Zahra termenung menatap dua gundukan tanah yang masih merah di depannya. Para tetangga yang telah memakamkan kedua orang tuanya telah meninggalkan pemakaman. Kedua orang tua Zahra telah berpulang karena kecelakaan motor yang menyebabkan keduanya menghembuskan nafas terakhir. Ayahnya meninggal di tempat sedangkan ibunya selang empat jam meninggal di rumah sakit menyusul ayahnya. Hati anak mana yang tidak sedih dalam sehari dia harus kehilangan kedua orang tuanya sekaligus. Airmatanya masih mengalir deras. Tetapi Zahra harus ikhlas agar kedua orang tuanya tenang hanya doa-doa yang bisa membantu mereka di alam sana. Zahra bergeming ketika ada tangan yang menyentuh pundaknya. Bu Nissa tetangganya yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri. Ayah dan Ibu Zahra adalah perantau jadi tetangga bagi mereka adalah keluarga.
“Ochi!. Ayo, kita pulang” ajak Bu Nissa.
Ochi adalah panggilan kecil Zahra. Para tetangga dan teman-temannya di kampung itu tahunya anak pak Rahman bernama Ochi bukan Zahra.
“Iya, Bu” Zahra berjalan mengikuti Bu Nissa meninggalkan pemakaman masih dengan air mata yang mengalir.
***
“Chi, kamu bisa tinggal di rumah ibu kalau kamu merasa kesepian” tawar Bu Nissa menatap sendu gadis berjilbab panjang itu.
"Tegar sekali kamu, Nak. Jika Ibu yang menjadi kamu, mungkin Ibu sudah pingsan berkali-kali mendapatkan ujian seberat ini. Ditinggal kedua orang tua dalam waktu yang bersamaan" batin Bu Nissa.
“Terima kasih, Bu. Ochi lebih suka di sini” tolak Zahra halus.
Ochi tidak mungkin tinggal di rumah Bu Nissa karena Bu Nissa mempunyai anak laki-laki walaupun masih SMA itu akan membuatnya singkuh. Bu Nissa sangat baik dengan ayah dan ibu Ochi. Ayah Ochi membeli rumah yang berada tepat di samping Bu Nissa sejak dia masih duduk di sekolah menengah pertama. Bersyukur ayahnya bisa membeli rumah yang ditempatinya sekarang meskipun pekerjaan ayahnya hanya seorang guru di Madrasah. Ibunya meskipun tidak berkerja ikut membantu keuangan keluarga dengan berjualan makanan kecil di depan rumahnya.
“Baiklah, kalau ada apa-apa kasih tau Ibu, ya” Bu Nissa pamit sambil memeluk Zahra.
“Iya, Bu. Terima kasih” balas Ochi terharu dengan kebaikan Bu Nissa.
Zahra Pov
Ayah, ibu kenapa kalian begitu cepat pergi meninggalkanku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Kepada siapa lagi aku harus mengadu. Iya aku tahu aku mempunyai Allah, tempatku mengadu. Tapi kalian tempat kedua untukku berkeluh kesah.
Bagaimana aku bisa melewati hari-hariku selanjutnya tanpa kalian. Di mana keluarga ayah dan ibu yang lainnya. Kenapa aku tidak tahu?
“Ochi!”
Itu suara Monica. Aku membukakan pintu.
“Mon” mataku berkaca-kaca melihat kedatangannya. Aku memang sedang butuh teman disaat mendapat musibah seperti ini.
“Ya, Allah, Chi. Kamu yang sabar, ya” Monica memelukku erat dengan berlinang air mata.
“Makasih, ya, Mon. Kamu sudah mau datang” ujarku membalas pelukannya sambil menghapus air mataku yang ikut luruh.
“Ochi, biasa aja lagi. Aku kan sahabat kamu. Aku malah sedih nggak bisa hadir ketika orang tuamu meninggal” balas Monica sendu.
Saat kejadian orang tuaku kecelakaan, aku memang menghubungi Monica tetapi dia sedang ada acara keluarga di luar kota. Makanya dia tidak bisa datang ketika mendengarkan kabar orang tuaku meninggal dunia.
“Kamu tinggal dengan aku aja, ya, Chi?” tawar Monica.
“Makasih, Mon. Kamu memang baik, tapi aku tidak bisa menerima tawaran kamu. Maaf” tolakku.
“Kenapa? Kamu nggak takut tinggal sendirian di sini?” tanya Monica heran.
Aku tahu dia anak orang berada, tapi bukan berarti aku harus selalu bergantung dengannya. Monica sudah terlalu banyak membantuku. Aku tidak mau merepotkannya dengan menanggung hidupku.
“Nggaklah, Mon. Hanya rumah ini peninggalan kedua orang tuaku. Jadi nggak mungkin aku tinggalkan” jawabku menolaknya secara halus. Ku harap Monica tidak tersinggung dengan penolakanku.
“Ya, udah kalau kamu nggak mau. Tapi kalau kamu butuh sesuatu jangan segan-segan hubungi aku, ya” ujar Monica tersenyum.
“Makasih, Mon” aku kembali memeluk Monica. Aku sangat terharu dengan kebaikannya.
“Oya, Mon. Tolong jangan beritahu Pak Adam, ya. Aku nggak mau merepotkan orang di perusahaan itu. Aku kan hanya kerja part time di sana” kataku menggenggam tangan Monica.
“Lho, kenapa, Chi?” tanya Monica.
“Pokoknya janji jangan kasih tahu siapapun, ya?” aku memohon kepada Monica.
“Iya, baiklah. Kalau itu mau kamu. Aku akan tutup mulut” ujar Monica mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya.
***
Dua hari aku belum ke kampus. Hatiku masih diselimuti kabut duka. Acara tahlilan malam ketiga diadakan oleh para tetangga. Padahal tidak diadakan malam tahlilan juga tidak mengapa. Aku tidak mau merepotkan orang lain dan tentunya akan memakan biaya. Setelah acara tahlilan rumah kembali sepi dan aku akan teringat kembali kenangan bersama kedua orang tuaku ketika mereka masih hidup. Sebagai anak tunggal aku sangat disayang namun tidak dimanja. Ibu mengajarkan agar aku agar mandiri karena aku harus bisa berdiri sendiri tanpa bergantung dengan orang lain. Makanya sambil kuliah aku kerja part time di perusahaan tempat Om sahabatku, Monica bekerja. Lagipula kuliahku di kedokteran juga hampir selesai. Jika aku lulus kuliah dan wisuda nanti siapa yang akan mendampingiku?? Tak teras air mataku mengalir tanpa permisi jika teringat bahwa aku sudah tidak memiliki kedua orang tua lagi.
"Ayah, Ibu!! Kenapa kalian begitu cepat meninggalkan aku" isakku.
Aku berhenti menangis karena mendengar seperti ada suara mobil di luar rumah. Benar saja tak lama terdengar pintu rumahku diketuk.
Tok.Tok.Tok.
“Siapa?” teriakku dari dalam.
Kenapa tidak ada jawaban. Aku mengintip dari balik gorden jendela. Laki-laki dan perempuan. Siapa mereka?
Aku membuka pintu rumah dengan pelan. Ku lihat sosok laki-laki berdiri di muka pintu. Dari wajahnya, sepertinya beliau seumuran ayahku. Dan seorang wanita yang berdiri disampingnya, mungkin istrinya. Wanita itu masih muda, bule, dan cantik seperti artis. Mau apa ya mereka menemuiku.
Mereka sepertinya orang terpandang kalau dilihat dari penampilannya. Apa orang tuaku ada sangkut paut dengan mereka seperti hutang atau yang lainnya. Mereka masih berdiri melihatku. Yah, mungkin penampilanku tidak serapi mereka. Wajahku sembab karena habis menangis. Setiap ingat ayah ibu airmataku mengalir dengan sendirinya.
“Kamu anak Bapak Rahman dan Ibu Ranti?” tanya laki-laki yang tidak ku ketahui siapa namanya.
“Iya, Om. Saya Zahra, ada keperluan apa, ya?. Ayah dan ibu saya sudah meninggal. Apakah mereka ada hutang piutang dengan Om dan tante?” tanyaku. Mereka menggeleng.
“Silahkan masuk” ajakku mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah karena tidak baik juga berbicara di muka pintu.
“Silahkan duduk, Om dan Tante” aku masih bingung karena tidak mengenal siapa mereka.
“Kami turut berduka cita, Nak Zahra” sela wanita yang duduk di depanku.
“Terima kasih” balasku pelan.
“Nak Zahra, kami berdua datang kemari ingin meminta maaf yang sedalam-dalamnya. Nama Om, Dirgantara dan ini istri Om, Nancy” aku bengong kenapa mereka minta maaf memangnya apa salah mereka.
“Maksud Om apa?. Saya nggak ngerti”
“Zahra, sebenarnya mobil kami lah yang menabrak motor orang tuamu” jawab Om Dirgantara pelan.
Aku membuka mulutku dan menutupnya dengan tangan. Aku tidak percaya mendengarkan ucapan Om Dirga. Jadi mereka yang telah menabrak kedua orang tuaku. Aku tahu dari polisi bahwa orang yang telah menabrak motor ayahku telah bertanggung jawab dengan seluruh biaya rumah sakit dan kecelakaan itu murni ketidaksengajaan karena rem mobil Om Dirga blong. Tetapi jika keluarga korban menuntut, maka tersangka bisa terancam masuk penjara karena kelalaian mereka. Ah, sudahlah semuanya sudah takdir. Mereka juga sudah datang meminta maaf dan bertanggung jawab. Aku tidak akan menuntut mereka.
“Kami memang tidak bisa mengembalikan nyawa kedua orang tuamu. Tante tahu betapa sedihnya kehilangan kedua orang tua dalam waktu bersamaan. Apa Nak Zahra mau menuntut kami ke pengadilan?” tanya Tante Nancy dengan wajah cemas.
“Tidak, Tante. Semua yang terjadi sudah kehendak Allah. Kalau saya menuntut Om dan Tante, orang tua saya juga tidak akan kembali. Saya ikhlas, Om dan Tante” aku melihat mereka masih dengan wajah sendu. Tante Nancy mendekatiku lalu menggenggam tanganku.
“Terima kasih, Zahra. Kamu memang anak yang baik” peluk Tante Nancy. Aku tersenyum membalas pelukannya tak terasa air mataku mengalir lagi. Ah, aku begitu sensitif sekali.
“Kamu tinggal sendirian? Keluargamu yang lainnya di mana?” tanya Tante Nancy melihat suasana rumahku yang tampak sepi.
“Saya anak tunggal Tante dan saya nggak tahu keluarga ayah dan ibu saya ada di mana. Kami memang orang datangan di kampung ini” jawabku.
Memang sejak aku kecil, ayah dan ibu tidak pernah mengenalkan aku dengan adik atau kakak mereka. Kata ayah dan ibu kampung halaman mereka jauh jadi tidak punya uang untuk pulang kampung. Dengan biaya hidup di kota yang cukup besar sangat sulit untuk mereka bertemu keluarga di kampung.
Continue...
11 Oktober 2019
“Pa, mama kok kepikiran dengan Zahra terus” ucap Nancy di kamarnya. Nancy selalu teringat dengan wajah sendu Zahra, dan ketegarannya ketika harus hidup sendiri tanpa kedua orang tuanya lagi.
“Iya, Ma. Papa juga kasihan dengannya. Dia jadi hidup sendirian. Zahra gadis yang baik dan sholehah, sungguh beruntung orang tuanya. Ma, gimana kalau Zahra kita ajak tinggal di rumah kita saja?" saran Dirga lagi pula mereka kan tidak mempunyai anak perempuan.
“Hm, Papa ini. Kita kan punya anak laki-laki. Apa Zahra mau? Mama nggak yakin dia mau, Pa” sanggah Nancy mengingat Zahra dengan jilbab panjangnya.
“Bisa saja, Ma, kalau dia jadi menantu kita. Itu kalau dia mau” lirik suaminya.
Nancy tersenyum mendengarkan saran suaminya. Ya, dia akan meminta Zidan untuk menikahi Zahra, sehingga gadis itu tidak kesepian dan dia akan memiliki keluarga lagi.
“Ya, Pa. Mama setuju sekali. Tapi Papa aja yang bilang ke Zi tentang rencana kita” tunjuk Nancy.
“Mama ajalah, kan mama lebih dekat dengan Zi” tolak Dirga.
“Pa, Zi lebih segan dengan papa. Kalau mama nanti banyak ngelesnya tuh anak. Jadi papa aja yang bicara dengan Zi”
“Iya ... Iya.” Dirga akhirnya menyetujui saran dari istrinya, memang dia yang harus turun tangan langsung.
***
Selesai berembuk. Nancy memanggil putra semata wayangnya yang baru pulang dari nge-gym.
“Zi, papa kamu mau bicara” panggil Nancy melihat Zidan melewati mamanya yang sedang duduk santai di ruang tamu.
“Nanti aja, Ma. Zi mau mandi dulu” kata Zidan berjalan meninggalkan mamanya ke kamar.
Badannya sudah lengket oleh keringat. Dia sudah tidak sabar lagi mau mengguyurnya dengan air. Lelaki berumur 27 tahun itu selalu menjaga tubuhnya agar tetap sehat dengan rajin berolah raga. Lima belas menit kemudian Zidan sudah rapi menemui papanya.
“Mau Bicara apa, Pa?” tanya Zidan duduk di depan papanya.
“Zi, papa udah cerita tentang korban yang papa tabrak beberapa minggu yang lalu?”
“Ya, terus apa hubungannya dengan Zi?” tanya Zidan heran.
“Zi, anak gadisnya kini sebatang kara. Papa dan mama ingin menjadikannya menantu” jawab Dirgantara datar menatap mata anaknya.
“Maksud Papa, aku harus menikahinya?” tanya Zidan tidak percaya.
“Zi, kamu juga udah pantas berumah tangga. Kenapa menolak?” desak Nancy.
“Ma! Aku nggak kenal dengannya kenapa harus menikahinya” tolak Zidan tidak terima. Bagaimana bisa dia harus menikahi gadis yang tidak dikenalnya sama sekali itu.
“Zi, kamu tahu? Mama dan papa sampai sekarang dibayangi rasa bersalah karena perantara papa, kedua orang tuanya meninggal di hari yang sama. Bisa kamu bayangkan tidak ada keluarga lain yang bersamanya. Dia sekarang sebatang kara Zi” jelas Dirga sedikit emosi.
Zidan menghela nafasnya mendengar ucapan papanya. “Untung Zahra tidak menuntut papa ke pengadilan Zi. Kalau dia menuntut, papa mu bisa masuk penjara” tambah Nancy.
“Zi, bantulah papa agar tidak dibayangi rasa bersalah dengan Zahra. Papa tunggu keputusanmu” pinta papanya melunak lalu berdiri dan pergi meninggalkan Zidan yang masih termanggu dengan permintaan papanya.
“Zahra gadis yang baik, Zi, makanya mama dan papa ingin menjadikannya menantu. Kalau kamu mau membahagiakan mama dan papa tolong jangan kecewakan mama dan papa, Zi” Nancy pun ikut menyusul suaminya meninggalkan Zidan.
***
Zidan Pov
Kenapa papa dan mama tiba-tiba memintaku menikah dengan gadis yang bernama Zahra itu? Aku tahu kondisinya yang sebatang kara itu, tapi menurutku menikahinya bukanlah solusi. Aku tidak mengenalnya dan dia juga tidak mengenalku. Apa itu tidak aneh.
Sejak papa menawarkan pernikahan dengan gadis bernama Zahra itu, aku selalu melihat papa tidak banyak bicara. Bahkan papa tidak mau melihatku. Ya, papa sepertinya marah denganku. Ah, aku jadi serba salah. Aku tidak banyak tahu tentang gadis itu bahkan bertemu dengannya saja belum pernah. Tapi mama banyak cerita tentangnya. Dia gadis berjilbab lebar, ramah ,baik hati dan sholehah buktinya mau memaafkan papa dan menerima dengan ikhlas kematian kedua orang tuanya yang disebabkan oleh papa.
“Zi, kamu tahu mama dan papa sampai sekarang dibayangi rasa bersalah karena perantara papa kedua orang tuanya meninggal di hari yang sama, bisa kamu bayangkan tidak ada keluarga lain yang bersamanya. Dia sekarang sebatang kara Zi” kata-kata papa masih terngiang di telinga ku.
Aku pun jadi tidak bisa tidur nyenyak melihat suasana rumah mendadak sepi dan dingin dengan perubahan sikap papa. Pekerjaan di kantor juga sedang menumpuk, ditambah permintaan papa yang menurutku tidak masuk akal. Terlalu memaksakan diri dengan aku sebagai korbannya. Bagaimana ceritanya Zidan menikah dengan gadis yang tidak dikenalnya sama sekali. Kenapa tidak biayai saja hidupnya, jadi aku tidak perlu menikahinya segala. Kalau aku menolak sudah pasti aku bakal tidak dianggap anak lagi oleh mereka. Aaargh.
Akhirnya aku menemui papa di ruang kerjanya. Aku akan menyampaikan keputusan ku setelah berpikir dengan tenang tanpa emosi.
“Pa, Zi mau bicara soal tawaran papa itu” kata ku melihatnya membaca laporan di meja kerjanya. Papa menghentikan aktivitasnya dan melihatku dengan raut wajah serius.
“Bagaimana?” tanya papa sambil melepaskan kacamatanya.
“Zi terima tawaran papa, tapi Zi ingin akad nikah saja sampai Zi siap menerima Zahra sebagai istri seutuhnya baru Zi mau mengadakan resepsinya” jawabku.
Ya, aku baru mau pernikahanku diumumkan ke semua orang kalau aku bisa menerima dan mencintainya.
“Baiklah, Zi. Papa dan mama akan menemui Zahra secepatnya untuk membicarakan tentang pernikahan ini” ujar papa bersemangat. Begitu istimewanya Zahra sampai papa bisa tersenyum kembali setelah mendengar keputusan ku.
"Kau tidak akan bisa tersenyum Zahra, sama seperti aku yang tidak bisa tersenyum lagi karena kehadiranmu di rumah ini. Kita lihat saja nanti. Aku terpaksa menerima pernikahan ini karena orang tuaku, bukan karena aku kasihan denganmu" batinku tersenyum miris.
***
Setelah Zidan pergi meninggalkan ruangan kerjanya, Dirga segera menemui Nancy untuk memberitahu kabar bahagia kalau Zidan mau menikahi Zahra.
“Pa, kok senyum-senyum. Kayaknya bahagia banget. Kenapa, sih?” tanya Nancy penasaran melihat suaminya masuk ke dalam kamar.
“Mama juga pasti happy kalau mendengarkan kabar ini” jawab Dirga tersenyum mendekati Nancy.
“Apa sih, Pa? Buat mama penasaran aja” tanya Nancy.
“Ma, Zi mau menikahi Zahra” ujar Dirga.
“Serius, Pa? Zi mau?” tanya Nancy tidak percaya. Dirga hanya mengangguk menyakinkan istrinya. Nancy pun memeluk suaminya karena bahagia.
“Pa, kita harus cepat menemui Zahra” ajak Nancy tidak sabar.
“Iya, Sayang. Besok kita akan menemui Zahra”
Dirga tersenyum membalas pelukan istrinya. Sepertinya istrinyalah yang menyukai Zahra, bukan anaknya. Dirga tahu bahwa Zidan terpaksa mau menikahi Zahra, tapi tidak apalah. Toh cinta akan hadir karena seringnya bertemu dan berinteraksi. Pikir Dirga.
Dalam hati Dirga, dia hanya ingin membantu Zahra agar kedua orang tuanya tenang di alam kubur sana. Setidaknya gadis itu ada yang melindungi dan menjaganya.
***
Setelah seharian beraktivitas aku tertidur karena kelelahan. Walaupun hanya setengah jam tertidur, tapi cukup membuat badanku segar kembali. Setelah ayah dan ibu meninggal hari-hariku terasa sepi. Hanya disibukkan dengan kuliah kesedihanku sedikit berkurang.
Kerja part time di sebuah perusahaan besar juga sedikit menghapus dukaku karena teman kerja di sana tidak tahu tentang berita meninggalnya kedua orang tuaku. Walaupun sebagai office girl di sana, lumayan juga bisa menambah biaya kuliahku. Tau sendiri kan biaya kuliah di kedokteran tidak sedikit. Apalagi sekarang aku sedang menyusun skripsi. Sebentar lagi gelar sarjana kedokteran akan ku raih. Ah...ini semua karena bantuan Monica sahabatku itu. Dia yang membantuku bisa kerja part time. Lewat bantuan Omnya, Adam, aku bisa masuk ke perusahaan besar itu.
Tok.Tok.Tok.
Tiba-tiba pintu rumahku sepertinya ada yang mengetuk.
”Assalamualaikum” seperti suara Tante Nancy.
Ya, wanita itu sering mengunjungiku. Katanya dia tidak punya anak perempuan, makanya sudah menganggapku seperti anaknya.
“Waalaikumsalam” sahutku sambil membukakan pintu. “Eh, Tante dan Om, silahkan masuk” ajakku tersenyum melihat kedatangan mereka.
“Za, apa kabar Sayang?” tanya Tante Nancy ramah meraih tanganku lalu mencium pipi kiri kananku. Tante Nancy dan Om Dirga masuk dan duduk di sofa tua peninggalan orang tua ku.
“Alhamdulillah sehat, Tante” jawabku tersenyum.
“Aku buatkan minum dulu, ya” lanjutku ingin ke belakang sekedar membuatkan mereka air teh. Tante Nancy menarik tanganku sambil menggelengkan kepalanya.
“Nggak usah repot-repot. Ada yang mau Tante bicarakan” katanya membuat alisku sedikit terangkat.
Mau bicara apa, ya. Kok, aku jadi deg-degan.
“Duduklah” ujar Om Dirga.
“Zahra, Om dan Tante mau menawarkan sesuatu...” potong tante Nancy melirik suaminya.
“Kamu mau tidak tinggal bersama kami?” sambung Om Dirga.
“Maksud, Om? Aku nggak ngerti” tanyaku heran.
“Za, kami mau Zahra menganggap kami sebagai pengganti kedua orang tuamu dengan tinggal di rumah Om dan tante” jawab Tante Nancy. Aku cukup kaget dengan tawaran Om Dirga dan Tante Nancy.
“Makasih Tante, tapi aku lebih suka di sini meskipun rumah ini kecil tapi banyak kenangan bersama ayah dan ibuku di sini. Lagipula tante kan punya anak laki-laki. Za tidak mau nanti ada fitnah jika Za tinggal di sana” jelasku.
Tante Nancy pernah memberitahuku kalau dia mempunyai satu anak laki-laki.
Sejujurnya aku memang kesepian tidak ada lagi yang perhatian denganku. Tapi tante Nancy begitu perhatian sejak kedua orang tua ku tiada.
“Hmm, kami mau mengambilmu sebagai menantu. Jadi tidak akan ada fitnah, Za. Bagaimana?” tanya Om Dirga serius.
Aku tersentak kaget. Mereka mau menjadikan ku menantu? Aku tidak kenal dengan anaknya. Bagaimana? Apakah anaknya bisa menjadi imamku? Melihat kedua orang tuanya saja seperti itu. Orangnya tajir. Apalagi setelah dijelaskan tante Nancy bahwa anaknya memimpin perusahaan milik Om Dirga. Bisa dibayangkan dunianya dan dunia ku sangat jauh berbeda. Bagai langit dan bumi. Apa aku juga pantas bersanding dengan anak Om Dirga?
“Za. Bagaimana?” ulang Om Dirga menyadarkanku dari lamunan.
“Apa anak Om mau menikah denganku? Aku hanya gadis biasa bukan dari keluarga terpandang seperti Om” tanyaku khawatir.
“Za, anak Om dan tante setuju, kok. Kamu bukan gadis biasa Za, tapi gadis istimewa. Ya, nggak, Pa” lirik tante Nancy. Om Dirga tersenyum mengangguk.
“Kalian nanti saling kenal setelah menikah saja, ya. Nanti Om yang urus keperluan akad nikahnya. Kamu mau minta mas kawin apa?” tanya Om Dirga membuatku tersipu malu.
Ya, ampun Om, aku sudah diterima sebagai bagian dari keluarga Om saja sudah bahagia. Aku tidak minta apa-apa lagi.
“Terserah anak Om saja mau ngasih apa, Za terima dengan ikhlas” jawabku tersenyum.
“Ya, Allah, Za. Kamu memang benar-benar beda. Tante semakin sayang deh sama kamu” tante nancy memelukku bahagia.
Ya, aku diajarkan oleh ibuku jika ada pria yang akan melamarku nanti jangan memberatkannya dengan meminta mas kawin yang tinggi. Meskipun aku tahu Om Dirga pasti bisa mewujudkan apa yang akan ku minta, tapi aku tidak mau mengambil kesempatan
***
Continue
Dirga dan Nancy begitu sibuk mempersiapkan acara akad nikah Zidan dan Zahra yang rencananya hanya mengundang keluarga dekat mereka saja. Sesuai permintaan Zidan, dia tidak mau karyawan di perusahaan yang dipimpinnya mengetahui kalau dia sudah menikah. Begitu juga dengan teman-teman Zahra jangan sampai tahu kalau dia juga telah bersuami. Entah apa alasan Zidan melakukan hal itu.
“Lho, bukannya nanti malah jadi bumerang buat kamu, Zi” ujar Nancy protes dengan keinginan Zidan itu.
“Kalau ada laki-laki yang suka dengan Zahra, padahal dia sudah bersuami bagaimana?” lanjut Nancy.
“Bukankah kata mama, Zahra gadis yang baik dan sholehah. Jadi bisa-bisa dialah mengatasi masalah itu” jawab Zidan cuek.
Nancy hanya geleng-geleng kepala dengan sikap anaknya itu.
“Kamu juga awas, ya, kalau kepincut dengan gadis lain karena sudah menutupi status kamu nanti sebagai suami Zahra. Kalau sampai itu terjadi, mama pecat kamu jadi anak” ancam Nancy.
“Masalah hati nggak bisa dipaksa, Ma. Mama aja yang ngebet mau menikahkan Zi dengan Zahra” elak Zidan.
“Zidan, kamu nggak ngerti dengan perasaan seorang ibu. Kalau mama punya anak perempuan dengan posisi seperti Zahra, alangkah sedihnya. Kalau laki-laki sebatang kara tidak jadi masalah, dia bisa melindungi diri dari gangguan orang lain. Lha kalau gadis, bagaimana? Bisa bahaya Zi, tahu nggak?” ujar Nancy panjang lebar.
Zidan hanya termenung mendengarkan ucapan Nancy. Sebenarnya hatinya sendiri belum bisa menerima keputusan yang dia ambil. Sekali lagi dia lakukan hanyalah demi kedua orang tuanya.
***
Di rumah Dirga sudah berkumpul keluarga dekat seperti adiknya, Damar jauh-jauh datang dari Singapura dan keluarga istrinya, Nancy dari Belanda juga telah hadir.
“Sudah lama kami menunggu undangan darimu, Mas” ujar Damar.
“Iya, tapi kenapa kok akadnya kecil-kecilan begini. Terus nggak ada resepsi segala?” tanya istri Damar curiga.
“Iya, Mas. Jangan bilang mereka merried by accident” sela Steve, adik Nancy.
“Oh My God. Masa sih, Mas” sela Damar tidak percaya.
“Hush, kalian semua kok ngawur, sih. Ya, nggak lah. Mereka malah tidak saling kenal” jawab Nancy mulai kesal dengan dugaan dari keluarga mereka.
Lalu mengalirlah cerita dari mulut Dirga kenapa dia dan istrinya ingin menjadikan Zahra sebagai menantunya.
“Ya Allah, kasihan banget Zahra” ujar istri Damar berkaca.
“Mas juga tidak menyangka bahwa dalam sehari Zahra harus kehilangan orang tuanya karena kecelakaan itu” ucap Dirga getir.
“Ya udah, Mas. Sikap yang Mas ambil itu udah tepat dengan begitu Mas Dirga jadi ndak dibayangi rasa bersalah lagi” Damar menepuk pundak kakaknya.
“Eh, itu pengantin perempuannya udah keluar dari kamar” sela keluarga Dirga yang lain.
Zidan melirik ke arah kamar melihat Zahra melangkah pelan sambil menunduk menuju tempat ibu-ibu berkumpul. Zidan pun baru pertama kali melihat wajah Zahra di hari akad nikah mereka.
"Lumayan juga" batin Zidan melihat fisik Zahra yang tidak terlalu pendek untuk ukuran perempuan.
Tanpa panjang lebar acara akad nikah pun dimulai.
“Saya terima nikah dan kawinnya Zahra Ratu Orchida dengan mas kawin tersebut dibayar tunai” ucap Zidan lantang dalam satu tarikan napas. Dia sudah menghapal ijab qabul semalaman karena tidak mau salah ucap.
“SAH”
“SAH”
“SAH”
Acara akad nikah yang sederhana dan hanya dihadiri keluarga Zidan dan Zahra berjalan dengan khidmat. Zahra hanya mengundang Bu Nissa yang sudah dianggapnya sebagai keluarga. Bu Nissa merasa tenang karena Zahra sudah memiliki keluarga baru. Karena tidak memiliki keluarga lain wali Zahra diwakilkan oleh hakim. Kini dia sudah sah menjadi istri Zidan Attaya Dirgantara.
“Makasih Sayang sudah mau menjadi menantu mama” peluk mama Zidan menitikkan airmata.
“Aku yang harusnya berterima kasih dengan tante udah menerimaku menjadi anggota keluarga tante” balasku memeluknya terharu.
“Eits, sekarang panggil mama, ya” Nancy mecubit pelan pipi Zahra. Zahra tersenyum mengangguk.
***
Zahra Pov
Jantungku berdebar masuk ke kamar pengantin yang dibilang mama mertuaku itu adalah kamar Zidan, anaknya. Mas Zidan. Aku baru pertama kali melihatnya sewaktu akad nikah tadi. Dia laki-laki yang begitu sempurna dari segi fisik, wajah tampan yang blasteran karena yang kutahu tante Nancy keturunan Belanda. Tapi aku tidak tahu bagaimana keimanannya bisakah dia menjadi imamku. Setelah akad tadi entah ke mana dia, aku tidak melihatnya. Aku merasa dia sepertinya terpaksa menikah denganku karena tidak kulihat raut bahagia di wajahnya. Seharusnya aku tidak menerima permintaan tante Nancy dan Om Dirga untuk menjadikanku sebagai menantunya.
Aku duduk di tepi ranjang yang ditaburi kelopak mawar merah. Harumnya. Sejenak aku menikmati aromanya. Aku lalu bergegas ke kamar mandi membersihkan diri dan berganti dengan daster panjang seperti gamis. Aku tersentak kaget ketika pintu kamar terbuka. Sosok laki-laki jangkung masuk ke kamar dengan wajah dinginnya. Aku tersenyum melihatnya tapi sedikitpun bibirnya tidak menyunggingkan senyuman. Senyumku menghilang. Kenapa aku jadi sok akrab dengannya. Aku bingung harus bagaimana.
“Zahra!” panggilnya dengan nada datar.
“Kamu tahu kan pernikahan kita begitu dadakan. Aku terpaksa menerimanya karena tidak ingin mengecewakan papa dan mamaku. Kita jalani saja jika tidak ada kecocokan diantara kita nanti, kita bisa akhiri” lanjutnya membelakangiku.
Dadaku terasa sesak. Airmataku meluncur di pipi. Aku menarik napas lalu menghapus air mataku. Aku tidak ingin dia melihatku menangis. Aku sudah menduga sebelumnya bahwa pernikahan ini hanyalah keterpaksaan.
“Baik, Mas. Aku tidak akan merepotkanmu. Kita jalani saja kehidupan kita masing-masing seperti biasa. Aku juga tidak mengharapkan apa-apa dari Mas” jawabku dengan hati yang terluka.
Dia mengambil bantal dan tidur di sofa. Ya, Tuhan dia bahkan tidak mau tidur satu ranjang denganku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!