ERIKA (Wanita Yang Difitnah)

ERIKA (Wanita Yang Difitnah)

Bab 1# Ibu Mertua yang Bawel

Dar dor dar dor...

Orang yang berada di dalam kamar, seketika terbangun, saat mendengar ketukan berirama di ambang pintu kamar sederhana itu.

"Erika, banguuuun!"

Gegas, wanita yang dipanggil namanya, segera memakai hijab joblos putihnya. Lalu turun dari ranjang meninggalkan sang suami dan putrinya yang masih nyenyak bermimpi.

Hoaamm... Masih setengah sadar dengan mulut menguap lebar, Erika membuka pintu kamarnya. Dan terlihatlah seorang wanita paruh baya yang berumur lima puluh lima tahun. Ibu Rani namanya, yang tak lain Ibu mertuanya.

"Iya, Ibu?" ujar Erika dengan suara parau khas baru bangun tidur. Sumpah demi apapun, ia masih mengantuk berat. Mata indahnya yang dilapisi bulu lentik alami, begitu enggan untuk bekerja sama.

"Iya, iya, iya! Ibu sudah sering katakan, kalau seorang Ibu dan istri itu, harus bangun pagi pagi," omel sang Ibu dengan nada tertahan. Mungkin, beliau takut mengganggu anak dan cucunya yang masih tidur di dalam kamar Erika.

Mendengar omelan ibu mertuanya yang sudah sering ia dapatkan selama dua bulan terakhir ini, membuat rasa kantuk Erika menguap. Matanya tertuju ke jam dinding.

Ya Allah, pantas saja matanya enggan bekerja sama, masih jam tiga subuh kurang beberapa menit.

"Cepat beberes. Nyuci baju, biar nggak keteter sama urusan lainnya. Setrikaan baju pun masih numpuk yang kemarin. Belum juga masak dan lain sebagainya, pasti butuh banyak waktu!" Titah sang Mertua.

Wanita berusia dua puluh lima tahun itu, sangat tau maksud mertua tunggalnya, beliau tidak mau direpotkan jikalau ia meminta bantuan menjaga Icha-sang putri yang usianya masih tiga tahun kurang dua bulan, selama ia berbenah rumah.

"Ini masih jam tiga, Bu. Biarkan aku sholat sunnah dulu ya," tawar Erika lembut. Dan pasti jawaban sang mertua 'Tidak' sudah biasa kok. Intinya, selama dua bulan terakhir ini sejak Ibu mertuanya masuk ke dalam rumah tangganya, hidup damai Erika berangsur menghilang. Tidur pun terasa kurang.

"Ck... Itu pasti alasanmu saja, seperti kemarin ketiduran di atas sajadah. Ingat! Bangun jam empat itu sudah namanya kesiangan. Ayam sudah mematok rejeki mu."

Ayam saja masih tidur di jam empat. Sayangnya, Erika hanya bisa menjawab di dalam hati. Takut Orang yang melahirkan sang suaminya itu tersinggung dan semakin menjadi jadi.

" Nggak kok, Ibu. Uda ya, aku mau mandi dulu. Biar nggak ngantuk."

Erika meninggalkan sang mertua. Menuju ke arah dapur yang memang kamar mandi hanya ada satu di dalam rumah sederhananya. Meski di belakang sana Ibunya itu masih mendumel, Erika tetap tidak peduli jikalau itu menyangkut waktu ibadahnya. Lagian, ibu mertuanya ini sangat keterlaluan, menguber uber orang tidur hanya di suruh ngebabu. Padahal, esok pagi pagi pun masih sempat ia lakukan dengan kata cekatan.

"Lagaknya sudah seperti orang tajir! Wanita yatim piatu yang miskin saja belagu sekali mau bangun seperti orang gedongan." Gerutu Ibu Rani sembari menghempaskan bokongnya ke sofa yang busanya sudah lepek.

Ya... Erika hanyalah seorang istri dari Aldo yang bekerja di sebuah pabrik rotan. Gaji pas pasan, membuat Erika terjun menjadi penulis di platform online tanpa sang suami tahu, apalagi sang ibu mertuanya. Meski, penghasilan dari novelnya tidaklah menentu, tetapi alhamdulillah ia bisa membantu keuangan sang suami untuk mengebulkan asap dapur.

Selesai mandi bebeknya, Erika bergegas menggelar sajadahnya. Sholat sunnah dua rokaat lalu lanjut berdzikir dalam benaknya, tak lupa surah Al Waqiah tidak ketinggalan terbaca di bibir mungilnya.

Tapi oh tapi, tasbih di tangannya berhenti berputar karena terganggu oleh suara....? seperti barang jatuh di luar sana.

Erika terkejut.

Itu pasti mertuanya. Entah apa masalah Mertuanya itu? Erika pun tidak tahu. Intinya, setelah sang mertua lelakinya meninggal dunia tiga bulan lalu, dan berujung rumah satu satunya dijual untuk bayar hutan, Sang Ibunya itu mulai bertindak semena mena padanya. Seakan, ia adalah boneka pelampiasan.

Dengan keadaan terpaksa, Erika meninggalkan dzikirnya karena konsentrasinya sudah buyar. Ia segera merapikan alat sholatnya dan bergegas keluar kamar.

"Tadi, apa yang jatuh, Bu?"

"Panci! Ibu mau bikin teh, tapi nggak sengaja tersenggol. Lagian naroh alat masak sembarangan saja," tutur nya ketus.

Nafas pendek pendek Erika terdengar lemah, seraya memandang nanar pancinya yang sudah penyok. Memang kalau barang murah, sekali jatuh langsung cacat.

Atensi Erika kembali ke sosok tubuh tambun yang sedang mengaduk aduk air teh dan sesekali dicicipinya untuk mencari rasa pas. "Gulanya jangan banyak banyak, Bu. Takut kena __"

"Bilang saja kamu pelit beli gula."

Astagfirullah, salah lagi. Padahal niat hati cuma mengingatkan kesehatan.

Tidak mau disemprot lagi sama mulut pedas Ibu bawelnya itu, Erika memutuskan bungkam saja dan lebih memilih memulai aktivitasnya. Mencuci baju dengan sikat dan sabun sembari bibir mungilnya tak henti hentinya bersenandung dengan lirik sholawatannya.

Selesai mencuci, Erika tidak langsung menjemurnya karena hari memang masih gelap. Erika kembali mengerjakan tugas lainnya, menyapu dan mengepel lantai rumah sederhananya itu. Hanya ada dua kamar, ruang tamu kecil serta ruang makan yang menyatu dengan dapurnya.

Allahuakbar Allahuakbar....

"Alhamdulillah, sudah adzan subuh." Katanya bersyukur. Bibir ranumnya mengembang manis menyambut suara panggilan muslim yang berkumandang merdu di masjid sana.

"Eh, kamu mau apalagi bawa bawa handuk. Sudah masak sarapan belum?"

Langkah Erika terhenti oleh suara ketus itu. Ia kira Ibu mertuanya lanjut tidur di dalam kamarnya. Ternyata masih setia menjadi mandor yang meresahkan.

"Mau mandi, Bu. Masaknya setelah sholat saja!" Jawab Erika kalem. Pembawaanya memang lemah lembut.

"Kamu itu mandi mau berapa kali? Tadi uda, sekarang mau mandi lagi! Memangnya air itu gratis? Anak ibu loh yang banting tulang__"

"Bu, tubuh Erika terkena keringat dan juga debu sehabis bebenah," sergah Erika cepat. Ia pusing pagi pagi buta sudah dibawelin. Apalagi kalau sudah menyangkut masalah ungkit mengungkit keuangan yang memang kewajiban seorang suami. Andai ia tidak akan menunaikan sholat, ia pun sangat enggan untuk mandi sebelum kerjaan rumah selesai semua. Tapi... Bukannya kalau akan menghadap-Nya, kita di wajibkan dalam keadaan bersih dan suci? Ingin sekali ia melontarkan hal tersebut, tetapi pasti akan berujung dikatai sok menggurui.

"Kamu itu kurang ajar sekali menjadi menantu! Selalu saja membantah!"

Tarik nafas buang nafas. Baru Erika mau menjawab dengan cara nya sendiri, Aldo-sang Suami sudah keluar kamar dengan wajah bantalnya. Rambut acak acakan sembari mengucek matanya.

"Ada apa sih, kok subuh subuh sudah ribut?" tanya Aldo sembari menatap dua wanita di depannya.

"Istri mu loh, Al, susah sekali dibilangin sama Ibu." adu Ibu Rina dengan tampang sedihnya. Nada ketusnya entah kabur kemana. Erika kadang muak melihatnya. Tetapi demi kedamaian dan agar masalah tidak berkepanjangan, Erika selalu mengalah.

"Erika?" seru Aldo penuh dengan tatapan tanyanya, meminta penjelasan.

"Aku mau sholat, Mas!" Erika berlalu ke arah kamar mandi. Menjelaskan ini dan itu, membuat kewajibannya ke Tuhan-nya bisa saja habis waktu di hari subuh itu.

"Lihatlah istri mu itu, sangat kurang ajar! Tidak tau cara bersikap sopan santun ke Ibu mertua dan Suami sendiri." Seperti ada angin segar, Ibu Rani punya kesempatan menjelek jelekkan Erika.

"Sudahlah, Bu. Jangan diperpanjang lagi. Lebih baik Ibu wudhu lalu sholat bersama Erika."

Jleb... Anak kurang ajar, umpat Ibu Rani dalam hatinya. Ia malah dinasehati. Tidak mau menyerah untuk membuat cela, Ibu Rani mengekori Aldo yang berlalu ke arah dapur.

"Kamu itu punya istri, tidak pantas buat kopi seorang diri." Bak kompor, mulut Ibu Rani menghasut anaknya untuk mencari kesalahan Erika.

"Ini cuma bikin kopi, Bu. Aku juga bisa, kasihan Erika kalau apa apa dia terus," Aldo tersenyum ke Ibunya, pertanda tidak apa-apa.

"Tapi itu sudah tugas istri!"

"Eum, tetapi Aldo juga bertugas membantu meringankan bebannya. Apa pun itu."

Erika yang berada di dalam kamar mandi sederhana itu, jelas mendengarnya. Tangannya mengelus dada sembari tersenyum lega, ternyata suaminya masih sangat pengertian. Tidak masalah cacian ibu mertuanya yang hanya dianggap 'Anjing menggonggong, kafilah berlalu.' Ya... Selama Aldo mencintai dan menyayanginya, insyaallah Erika akan sabar menghadapi ibu mertua bawelnya.

Ceklek...

"Mas, kita sholat jama'ah atau aku duluan saja?" Erika langsung bertanya setelah pintu kamar mandi terbuka.

Aldo yang duduk di kursi meja makan sembari ngopi, menoleh dengan bibir tersenyum ke istri sholehahnya. Sedang Ibu Mertuanya pura pura tuli yang main berlalu keluar dari dapur.

"Mas belum mandi. Mules pengen BAB juga. Bagaimana dong?" sahut Aldo apa adanya.

Erika tersenyum penuh pengertian. Lalu berkata, "Jangan sampai ketinggalan waktunya ya, Mas. Aku duluan saja kalau begitu."

"Iya, Sayang!"

Terpopuler

Comments

Irma Tjondroharto

Irma Tjondroharto

hadir thor..tampaknya bagus thor...semoga ya thor

2023-11-02

1

ᵉˡ̳𝐀𝐘𝐃𝐀⸙ᵍᵏ

ᵉˡ̳𝐀𝐘𝐃𝐀⸙ᵍᵏ

ini baru 🤭🤭 aku baru liat

2023-01-01

0

Ana

Ana

hehehe ana datang ka tata 😁semangat 💪 berasa ada di dunia nyata deh baca ceritanya 🙈

2022-12-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!