Senja menjemput kembali. Jingga langit membentang. Berhamburan burung terbang. Bermekaran bunga-bunga taman. Memberontak perasaan yang terpendam.
Nadhira duduk menghadap ufuk Barat di sebuah bangku taman yang ia pernah datangi malam-malam dengan Bara. Bersama sebuah diary dan polpen ditangan. Diary yang selalu menjadi teman untuk mencurahkan segala keluh kesahnya.
“Suatu hari nanti, aku ingin menyambut senja-senja yang datang bersamamu lagi, Tuan Oktaraku.”
Nadhira tersenyum. Berharap segala yang telah menjadi harapnya segera menjadi nyata.
“Aleea ?”
Terenyuh hati Nadhira mendengar panggilan itu. Panggilan yang selalu ia rindukan tanpa batas. Panggilan yang ia nantikan selama ini. Leea menoleh ke belakang. Menemukan sosok lelaki bertubuh kekar dan gagah. Berwajah tegas namun menenangkan. Dengan seulas senyum merangkai bibir merahnya.
“Boleh duduk ?”
Nadhira menjawab dengan anggukan dan senyuman.
“Ya Tuhan, senyuman itu. Aku rindu. Lama sekali tak melihatnya.” Reyhan berbicara dalam hati.
“Sering kesini ?” Reyhan membuka pembicaraan.
“Nggak. Ini kedua kali aku kesini.”
Abraham menatap Nadhira yang sedang menunduk sambil memainkan jemarinya.
“Oh iya ? Aku bahkan hampir tiap hari kesini. Menikmati senja seperti ini. Tapi sendiri.”
Nadhira lebih memilih diam menatap mentari yang semakin beranjak kembali ke persinggahannya dibanding menanggapi pernyataan Reyhan.
“Aleea ?”
“Hmmm.”
“Aku boleh nanya sesuatu sama kamu ?”
Nadhira mengangguk tanda mengiyakan.
“Gimana perasaan kamu ke aku sampai saat ini ? Apakah sama seperti dulu.”
Nadhira memejamkan mata mendengar pertanyaan Reyhan.
“Kenapa kamu menanyakan masalah itu padaku ?”
“Jawab, Al!”
“Kamu nggak perlu tau perasaanku ke kamu seperti apa. Yang perlu kamu tau, perasaanmu sendiri.”
“Al ?”
Reyhan meraih tangan Nadhira. Nadhira tak menolak.
“Aku tau bagaimana perasaanku. Tau banget. Dan perasaanku ke kamu nggak berubah sama sekali, Al. Aku selama ini menjaga hati untuk kamu. Aku ingin kamu menjadi satu-satunya perempuan yang mengisi hatiku. Menjadi pendamping hidupku. Percaya padaku, Al.”
Reyhan mengutarakan semua perasaannya pada Nadhira. Hati Nadhira tersentuh. Namun, Nadhira tidak ingin cepat-cepat percaya. Apalagi selama ini Nadhira tidak tau kehidupan Reyhan seperti apa.
“Maaf. Ini udah mau malem. Aku pulang dulu. Takut Bunda nyariin.”
Nadhira memilih untuk pulang tanpa ingin menanggapi semua yang dikatakan Reyhan. Nadhira memasukkan diary yang masih dipegangnya dan berdiri. Tapi baru saja berdiri, Nadhira merasakan sesak lagi didadanya.
“Aagghh.” Nadhira duduk kembali dikursi.
“Al, kenapa ?”
Reyhan kaget melihat Nadhira yang tiba mengaduh sambil memegang dadanya.
“Nggak apa-apa. Aku pulang duluan.”
Nadhira beranjak dari kursi dengan menahan sesak didadanya. Baru beberapa langkah Nadhira tiba-tiba berhenti mendengar apa yang dikatakan Reyhan.
“Al, aku sudah tau semuanya. Bara udah cerita. Jadi kamu tidak perlu menutupi apapun dariku. Termasuk perasaan kamu.” suara Reyhan sedikit meninggi.
Nadhira terkaget. Tapi Nadhira melanjutkan langkahnya. Dan...
Bruukkk...
Nadhira terjatuh. Napasnya tersengal-sengal. Tangannya begitu kuat mencengkeram dadanya. Melihat hal itu, tanpa berpikir panjang Reyhan berlari ke arah Nadhira yang sudah terduduk di rerumputan hijau.
“Ya Tuhan, Al. Aku anter pulang, ya.”
“Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri.”
“Tapi keadaan kamu kayak gini, Al. Wajahmu pucat juga. Ayolah, Al.” Reyhan sedikit memelas. Sungguh, Reyhan tidak kuat melihat perempuan yang dicintainya sakit seperti itu.
“Nggak apa-apa. Aku baik-baik aaj.. aaagghhh.” Sesak semakin memburu dadanya. Cengkeraman tangannya semakin kuat. Kali ini bukan hanya dadanya, tapi juga tangan Reyhan yang menggenggam erat tangannya.
“Ya Tuhan, Al.” Reyhan semakin panik. Semakin tersiksa. Dan pada akhirnya meneteskan air mata. Reyhan tidak kuat melihat Nadhira yang semakin kesakitan.
“Al, ayo aku anter pulang. Tolong izinin aku kali ini aja, Al. Aku mohon.”
“Kak, aku bisa pulang sendiri.” Nadhira masih ngotot dengan pendiriannya.
“Aleea!” Reyhan meninggikan suaranya. Nadhira yang mendengar itu seakan tak percaya. Baru kali ini ia mendengar Reyhan membentaknya seperti itu. Nadhira hanya menunduk dan menangis. Menahan sesak yang dirasakannya.
“Maafin aku, Al. Aku nggak bermaksud ngebentak kamu. Tapi tolong. Ayo aku anter pulang. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa. Demi Allah, Al.” Reyhan berkata dengan setulus hati. Membawa Nadhira ke pelukannya. Nadhira mulai luluh bahkan tanpa malu mengeluh pada Reyhan.
“Kita pulang sekarang yaa.” Nadhira mengangguk. Reyhan mencium puncak kepala Nadhira sayang. Reyhan membantu Nadhira berdiri dan membawanya ke mobil.
Didalam mobil Nadhira masih merasakan sesaknya. Reyhan terus menggenggam erat tangan Nadhira.
“Sabar ya. Bentar lagi kita sampe kok. Yang kuat, Al.”
“Nggak kuat. Aagghh.”
“Ya Tuhan, Al. Kamu kuat kok. Tahan Aleea tahan.”
Sesak semakin memburu Nadhira. Lemah dan tak berdaya. Nadhira benci keadaan saat itu. Benci karena harus terlihat lemah dan menyedihkan dihadapan Reyhan.
Mobil berwarna merah menyala itu memasuki gerbang rumah besar bercat biru.
“Kita udah sampai, Al. Ayok aku bantu.”
Nadhira menggenggam tangan Reyhan kuat. Menjadikannya sebagai penopang tubuhnya yang lemah. Belum tiba dipintu, Nadhira tak sadarkan diri. Reyhan meraih tubuh mungil Nadhia sebelah terjatuh.
“Aleea! Bangun! Ya Tuhan.”
Panik dan takut menyerang Reyhan. Tangan kekarnya gemetar. Air matanya berhamburan keluar menyaksikan Nadhira yang sudah tak sadarkan diri dengan wajah pucat pasi.
“Al, bangun. Jangan kayak gini, Al. Jangan buat aku takut. Aku mohon, Aleea. Bangun.”
Reyhan menangis memeluk tubuh lemah Nadhira. Lalu berteriak memanggil Reyhan.
“Bar!”
“Bara!”
Reyhan mendengar pintu terbuka. Bukan Bara yang dilihat. Tapi Ayah.
“Astaga, Dik. Kenapa bisa begini ?” Ayah terlihat panik melihat anak gadisnya.
“Kita ke rumah sakit aja, Om. Nanti Reyhan cerita semuanya.”
Tanpa berpikir panjang Ayah mengiyakan ajakan Reyhan. dan dengan enteng Reyhan menggendong tubuh Nadhira.
___
Di kursi tunggu Ayah dan Reyhan tak ada yang bersuara. Ayah terlihat khawatir. Terlebih lagi Reyhan. Ia mengusap wajahnya kasar. Hatinya gelisah.
“Kamu kuat, Aleea. Bertahanlah.” Reyhan berbicara dalam hati.
"Om, udah hubungin Tante Sandra sama Bara ?” Reyhan membuka suara.
“Astagfirullah. Om lupa. Handphone om ketinggalan. Boleh minta tolong hubungi Bara, nak.”
“Oh iya, om.”
Reyhan mengambil handphone dan menelpon Bara. Ia menjauh beberapa langkah dari Ayah. Tak menunggu waktu lama terdengar suara diseberang telepon.
“Bar, lo dimana ?”
“Gue masih ditempat kerja, Han. Kenapa ?” suara di seberang.
“Lo balik kerja ke rumah sakit ya. Aleea sakit lagi, Bar. Gue disini sama ayah lo.” Reyhan terlihat lesu. Napasnya mulai tak beraturan. Dia mengelus dadanya pelan.
“Ya allah adik. Kok bisa gini lagi sih. Iya sekarang gue langsung ke rumah sakit. Tungguin Nadhira sampe gue tiba.”
“Ii..iya, Bar.” Napasnya memburu. Reyhan terbata-bata. Sesekali ia batuk. jantungnya kambuh karena kelelahan menggendong Nadhira dan pikirannya yang masih gelisah dengan keadaan Nadhira. Pasalnya sejak kecil Reyjan memang tidak seperti anak pada umumnya. Ia yang memiliki kelainan jantung membuatnya tidak bisa beraktifitas berat layaknya orang biasa. Karena terlalu capek akan memacu sakit jantungnya kambuh.
“Han, lo baik-baik aja, kan ?” Bara yang mendengar suara Reyhan tak seperti biasanya bertanya khawatir. Sebab Bara tau banyak tentang temannya yang satu ini.
Beberapa detik tak menjawab. Bara hanya mendengar deru napas.
“Han, are you okay ? Lo denger gue nggak sih ? Aahhh.”
“Ii..iiya, Bar. Cepetan kesini ya.”
“Lo kalo sakit balik aja dulu, Han. Kan ada ayah juga yang nungguin Nadhira.”
”Gue nggak apa-apa.”
“Gue kenal elo udah lama. Elo jangan bohongin gue. Gue tau elo lagi nggak baik-baik aja.”
“Bar, udah deh. Di bilangin nggak apa-apa juga.”
“Iya udah. Awas kalo lo kenapa-napa nanti. Gue otw nih.”
“Hati-hati, Bar.”
Reyhan kembali mendekati Ayah yang masih duduk dibangku tunggu.
“Om, Bara udah jalan kesini.”
“Iya, nak. Kamu sakit ? Kok pucat ?”
“Nggak apa-apa, Om. Mungkin capek aja.”
“Kalo capek nggak apa-apa kamu pulang aja, Han. Biar Nadhira om yang nungguin. Lagian Bara sudah jalan kesini kan kamu bilang.”
Reyhan tersenyum.
“Udah nggak apa-apa kok, om.”
Suasana kembali hening. Kembali dengan pikiran masing-masing. Abraham memikirkan rencananya yang gagal. Reyhan malam ini ia akan memberi tahu niatnya pada keluarga Nadhira. Tapi ia tidak mungkin melakukan hal itu. Mengingat kondisi Nadhira yang belum juga diketahui.
Pintu ruangan tempat Nadhira diperiksa terbuka. Menampakkan seorang lelaki dengan snelli yang membungkus badannya diikuti seorang perawat. Ayah mendekati sang dokter.
“Dok, gimana keadaan anak saya ?”
“Bapak tenang saja. Anak Bapak nggak apa-apa. Dia hanya kecapekan. Tolong ya, Pak. Jangan kasi beraktifitas yang berat-berat. Anak Bapak fisiknya sangat lemah, Pak. Ditambah sakit asma yang dideritanya. Jadi dia akan cepat sakit kalo terlalu capek. Pak Razak bisa masuk menemui Nadhira sekarang.’’
“Iya, Dok. Terimakasih.”
Ayah memasuki ruangan Nadhira. Sedang Reyhan memilih diam diluar menunggu Bara datang. Reyhan membuang napas lega mengetahui Nadhira baik-baik saja. Meski dadanya masih terasa sakit.
“Han, Nadhira gimana ?”
Bara menepuk pundak Reyhan yang sedang bersandar dibangku tunggu dengan mata terpejam dan mengelus dadanya yang masih terasa nyeri. Reyhan tersentak kaget.
“Astaga, Bar. Kebiasaan lo ya ngagetin.”
“Sorry. Sorry. Nadhira gimana ?”
“Dokter bilang nggak apa-apa. Cuman kecapekan mungkin. Dia terlalu banyak beraktifitas makanya sampe asmanya kambuh lagi.” Reyhan menjelaskan menurut versinya.
“Ayah mana ?”
“Didalem. Lo masuk gih.”
“Terus elo ?”
“Gue disini aja lah.” Reyhan kembali menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. Terlihat napasnya yang tak beraturan oleh Bara.
“Han, lo pucat bener. Dada lo kenapa ? Dipegangin mulu deh.”
Reyhan hanya menggeleng.
“Jangan bohong deh lo, Han. Gue nggak mau elo kenapa-napa. Udah adik gue yang sakit. Jangan elo lagi.”
“Gue baik-baik aja, Bar.”
“Gue udah kenal elo lama, Han. Jadi gue tau gimana elo.”
“Iya deh.”
Bara duduk disamping Reyhan yang masih memejamkan mata dan mengatur napasnya perlahan. Ia terlihat khawatir melihat teman baiknya itu. Karena ia tau bagaimana Reyhan jika sakitnya kambuh.
“Bar, bisa gue balik duluan ? Besok gue kesini lagi.”
“Gue anter lo balik ya. Gue nggak nerima penolakan. Tapi gue izin ayah dulu.”
Tanpa menunggu jawaban Reyhan, Bara masuk kekamar rawat Nadhira.
“Yah, adik gimana ?”
“Terlalu banyak aktifitas, Bang. Untung ada Reyhan. Kalo nggak ada dia Ayah nggak tau adik bakalan gimana. Tadi adik udah siuman. Tapi sekarang biarin istirahat dulu.”
“Yah, Abang tinggal sebentar nggak apa-apa, kan ?”
“Baru dateng udah mau pergi lagi.”
Bara menarik tangan ayahnya dan sedikit menjauh dari tempat tidur Nadhira.
“Abang mau anter Reyhan pulang, Yah. Reyhan lagi nggak enak badan kayaknya. Pucat sekali dia. Abang takut kalo dia pulang sendiri nanti kenapa-napa dijalan.”
“Iya sudah. Salam sama Reyhan. Terimakasih sudah nolongin Nadhira.”
“Ya, yah. Nanti Abang sampaikan. Abang langsung jemput Bunda juga sekalian, Yah.”
“Iya, nak. Hati-hati.”
Bara keluar meninggalkan ayahnya dan menemui Reyhan yang masih menunggunya.
“Han, ayok.”
Reyhan membuka mata.
“Pake mobil gue aja, Bar.”
“Laah terus gue balik pake apa ?”
“Pake becak. Yaa elo bawa mobil gue lah, bodoh. Besok gue ambil.”
“Iya deh iya, Tuan Oktara.”
Reyhan dan Bara berjalan melewati koridor rumah sakit menuju parkiran. Mendekati mobil berwarna merah menyala. Reyhan memberikan kunci mobil ke Bara.
Jalanan kota malam ini lumayan macet. Lewat kaca mobil Reyhan menikmati kerlap kerlip lampu jalan bersama pikirannya tentang Nadhira.
“Nadhira, tunggu sebentar lagi. Akan kita lewati semuanya bersama-sama.” Reyhan tersenyum.
“Han, kenapa lo ?”
“Aah. Kenapa, Bar ?”
“Elo ditanya malah nanya balik. Kenapa sih ?”
“Bar, gue mau nanya sesuatu boleh ?”
“Serius amat kakaknya. Hahaha.”
“Yaah emang gue mau nanya sesuatu yang serius sama elo.”
“Kok gue jadi tegang ya ?”
“Udah ih becandanya. Nggak liat lo kondisi gue kayak gini masih aja di becandain.”
“Makanya elo nggak usah lembek gitu. Capek aja langsung sakit. Apalagi nanti kalo udah nikah. Mau sakit terus elonya ?”
“Udah deh, Bar. Gue juga nggak pengen gini-gini terus.” Reyhan berbicara dengan nada iba. Iba pada dirinya sendiri dan membenarkan apa yang dikatakan Bara. Ia yang terlalu lemah menjadi seorang laki-laki.
“Ya udah mau bilang apa ?”
“Gue mau nikahin adek lo.” Tanpa berbasa-basi Reyhan mengutarakan niatnya.
“Kocak lo. Udah jangan becanda.”
“Gue serius, Bar. Elo kan udah gue ceritain semuanya. Leea juga udah cerita ke elo gimana perasaannya ke gue. Gue mau nepatin janji gue ke dia.”
“Gue tau itu. Cuman adik gue masih kuliah, bro. Elo juga tau sendiri gimana adik gue. Dia yang manja, sifat kekanakannya yang maksimal. Dan elo tau sendiri adik gue kondisinya gimana. Apa elo udah yakin ? Yakin bisa jaga Nadhira ? Bisa bimbing dia ? Bisa bahagiain dia ?”
“Iya gue yakin, Bar. Gue juga udah ngomong sama mama papa. Gue emang nggak punya apa-apa lebih. Tapi gue janji akan berusaha selalu buat bikin Aleea bahagia. Gue sayang banget sama dia. Dan masalah sakit gue ini. Elo nggak perlu khawatir. Gue nggak bakal nyusahin Aleea dengan keadaan gue.”
“Han, gue temenan sama elo udah lama banget. Jadi baik buruknya elo hampir semuanya gue tau. Gue percaya sama elo. Dan kalo elo minta restu ke gue, itu sih gue nggak berani iyain dan nggak berani bilang nggak juga. Yang ngejalanin kan elo sama Nadhira. Jadi keputusan Nadhira adalah keputusan gue juga selama itu bikin dia bahagia. Gue juga udah pernah bilang ke elo. Selama sisa hidup gue, gue bakal lakuin apapun untuk buat adek gue bahagia. Dia udah terlalu menderita dengan keadaannya.”
Bara menjelaskan panjang lebar pada Reyhan. dan Reyhan mengerti bagaimana posisi Bara.
“Elo juga perlu ngomong ke orang tua gue dulu, Ham.”
“Pasti, Bar. Sebenernya emang malem ini rencananya gue mau ngomong sama orang tua elo. Tapi gue rasa ini bukan waktu yang tepat melihat kondisi Aleea drop kayak gitu. Jadi gue nunggu Aleea sembuh dulu lah baru gue ke rumah lo.”
“Ya udah lah. Gue sih dukung-dukung aja. Semangat ya, Han. Semoga semua niat baik lo dilancarkan.”
“Aamiin. Thanks, Bar.”
Suasana kembali sunyi. Hanya deru mobil dan bunyi-bunyi klakson dari mobil-mobil berlalu lalang yang mengiringi perjalanan Reyhan dan Bara. Hingga mobil yang mereka kendarai sampai didepan rumah mewah bak istana. Reyhan lebih dulu turun dan menunggu Bara yang masih memarkirkan mobil.
Reyhan membuka pintu utama rumahnya dan menyaksikan pemandangan ruang depan yang berantakan dengan mainan adiknya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam. Kaaakaak!”
Raina berlari ke arah kakaknya. Melihat hal itu. Reyhan berjongkok dan membentangkan kedua tangannya. Memberi tanda untuk memeluk adik perempuannya, Raina Farsya Oktara. Raina menghambur ke pelukan kakaknya dan mencium pipi Reyhan. Bara yang menyaksikan adegan tersebut tersenyum. Teringat dulu saat Nadhira bermanja padanya. Teringat pada Nadhira yang sangat dekatnya.
“Salim dulu sama Kak Bara, Dik.” Raina mengikuti perintah sang kakak.
“Uuuhhh anak pinter. Siapa namanya ?” Bara mengusap puncak kepala Raina penuh sayang. Sebagaimana ia mengelus puncak kepala Nadhira.
“Raina, Kak.” Raina tersenyum lebar menampilkan gigi ompongnya.
“Adik masuk dulu sana. Udahan mainnya.”
“Maunya di gendong kakak tapi.”
Reyhan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mengingat kondisinya sedang tidak memungkinkan untuk menggendong adiknya.
“Adik udah besar ih. Masak maunya digendong mulu. Malu dong sama Kak Bara.”
“Nggak mau. Pokoknya mau digendong kakak.“
Bara yang melihat Reyjan sudah kehabisan akal dan mengetahui bagaimana kondisi temannya saat itu mengambil alih membujuk Raina.
“Raina digendong sama Kak Bara aja yuk. Kak Reyhan lagi kurang sehat. Tuh liat mukanya pucat yaa.”
Raina melihat ke arah kakaknya.
“Iya udah deh.”
Bara menggendong Raina dan mengikuti Reyjan masuk ke ruang tamu.
“Adek ih kenapa gitu ? Kak Bara capek nanti. Turun yuk.” Farhan menegur adiknya. Latisha malah semakin mengeratkan pegangannya pada Bara.
“Nggak apa-apa, Farhan.”
“Eh ada Bara. Udah lama ? Ini kok adek malah digendong.” Mama menyapa Bara dan belum meperhatikan kondisi Reyhan yang sedang terlentang disofa ruang tamu. Mengistirahatkan dirinya.
“Iya, tante. Nggak apa-apa. Bara suka anak kecil. Lagian Raina juga nggak nakal. Iya dek ya ?” Bara menatap Raina dengan senyum manisnya sambil mengelus rambut panjang tergerai milik Raina. Raina mengangguk.
“Nah nah ini yang satu. Temen dateng kok malah tidur.” Mama baru menyadari keberadaan anaknya. Reyhan tak menyahut.
“Biarin istirahat aja, Tante. Tadi dirumah sakit waktu nganterin Nadhira, Bara liat dia agak pucat. Bara kesini juga nganterin Reyhan. Takut dia bawa mobil sendiri nanti malah kenapa-napa.”
“Nadhira sakit lagi ?”
“Iya, tante. Sakitnya kumat. Untung ada Reyhan tadi. Kalo nggak, Bara nggak tau bakal gimana jadinya.”
“Sabar ya, nak. Semoga lah Nadhira cepet sembuh. Anak seceria itu ya kok bisa sakit-sakitan begitu.”
“Iya begitulah, tante. Mau bilang apa juga. Dari kecil emang udah begitu.”
“Iya juga sih. Mumpung disini, ikut makan malem aja yuk, Bara. Farhan, bangunin kakak suruh makan dulu.”
“Nggak usah, tante. Bara langsung balik ke rumah sakit aja. Kasian ayah sendirian jaga Nadhira. Sebelum ke rumah sakit juga mau jemput Bunda dulu.”
“Sayang banget ya. Yaudah deh salam sama ayah bunda ya, Bara. Semoga Nadhira lekas sembuh.”
“Iya, tante.”
“Adek kak Farhan yang gendong yuk. Kak Bara mau pulang tuh.”
“Kok cepet banget, Kak Bara ?”
“Panggil abang ya, Sayang.”
“Iya Bang Bara kenapa cepet banget balik ? Belum juga main sama Raina.”
“Lain kali abang main sini lagi nemenin Raina. Kalo sekarang abang ada urusan. Oke ?”
“Oke, Abang.”
Farhan mengambil alih Raina dari gendongan Bara.
“Bara balik dulu, tante. Salam sama om Fahmi.”
“Iya, nak. Hati-hati.”
Bara mendekati Reyhan yang tertidur di sofa untuk pamit. Bara sedikit mengguncang tubuh Reyhan bermaksud untuk membangunkan.
“Han, gue balik dulu.”
“Mmm...cepet banget balik. Makan malam dulu lah.”
“Ayah nggak ada temen jaga Nadhira. Gue juga mau jemput Bunda dulu baru ke rumah sakit.”
“Sorry udah ngerepotin elo.”
“Idiiiihhh omongan lo ya kayak ke siapa aja deh. Nyante aja kali, Han.”
“Thanks, Bar.”
“Ya udah gue balik dulu.”
“Hati-hati lo.”
“Cepet sembuh, calon adik ipar.” Kali ini dengan sedikit berisik.
Reyhan melotot ke arah Bara dan dibalas hanya dengan senyuman mengejek.
___To Be Continued___
Sorry Bab ini cukup panjang yaa 😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments