NovelToon NovelToon

ERIKA (Wanita Yang Difitnah)

Bab 1# Ibu Mertua yang Bawel

Dar dor dar dor...

Orang yang berada di dalam kamar, seketika terbangun, saat mendengar ketukan berirama di ambang pintu kamar sederhana itu.

"Erika, banguuuun!"

Gegas, wanita yang dipanggil namanya, segera memakai hijab joblos putihnya. Lalu turun dari ranjang meninggalkan sang suami dan putrinya yang masih nyenyak bermimpi.

Hoaamm... Masih setengah sadar dengan mulut menguap lebar, Erika membuka pintu kamarnya. Dan terlihatlah seorang wanita paruh baya yang berumur lima puluh lima tahun. Ibu Rani namanya, yang tak lain Ibu mertuanya.

"Iya, Ibu?" ujar Erika dengan suara parau khas baru bangun tidur. Sumpah demi apapun, ia masih mengantuk berat. Mata indahnya yang dilapisi bulu lentik alami, begitu enggan untuk bekerja sama.

"Iya, iya, iya! Ibu sudah sering katakan, kalau seorang Ibu dan istri itu, harus bangun pagi pagi," omel sang Ibu dengan nada tertahan. Mungkin, beliau takut mengganggu anak dan cucunya yang masih tidur di dalam kamar Erika.

Mendengar omelan ibu mertuanya yang sudah sering ia dapatkan selama dua bulan terakhir ini, membuat rasa kantuk Erika menguap. Matanya tertuju ke jam dinding.

Ya Allah, pantas saja matanya enggan bekerja sama, masih jam tiga subuh kurang beberapa menit.

"Cepat beberes. Nyuci baju, biar nggak keteter sama urusan lainnya. Setrikaan baju pun masih numpuk yang kemarin. Belum juga masak dan lain sebagainya, pasti butuh banyak waktu!" Titah sang Mertua.

Wanita berusia dua puluh lima tahun itu, sangat tau maksud mertua tunggalnya, beliau tidak mau direpotkan jikalau ia meminta bantuan menjaga Icha-sang putri yang usianya masih tiga tahun kurang dua bulan, selama ia berbenah rumah.

"Ini masih jam tiga, Bu. Biarkan aku sholat sunnah dulu ya," tawar Erika lembut. Dan pasti jawaban sang mertua 'Tidak' sudah biasa kok. Intinya, selama dua bulan terakhir ini sejak Ibu mertuanya masuk ke dalam rumah tangganya, hidup damai Erika berangsur menghilang. Tidur pun terasa kurang.

"Ck... Itu pasti alasanmu saja, seperti kemarin ketiduran di atas sajadah. Ingat! Bangun jam empat itu sudah namanya kesiangan. Ayam sudah mematok rejeki mu."

Ayam saja masih tidur di jam empat. Sayangnya, Erika hanya bisa menjawab di dalam hati. Takut Orang yang melahirkan sang suaminya itu tersinggung dan semakin menjadi jadi.

" Nggak kok, Ibu. Uda ya, aku mau mandi dulu. Biar nggak ngantuk."

Erika meninggalkan sang mertua. Menuju ke arah dapur yang memang kamar mandi hanya ada satu di dalam rumah sederhananya. Meski di belakang sana Ibunya itu masih mendumel, Erika tetap tidak peduli jikalau itu menyangkut waktu ibadahnya. Lagian, ibu mertuanya ini sangat keterlaluan, menguber uber orang tidur hanya di suruh ngebabu. Padahal, esok pagi pagi pun masih sempat ia lakukan dengan kata cekatan.

"Lagaknya sudah seperti orang tajir! Wanita yatim piatu yang miskin saja belagu sekali mau bangun seperti orang gedongan." Gerutu Ibu Rani sembari menghempaskan bokongnya ke sofa yang busanya sudah lepek.

Ya... Erika hanyalah seorang istri dari Aldo yang bekerja di sebuah pabrik rotan. Gaji pas pasan, membuat Erika terjun menjadi penulis di platform online tanpa sang suami tahu, apalagi sang ibu mertuanya. Meski, penghasilan dari novelnya tidaklah menentu, tetapi alhamdulillah ia bisa membantu keuangan sang suami untuk mengebulkan asap dapur.

Selesai mandi bebeknya, Erika bergegas menggelar sajadahnya. Sholat sunnah dua rokaat lalu lanjut berdzikir dalam benaknya, tak lupa surah Al Waqiah tidak ketinggalan terbaca di bibir mungilnya.

Tapi oh tapi, tasbih di tangannya berhenti berputar karena terganggu oleh suara....? seperti barang jatuh di luar sana.

Erika terkejut.

Itu pasti mertuanya. Entah apa masalah Mertuanya itu? Erika pun tidak tahu. Intinya, setelah sang mertua lelakinya meninggal dunia tiga bulan lalu, dan berujung rumah satu satunya dijual untuk bayar hutan, Sang Ibunya itu mulai bertindak semena mena padanya. Seakan, ia adalah boneka pelampiasan.

Dengan keadaan terpaksa, Erika meninggalkan dzikirnya karena konsentrasinya sudah buyar. Ia segera merapikan alat sholatnya dan bergegas keluar kamar.

"Tadi, apa yang jatuh, Bu?"

"Panci! Ibu mau bikin teh, tapi nggak sengaja tersenggol. Lagian naroh alat masak sembarangan saja," tutur nya ketus.

Nafas pendek pendek Erika terdengar lemah, seraya memandang nanar pancinya yang sudah penyok. Memang kalau barang murah, sekali jatuh langsung cacat.

Atensi Erika kembali ke sosok tubuh tambun yang sedang mengaduk aduk air teh dan sesekali dicicipinya untuk mencari rasa pas. "Gulanya jangan banyak banyak, Bu. Takut kena __"

"Bilang saja kamu pelit beli gula."

Astagfirullah, salah lagi. Padahal niat hati cuma mengingatkan kesehatan.

Tidak mau disemprot lagi sama mulut pedas Ibu bawelnya itu, Erika memutuskan bungkam saja dan lebih memilih memulai aktivitasnya. Mencuci baju dengan sikat dan sabun sembari bibir mungilnya tak henti hentinya bersenandung dengan lirik sholawatannya.

Selesai mencuci, Erika tidak langsung menjemurnya karena hari memang masih gelap. Erika kembali mengerjakan tugas lainnya, menyapu dan mengepel lantai rumah sederhananya itu. Hanya ada dua kamar, ruang tamu kecil serta ruang makan yang menyatu dengan dapurnya.

Allahuakbar Allahuakbar....

"Alhamdulillah, sudah adzan subuh." Katanya bersyukur. Bibir ranumnya mengembang manis menyambut suara panggilan muslim yang berkumandang merdu di masjid sana.

"Eh, kamu mau apalagi bawa bawa handuk. Sudah masak sarapan belum?"

Langkah Erika terhenti oleh suara ketus itu. Ia kira Ibu mertuanya lanjut tidur di dalam kamarnya. Ternyata masih setia menjadi mandor yang meresahkan.

"Mau mandi, Bu. Masaknya setelah sholat saja!" Jawab Erika kalem. Pembawaanya memang lemah lembut.

"Kamu itu mandi mau berapa kali? Tadi uda, sekarang mau mandi lagi! Memangnya air itu gratis? Anak ibu loh yang banting tulang__"

"Bu, tubuh Erika terkena keringat dan juga debu sehabis bebenah," sergah Erika cepat. Ia pusing pagi pagi buta sudah dibawelin. Apalagi kalau sudah menyangkut masalah ungkit mengungkit keuangan yang memang kewajiban seorang suami. Andai ia tidak akan menunaikan sholat, ia pun sangat enggan untuk mandi sebelum kerjaan rumah selesai semua. Tapi... Bukannya kalau akan menghadap-Nya, kita di wajibkan dalam keadaan bersih dan suci? Ingin sekali ia melontarkan hal tersebut, tetapi pasti akan berujung dikatai sok menggurui.

"Kamu itu kurang ajar sekali menjadi menantu! Selalu saja membantah!"

Tarik nafas buang nafas. Baru Erika mau menjawab dengan cara nya sendiri, Aldo-sang Suami sudah keluar kamar dengan wajah bantalnya. Rambut acak acakan sembari mengucek matanya.

"Ada apa sih, kok subuh subuh sudah ribut?" tanya Aldo sembari menatap dua wanita di depannya.

"Istri mu loh, Al, susah sekali dibilangin sama Ibu." adu Ibu Rina dengan tampang sedihnya. Nada ketusnya entah kabur kemana. Erika kadang muak melihatnya. Tetapi demi kedamaian dan agar masalah tidak berkepanjangan, Erika selalu mengalah.

"Erika?" seru Aldo penuh dengan tatapan tanyanya, meminta penjelasan.

"Aku mau sholat, Mas!" Erika berlalu ke arah kamar mandi. Menjelaskan ini dan itu, membuat kewajibannya ke Tuhan-nya bisa saja habis waktu di hari subuh itu.

"Lihatlah istri mu itu, sangat kurang ajar! Tidak tau cara bersikap sopan santun ke Ibu mertua dan Suami sendiri." Seperti ada angin segar, Ibu Rani punya kesempatan menjelek jelekkan Erika.

"Sudahlah, Bu. Jangan diperpanjang lagi. Lebih baik Ibu wudhu lalu sholat bersama Erika."

Jleb... Anak kurang ajar, umpat Ibu Rani dalam hatinya. Ia malah dinasehati. Tidak mau menyerah untuk membuat cela, Ibu Rani mengekori Aldo yang berlalu ke arah dapur.

"Kamu itu punya istri, tidak pantas buat kopi seorang diri." Bak kompor, mulut Ibu Rani menghasut anaknya untuk mencari kesalahan Erika.

"Ini cuma bikin kopi, Bu. Aku juga bisa, kasihan Erika kalau apa apa dia terus," Aldo tersenyum ke Ibunya, pertanda tidak apa-apa.

"Tapi itu sudah tugas istri!"

"Eum, tetapi Aldo juga bertugas membantu meringankan bebannya. Apa pun itu."

Erika yang berada di dalam kamar mandi sederhana itu, jelas mendengarnya. Tangannya mengelus dada sembari tersenyum lega, ternyata suaminya masih sangat pengertian. Tidak masalah cacian ibu mertuanya yang hanya dianggap 'Anjing menggonggong, kafilah berlalu.' Ya... Selama Aldo mencintai dan menyayanginya, insyaallah Erika akan sabar menghadapi ibu mertua bawelnya.

Ceklek...

"Mas, kita sholat jama'ah atau aku duluan saja?" Erika langsung bertanya setelah pintu kamar mandi terbuka.

Aldo yang duduk di kursi meja makan sembari ngopi, menoleh dengan bibir tersenyum ke istri sholehahnya. Sedang Ibu Mertuanya pura pura tuli yang main berlalu keluar dari dapur.

"Mas belum mandi. Mules pengen BAB juga. Bagaimana dong?" sahut Aldo apa adanya.

Erika tersenyum penuh pengertian. Lalu berkata, "Jangan sampai ketinggalan waktunya ya, Mas. Aku duluan saja kalau begitu."

"Iya, Sayang!"

Bab 2# Gosip Menampar Hati

Dua minggu berlalu, dan selama itu pula, Erika masih saja sering dan bahkan hampir tiap jam dapat teguran tak berdasar dari sang ibu mertua. Semakin hari, sikap ibu mertuanya itu semakin dingin.

"Erikaaaa!"

Teriakan terhakiki Ibu Rani mulai terdengar.

"Kamu sedang apa sih? Ingus anak kamu tuh! Jorok banget!" imbuhnya sembari menatap jijik cucunya yang sedang main boneka di lantai. Sedang ia saat ini duduk santai di kursi sembari menonton TV.

Erika yang baru keluar dari dapur, dengan tangan membawa makan untuk Icha, langsung menyahut, "Icha memang lagi pilek, Bu. Harusnya ibu membersihkannya, bukan malah berteriak teriak membuat Icha jadi kaget," tutur Erika penuh kelembutan. Cepat cepat ia meraih tissue untuk membersihkan area hidung sang anak sembari mendengar sahutan ketus dari Ibu maha benar itu.

"Tiap hari, kamu semakin pintar melawan ibu. Awas saja, Ibu akan aduin kamu ke Aldo kalau sudah pulang bekerja."

Serah, serah wae! Erika terlalu sakit kepala untuk sekedar menjawabnya. Ia sudah tidak tahu harus bersikap apa di depan ibu mertuanya. Ini dan itu selalu salah. Diam dianggap salah, apalagi menyahut. Yaa... Beginilah ujungnya dapat ancaman tidak jelas.

"Nenek, angan malah malah telus. Nanti epat keliput, eh uda keliput ya." celetuk Icha dengan nada cadelnya. Dan cairan bening kembali meler di hidungnya.

Ibu Rani membulatkan matanya. Menatap sengit ke Erika yang sedang mengulum senyum secara diam diam. Erika begitu gemas sendiri mendengar celetukan Icha yang mungkin kasihan padanya karena sering menjadi saksi Ibunya di marahin terus.

"Ini pasti ajaran kamu, kan? Anak masih suci, tetapi sudah diajari kurang ajar sama orang yang lebih tua!" tuduhnya kesal. Membuat kesabaran Erika dipertanyakan.

"Maaf, Bu! Erika nggak sama sekali mengajarkan hal buruk ke anak ku. Seperti kata ibu, anak kecil itu masih suci dan bersih, pasti cepat menangkap hal positif dan negatif di sekitaranya. Jadi mohon di mengerti, sikap yang dikiranya negatif lebih baik dibuang jauh jauh. Nggak baik sama masa depan anak suci seperti Icha."

Nada halus tetapi penuh dengan sindiran pedas untuk Ibu Rani dengar.

Agar jauh dari percekcokan panjang, Erika bergegas menggendong Icha keluar rumah, sembari membawa nasi sayur bayam untuk Icha makan.

"Menantu kurang ajar!" dumel Ibu Rani kesal. Awas saja pokoknya. Ia akan membuat pelajaran pada menantu tak bergunanya itu.

Sembari menatap punggung Erika menjauh dari rumah, bibir Ibu Rani tersenyum penuh arti. Lalu berkata, "Cepat atau lambat, Aldo akan membuangmu!"

***

"Astagfirullah adzim..."

Tiga kali Erika mengucapkan istighfar itu, sembari mengelus dadanya yang bergerumuh hebat akibat Ibu Rani yang selalu memancing emosinya.

"Apa aku seburuk itu? Ya Allah, maafkan aku jikalau perkataanku tadi menyinggung perasaan Ibu mertua ku, yang bisa saja menjadi sumber dosa untukku." doanya dalam hati.

Erika bukanlah wanita naif, bukan pula takut dimusuhi yang memang sudah dimusuhi oleh mertuanya tanpa sebab titik kesalahannya ada di mana? Erika pun bukan manusia sok suci. Ia hanya takut berdosa akan lisannya yang selalu diuji oleh mertuanya sendiri.

"Bu, aaaa..." Lamunan Erika buyar saat Icha kembali minta disuapi.

Dengan bibir merekah secara terpaksa, Erika pun menyuapi putri kecilnya. Saat ini, ia dan Icha berada di pos ronda. Menyuapi sembari mengajak Icha bermain di luar rumah.

"Eh, ada Ibu Erika." Satu wanita yang tak lain adalah tetangganya, ikut ngadem.

Erika balas menyahut ramah.

Baru juga tetangganya duduk bersama. Dua Ibu ibu rumah tangga lainnya, ikut nimbrung. Erika was was, pasti ketiga tetangganya ini ujung ujungnya akan ngeghiba yang tidak tidak.

"Eh, Ibu ibu.. Mau tau nggak?"

Nah kan, baru juga Erika was was. Mulut Ibu Saida sudah mulai bereaksi memancing Ibu Kokom dan Ibu Julia.

"Apa, Bu. Apa?" kepo Ibu Julia, antusias.

"Ibuuuu... Puuyang yuk, puuyang..."

Alhamdulillah, Icha sangat pintar, anak kecil itu risih akan kedatangan tiga ibu ibu yang terkenal tukang ngerumpi. Bukan apa apa, meski Erika hanya pendengar setia bahan julidan mereka, tetap saja ia akan kecipratan dosanya. Apalagi, puasa sunnah-nya tidak mau batal sia sia yang sudah dipertanyakan oleh kesabaran nya tadi perihal nyinyiran mertuanya sendiri.

"Ibu ibu, saya pamit duluan ya, Icha minta pulang," izin Erika takzim.

Tetapi ia tertahan akan tembakan suara Ibu Saida yang menampar hatinya.

"Saya selingkuh?" ulang Erika akan perkataan Ibu Saida.

"Maaf loh, Bu Erika. Saya hanya mendengar gosip ini dari para ibu ibu jamiah-an dan katanya berita ini dari Ibu Rani langsung. Daripada berprasangka buruk, lebih baik saya nanya langsung ke Ibu yang kebetulan ada di sini. Katanya sih, Ibu Erika itu sering senyum senyum sembari chat-an. Dan katanya, itu pasti chat-an bersama selingkuhannya. "

Astagfirullah adzim... Entah berapa kali hari ini Erika mengucap istighfar. Ibu mertuanya sudah melebihi batas yang begitu tega bermain fitnah. Ini sih sudah keterlaluan. Takut takut mengancam keharmonisan rumah tangganya, Erika pun membantah fitnah itu dengan sikap tegas namun seperti biasa... tenang-tenang mematikan.

"Saya memang sering chat-an, Ibu ibu. Tetapi bukan pertanda saya selingkuh. Dan ya... Saya suka bermain hape di saat suami saya bekerja, tetapi percayalah... Saya main hape bukan karena hal zina atau pun menjadi netizen di kolom komentar orang manapun. Permisi!"

Erika segera menggendong Icha. Ia tidak peduli lagi dengan bisik bisikan tiga orang tersebut. Tidak di rumah, di luar rumah pun hatinya sama saja dibuat jengkel jengkel tertahan. Semoga kewarasannya masih terjaga. Amin, doanya dalam hati.

Tiiiingg...

" Astagfirullah..."

Kali ini, Erika beristigfar bukan karena mulut mulut nyinyir orang orang, melainkan ia hampir tertabrak oleh pemotor pria yang dilihat lihat si pemotor itu masih berondong.

"Ukthi, lihat lihat dong kalau mau nyebrang. Bawa adik pula. Kan bahaya!"

"Adik? Mana adik yang dibilang si Mas berondong yang memakai jaket kulit hitam ini?" batin Erika sembari celingukan ke kiri dan bagian kanannya. Dan sejurus, Erika pun berasumsi kalau si Mas berondong salah sangka, Icha adalah anaknya bukan adiknya.

"Ukthi nggak apa apa kan? Mau gue bawa ke rumah gue eh rumah sakit?"

"Saya nggak apa apa, Mas. Dan saya juga minta maaf karena main menyeberang begitu saja. Kalau begitu, saya permisi. Assalamualaikum." Erika menunduk takzim sejenak sebelum melangkah dari pria muda yang sempat terpesona dengan suara sopan dan lembut Erika yang tiba-tiba menggetarkan hatinya.

" Wiih... Calon pacar gue itu! Uda cantik, terlihat sopan, suara merdu dan mau repot ngurus adik, apalagi nanti kalau anak sendiri, pasti sayangnya sejuta kali." Pria bermotor itu mengulas senyum manis. "Emaaaak, anakmu nemu bidadari tak bersayap!" pekiknya sendiri.

Bab 3# Tidak Sesuai Ekspektasi Ibu Rani

Erika pulang ke rumah dengan menahan dadanya yang naik turun bergerumuh hebat.

Rasanya, Erika ingin sekali mengobrol empat mata dengan ibu mertuanya saat ini juga, tetapi ia harus memikirkan Icha yang tidak boleh menyaksikan terus menerus argumen pedas Ibu mertuanya.

"Sayang, Icha kan sudah makan. Sudah main juga. Jadi... Saatnya apa, Sayang?"

"Bobo ciang..."

"Pintar sekali!" Erika tersenyum sembari menarik pelan ujung hidung anaknya dengan gemas sembari tersenyum manis.

Setelah mencuci tangan dan kaki Icha, Erika pun membawa sosok mungil itu ke kamarnya. Mengeloni Icha sembari melantungkan nyanyian sholawatan. Tadinya, Icha sesekali menimpali sholawat itu dengan suara cadelnya, namun beberapa menit kemudian, Icha pun terlelap di dalam dekapan hangat kasih sayang Erika.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu tidur juga." Cup... Kecupan kasih sayang menyentuh kening Icha. Setelahnya, sisi sisi ranjang pun Erika beri bantal sebagai jaga jaga agar anaknya tidak terjatuh tatkala menggeliat atau bergerak dalam tidurnya.

Sedari tadi menahan nahan dadanya yang bergerumuh, akhirnya Erika berjalan mencari sosok ibu yang diagungkan oleh suaminya.

"Ibu kemana ya? Kok di kamar nggak ada?" Hanya kamar kosong yang ada di depan matanya. Pantas saja, tiga kali ketukan pintu sembari berseru tadi, malah nggak ada jawaban. Ternyata kosong!

Lanjut, Erika mencari Ibu mertuanya itu ke area dapur dan benar saja. Ibu Rani saat ini lagi makan.

Astagfirullah, lauk pauk dihabiskan semua tanpa menyisakan satu potong ikan goreng yang ia masak tadi. Hanya kuah sayur bayam saja yang masih terlihat di mangkuk itu.

"Kalau soal rasa masakan, Ibu memang akui keahlianmu," kata Ibu Rani ke Erika yang hanya menelan ludah pasrah saat ini. It's oke, ini hanya makanan, Erika ikhlas ridho meski perut nya pun pasti akan meminta jatah diisi. Tapi untuk suaminya, bagaimana coba? Mana bahan masakan di kulkas tidak ada stok.

"Jangan lupa dicuci langsung piringnya," titah songong si Ibu sembari menjilati sisa sisa sambel yang menempel di jari jarinya.

Erika membuang nafas lemah. Lalu menurut patuh menyusun alat bekas makan mertuanya. Rasa hormatnya ke Ibu Rani masih ada sampai saat ini. Tapi ia juga tidak tau, rasa sabar itu akan sepanjang apa? Manusiawi tak luput dari kata khilaf dan salah, bukan? Ia hanya takut nanti lepas kendali.

" Ibu, apa benar kata ibu Saida kalau Ibu memfitnah Erika selingkuh?" tanya Erika dengan nada bergetar karena menahan emosinya agar tidak meledak.

Belum ada jawaban, Ibu Rani beringsut ke arah wastafel untuk mencuci tangannya.

Erika mendekat sembari membawa piring kotor itu.

"Ibu kenapa tega memfitnah ku?"

Segera, Ibu Rani mendelik. Lalu menjawab ketus, "Itu bukan fitnah, tapi kenyataan. Kamu sering main ponsel sembari cengar cengir. Dan kata Ibu ibu jamiahan, itu tandanya sedang di chat mesra sama selingkuhannya."

"Astagfirullah, Ibu! Itu salah!" bantah Erika mulai tinggi intonasinya tanpa ia sadari. Ibu mertuanya dan para teman teman pengajiannya itu sepertinya percuma saja punya komunitas jamiahan, kalau ujung ujungnya hanya bergosip.

"Ibu nggak buta loh! Kamu memang sering bermain hape sembari momong Icha. Terus, kadang rumah berantakan pun, kamu abaikan. Asyiiiik saja mainan hape. Bagaimana Ibu nggak benci lihatnya!" omel Ibu Rani dengan menekan kata asyik.

Erika mengelus wajahnya, prustasi. "Bu, tolonglah, jangan menaruh posisi ku di pinggir jurang kehancuran. Aku takut fitnah ibu masuk ke kuping Mas Aldo, Bu." pintanya memohon.

"Memang itu yang saya mau..." batin Si Ibu menyahut sembari menyunggingkan bibirnya secara sinis.

Kalau ia ditanya, kenapa membenci Erika, maka jawabannya 'tidak tau'. Intinya, Ia tidak suka melihat Aldo terlalu memanjakan Erika yang tidak pantas untuk anaknya itu, pikirnya. Erika hanyalah anak yatim piatu dan dulunya penjaga toko buku yang dipersunting Aldo. Nggak ada untungnya sama sekali dirinya membesarkan anaknya itu, kalau kalau mendapat jodoh seperti Erika yang tidak bisa memberinya apa yang ia mau. Seperti, belanja bersama gitu. Ia juga mau moment itu layaknya cerita ibu-ibu pengajiannya, tetapi Erika ini tidak pernah ada niat baik untuk mengajaknya shoping. Gaji Aldo digenggam sendiri. Sedang ia, hanya diberi lima ratus perbulan. Kan kesal!

Dan ah, Erika itu pembawa sial dalam keluarganya. Suaminya meninggal, lalu rumah lamanya lepas terjual, pasti karena kesialan Erika. Itulah pikir sempit Ibu Rani. Erika pembawa sial!

"Ibu, Erika sering main hape itu karena kerjaan, Bu. Bukan selingkuh!"

"Halaah, alasan saja. Lagian kerja apa kamu? Cangkem mu itu kok pintar bohong?"

Astagfirullah...

"Erika jadi penulis, Bu. Lumayan buat tambah tambah menyambung isi dapur," sahut Erika kalem kalem mengkel dalam hati.

"Ibu nggak percaya! Kamu dan kita semua makan di sini itu karena duit jerih payah Aldo, bukan duitmu!"

Erika terdiam. Membalas perkataan Ibu mertuanya yang maha benar itu, pasti tidak akan ada ujung nya. Sampai mulutnya berbusa busa menjelaskan pun, maka akan tetap percuma karena si Ibu Mertuanya ini sudah memiliki asumsi sendiri.

Andai ia tidak punya perasaan, sudah ia jabarkan ini dan itu keuangan mereka yang menyedihkan. Gaji tiga juta dalam satu bulan cukup apa coba? Sedang lima ratus ribu, sudah seperti diwajibkan memberi mertuanya itu. Oke, Erika ikhlas. Meski bagaimana pun, Ibu memang tangguh jawab suaminya sebagai anak laki laki satu satunya.

Lebih lebih, ia punya cicilan pinjaman uang di bank sebesar delapan ratus lima ribu rupiah dalam jangkau dua tahun cicilan. Waktu itu, uangnya buat beli motor sang suami sebagai alat transportasi bekerja. Pikir Aldo, lebih baik ngutang di bank dari pada kredit motornya langsung. Rugi katanya!

Dan sambung menyambung, Erika auto mendapat dampak kesusahan ekonomi yang insyaallah ia selalu setia menjaga kehormatan suami dengan cara tidak mengeluh kekurangan di luar sana. Karena sebab itu, satu tahun yang lalu ada seorang teman sosmed-nya yang ngajakin kerja freelance. Kerja sambil momong anak adalah hal cerdasnya. Tetapi astagfirullah, ia malah difitnah. Sungguh menyakitkan untuk Erika.

"Assalamualaikum...!"

Ketegangan antara Erika dan Ibu Rani terganggu akan suara kepulangan Aldo.

"Waalaikumsalam...!" sahut Erika menyambut sang suami dengan nada baik. Ia tidak mau membuat pusing suaminya karena ketegangan tadi. Dan insyaallah Erika akan menceritakan pekerjaan freelance nya ke Aldo setelah suami nya ini sudah tidak lelah lagi. Daripada ada fitnah yang tidak tidak seperti tuduhan Ibu mertuanya yang mana mungkin mengerti sistem pekerjaan freelance itu seperti apa.

"Dek, aku lapar. Sediain makan ya." kata Aldo setelah Erika selesai mencium punggung tangannya.

Allahuakbar... Erika nyebut dalam hatinya sembari menepuk jidatnya. Tadi kan, semua lauk nya habis di makan mertunya. Bagaimana ini?

"Mas, aku masakin mie rebus, nggak apa ya?" Erika menunduk tatkala Aldo mentapnya penuh tanda tanya.

Sedang sang Ibu mertua diam diam tersenyum songong. Pasti ribut ini mah...ah serunya.

"Kamu nggak masak? "

Erika terdiam saat Aldo kembali berkata lagi.

"Ah, pasti uang belanjanya nggak ada ya? Maaf ya, pasti kamu pun lapar. Ini gajiku bulan ini. Semoga berkah ya!"

Mendengar pengertian suaminya, nyaris membuat Erika menangis haru. Tapi ia tahan tahan karena tidak mau dianggap lebay atau cengeng oleh mertuanya yang sedari tadi menjadi pendengar budiman.

"Ihh, kok nggak jadi ribut?!" Kesal Ibu Rani dalam hatinya karena apa yang ia lihat di depan mata tidak sesuai ekspektasinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!