Setelah menikah aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Kepalaku pusing, sedang mengerjakan skripsi begini tiba-tiba laptopku nge-hang. Aku tidak memberitahu mama dan papa mertuaku kalau aku kuliah di kedokteran. Mereka tahunya aku memang sedang kuliah di perguruan tinggi negeri dan sebentar lagi mau selesai. Sebenarnya kalau aku mau, tinggal bilang saja kepada mama mertua pasti langsung dibelikan laptop yang baru, tapi sekali lagi aku nggak mau mengambil kesempatan dengan kebaikan mereka.
“Zi, apa kamu nggak bisa mengantar Zahra kuliah?” tanya mama ketika kami sedang sarapan pagi.
Aku langsung meletakkan sendok yang hampir ku suap ke dalam mulut di atas piring.
“Eh...nggak usah, Ma. Zahra naik bis aja” tolakku.
Beneran aku nggak mau diantar oleh Mas Zidan. Bukankah dia sendiri yang bilang kalau teman-teman ku tidak boleh tahu kalau aku sudah menikah.
“Tuh, dia sendiri yang menolak” ujar Mas Zidan datar.
“Zidan pamit dulu, Ma ... Pa” Mas Zidan berlalu meninggalkan meja makan tanpa berpamitan denganku.
Aku memaksakan diri tersenyum ketika mama menatapku dengan raut wajah yang merasa tidak enak dengan sikap Mas Zidan tadi.
“Nggak apa, Ma. Za nggak mau merepotkan Mas Zidan, kok” ujarku tersenyum.
Setelah menghabiskan sarapanku, aku berangkat ke kampus seperti biasa naik angkutan umum. Mau diantar sopir juga aku enggan. Mertuaku pun tidak bisa memaksa kemauanku itu.
***
Tiba di kampus, Monica sudah datang duluan. Wajah gadis itu selalu ceria tanpa beban. Meskipun Monica belum mengenakan hijab, secara perlahan aku selalu mengingatkannya. Semoga Allah memberinya hidayah agar menutup auratnya karena aku ingin memiliki sahabat dunia akhirat.
“Kenapa, Chi?” tanya Monica melihat aura mukaku yang tampak kusut di matanya.
“Nggak tau nih nge-hang lagi” dengusku sebal sambil mengeluarkan notebook-ku.
“Ganti yang baru aja, Cin” ujar Monica.
“Nggak ada duit, gajiku nggak cukup”
“Mau ku kasih pinjaman lunak” ledek Monica.
“Ih, aku paling anti ngutang tau nggak”
elak ku.
Aku memang bukan tipe orang yang hobi ngutang alias kredit barang seperti mahasiswa lain. Biarlah bersabar menabung asalkan jangan menghutang.
“Chi, kalau kamu udah kelar nanti bantuin aku buat skripsi, yah” pinta Monica memelas.
“Udah ada judul belum?” tanyaku. Dia menggeleng.
“Mon, masa aku yang harus cari judulnya. Cari sendiri!!” tolakku. Kalau urusan kuliah Monica sangat bergantung denganku. Ah, bisa jadi dokter gadungan nanti kalau begini terus.
“Nggak, Mon. Skripsi itu buat sendiri. Gimana mau jadi calon dokter yang berkualitas kalau kamu mau mengandalkan orang terus” kata ku menasehatinya. Monica memanyunkan bibirnya.
Monica menemaniku menemui dosen pembimbingku. Ada bagian di bab dua yang dicoret dan aku harus segera memperbaikinya.
“Mon, aku cabut dulu, ya. Sekarang shif-ku di kantor, nih” kataku bergegas meninggalkannya.
Monica hanya manyun karena dia harus masuk kelas lagi. Nasib dia, aku duluan mengerjakan skripsi sementara dia harus mengulang beberapa mata kuliah.
***
Tiba di kantor dengan napas ngos-ngosan, aku segera ke ruang ganti. Aku mengambil pakaian seragamku yang sengajaku tinggalkan di sana. Setelah mengganti pakaianku dengan seragam Office Girl, aku menemui Mba Yeyen, seniorku di sana.
“Hallo, Mba Yen. Aku datang” sapaku menghampirinya yang sedang berkutat di pantry.
“Eh, Neng ayu udah sampe. Pak Adam minta dibuatkan kopi. Kamu yang antar, ya” ujar Mba Yeyen dengan senyuman mautnya.
Karena senyumannya itu banyak karyawan yang terpesona, tapi sayang Mba Yeyen sudah bersuami.
“Ok, Mba” kataku sambil mengangkat jempol.
“Hobi banget ya Pak Adam sama kopi. Jangan-jangan bukan kopinya, tapi suka sama yang nganter” goda Mba Yeyen.
“Jangan asal ngomong dong, Mba. Nanti jadi fitnah lagi” ingatku.
“Lho, kalau emang kenyataan gimana, Za?”
“Udah ah, Mba. Itukan hanya feeling Mba Yen aja. Gadis seperti saya ini bukan tipenya orang kayak Pak Adam” elakku.
Tak lama aku membuat kopi, aku segera menuju ke ruangan Pak Adam.
“Assalamualaikum” aku mengetuk pintu dan masuk setelah mendengarkan perintah dari dalam untuk masuk.
“Waalaikumsalam. Chi, kamu udah datang, ya” kata Pak Adam sedikit terkejut melihatku.
“Iya, Pak. Ini kopinya” kataku sambil meletakkan secangkir kopi di atas meja kerjanya.
“Chi, gimana skripsi mu?” tanyanya perhatian.
“Lagi jalan, Pak. Tapi lagi ada kendala, laptopku nge-hang” jawabku jujur.
Aku sedikit terbuka denganya karena Pak Adam sudah ku anggap seperti Om ku sendiri. Meskipun wajahnya masih muda tetap saja usianya jauh di atasku karena dia Om Monica, sahabatku.
“Hmm. Ambil aja yang baru” saran Pak Adam.
“Nggak ada uang, Pak” tolakku sambil menundukkan kepala.
“Chi, coba kamu minta di bagian keuangan, biar mereka yang membelikan laptop yang kamu mau nanti potong gaji mu perbulan, gimana?” tawar Pak Adam.
Tawaran Pak Adam menarik juga. Paling tidak kan meringankanku daripada kredit di tempat lain.
“Sebenarnya aku nggak mau ngutang, Pak. Tapi apa boleh buat daripada skripsiku terhambat. Makasih ya, Pak” kataku tersenyum.
Pak adam telah memberiku kemudahan dengan membelikan laptop baru dan aku hanya membayar cicilan dengan harga kontan tanpa bunga.
“Semangat, ya, Chi. Biar skripsimu cepat selesai” ujar Pak Adam.
“Iya, Pak, makasih. Saya permisi” pamitku meninggalkan ruangannya.
Aku menarik napas dalam setiba di pantry. Ya, Tuhan. Kok, aku mulai merasa nggak nyaman ya lama-lama di ruangan Pak Adam. Jangan sampai deh apa yang Mba Yeyen duga itu menjadi kenyataan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
Adam kayaknya suka sama Zahra
2021-05-10
0
Roroazzahra
next......
semangat terus kak author
2021-03-10
0
Ike Tri Putri
semua karya author masih aku favorit dan udah baca❤️
2021-01-20
2