"Bagian Ibu, mana?" Ibu Rani langsung saja meminta hak tiap bulannya dari gaji Aldo.
Padahal saat ini, Erika masih sibuk memasak mie instan untuk suaminya. Belum sempat membuka amplop itu yang ditaruhnya di sebelah kompor. Nahasnya, Aldo pun masih bergeming di meja makan itu.
Ibu mertuanya tidak sama sekali menganut kata sabar.
"Tunggu Erika selesai masaklah, Bu. Nanti juga diberi kok." sela Aldo dengan lembut. Ia ingin meminimalisir keadaan yang sudah mencurigakan akan tidak baik baik saja. Sudah terdengar dari intonasi suara sang Ibu yang tidak bersahabat.
"Nggak! Nanti seperti bulan kemarin lagi yang hanya diberi tiga ratus ribu!"
Erika yang mendengar fitnah lagi, segera saja membantah. "Ibu, kok ngilang ngilangin rejeki sih. Itu nggak baik loh. Erika 'kan ngasih sejumlah lima ratus ribu. Erika nggak salah hitung kok!"
"Tapi memang kenyataannya kok. Ibu yang sabar dan pengertian, yeakk... Hanya bisa ikhlas bulan kemarin."
Ibu mertuanya ini sangat tepat dijuluki ratu drama. Erika di sini seakan-akan penjahat yang patut dibasmi.
"Sudahlah, Erika. Kasih saja sekarang bagian Ibu," ucap Aldo.
Erika yang menahan nahan kesal karena sudah dijelekkan di depan suaminya langsung, lebih memilih beringsut ke meja, di mana suami dan Ibu mertuanya itu duduk bersebelahan. Lalu berkata sembari menaruh amplop gaji suaminya di sebelah tangan Aldo. "Biar aku nggak disalahkan lagi, lebih baik Mas Aldo sendiri yang menghitung dan memberikannya ke Ibu."
Selesai bertutur datar datar kesal, Erika kembali lagi ke depan kompor. Menuang bumbu mie ke mangkok sembari melebarkan kupingnya akan suara Ibu dan anak itu.
"Minggu depan, Ibu ditagih uang seragam pengajian, Al. Masa iya lima ratusnya kecelong, lebihin dong. Itung itung ganti yang kemarin kurang itu loh." rengek Ibu Rani sembari menatap manis anaknya.
Erika berharap, suaminya itu menolak tegas. Sungguh, bukan karena ia istri pelit. Tetapi uang segitu dalam sebulan sungguh sangat jauh dari kata cukup. Sebagai seorang Ibu, bukannya memiliki sikap peduli pada kekurangan ekonomi anak mantunya, Ibu mertuanya itu sepertinya malah sengaja membuat dapurnya hanya akan bertahan dua mingguan saja. Erika sangat menyayangkan mempunyai Ibu mertua yang selalu mendzoliminya.
"Ibu, ini hak Erika. Tolonglah__" kata Aldo terjeda.
"Bilang aja kamu lebih peduli sama Erika dari pada Ibu," serga Ibu Rani main cerocos. Aldo sampai menganga mendengar mulut asal asalan ibunya sembari melirik Erika yang masih setia menghadap kompor. Aldo jelas bukan orang naif yang tidak mengetahui rasa tertampar batin istrinya itu. Kasihan sekali istrinya. Tetapi ia harus apa? Membentak ibunya? Itu bukan sifatnya.
Sedang Erika, demi kesopanannya pada Aldo, Erika hanya bersabar mendengar hal tersebut, meski jujur kupingnya terasa panas dengan dada bergerumuh hebat dan tentu saja jelas sakit hati.
"Erika, bagaimana?" tanya Aldo meminta persetujuan istrinya. Ibunya ini sangat kekeuh meminta lebih. Tidak ada niatan bangkit dari kursi sebelum diberi uang tambahan.
Erika yang dipanggil namanya, segera berbalik. "Mas Aldo yang bekerja, terserah Mas Aldo saja," cuek Erika. Tetapi Aldo tau, itu adalah rasa sakit hati Erika yang tertahan.
"Tapi ini hakmu!" Aldo serasa makan buah simalakama. Istrinya ini sungguh sangat baik tapi kenapa ibunya itu selalu membencinya? Ia diam diam juga tau kalau sang Ibu selalu mencari gara gara. Jangan bilang ia tidak pernah menegur? Aldo selalu berakhir salah kalau membahas soal perdamaian.
"Percayalah, rejeki pasti akan menyapa kalau kita berusaha dan berdoa pada-Nya. Beri saja, Mas!" Erika mengalah lagi demi kedamaian. Biarkan sajalah ia terus begadang untuk membuat kata demi kata untuk isi bab novelnya. Ia akan berkerja keras demi membantu keuangan suaminya yang jauh dari kata cukup sebenarnya.
Sebelum Aldo bergeming, Erika kembali berkata sembari menaruh semangkuk mie yang sudah matang di depan meja Aldo. "Mienya dimakan ya, Mas. Aku mau lihat Icha di kamar, takut sudah bangun dan malah jatuh!" Menyingkir di depan mertuanya saat ini, lebih baik untuk Erika. Dadanya serasa panas, dan Erika akan damai jika ia mengambil wudhu dan memusatkan hati, mata, otak dan bibirnya di depan Alqur'an favoritnya.
"Katanya mau lihat Icha, tapi mau apa masuk ke kamar mandi?" Aldo penasaran. Apa Erika galfos karena sedang menahan kesal?
"Mau wudhu, Mas. Ngaji biar hati adem!" sindir Erika halus halus nyelekit sembari melirik Ibu mertuanya sekilas.
Bibir Ibu Rani langsung saja komat kamit memberi sumpah serapah dalam hatinya pada mantu lancangnya itu. Gayanya sok alim tapi dzolim pada mertua, batinnya tidak tau diri sendiri karena ia memang mempunyai sifat maha benar.
"Ini uangnya, Bu. Tolong diirit ya. Pabrik lagi sepi barang." Tambahan dua ratus ribu sudah berpindah ke tangan Ibu Rani. Bibir tua itu mengembang puas karena Erika kalah saingan dengannya kali ini.
"Bagaimana kalau kamu ikut Sinta saja, Al. Katanya, kantornya itu sedang butuh satpam loh. Lihatlah postur tubuhmu, sangat cocok kerja begituan. Gagah dan tampan! Dan gajinya juga lebih besar dari pabrik! Mau ya?"
Aldo tidak menyahut, ia terus memakan mie buatan istrinya dengan hikmat.
"Dengar ibu nggak sih?"
"Eum...!"
"Kok responnya eum doang? Kalau mau, nanti Ibu konfirmasikan ke Sinta. Takut ada yang keburu ngisi lowongannya loh."
"Nanti Aldo izin dulu ke Erika, Bu." Bukan tanpa sebab Aldo tidak mengambil keputusan sendiri tentang pekerjaan itu. Sinta adalah wanita yang konon tergila-gila padanya. Ia tidak mau menaruh rumah tangganya dalam jurang kehancuran.
"Jadi laki kok lembek. Apa apa Erika! Apa apa ini itu!" Ibu Rani segera beranjak pergi setelah berketus ria.
Aldo cuma geleng-geleng kepala, speechless dengan lambe pedas Ibunya.
Selesai menghabiskan makanannya, Aldo lanjut mencuci mangkoknya sendiri agar Erika tidak repot lagi. Kemudian menyusul Erika ke dalam kamar.
Kuping Aldo langsung adem mendengar suara Erika yang saat ini masih mengaji di sisi kasur, sembari memangku Alqurannya. Icha pun sepertinya masih nyenyak.
Menyadari Aldo sudah berada di ruangan yang sama. Erika pun segera mengakhiri kajiannya. Mencium sejenak Alqurannya lalu menaruh di tempat yang bersih.
"Maaf atas sikap ibuku ya, Dek." Aldo beringsut duduk di samping Erika.
Erika tidak langsung menjawab. Bukan juga tidak mau memaafkan, tetapi kata maaf itu harus terucap dengan hati bersih dan lapang dada bukan? Sementara, hatinya saat ini masih ada sisa sisa kekesalan akan sikap semena mena mertuanya.
Setelah tersenyum pahit. Erika malah bertanya, "Sebenarnya, apa dan bagian mananya sih, Mas, sisi burukku di mata kalian?"
Erika paham, kalau manusia itu tidak ada yang sempurna. Tetapi, untuk mencari arti kedamaian, insyaallah ia akan mau berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Lain halnya Aldo, mendengar pertanyaan istrinya yang bernada sedih, hatinya langsung terenyuh. Kalau disuruh menjuri, satu dari sepuluh maka nilai Erika dalam keseluruhan adalah sembilan koma sembilan. Bukan karena Erika adalah istrinya, ia nyaris memberi angka sempurna. Tetapi itu benar kenyataannya. Kadang Aldo sering bersyukur dalam doanya, karena diberi pasangan seperti Erika. Sedang ia, apa? Ia hanyalah pria biasa yang belum bisa memberi kebahagia untuk Erika.
Mendapat pasangan seperti Erika di zaman serba uang itu, sungguh adalah keberuntungan baginya. Istrinya itu penyabar, tidak matre dan pandai bersyukur meski gajinya jauh dari kata cukup. Rasa syukur dan nikmat mana lagi yang akan Aldo dustakan?
"Bagian burukmu hanya satu di mata Mas-mu ini!" Aldo tidak mau melihat lama lama mata istrinya terteduh sedih. Dengan itu, ia mencoba mencairkan suasana dengan cara menggoda manis istrinya.
"Apa?" Wajah Erika menegang.
"Mau tau pakai banget atau mau tau aja?" Alis Aldo naik turun menggoda.
"Pakai banget!" Bibir tipis Erika, semakin manyun bete. Ia lagi serius, eh Aldo malah mencandainya. Tapi, inilah yang ia rindukan dari Aldo, suaminya selalu pintar menghiburnya meski hanya candaan sederhana.
"Yakin mau tau? " Alis tebal Aldo naik turun jenaka sembari tersenyum manis.
"Iya, yakin!" Erika tersenyum lepas membuat Aldo terpesona. Dan cup... Satu kecupan jatuh sempurna di pipi bersih Erika.
"Kok malah dicium sih, Mas. Kalau Icha bangun dan melihatnya, bagaimana?" Pipi Erika merah merona.
Aldo tersenyum manis. Dan, Cup lagi... Membuat pipi itu semakin memerah malu.
"Ibu, Ayah... Icha uga mau tium tium...!"
Deg...
Nah kan, ada mata suci yang melihat kalakuan mereka.
Aldo melempar cengiran bodohnya ke Erika yang mendelik padanya seperti kode, "Apa aku bilang!"
"Sini sini, Ayah cium dua pacar Ayah sekaligus." Aldo dengan senang hati mengunyel unyel pipi tembem anaknya dengan gemas. Sampai Icha terkekeh kekeh karena Erika pun ikut menggoda dengan klitikan di kaki bocah itu.
Dan suara canda tawa ketiganya sampai terdengar keluar kamar dan berakhir ke kuping Ibu Rani.
"Idihh, berisik amat sih mereka!" dumelnya seperti orang iri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
anray
semoga kelak erika bisa bahagia
2022-12-15
4