Tiga bulan berlalu setelah kejadian dimana Reyhan dan Nadhira masuk rumah sakit. Kini mereka kembali dengan aktifitas masing-masing. Nadhira yang sibuk dengan kuliahnya. Dan Reyhan yang sibuk dengan perusahaan yang dikelolanya bersama Sang papa.
“Dimana lo ?” tanyanya.
“...”
“Oke-oke. Gue kesana ya. Mumpung senggang.”
“...”
“Siap, komandan. Hahaha.”
“Ma! Reyhan pergi dulu, ya.” Reyhan mendekati Mama untuk berpamitan.
“Kemana ? Kan libur, kak.”
“Mau ke tempat Bara, Ma. Udah lama nggak kesana. Lagian saat adiknya di rumah sakit Reyhan belum sempat jengukin. Padahal satu rumah sakit.”
“Iya udah. Hati-hati, Nak. Jangan sampe kecapean lho.”
“Iya, Ma. Khawatiran banget deh. Reyhan bukan anak kecil lagi kan.”
“Iya iya. Sana gih.”
Reyhan meninggalkan Mama yang sedang menyulam.
___
Reyhan melajukan mobilnya memasuki sebuah rumah besar dengan cat yang dominan berwarna biru. Ia memarkir mobilnya.
Reyhan mengetuk pintu berulang kali. Namun, nihil. Pintu belum terbuka. Sampai beberapa menit kemudian Reyhan mengetuk pintu lagi. Dan kali ini tidak menunggu waktu lama pintu terbuka. Ia mendapati seorang perempuan paruh baya seumuran Mamanya. Ia Bunda. Bundanya Bara dan Nadhira. Tapi, Reyhan bukan ingin bertemu Nadhira, ya. Karena, Reyhan belum tau itu rumah Aleea. Eh Nadhira maksudnya.
“Assalamu’alaikum, Tante,” sapa Reyhan sembari meraih tangan Bunda dan menciumnya seperti yang sering ia lakukan pada Mama.
“Wa’alaikumussalam. Nak Reyhan, ya ?”
“Iya, Tante.”
“Subhanallah. Makin ganteng aja, ya.”
“Tante bisa saja. Bara ada, Tante ?”
“Ada dikamar, Nak. Ayo masuk. Tante panggilin dulu.”
“Iya, tante. Terimakasih.”
Reyhan mengikuti langkah wanita yang ada didepannya tersebut. Hingga pada akhirnya mereka sampai disebuah ruang tamu besar lengkap dengan berbagai lukisan indah.
“Duduk dulu, Nak. Tante panggilin Bara sebentar.”
“Iya, Tante.”
Reyhan mengedarkan pandangan ke seluruh ruang yang ia tempati saat itu. Rasa kagum dan takjub hadir dibenaknya. Namun sedetik kemudian kegiatannya menikmati lukisan-lukisan yang terpajang di sekitarnya buyar diganggu suara ketukan dan tak berselang lama masuk seorang gadis dengan gamis dan hijab instan berwarna senada berjalan gontai sambil memegangi dadanya. Abraham memperhatikan gadis itu yang terlihat semakin lemah dari ruang tamu.
“Bunda. Abang.” panggilnya dengan suara lemah hampir tak terdengar.
“Bang.” Semakin lirih.
Reyhan bangkit dan berjalan mendekati gadis itu. Semakin dekat. Dekat. Dan sampailah ia didepan gadis itu. Reyhan kaget dan ada rasa tak percaya hinggap pada dirinya.
“Aleea ?”
Nadhira mencoba mengangkat kepalanya sedikit sambil menahan sesak yang teramat sangat didadanya. Ia memandang kedua bola mata yang tengah memandangnya tak percaya.
“Aleea, kamu kenapa ?”
“Reyhan ?”
“Iya aku Reyhan. Reyhan Akbar Oktara. Kamu kenapa, Aleea ? Dada kamu kenapa ? Kamu kok pucat gitu ?” Reyhan melontarkan pertanyaan bertubi-tubi.
Nadhira goyah. Hampir terjatuh. Dan Reyhan dengan sigap memegangnya. Nadhira mencengkram dadanya dan lengan Reyhan karena sesak yang dirasakan.
“Bang.. Bang Bara.. ma..mana ?” tanyanya terbata-bata.
“Agghhh.” Nadhira mengaduh dan semakin kuat mencengkram dadanya. Reyhan yang tak kuat melihat gadis yang namanya masih ia simpan rapi itu seperti ingin meneteskan air mata. Namun, ia tahan.
“Ayo aku bantu. Kita duduk dulu. Kamu bisa kan, Aleea ?”
Nadhira hanya mengangguk dan mengikuti Reyhan. Sesak semakin menyerang dadanya. Nadhira mencengkram kuat lengan Reyhan.
“Duduk dulu.”
“Bunda mana ? Panggilin sebentar. Aku nggak kuat.” Pintanya lemah dengan suara semakin tak terdengar.
“Iya, Alee. iya.”
Baru saja Reyhan membalik badan untuk memanggil pemilik rumah. Tiba-tiba...
“Adik! ” teriaknya dan berlari menuruni anak tangga secepat mungkin. Meninggalkan Bunda yang juga kaget melihat anak gadisnya duduk lemah memegang dan masih mencengkeram lengan Reyhan.
“Kenapa bisa begini lagi sih, Dik ? Obat kamu mana ?”
“Ya Allah, Dik. Kamu kenapa, Nak ?”
Reyhan hanya berdiam menyaksikan kepanikan sekaligus bentuk perhatian seorang Ibu dan Kakak pada gadisnya.
“Di...dika..mar, Bang.”
“Tunggu Abang ambilin dulu. Yang kuat, ya, Dik.”
Bara berlari menuju kamar Nadhira.
“Bunda, adik nggak kuat. Sesak banget.” Nadhira merintih dan menangis.
Reyhan yang menyaksikan kejadian itu merasa dadanya sesak seketika. Ia tak kuat melihat Nadhira dengan kondisi seperti itu. Dan tanpa ragu ia duduk disamping Nadhira. Menggenggam tangan Nadhira seperti yang dilakukan Bara pada adiknya.
“Aleea, kamu yang kuat, ya. Ada Bunda, Ayah, Abang dan aku untuk kamu.” Reyhan mencoba menguatkan Nadhira. Sandra Bunda nampak kaget melihat aksi Reyhan yang bersikap seperti orang yang sangat dekat dengan anaknya. Namun Bunda berpikir ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu.
Bara yang dari kejauhan melihat perlakuan Reyhan pada Nadhira tersenyum.
“Ini obatnya, Dik. Minum dulu.”
“Ayo aku bantu, Al.” Tawar Reyhan. Bunda masih berdiam diri melihat perhatian Reyhan pada Nadhira. Sedang Nadhira mengikuti arahan Reyhan. Bagaimana dengan Bara ? Ia hanya berperan sebagai penonton setia bagaimana perhatian temannya itu pada adiknya.
“Al, istirahat, ya. Biar mendingan dikit.” Reyhan menarik bibirnya membentuk sebuah senyuman. Nadhira mengangguk dan membalas senyuman yang sangat dirindukannya itu.
“Adik udah mau istirahat. Bunda bikin minum dulu ya, Bang. Jagain adik.”
“Iya, Bunda.”
Bunda meninggalkan ruang tamu menyisakan Nadhira yang masih berusaha memejamkan mata dibalik sesak yang dirasakannya, Bara dan Reyhan. Ruang tamu sepi. Tidak ada yang membuka suara. Reyhan sibuk dengan pikirannya yang masih belum percaya sepenuhnya bahwa saat ini ia sedang bersama gadis yang selama ini menghuni hatinya. Begitupun dengan Bara yang menatap adiknya iba. Adik satu-satunya yang ia miliki. Ia mengelus lembut rambut adiknya yang tertutup hijab. Mengecup sayang kening adiknya yang kini mulai terlelap.
“Istirahatlah, Dik. Jangan sakit lagi. Abang tidak bisa melihatmu begini.” Bara berbicara sendiri. Menggenggam tangan adiknya.
Reyhan tersenyum melihat perhatian manis yang diberikan Bara pada adiknya. Bara yang sadar sedang diperhatikan lantas nyengir-nyengir.
“Kenapa lo liat-liat ?”
“Sayang banget ya lo sama Aleea. Eh Nadhira maksud gue.” Reyhan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena salah tingkah. Menyebut nama Nadhira dengan sebutan Aleea. Panggilan yang ia sematkan sendiri untuk Nadhira.
“Aleea ? Oh Nadhira Aleeana Prayudha yah ? hahaha”
“Apaan sih lo, Bar?”
“Gue udah tau semuanya, Han. Nadhira udah cerita ke gue. Dia cerita beberapa jam sebelum dia masuk rumah sakit. Barengan sama lo.”
“Cerita apa, Bar ?” Reyhan begitu antusias ingin tau apa yang diceritakan Nadhira tentangnya.
“Mau dijujurin atau bohong ? hahaha”
“Mulai deh. Orang bego’ aja mana mau dibohongin, Bodoh.”
“Hahaha iya iya. Tapi tunggu dulu. Gue ambil minuman yang dibuat Bunda. Kasian bolak balik dapur. Lagi masak pula.” Tanpa menunggu Bara meninggalkan Reyhan berdua dengan Nadhira diruang tamu.
“Awas jangan apa-apain adik gue!” teriaknya sambil tertawa. Reyhan tidak merespon tingkah konyol temannya yang satu itu.
“Al, lama nggak ketemu, ya. Giliran ketemu, kamu malah sakit. Aku rindu, Al. Rindu sekali. Andai aja aku tau kamu disini. Barangkali udah dari dulu aku kesini nemuin kamu. Sayang, waktu baru berpihak padaku.” Reyhan berbicara sendiri.
Bara kembali dengan membawa nampan berisi dua gelas jus dan beberapa toples kecil berisi camilan buatan Bunda.
“Ini Bunda buatin jus strawberry sama jeruk. Lo yang strawberry yah ? Hahaha”
“Lo mau liat gue mati lebih cepat ? Dasar lo ya sama temen sendiri gitu amet.” Reyhan memperlihatkan muka cemberut.
“Iya deh kakak iya. Hahaha. Gini-gini gue nggak sejahat itu kali, Han. Gue tau banget lo kalo soal menyoal strawberry paling anti. Haram banget dihidup lo.” Bara banyak tahu tentang Reyhan karena memang mereka berteman sangat dekat. Mulai dari Reyhan yang alergi buah strawberry. Bahkan hobynya yang suka menata taman seperti ibu-ibu. Tapi satu hal yang belum ia ketahui. Apakah Reyhan membalas perasaan yang adiknya pendam padanya.
“Uunnncchh pengertian banget deh. Hahaha” Reyhan mengelus lengan Bara.
“Ih jijik gue.” Bara menepis tangan Reyhan yang mengelusnya layaknya seorang banci.
“Lah ayo ceritain gue Aleea eh Nadhira bilang apa aja sama lo.”
“Dia cerita ke gue. Semuanya. Dari awal kalian bertemu dan pada akhirnya kalian berpisah. Memilih hidup dan membawa perasaan masing-masing. Berjalan sendiri-sendiri. Hingga dia berjuang sendirian juga dengan perasaan yang masih kuat sama elo. Sampai detik ini. Dia bertahan dan menutup rapat-rapat hatinya untuk orang lain. Berharap suatu hari nanti elo kembali datang dengan perasaan yang sama juga dengannya. Gue mau nanya sama lo. Tapi harus jujur sama gue. Gue nanya bukan sebagai Abangnya Nadhira. Tapi sebagai seorang teman yang udah lama kenal elo.”
Reyhan hanya menjawab dengan anggukan.
“Lo masih punya perasaan sama Nadhira ?”
“Iya, Bar. Gue sama seperti Aleea. Bertahan sendiri dan tidak membuka hati untuk wanita lain. Buat gue cukup Aleea. Sejak hari itu. Hari dimana kami memilih jalan masing-masing. Gue janji sama diri gue sendiri kalo suatu hari nanti gue datang nemuin Maira untuk menepati janji gue ke dia. Menjadi tempat berkeluh kesahnya, memberikan pundak untuknya bersandar. Ngebahagiain dia. Andai aja dari dulu gue tau dia adek lo. Mungkin tiap hari juga gue kesini nyariin dia. Atau setidaknya nanya ke elo buat mastiin dia baik-baik aja tanpa ada gue. Gue sayang banget sama Aleea, Bar. Hanya dia. Nggak ada yang lain. Elo percaya 'kan sama gue ? Lagian sejauh ini pernah nggak lo liat gue deket-deket sama cewek. Nggak 'kan ?”
“Iya gue percaya. Gue kenal elo udah lama. Hampir semua tentang elo gue tau.”
Ruang tamu kembali sepi. Bara dan Reyhan memandang wajah pucat gadis yang tertidur pulas disofa seberang mereka.
“Han ?” Bara membuka suara.
“Hmmm?”
“Nadhira itu saudara kandung gue satu-satunya. Gue sayang banget sama dia. Dan elo tau kan gimana gue kalo udah sayang banget sama orang itu kayak gimana ? Nadhira itu perempuan kedua yang sangat berharga dalam hidup gue setelah Bunda. Gue bakal ngelakuin apapun untuk dia. Memberikan hidup gue aja gue rela, Han. Elo tau nggak ? Ngeliat dia nggak berdaya seperti ini aja gue nggak bisa. Apalagi tiap kali dia menjerit dan mencengkeram kuat dadanya kayak tadi. Ngeliat dia kesakitan. Gue pengen gantiin posisinya, Han.” Butiran-butiran bening tanpa permisi lolos melewati pipinya. Bara menangis melihat adiknya kesakitan.
“Maaf, Bar. Gue tumben banget liat Aleea kayak gini. Kalo boleh gue tau. Aleea sakit apa ?”
“Sejak kecil Nadhira sering mengeluh dadanya sesak. Setelah ke dokter ternyata emang dia asma. Sejak saat itu dia sering jatuh sakit. Tapi dia selalu berusaha kuat. Tidak ingin membuat orang-orang disekitarnya khawatir dan merasa direpotkan.”
Tanpa Bara dan Reyhan sadari. Sepasang telinga tengah sibuk mendengarkan percakapan mereka. Ia adalah Yuda. Ayah Nadhira yang pulang dari kantor. Ayah tak ingin mengganggu percakapan dua pemuda yang dilihatnya berbicara penuh perasaan dan bahkan melihat putranya menangis hanya karena adiknya sakit.
“Ya Allah, terimakasih telah memberikan Bara yang sayang pada keluarganya.” Lirih sang Ayah.
“Assalamu’alaikum,” Ayah mengucapkan salam dan mendekat ke ruang tamu. Bara dan Reyhan menjawab salam serempak.
“Eh, Reyba . Udah lama ya nggak kesini ?”
“Hee iya, Om. Baru sempat.”
“Adik sakit lagi, Bang ?”
“Iya, Yah. Nggak tau kenapa sampe rumah langsung kayak gitu. Untung aja ada Reyhan tadi yang bantuin. Abang sama Bunda diatas.”
“Ya udah. Biarin istirahat. Ayah mau bersih-bersih dulu. Reyhan, om tinggal, ya.”
“Iya, Om.”
Bara dan Reyhan melanjutkan pembicaraanya kembali. Bercanda mengenang masa-masa sekolah. Berbagi pengalaman kerja.
“Bang, aku mau minum.” Nadhira memanggil Bara tanpa membuka mata.
Bara dan Reyhan sontak memandang bersamaan gadis yang berbicara tadi.
“Bangun dulu, Dik. Minumnya jangan sambil tidur.”
“Aku nggak bisa bangun, Bang. Dadaku masih sesak.” Nadhira berbicara dengan suara lemah.
Baru saja hendak beranjak memberikan minum adiknya. Tangan Bara dicegat oleh tangan kekar milik orang yang duduk disebelahnya. Reyhan.
“Biar gue aja, Bar.” Bara tidak menolak.
Reyhan mendekati sofa yang ditempati Nadhira. Mengambil gelas air putih diatas meja.
“Al, mau minum 'kan ? Ini airnya. Tapi bangun dulu, ya. Nggak baik minum sambil tidur. Nanti dada kamu makin sakit,” kata Reyhan dengan lembut, penuh perhatian.
“Suara ini ? Seperti aku mengenalnya. Panggilan ini ? Yang memanggilku dengan panggilan itu hanya dia. Reyhan Oktara.” Nadhira membatin.
“Aleea ? Bangun yuk!”
Nadhira membuka matanya pelan dan yang pertama dilihat adalah wajah yang selalu dirindukannya tanpa mengenal waktu.
"Ternyata yang tadi bukan mimpi,” batinnya.
“Kak Reyhan ?” katanya lemah. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Iya. Ini aku. Bangun, ya ? Kan haus.” Reyhan mengulas senyum pada Nadhira.
Nadhira berusaha bangun meski keadaannya masih sangat lemah. Ia berusaha kuat. Tidak ingin terlihat rapuh dan diketahui penyakitnya oleh Reyhan.
“Aaaggh.” Kali ini Nadhira merasakan sesak didadanya.
“Jangan dipaksa, Dik. Tidur aja.”
“Nggak apa-apa, Bang.”
“Abang bantu sini.”
“Nggak usah, Bar. Biar gue aja.”
“Ya udah. Abang tinggal nggak apa-apa kan, Dik ? Kan ada Reyhan.”
Bara meninggalkan Reyhan dan Nadhira berdua. Memberikan wkatu mereka untuk melepas rindu yang sudah lama menjerat keduanya.
“Akhirnya, Dik. Bahagia itu datang. Hari ini adalah awal untukmu memulai hal yang baru dengan dia yang sudah lama kamu inginkan. Bahagia selalu, Nadhira Aleeana Prayudha. Karena kebahagiaanmu hal yang selalu Abang utamakan.” Bara membatin dan kembali meneteskan air mata. Entah ini sudah kali ke berapa ia menangis untuk adiknya.
___To Be Continued___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Ratna
semangat y thor
2021-02-24
0