anaknya. Namun Bunda berpikir ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu.

Bara yang dari kejauhan melihat perlakuan Reyhan pada Nadhira tersenyum.

“Ini obatnya, Dik. Minum dulu.”

“Ayo aku bantu, Al.” Tawar Reyhan. Bunda masih berdiam diri melihat perhatian Reyhan pada Nadhira. Sedang Nadhira mengikuti arahan Reyhan. Bagaimana dengan Bara ? Ia hanya berperan sebagai penonton setia bagaimana perhatian temannya itu pada adiknya.

“Al, istirahat, ya. Biar mendingan dikit.” Reyhan menarik bibirnya membentuk sebuah senyuman. Nadhira mengangguk dan membalas senyuman yang sangat dirindukannya itu.

“Adik udah mau istirahat. Bunda bikin minum dulu ya, Bang. Jagain adik.”

“Iya, Bunda.”

Bunda meninggalkan ruang tamu menyisakan Nadhira yang masih berusaha memejamkan mata dibalik sesak yang dirasakannya, Bara dan Reyhan. Ruang tamu sepi. Tidak ada yang membuka suara. Reyhan sibuk dengan pikirannya yang masih belum percaya sepenuhnya bahwa saat ini ia sedang bersama gadis yang selama ini menghuni hatinya. Begitupun dengan Bara yang menatap adiknya iba. Adik satu-satunya yang ia miliki. Ia mengelus lembut rambut adiknya yang tertutup hijab. Mengecup sayang kening adiknya yang kini mulai terlelap.

“Istirahatlah, Dik. Jangan sakit lagi. Abang tidak bisa melihatmu begini.” Bara berbicara sendiri. Menggenggam tangan adiknya.

Reyhan tersenyum melihat perhatian manis yang diberikan Bara pada adiknya. Bara yang sadar sedang diperhatikan lantas nyengir-nyengir.

“Kenapa lo liat-liat ?”

“Sayang banget ya lo sama Aleea. Eh Nadhira maksud gue.” Reyhan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena salah tingkah. Menyebut nama Nadhira dengan sebutan Aleea. Panggilan yang ia sematkan sendiri untuk Nadhira.

“Aleea ? Oh Nadhira Aleeana Prayudha yah ? hahaha”

“Apaan sih lo, Bar?”

“Gue udah tau semuanya, Han. Nadhira udah cerita ke gue. Dia cerita beberapa jam sebelum dia masuk rumah sakit. Barengan sama lo.”

“Cerita apa, Bar ?” Reyhan begitu antusias ingin tau apa yang diceritakan Nadhira tentangnya.

“Mau dijujurin atau bohong ? hahaha”

“Mulai deh. Orang bego’ aja mana mau dibohongin, Bodoh.”

“Hahaha iya iya. Tapi tunggu dulu. Gue ambil minuman yang dibuat Bunda. Kasian bolak balik dapur. Lagi masak pula.” Tanpa menunggu Bara meninggalkan Reyhan berdua dengan Nadhira diruang tamu.

“Awas jangan apa-apain adik gue!” teriaknya sambil tertawa. Reyhan tidak merespon tingkah konyol temannya yang satu itu.

“Al, lama nggak ketemu, ya. Giliran ketemu, kamu malah sakit. Aku rindu, Al. Rindu sekali. Andai aja aku tau kamu disini. Barangkali udah dari dulu aku kesini nemuin kamu. Sayang, waktu baru berpihak padaku.” Reyhan berbicara sendiri.

Bara kembali dengan membawa nampan berisi dua gelas jus dan beberapa toples kecil berisi camilan buatan Bunda.

“Ini Bunda buatin jus strawberry sama jeruk. Lo yang strawberry yah ? Hahaha”

“Lo mau liat gue mati lebih cepat ? Dasar lo ya sama temen sendiri gitu amet.” Reyhan memperlihatkan muka cemberut.

“Iya deh kakak iya. Hahaha. Gini-gini gue nggak sejahat itu kali, Han. Gue tau banget lo kalo soal menyoal strawberry paling anti. Haram banget dihidup lo.” Bara banyak tahu tentang Reyhan karena memang mereka berteman sangat dekat. Mulai dari Reyhan yang alergi buah strawberry. Bahkan hobynya yang suka menata taman seperti ibu-ibu. Tapi satu hal yang belum ia ketahui. Apakah Reyhan membalas perasaan yang adiknya pendam padanya.

“Uunnncchh pengertian banget deh. Hahaha” Reyhan mengelus lengan Bara.

“Ih jijik gue.” Bara menepis tangan Reyhan yang mengelusnya layaknya seorang banci.

“Lah ayo ceritain gue Aleea eh Nadhira bilang apa aja sama lo.”

“Dia cerita ke gue. Semuanya. Dari awal kalian bertemu dan pada akhirnya kalian berpisah. Memilih hidup dan membawa perasaan masing-masing. Berjalan sendiri-sendiri. Hingga dia berjuang sendirian juga dengan perasaan yang masih kuat sama elo. Sampai detik ini. Dia bertahan dan menutup rapat-rapat hatinya untuk orang lain. Berharap suatu hari nanti elo kembali datang dengan perasaan yang sama juga dengannya. Gue mau nanya sama lo. Tapi harus jujur sama gue. Gue nanya bukan sebagai Abangnya Nadhira. Tapi sebagai seorang teman yang udah lama kenal elo.”

Reyhan hanya menjawab dengan anggukan.

“Lo masih punya perasaan sama Nadhira ?”

“Iya, Bar. Gue sama seperti Aleea. Bertahan sendiri dan tidak membuka hati untuk wanita lain. Buat gue cukup Aleea. Sejak hari itu. Hari dimana kami memilih jalan masing-masing. Gue janji sama diri gue sendiri kalo suatu hari nanti gue datang nemuin Maira untuk menepati janji gue ke dia. Menjadi tempat berkeluh kesahnya, memberikan pundak untuknya bersandar. Ngebahagiain dia. Andai aja dari dulu gue tau dia adek lo. Mungkin tiap hari juga gue kesini nyariin dia. Atau setidaknya nanya ke elo buat mastiin dia baik-baik aja tanpa ada gue. Gue sayang banget sama Aleea, Bar. Hanya dia. Nggak ada yang lain. Elo percaya 'kan sama gue ? Lagian sejauh ini pernah nggak lo liat gue deket-deket sama cewek. Nggak 'kan ?”

“Iya gue percaya. Gue kenal elo udah lama. Hampir semua tentang elo gue tau.”

Ruang tamu kembali sepi. Bara dan Reyhan memandang wajah pucat gadis yang tertidur pulas disofa seberang mereka.

“Han ?” Bara membuka suara.

“Hmmm?”

“Nadhira itu saudara kandung gue satu-satunya. Gue sayang banget sama dia. Dan elo tau kan gimana gue kalo udah sayang banget sama orang itu kayak gimana ? Nadhira itu perempuan kedua yang sangat berharga dalam hidup gue setelah Bunda. Gue bakal ngelakuin apapun untuk dia. Memberikan hidup gue aja gue rela, Han. Elo tau nggak ? Ngeliat dia nggak berdaya seperti ini aja gue nggak bisa. Apalagi tiap kali dia menjerit dan mencengkeram kuat dadanya kayak tadi. Ngeliat dia kesakitan. Gue pengen gantiin posisinya, Han.” Butiran-butiran bening tanpa permisi lolos melewati pipinya. Bara menangis melihat adiknya kesakitan.

“Maaf, Bar. Gue tumben banget liat Aleea kayak gini. Kalo boleh gue tau. Aleea sakit apa ?”

“Sejak kecil Nadhira sering mengeluh dadanya sesak. Setelah ke dokter ternyata emang dia asma. Sejak saat itu dia sering jatuh sakit. Tapi dia selalu berusaha kuat. Tidak ingin membuat orang-orang disekitarnya khawatir dan merasa direpotkan.”

Tanpa Bara dan Reyhan sadari. Sepasang telinga tengah sibuk mendengarkan percakapan mereka. Ia adalah Yuda. Ayah Nadhira yang pulang dari kantor. Ayah tak ingin mengganggu percakapan dua pemuda yang dilihatnya berbicara penuh perasaan dan bahkan melihat putranya menangis hanya karena adiknya sakit.

“Ya Allah, terimakasih telah memberikan Bara yang sayang pada keluarganya.” Lirih sang Ayah.

“Assalamu’alaikum,” Ayah mengucapkan salam dan mendekat ke ruang tamu. Bara dan Reyhan menjawab salam serempak.

“Eh, Reyba . Udah lama ya nggak kesini ?”

“Hee iya, Om. Baru sempat.”

“Adik sakit lagi, Bang ?”

“Iya, Yah. Nggak tau kenapa sampe rumah langsung kayak gitu. Untung aja ada Reyhan tadi yang bantuin. Abang sama Bunda diatas.”

“Ya udah. Biarin istirahat. Ayah mau bersih-bersih dulu. Reyhan, om tinggal, ya.”

“Iya, Om.”

Bara dan Reyhan melanjutkan pembicaraanya kembali. Bercanda mengenang masa-masa sekolah. Berbagi pengalaman kerja.

“Bang, aku mau minum.” Nadhira memanggil Bara tanpa membuka mata.

Bara dan Reyhan sontak memandang bersamaan gadis yang berbicara tadi.

“Bangun dulu, Dik. Minumnya jangan sambil tidur.”

“Aku nggak bisa bangun, Bang. Dadaku masih sesak.” Nadhira berbicara dengan suara lemah.

Baru saja hendak beranjak memberikan minum adiknya. Tangan Bara dicegat oleh tangan kekar milik orang yang duduk disebelahnya. Reyhan.

“Biar gue aja, Bar.” Bara tidak menolak.

Reyhan mendekati sofa yang ditempati Nadhira. Mengambil gelas air putih diatas meja.

“Al, mau minum 'kan ? Ini airnya. Tapi bangun dulu, ya. Nggak baik minum sambil tidur. Nanti dada kamu makin sakit,” kata Reyhan dengan lembut, penuh perhatian.

“Suara ini ? Seperti aku mengenalnya. Panggilan ini ? Yang memanggilku dengan panggilan itu hanya dia. Reyhan Oktara.” Nadhira membatin.

“Aleea ? Bangun yuk!”

Nadhira membuka matanya pelan dan yang pertama dilihat adalah wajah yang selalu dirindukannya tanpa mengenal waktu.

"Ternyata yang tadi bukan mimpi,” batinnya.

“Kak Reyhan ?” katanya lemah. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

“Iya. Ini aku. Bangun, ya ? Kan haus.” Reyhan mengulas senyum pada Nadhira.

Nadhira berusaha bangun meski keadaannya masih sangat lemah. Ia berusaha kuat. Tidak ingin terlihat rapuh dan diketahui penyakitnya oleh Reyhan.

“Aaaggh.” Kali ini Nadhira merasakan sesak didadanya.

“Jangan dipaksa, Dik. Tidur aja.”

“Nggak apa-apa, Bang.”

“Abang bantu sini.”

“Nggak usah, Bar. Biar gue aja.”

“Ya udah. Abang tinggal nggak apa-apa kan, Dik ? Kan ada Reyhan.”

Bara meninggalkan Reyhan dan Nadhira berdua. Memberikan wkatu mereka untuk melepas rindu yang sudah lama menjerat keduanya.

“Akhirnya, Dik. Bahagia itu datang. Hari ini adalah awal untukmu memulai hal yang baru dengan dia yang sudah lama kamu inginkan. Bahagia selalu, Nadhira Aleeana Prayudha. Karena kebahagiaanmu hal yang selalu Abang utamakan.” Bara membatin dan kembali meneteskan air mata. Entah ini sudah kali ke berapa ia menangis untuk adiknya.

___To Be Continued___

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!