Takdir Cinta Zi Dan Za
Zahra termenung menatap dua gundukan tanah yang masih merah di depannya. Para tetangga yang telah memakamkan kedua orang tuanya telah meninggalkan pemakaman. Kedua orang tua Zahra telah berpulang karena kecelakaan motor yang menyebabkan keduanya menghembuskan nafas terakhir. Ayahnya meninggal di tempat sedangkan ibunya selang empat jam meninggal di rumah sakit menyusul ayahnya. Hati anak mana yang tidak sedih dalam sehari dia harus kehilangan kedua orang tuanya sekaligus. Airmatanya masih mengalir deras. Tetapi Zahra harus ikhlas agar kedua orang tuanya tenang hanya doa-doa yang bisa membantu mereka di alam sana. Zahra bergeming ketika ada tangan yang menyentuh pundaknya. Bu Nissa tetangganya yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri. Ayah dan Ibu Zahra adalah perantau jadi tetangga bagi mereka adalah keluarga.
“Ochi!. Ayo, kita pulang” ajak Bu Nissa.
Ochi adalah panggilan kecil Zahra. Para tetangga dan teman-temannya di kampung itu tahunya anak pak Rahman bernama Ochi bukan Zahra.
“Iya, Bu” Zahra berjalan mengikuti Bu Nissa meninggalkan pemakaman masih dengan air mata yang mengalir.
***
“Chi, kamu bisa tinggal di rumah ibu kalau kamu merasa kesepian” tawar Bu Nissa menatap sendu gadis berjilbab panjang itu.
"Tegar sekali kamu, Nak. Jika Ibu yang menjadi kamu, mungkin Ibu sudah pingsan berkali-kali mendapatkan ujian seberat ini. Ditinggal kedua orang tua dalam waktu yang bersamaan" batin Bu Nissa.
“Terima kasih, Bu. Ochi lebih suka di sini” tolak Zahra halus.
Ochi tidak mungkin tinggal di rumah Bu Nissa karena Bu Nissa mempunyai anak laki-laki walaupun masih SMA itu akan membuatnya singkuh. Bu Nissa sangat baik dengan ayah dan ibu Ochi. Ayah Ochi membeli rumah yang berada tepat di samping Bu Nissa sejak dia masih duduk di sekolah menengah pertama. Bersyukur ayahnya bisa membeli rumah yang ditempatinya sekarang meskipun pekerjaan ayahnya hanya seorang guru di Madrasah. Ibunya meskipun tidak berkerja ikut membantu keuangan keluarga dengan berjualan makanan kecil di depan rumahnya.
“Baiklah, kalau ada apa-apa kasih tau Ibu, ya” Bu Nissa pamit sambil memeluk Zahra.
“Iya, Bu. Terima kasih” balas Ochi terharu dengan kebaikan Bu Nissa.
Zahra Pov
Ayah, ibu kenapa kalian begitu cepat pergi meninggalkanku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Kepada siapa lagi aku harus mengadu. Iya aku tahu aku mempunyai Allah, tempatku mengadu. Tapi kalian tempat kedua untukku berkeluh kesah.
Bagaimana aku bisa melewati hari-hariku selanjutnya tanpa kalian. Di mana keluarga ayah dan ibu yang lainnya. Kenapa aku tidak tahu?
“Ochi!”
Itu suara Monica. Aku membukakan pintu.
“Mon” mataku berkaca-kaca melihat kedatangannya. Aku memang sedang butuh teman disaat mendapat musibah seperti ini.
“Ya, Allah, Chi. Kamu yang sabar, ya” Monica memelukku erat dengan berlinang air mata.
“Makasih, ya, Mon. Kamu sudah mau datang” ujarku membalas pelukannya sambil menghapus air mataku yang ikut luruh.
“Ochi, biasa aja lagi. Aku kan sahabat kamu. Aku malah sedih nggak bisa hadir ketika orang tuamu meninggal” balas Monica sendu.
Saat kejadian orang tuaku kecelakaan, aku memang menghubungi Monica tetapi dia sedang ada acara keluarga di luar kota. Makanya dia tidak bisa datang ketika mendengarkan kabar orang tuaku meninggal dunia.
“Kamu tinggal dengan aku aja, ya, Chi?” tawar Monica.
“Makasih, Mon. Kamu memang baik, tapi aku tidak bisa menerima tawaran kamu. Maaf” tolakku.
“Kenapa? Kamu nggak takut tinggal sendirian di sini?” tanya Monica heran.
Aku tahu dia anak orang berada, tapi bukan berarti aku harus selalu bergantung dengannya. Monica sudah terlalu banyak membantuku. Aku tidak mau merepotkannya dengan menanggung hidupku.
“Nggaklah, Mon. Hanya rumah ini peninggalan kedua orang tuaku. Jadi nggak mungkin aku tinggalkan” jawabku menolaknya secara halus. Ku harap Monica tidak tersinggung dengan penolakanku.
“Ya, udah kalau kamu nggak mau. Tapi kalau kamu butuh sesuatu jangan segan-segan hubungi aku, ya” ujar Monica tersenyum.
“Makasih, Mon” aku kembali memeluk Monica. Aku sangat terharu dengan kebaikannya.
“Oya, Mon. Tolong jangan beritahu Pak Adam, ya. Aku nggak mau merepotkan orang di perusahaan itu. Aku kan hanya kerja part time di sana” kataku menggenggam tangan Monica.
“Lho, kenapa, Chi?” tanya Monica.
“Pokoknya janji jangan kasih tahu siapapun, ya?” aku memohon kepada Monica.
“Iya, baiklah. Kalau itu mau kamu. Aku akan tutup mulut” ujar Monica mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya.
***
Dua hari aku belum ke kampus. Hatiku masih diselimuti kabut duka. Acara tahlilan malam ketiga diadakan oleh para tetangga. Padahal tidak diadakan malam tahlilan juga tidak mengapa. Aku tidak mau merepotkan orang lain dan tentunya akan memakan biaya. Setelah acara tahlilan rumah kembali sepi dan aku akan teringat kembali kenangan bersama kedua orang tuaku ketika mereka masih hidup. Sebagai anak tunggal aku sangat disayang namun tidak dimanja. Ibu mengajarkan agar aku agar mandiri karena aku harus bisa berdiri sendiri tanpa bergantung dengan orang lain. Makanya sambil kuliah aku kerja part time di perusahaan tempat Om sahabatku, Monica bekerja. Lagipula kuliahku di kedokteran juga hampir selesai. Jika aku lulus kuliah dan wisuda nanti siapa yang akan mendampingiku?? Tak teras air mataku mengalir tanpa permisi jika teringat bahwa aku sudah tidak memiliki kedua orang tua lagi.
"Ayah, Ibu!! Kenapa kalian begitu cepat meninggalkan aku" isakku.
Aku berhenti menangis karena mendengar seperti ada suara mobil di luar rumah. Benar saja tak lama terdengar pintu rumahku diketuk.
Tok.Tok.Tok.
“Siapa?” teriakku dari dalam.
Kenapa tidak ada jawaban. Aku mengintip dari balik gorden jendela. Laki-laki dan perempuan. Siapa mereka?
Aku membuka pintu rumah dengan pelan. Ku lihat sosok laki-laki berdiri di muka pintu. Dari wajahnya, sepertinya beliau seumuran ayahku. Dan seorang wanita yang berdiri disampingnya, mungkin istrinya. Wanita itu masih muda, bule, dan cantik seperti artis. Mau apa ya mereka menemuiku.
Mereka sepertinya orang terpandang kalau dilihat dari penampilannya. Apa orang tuaku ada sangkut paut dengan mereka seperti hutang atau yang lainnya. Mereka masih berdiri melihatku. Yah, mungkin penampilanku tidak serapi mereka. Wajahku sembab karena habis menangis. Setiap ingat ayah ibu airmataku mengalir dengan sendirinya.
“Kamu anak Bapak Rahman dan Ibu Ranti?” tanya laki-laki yang tidak ku ketahui siapa namanya.
“Iya, Om. Saya Zahra, ada keperluan apa, ya?. Ayah dan ibu saya sudah meninggal. Apakah mereka ada hutang piutang dengan Om dan tante?” tanyaku. Mereka menggeleng.
“Silahkan masuk” ajakku mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah karena tidak baik juga berbicara di muka pintu.
“Silahkan duduk, Om dan Tante” aku masih bingung karena tidak mengenal siapa mereka.
“Kami turut berduka cita, Nak Zahra” sela wanita yang duduk di depanku.
“Terima kasih” balasku pelan.
“Nak Zahra, kami berdua datang kemari ingin meminta maaf yang sedalam-dalamnya. Nama Om, Dirgantara dan ini istri Om, Nancy” aku bengong kenapa mereka minta maaf memangnya apa salah mereka.
“Maksud Om apa?. Saya nggak ngerti”
“Zahra, sebenarnya mobil kami lah yang menabrak motor orang tuamu” jawab Om Dirgantara pelan.
Aku membuka mulutku dan menutupnya dengan tangan. Aku tidak percaya mendengarkan ucapan Om Dirga. Jadi mereka yang telah menabrak kedua orang tuaku. Aku tahu dari polisi bahwa orang yang telah menabrak motor ayahku telah bertanggung jawab dengan seluruh biaya rumah sakit dan kecelakaan itu murni ketidaksengajaan karena rem mobil Om Dirga blong. Tetapi jika keluarga korban menuntut, maka tersangka bisa terancam masuk penjara karena kelalaian mereka. Ah, sudahlah semuanya sudah takdir. Mereka juga sudah datang meminta maaf dan bertanggung jawab. Aku tidak akan menuntut mereka.
“Kami memang tidak bisa mengembalikan nyawa kedua orang tuamu. Tante tahu betapa sedihnya kehilangan kedua orang tua dalam waktu bersamaan. Apa Nak Zahra mau menuntut kami ke pengadilan?” tanya Tante Nancy dengan wajah cemas.
“Tidak, Tante. Semua yang terjadi sudah kehendak Allah. Kalau saya menuntut Om dan Tante, orang tua saya juga tidak akan kembali. Saya ikhlas, Om dan Tante” aku melihat mereka masih dengan wajah sendu. Tante Nancy mendekatiku lalu menggenggam tanganku.
“Terima kasih, Zahra. Kamu memang anak yang baik” peluk Tante Nancy. Aku tersenyum membalas pelukannya tak terasa air mataku mengalir lagi. Ah, aku begitu sensitif sekali.
“Kamu tinggal sendirian? Keluargamu yang lainnya di mana?” tanya Tante Nancy melihat suasana rumahku yang tampak sepi.
“Saya anak tunggal Tante dan saya nggak tahu keluarga ayah dan ibu saya ada di mana. Kami memang orang datangan di kampung ini” jawabku.
Memang sejak aku kecil, ayah dan ibu tidak pernah mengenalkan aku dengan adik atau kakak mereka. Kata ayah dan ibu kampung halaman mereka jauh jadi tidak punya uang untuk pulang kampung. Dengan biaya hidup di kota yang cukup besar sangat sulit untuk mereka bertemu keluarga di kampung.
Continue...
11 Oktober 2019
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Erni Fitriana
jejak
2021-12-11
0
safira aini
wah hebat ya..walaupun ayahnya guru madrasah.tpi bisa menyekolahkan anaknya jurusan kedokteran👍
2021-07-05
0
꧁🎋ᴊãs🐾꧂
part 1 dah mewek aku ....
2021-06-11
0